Masjid Dan Hukum Pengeras Suara


Kebutuhan Akan Pengeras Suara

Merupakan sebuah kenyataan bahwa dengan kemajuan teknologi seperi zaman kini ini, hampir semua Masjid dan mushola di seluruh dunia telah mempunyai dan memakai alat pengeras suara. Tujuan digunakanya alat tersebut tidak lain yaitu untuk menunjang tercapanya dakwah Islam kepada masyarakat luas di dalam masjid maupun di luar. Maksudnya juga supaya jamaah atau umat Islam yang tinggal agak berjauhan dari masjid sanggup mendengar bunyi azdan dengan adanya pengeras suara. Selin itu, dengn pertumbuhan penduduk yang pesat, menjadikan jamaah masjid membludak, sehingga perlu pengeras bunyi supaya bunyi imam atau khatib sanggup didengar oleh jamaah.

Memang keberadaan pengeras bunyi di masjid sangat membantu dalam kegiatan dakwah Islam dikala ini. Hanya saja kita dilarang berlebihan dalam menggunakannya. Ada segelintir diantara kita yang salah dalam memanfaatkan dan tidak memakai sebagaimana patutnya.

Apa Yang salah Dalam Menggunakan Pengeras Suara

Di beberapa kawasan masih ada masjid yang menyimpang dan menyalahi hukum yang diizinkan agama maupun pemerintah. 

Dalam shalat dan doa hanya untuk kepentingan jama'ah (dalam masjid), tidak perlu corongnya diarahkan keluar, sehingga tidak melanggar pemikiran Islam yang melarang bersuara keras dalam shalat dan doa.
"Dan janganlah engkau keraskan suaramu dalam shalatmu dan jangan pula terlalu merendahkannya, dan carilah jala tengah di antara keduanya". (Al Isra` 110).

Dalam ayat lain:
"Dan berdoalah kepada Tuhanmu dengan merendah diri dan bunyi yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Ala'raf; 55).

Kemudian zikir merupakan ibadah individu pribadi kepada Allah swt, oleh lantaran itu tidak perlu memakai pengeras bunyi baik ke dalam maupun ke luar.

"Dan berzikirlah (ingatlah) kau akan Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri serta lembut tanpa mengeraskan bunyi pada pagi dan petang, dan janganlah kau termasuk orang-orang yang lalai."(AlA'raf:205).

Terutama di perkotaan, pengurus masjid harus benar-benar memperhatikan penggunaan pengeras suara. Sudah tidak gila lagi di perkotaan di sekitar masjid terdapat kawasan tinggal non-muslim, sehingga keadaan dan kondisi mereka tetap dipertimbangkan. Karena kita juga perlu menelaah hadits nabi yang menyampaikan :"Demi Allah, tidak beriman. Demi Allah tidak beriman. demi Allah tidak beriman". Lalu ada orang yang bertanya: Siapa itu ya Rasulullah (orang yang tidak beriman)", Rasulullah menjelaskan bahwa, orang yang tidak beriman itu yaitu orang yang tidak (pernah) kondusif tetangganya lantaran gangguan (kejahatannya)." Jangan hingga akhir salah dalam memakai pengeras bunyi masjid, menciptakan tetangga-tetangga menjadi merasa terganggu, lebih-lebih jangan hingga menjadikan kebencian tetangga yang nonmuslim terhadap masjid.

Dalam suatu riwayat, pernah Ali RA membaca keras-keras bacaan shalat dan doanya, padahal orang-orang sedang tidur, kemudian rasulullah menegurnya: "Bacalah untuk dirimu sendiri, lantaran engkau tidak menyeru Tuhan yang tuli dan jauh, Sesungguhnya kau menyeru Allah Yang Maha Mendengar dan Dekat".


Ketentuan Dalam Penggunaan Pengeras Suara

Soal pengeras bunyi di masjid diatur dalam keputusan nomor: Kep/D/101/1978 perihal Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala. Keputusan itu ditandatangani Dirjen Bimas Islam dikala itu, Kafrawi, pada 17 Juli 1978.

Berikut hukum Bimas Islam mengenai syarat-syarat penggunaan pengeras suara:

1. Perawatan penggunaan pengeras bunyi yang oleh orang-orang yang terampil dan bukan yang mencoba-coba atau masih belajar. Dengan demikian tidak ada bunyi bising, berdengung yang sanggup menjadikan antipati atau anggapan tidak teraturnya suatu masjid, langgar, atau musala

2. Mereka yang memakai pengeras bunyi (muazin, imam salat, pembaca Alquran, dan lain-lain) hendaknya mempunyai bunyi yang fasih, merdu, lezat tidak cempreng, sumbang, atau terlalu kecil. Hal ini untuk menghindarkan anggapan orang luar perihal tidak tertibnya suatu masjid dan bahkan jauh daripada menjadikan rasa cinta dan simpati yang mendengar selain menjengkelkan.

3. Dipenuhinya syarat-syarat yang ditentukan, menyerupai tidak bolehnya terlalu meninggikan bunyi doa, dzikir, dan salat. Karena pelanggaran itu bukan menjadikan simpati melainkan keheranan umat beragama sendiri tidak menaati pemikiran agamanya

4. Dipenuhinya syarat-syarat di mana orang yang mendengarkan dalam keadaan siap untuk mendengarnya, bukan dalam keadaan tidur, istirahat, sedang beribadah atau dalam sedang upacara. Dalam keadaan demikian (kecuali azan) tidak akan menjadikan kecintaan orang bahkan sebaliknya. Berbeda dengan di kampung-kampung yang kesibukan masyarakatnya masih terbatas, maka bunyi keagamaan dari dalam masjid, langgar, atau musala selain berarti usul takwa juga sanggup dianggap hiburan mengisi kesepian sekitarnya.

5. Dari tuntunan nabi, bunyi azan sebagai tanda masuknya salat memang harus ditinggikan. Dan lantaran itu penggunaan pengeras bunyi untuknya yaitu tidak diperdebatkan. Yang perlu diperhatikan yaitu supaya bunyi muazin tidak sumbang dan sebaliknya enak, merdu, dan syahdu.

Di dalam isyarat itu juga diatur bagaimana tata cara memasang pengeras bunyi baik bunyi ke dalam ataupun keluar. Juga penggunaan pengeras bunyi di waktu-waktu salat.

(Sumber tulisan: Majalah Suara Masjid & Detiknews).

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel