Prinsip-prinsip Dasar dalam Asuransi Syariah

Prinsip-prinsip Dasar dalam Asuransi Syariah


Asuransi berasal dari kata dalam bahasa Belanda yaitu : "assurantie" yang artinya pertanggungan. Dalam bahasa Arab, asuransi dikenal dengan kata "at-ta’min" yang berarti pertanggungan, perlindungan, keamanan, ketenangan atau bebas dari perasaan takut. Si penanggung (assuradeur) disebut mu’ammin sedangkan tertanggung (geasrurrerde) disebut musta’min.

Dalam Agama Islam, asuransi merupakan bagian dari muamalah. Kaitan dengan dasar hukum asuransi menurut fiqh Islam adalah boleh (jaiz) dengan syarat produk asuransi tersebut harus sesuai dengan ketentuan hukum Islam. Pada umumnya, para ulama berpendapat asuransi yang berdasarkan Syariah diperbolehkan, sedangkan asuransi konvensional haram hukumnya.

Asuransi dalam ajaran Islam merupakan salah satu upaya seorang muslim yang didasarkan nilai tauhid. Setiap manusia menyadari bahwa sesungguhnya semua manusia tidak memiliki daya apa pun ketika menerima musibah dari Allah Swt., baik berupa kecelakaan, kematian, bencana alam maupun takdir buruk yang lain. Untuk menghadapi berbagai musibah tersebut, ada beberapa cara untuk menghadapinya yaitu : (1) menanggungnya sendiri, (2) mengalihkan risiko ke pihak lain dan (3) mengelolanya bersama-sama.

Dalam ajaran Islam, musibah bukanlah hanya permasalahan individual, melainkan masalah kelompok walaupun musibah ini hanya menimpa individu tertentu. Apalagi jika musibah tersebut mengenai masyarakat luas seperti tsunami, gempa bumi atau banjir. Berdasarkan ajaran inilah, tujuan asuransi sangat sesuai dengan semangat ajaran tersebut.

Allah Swt. menegaskan hal ini dalam beberapa ayat, di antaranya : “...dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran...” (Q.S. al-Māidah/5: 2)

Banyak pula hadis Rasulullah saw. yang memerintahkan umat Islam untuk saling melindungi sesama saudaranya dalam menghadapi kesusahan. Berdasarkan ayat al-Qur’an dan riwayat hadis, dapat dipahami bahwasanya musibah ataupun risiko kerugian akibat musibah wajib ditanggung bersama. Bukan setiap individu menanggungnya sendiri-sendiri dan tidak pula dialihkan ke pihak lain. Prinsip menanggung musibah secara bersama-sama inilah yang sesungguhnya merupakan esensi dari asuransi Syariah.

Perbedaan Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional

Tentu saja prinsip tersebut diatas berbeda dengan yang berlaku di sistem asuransi konvensional, yang menggunakan prinsip transfer risiko. Seseorang membayar sejumlah premi untuk mengalihkan risiko yang tidak mampu dipikulnya kepada perusahaan asuransi. Dengan kata lain, telah terjadi ‘jual-beli’ terhadap risiko kerugian yang belum pasti terjadi. Di sinilah cacat perjanjian asuransi konvensional. Sebab akad dalam Islam mensyaratkan adanya sesuatu yang bersifat pasti, apakah itu berbentuk barang ataupun jasa.

Perbedaan yang lain, pada asuransi konvensional dikenal istilah dana hangus, di mana peserta tidak dapat melanjutkan pembayaran premi ketika dia ingin mengundurkan diri sebelum masa jatuh tempo. Mekanisme tersebut tidak dikenal dalam konsep asuransi syari’ah. Peserta yang baru masuk sekalipun, lantas karena satu dan lain hal ingin mengundurkan diri, dana atau premi yang sebelumnya sudah dia bayarkan dapat diambil kembali, kecuali sebagian kecil saja yang sudah diniatkan sebelumnya untuk dana tabarru’ (sumbangan) yang tidak dapat diambil.

Setidaknya, ada manfaat yang dapat diambil kaum muslimin dengan terlibat dalam asuransi Syariah, di antaranya bisa menjadi alternatif perlindungan yang sesuai dengan hukum Islam. Produk ini juga bisa menjadi pilihan bagi umat pemeluk agama lain yang memandang konsep syariah lebih adil bagi mereka karena syariah merupakan sebuah prinsip yang sifatnya universal. Untuk pengaturan asuransi di Indonesia dapat dipedomani Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang
Pedoman Umum Asuransi Syariah.



Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel