Keagungan Jumat Dan Impian Para Dhuafa Bg. 2


Oleh: Fajar Sidik

Tepat pukul 12.34 WITA, seorang laki-laki ber-koko putih dilengkapi sarung motif khas Samarinda dan kopiah yang tersungging dikepalanya, ia membacakan selembar data perkembangan keuangan masjid. Inilah model akuntabilitas keuangan publik terbaik. Belum ada satu forum pun dinegeri ini yang berani mengumumkan kepada publik posisi kasnya setiap 7 hari. Ya… hanya masjid yang berani dan bisa melaksanakan itu.

 

Kata demi kata terjuntai dari ta’mir. Nama-nama pemberi sedekah beserta jumlah sedekahnya  diumumkan dengan sabar. Hingga disuatu kalimat yang cukup menghibur sekaligus menggelitik nurani. ”jadi, saldo kas masjid sampai jumat ini berjumlah dua ratus juta tiga ratus enam ribu seratus rupiah,” ucap ta’mir mengakhiri. Subhanallah! Sungguh jago jamaah masjid ini. Jauh berbeda dengan masjid di kampung halaman yang kasnya hanya beberapa juta saja. Di negeri kerikil bara ini, saldo kas masjid mencapai ratusan juta…. “Wow, Subhanallah!,” decakku kagum. Menggelitiknya kenapa? Nah untuk yang ini, Kita dengarkan dulu khatib berwejangan. Tentu kita enggan amal jumat ini berlalu tanpa nasehat-nasehat Illahi dan Rasul yang dibacakannya.

Beberapa ketika sesudah itu, suasana menjadi senyap sepi. Ya hanya berselang beberapa detik saja. Suara tasbih, tahmid dan takbir yang sebelumnya saling bersahutan, sedetik kemudian secara serentak lanyap. Semua menghilang bersamaan doa keselamatan yang dilontarkan khatib. Seluruh jamaah dengan seksama menghentikan aktivitasnya, hening dan hanyut mendengarkan untaian kalimat-kalimat tausyiah Sang Habib. 
Prosesi demi prosesi hari agung telah dilewati. Setelah sejenak mengirim ’surat’ undangan padaNYA, langkah kaki mengikuti tapak-tapak lainnya melangkah. Baru beberapa tapak melintas, kembali teringat janji beberapa ketika yang lalu. Mengapa kas masjid yang mengagumkan itu menggelitik pikiranku?

Begini, ketika saldo kas disebut, bersamaan itu juga teringat orang-orang bau tanah di gerbang masjid. Dengan bermodal mangkok alakadarnya, mereka mengharap barokah jum’at dari jamaah. Bukankah pemandangan ibarat itu biasa saja? Terjadi nyaris diseluruh masjid? Sejatinya, pemandangan ibarat itu bisa diminimalisir bahkan ditiadakan. Caranya? Beri mereka kail, bukan ikannya!. Mungkin terdengar klise, tapi memang itulah satu-satunya cara. Lalu, uang untuk beli kailnya?... Ya itu, dari kas masjid yang tadi!…

Dalam sejarahnya, masjid itu bukan sekedar rumah sujud. Masjid mempunyai tugas strategis untuk kemajuan peradaban ummat. Masjid difungsikan sebagai sentra pendidikan, pengadilan, militer, termasuk fungsi sosial-ekonomi lainnya. 

Pasti menjadi menarik, ketika masjid menjatahkan sebagian besar dari kasnya untuk menjadi ’uang produktif’. Selain dana tersebut sanggup berkembang, permasalahan umat terutama terkait kemiskinan sanggup di ‘erosi’ secara bertahap. Bukankah hal ini sudah dilakukan oleh seluruh masjid? Benar sekali, saya tidak menyangsikan itu. Namun pertanyaannya, mengapa masih ada mereka, kaum termarginalkan? Jangan-jangan yang dilakukan selama ini hanya memberi mereka ikan saja. Itupun mungkin ikan-ikan kecil!

Dari sisi akuntabilitas publik, dalam hal ini intensitas mem-publish posisi kas,  masjid memang forum terbaik. Namun dari sisi pemberdayaan iddle cash, saya kira perlu mencontoh lembaga-lembaga zakat atau Baitul Maal professional yang bisa mengelola dana umat menjadi lebih produktif. Tentu sangat disayangkan ketika kas masjid yang sangat besar itu hanya menjadi penghuni bisu rekening perbankan. Meskipun hal tersebut tidak salah, namun akan lebih baik ketika dana tersebut sanggup dioptimalkan untuk melepaskan sebagian umat dari belitan perekonomian. Kaum dhuafa tentu sangat menanti-nanti uluran modal yang akan menarik mereka dari jerat kemiskinan. Karena Masjid merupakan daerah disemaikannya segala sesuatu yang bernilai kebajikan dan kemaslahatan umat, baik yang berdimensi ukhrawi maupun duniawi.

Ingin sekali suatu saat, pengurus masjid tidak hanya membacakan penerimaan sedekah atau penyaluran sedekah dari jamaah. Tentu lebih nikmat rasanya ketika ta’mir mengumumkan jumlah dhuafa yang dibuatkan gerobak usaha, didirikan warung sederhana, dibelikan sampan untuk melaut atau motor untuk ngojek. Dengan bagi hasil sebagai perjanjiannya, maka secara perlahan umat ini akan bangkit. Pasti! Para dhuafa menunggu aksi-aksi ini……

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel