Anjuran dan Panduan Ibadah I'tikaf di Bulan Ramadhan

I'tikaf adalah salah satu ibadah yang dianjurkan selama Ramadhan. Sebagaimana yang dilaksanakan oleh Rasulullah saw.

Dari Aisyah r.a, isteri Nabi s.a.w, menuturkan: “sesungguhnya Nabi s.a.w, melakukan I’tikaf pada sepuluh hari terakhir bukan Ramadhan hingga Beliau wafat, kemudian isteri-isterinya mengerjakan I’tikaf sepeniggal Beliau”. (Hadits Shahih, riwayat al-Bukhari: 1886 dan Muslim: 2006

I’tikaf secara bahasa memiliki arti menetapi suatu kebaikan atau kejelekan, dan secara ilmu fiqh berdiam diri dalam masjid dengan ketentuan-ketentuan tertentu, diantara ketentuan tersebut adalah; pertama orang yang melakukan I’tikaf adalah orang islam, maka i’tikaf yang dilakukan oleh orang selain beragam islam itu hukumnya tidak sah (batal). Kedua, berakal sehat, Apabila mu’takif itu gila atau terserang penyakit epilepsy maka batal (tidak sah) I’tikafnya. Ketiga orang jyang beri’tikaf (mu’takif) harus dalam keadaan suci dari haid dan nifas bagi seorang perempuan, dan suci dari perbuatan-perbuatan yang menyebabkan diwajibkannya mandi junnub.

Anjuran Ibadah I'tikaf di Bulan RamadhanAdapun rukun i’tikaf yang harus dipenuhi adalah; pertama Niat untuk untuk berdiam diri di dalam masjid, dan bagi mereka yang bernadzar untuk I’tikaf, maka diwajibkan baginya untuk mengucapkan kata fardu di dalam niat I’tikafnya. Dan kedua berdiam diri dalam masjid dalam rentang waktu lebih dari lamanya thumaninah dalam sholat.

Selain syarat dan rukun yang harus dijaga, hendaknya  bagi mereka yang beri’tikaf memperhatikan beberapa pantangan yang dapat membatalkan I’tikaf. Diantaranya bersetubuh dengan istri, sebagaimana firman Allah Swt, dalam Alquran yang artinya :

…dan janganlah kalian campuri mereka (isterimu) itu, sedang kalian sedang dalam keadaan I’tikaf di ,asjid, itulah ketentuan Allah, maka janganlah kalian mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar bertaqwa”. (QS. Al-Baqarah, 2:187)

Kedua, keluar dari masjid tanpa udzur atau halangan yang dibolehkan syariat. Tetapi bila keluar dari masjid karena ada udzur, misalnya buang hajat atau air kecil dan yang serupa dengan itu, tidak membatalkan I’tikaf. Diperbolehkan keluar dari masjid karena mengantarkan keluarga ke rumah, atau untuk mengambil makanan di luar masjid, bila tidak ada yang mengantarkannya. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Aisyah r.a:

Dari Aisyah r.a, menuturkan, "Nabi s.a.w, apabila beri’tikaf, Beliau mendekatkan kepalanya kepadaku, lalu aku sisir rambutnya, dan Beliau tidak masuk rumah kecuali untuk keperluan hajat manusia (buang air besar atau buang air kecil)”. (Hadits Shahih, riwayat al-Bukhari: 1889 dan Muslim: 445).

Mengenai waktu I’tikaf bisa dilakukan di setiap waktu, tetapi waktu yang sangat dianjurkan untuk beri’tikaf adalah pada malam sepuluh terakir dari bulan Ramadlon. Dengan alasan sebagai usaha untuk mencari dan menemukan malam lailatul qadar yang memiliki keistimewaan 1:1000 keistimewaan bulan selain bulan Ramadlon, oleh karena itu I’tikaf pada saat-saat itu sangat dianjurkan.

Dari Aisyah r.a, isteri Nabi s.a.w, menuturkan: “sesungguhnya Nabi s.a.w, melakukan I’tikaf pada sepuluh hari terakhir bukan Ramadhan hingga Beliau wafat, kemudian isteri-isterinya mengerjakan I’tikaf sepeniggal Beliau”. (Hadits Shahih, riwayat al-Bukhari: 1886 dan Muslim: 2006)


Panduan I’tikaf Ramadhan


Bagaimana panduan i’tikaf?

I’tikaf secara bahasa berarti menetap pada sesuatu. Sedangkan secara syar’i, i’tikaf berarti menetap di masjid dengan tata cara yang khusus disertai dengan niat.

Dalil Disyari’atkannya I’tikaf

Ibnul Mundzir mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa i’tikaf itu sunnah, bukan wajib kecuali jika seseorang mewajibkan untuk dirinya bernadzar untuk melakukan i’tikaf.”

Dari Abu Hurairah, dia berkata,

كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ عَشْرَةَ أَيَّامٍ ، فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِى قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Namun pada tahun wafatnya, Beliau beri’tikaf selama dua puluh hari”.

Waktu i’tikaf yang lebih afdhol adalah di akhir-akhir ramadhan (10 hari terakhir bulan Ramadhan) sebagaimana hadits ‘Aisyah, dia berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya lalu isteri-isteri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian beliau.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dengan tujuan untuk mendapatkan malam lailatul qadar, untuk menghilangkan dari segala kesibukan dunia, sehingga mudah bermunajat dengan Rabbnya, banyak berdo’a dan banyak berdzikir saat itu.
I’tikaf Harus Dilakukan di Masjid

Hal ini berdasar firman Allah Ta’ala,

وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“(Tetapi) janganlah kalian campuri mereka sedang kalian beri’tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187). Demikian juga dikarenakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu juga istri-istri beliau melakukannya di masjid, dan tidak pernah di rumah sama sekali. Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Para ulama sepakat bahwa disyaratkan melaksanakan i’tikaf di masjid.” Termasuk wanita, dia boleh melaksanakan i’tikaf sebagaimana laki-laki, tidak sah jika dilakukan selain di masjid.
I’tikaf Boleh Dilakukan di Masjid Mana Saja

Menurut mayoritas ulama, i’tikaf disyari’atkan di semua masjid sebab keumuman firman Allah di atas (yang artinya) “Sedang kalian beri’tikaf dalam masjid”. 

Imam Bukhari membawakan Bab dalam kitab Shahihnya, “I’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramdhan dan i’tikaf di seluruh masjid.” Ibnu Hajar menyatakan, “Ayat itu (surat Al Baqarah ayat 187) menyebutkan disyaratkannya masjid, tanpa dikhususkan masjid tertentu”.

Para ulama selanjutnya berselisih pendapat masjid apakah yang dimaksud. Apakah masjid biasa di mana dijalankan shalat jama’ah lima waktu ataukah masjid jaami’ yang diadakan juga shalat jum’at di sana?

Imam Malik mengatakan bahwa i’tikaf boleh dilakukan di masjid mana saja (asal ditegakkan shalat lima waktu di sana, pen) sebab keumuman firman Allah Ta’ala,

وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“sedang kalian beri’tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187). Ini juga menjadi pendapat Imam Asy Syafi’i. Namun Imam Asy Syafi’i rahimahullah menambahkan syarat, yaitu masjid itu diadakan juga shalat Jum’at. Tujuannya di sini adalah agar saat pelaksanaan shalat Jum’at, orang yang beri’tikaf tidak perlu keluar dari masjid.

Kenapa disyaratkan di masjid yang ditegakkan shalat jama’ah? Ibnu Qudamah katakan, “Shalat jama’ah itu wajib (bagi laki-laki). Jika seorang laki-laki yang hendak melakukan i’tikaf tidak berdiam di masjid yang tidak ditegakkan shalat jama’ah, maka bisa terjadi dua akibat negatif: (1) meninggalkan shalat jama’ah yang hukumnya wajib, dan (2) terus menerus keluar dari tempat i’tikaf padahal seperti ini bisa saja dihindari. Jika semacam ini yang terjadi, maka ini sama saja tidak i’tikaf. Padahal maksud i’tikaf adalah untuk menetap dalam rangka melakukan ibadah pada Allah.”
Wanita Boleh Beri’tikaf

Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan istri beliau untuk beri’tikaf.  ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ – قَالَ – فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai dari shalat shubuh, beliau masuk ke tempat khusus i’tikaf beliau. Ia (Yahya bin Sa’id) berkata: Kemudian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meminta izin untuk bisa beri’tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.”

Dari ‘Aisyah, dia berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya lalu isteri-isteri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian beliau.”

Namun wanita boleh beri’tikaf di masjid asalkan memenuhi 2 syarat: (1) Meminta izin suami dan (2) Tidak menimbulkan fitnah (godaan untuk laki-laki) sehingga wanita yang i’tikaf wajib benar-benar menutup aurat dengan sempurna dan tidak juga memakai wewangian.
Lama Waktu Berdiam di Masjid

Para ulama sepakat bahwa i’tikaf tidak ada sempadan waktu maksimalnya. Namun mereka berselisih pendapat berapa waktu minimal untuk dikatakan sudah beri’tikaf. 

Bagi ulama yang mensyaratkan i’tikaf wajib disertai dengan puasa, maka waktu minimalnya adalah sehari. Ulama lainnya mengatakan dibolehkan kurang dari sehari, namun tetap disyaratkan puasa. Imam Malik mensyaratkan minimal sepuluh hari. Imam Malik  juga mempunyai pendapat lainnya, minimal satu atau dua hari. Sedangkan untuk ulama yang tidak mensyaratkan puasa, maka waktu minimal dikatakan telah beri’tikaf adalah selama dia sudah berdiam di masjid dan di sini tanpa dipersyaratkan wajib duduk.

Yang tepat dalam masalah ini, i’tikaf tidak dipersyaratkan untuk puasa, hanya disunnahkan. Menurut mayoritas ulama, i’tikaf tidak ada sempadan waktu minimalnya, artinya boleh hanya sesaat di malam atau di siang hari. Al Mardawi rahimahullah mengatakan, “Waktu minimal dikatakan i’tikaf pada i’tikaf yang sunnah atau i’tikaf yang mutlak adalah selama disebut berdiam di masjid (meskipun hanya sesaat).”

Yang Membatalkan I’tikaf

Keluar masjid tanpa alasan syar’i dan tanpa ada kebutuhan yang mubah yang mendesak.
Jima’ (bersetubuh) dengan istri berdasar Surat Al Baqarah ayat 187. Ibnul Mundzir telah menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa yang dimaksud mubasyaroh dalam surat Al Baqarah ayat 187 adalah jima’ (hubungan intim).

Yang Dibolehkan Ketika I’tikaf

Keluar masjid disebabkan ada hajat yang mesti ditunaikan seperti keluar untuk makan, minum, dan hajat lain yang tidak bisa dilakukan di dalam masjid.
Melakukan hal-hal mubah seperti mengantarkan orang yang mengunjunginya sampai pintu masjid atau bercakap-cakap dengan orang lain.
Istri mengunjungi suami yang beri’tikaf dan berdua-duaan dengannya.
Mandi dan berwudhu di masjid.
Membawa kasur untuk tidur di masjid.

Mulai Masuk dan Keluar Masjid

Jika ingin beri’tikaf selama 10 hari terakhir bulan Ramadhan, maka seorang yang beri’tikaf mulai memasuki masjid setelah shalat Shubuh pada hari ke-21 dan keluar setelah shalat shubuh pada hari ‘Idul Fithri menuju lapangan. Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadits ‘Aisyah, dia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ – قَالَ – فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai dari shalat shubuh, beliau masuk ke tempat khusus i’tikaf beliau. Ia (Yahya bin Sa’id) berkata: Kemudian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meminta izin untuk bisa beri’tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.”

Namun para ulama madzhab menganjurkan untuk memasuki masjid menjelang matahari tenggelam pada hari ke-20 Ramadhan. Mereka mengatakan bahwa yang namanya 10 hari yang dimaksudkan adalah jumlah bilangan malam sehingga seharusnya dimulai dari awal malam.
Adab I’tikaf

Hendaknya saat beri’tikaf, seseorang menyibukkan diri dengan melaksanakan ketaatan seperti berdo’a, dzikir, bershalawat pada Nabi, mengkaji Al Qur’an dan mengkaji hadits. Dan dimakruhkan menyibukkan diri dengan perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat.

Semoga panduan singkat ini memiliki manfaat bagi pembaca sekalian. Semoga menjadi ilmu yang memiliki manfaat dan membuahkan amalan tentunya.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.


Cuplikan dari Buku Panduan Ramadhan

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel