Cara menghilangkan sifat egois dalam Islam
Sunday, March 22, 2015
Edit
"Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, sebab telah datang seorang buta kepadanya, tahukah kalian barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa).... (Qs. ‘Abasa : 1-4)"
Dalam serapan asing dan bahasa Indonesia, kata egois berarti orang yang mementingkan diri sendiri, tidak peduli akan orang lain atau masyarakat. Dalam kamus bahasa Indonesia online, egois berarti tingkah laku yang didasarkan atas dorongan untuk keuntungan diri sendiri dari pada untuk kesejahteraan orang lain atau segala perbuatan dan tindakan selalu disebabkan oleh keinginan untuk menguntungkan diri sendiri.
Ketika ada orang yang lebih mementingkan kepentingan dirinya sendiri ketimbang orang lain, maka kita sebut ia adalah orang egois. Begitu juga, saat ada orang yang selalu ingin menang sendiri, kita sebut orang itu dengan sebutan yang sama, yaitu egois. Pernahkah kita melalukan tindakan yang menurut orang lain itu egois? Padahal dalam diri kita sendiri, tindakan itu sama sekali bukan egois.
Tak jarang keegoisan seseorang membuat orang lain menjadi benci pada dirinya, bahkan tidak sedikit pula yang memusuhinya. Ketika awal mula berteman, sifat keegoisannya belum kelihatan, tetapi setelah lama-kelamaan akhirnya tahu juga bahwa sang teman mempunyai sifat egois. Tentu yang dilakukan adalah menjaga jarak dari sang teman atau memilih tidak menjadi temannya lagi.
Coba kita bayangkan jika keegoisan tumbuh dalam sebuah keluarga. Biasanya, saat masih menjadi suami-istri baru, sifat egois tidak kelihatan, tetapi seiring berjalannya waktu akhirnya kelihatan juga. Jika tidak pintar dalam menyikapinya bisa dipastikan hubungannya tidak bertahan lama, dan berakhir dengan perceraian.
Nabi Pernah Egois
Semua manusia pernah egois, tetapi kadang secara sadar atau pun tidak sadar tidak merasa melakukannya. Menurut sebuah riwayat yang disampaikan oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari, demikian juga riwayat dari Ibnu Abi Hatim, yang diterima dari Ibnu Abbas : “Sedang Rasûlullâh menghadapi beberapa orang terkemuka Quraisy, yaitu Utbah bin Rabi’ah, Abu Jahal dan Abbas bin Abdul Muthalib dengan maksud memberi keterangan kepada mereka tentang hakikat Islam agar mereka sudi beriman. Pada waktu yang sama, masuklah seoranglaki -laki buta, yang dikenal namanya dengan Abdullah bin Ummi Maktum”.
Dia masuk ke dalam majelis dengan tangan meraba-raba. Sejenak Rasûlullâh terhenti bicara, Ibnu Ummi Maktum memohon kepada Nabi agar diajarkan padanya beberapa ayat al-Qur’an. Beliau merasa terganggu sebab sedang menghadapi pemuka-pemuka Quraisy, kelihatanlah wajah beliau masam menerima permintaan Ibnu Ummi Maktum, sehingga perkataannya itu seakan-akan tidak beliau dengarkan. Beliau terus juga menghadapi pemuka-pemuka Quraisy itu. Akhirnya Allâh menurunkan surat ‘Abasa yang artinya : Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, sebab telah datang seorang buta kepadanya, tahukah kalian barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa).... (Qs. ‘Abasa : 1-4)
Setelah ayat itu turun, sadarlah Rasûlullâh saw akan kekhilafannya itu. Lalu segera beliau hadapilah Ibnu Ummi Maktum dan beliau perkenankan apa yang ia minta. Ibnu Ummi Maktum pun menjadi seorang yang sangat disayangi oleh Rasûlullâh saw. Allâh swt begitu halus mengingatkan Rasûlullâh saat beliau sedikit saja melakukan kesalahan, sebab menurut Rasûlullâh melobi para pembesar Quraisy lebih penting dibandingkan dengan melayani Ibnu Ummi Maktum.
Tipe Egois
Sikap egois bisa kita temukan dimana pun, lebih tepatnya adalah dalam kehidupan kita sehari-hari. Salah satu ciri orang yang egois; Mendustakan ayat-ayat Allâh, ingin menang sendiri, suka mengatur tapi tidak mau diatur, dan keras kepala.
Pertama, mendustakan ayat-ayat Allâh swt. Dalam hal ini cakupannya sangat luas sekali. Orang kafir bisa dikategorikan orang yang egois, sebab mereka enggan memeluk islam. Padahal agama Islam adalah agama penyempurna bagi agama sebelumnya. Sehingga jelaslah bahwa mereka adalah orang-orang yang bisa dikatakan orang yang super egois.
Orang yang mengaku muslim (orang Islam) tetapi tidak melaksanakan perintah-perintah Allâh maka termasuk ke dalam orang-orang egois. Misalnya saja tidak melaksanakan sholat lima waktu, dan amalan-amalan yang lain yang Allâh perintahkan, serta tidak meninggalkan apa yang Allâh larang, misalnya mabuk-mabukan, berfoya-foya, dan lain sebagainya.
Pengertian egois yang dimaksud di sini, yaitu mereka egois pada dirinya sendiri dan seolah tidak peduli dengan pahala dan ancaman Allâh swt. Padahal akibat ke-egois-an merekalah Allâh swt memberikan sebuah peringatan melalui tentara-tentaranya. Misalnya saja Allâh mengirimkan tentara air, tanah, angin, dan sebagainya. Sehingga timbullah banjir, angin puting beliung, longsor, gempa bumi dan lainnya.
Kedua, ingin menang sendiri. Menang dan kalah dalam sebuah pertandingan adalah hal yang lumrah. Menjadi bermasalah saat ada orang yang ingin menang sendiri, tidak mau kalah. Untuk apa menang kalau tidak sportif, menang seperti ini sama saja kalah. Tentu, kemenangan sesungguhnya adalah menang yang diperoleh dengan secara sportif, tentu cara seperti ini lebih terhormat. Akibat sifatnya inilah biasanya seseorang dijauhi serta di musuhi teman-temannya.
Orang yang ingin menang sendiri biasanya tidak peduli dengan apa yang ia lakukan, walaupun itu sebetulnya salah. Untuk itu berhati-hatilah bila mempunyai teman yang seperti ini. Sedini mungkin untuk diingatkan sebelum hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Jika bukan anda sebagai sahabatnya, maka siapa lagi.
Ketiga, suka mengatur tapi tidak mau diatur. Seorang pemimpin dituntut untuk mampu memimpin bawahannya. Tetapi masa menjadi seorang pemimpin itu ada batas dan jangka waktunya. Ketika menjadi seorang pemimpin ia bisa mengatur anggotanya seperti apa yang diinginkan. Tetapi saat masa jabatannya habis, ia kembali menjadi anggota, maka harus siap diatur pemimpin yang baru. Sama seperti dirinya mengatur saat menjadi pimpinan.
Saat ini, banyak sekali kita temukan orang-orang yang siap memimpin tetapi tidak siap dipimpin. Ketika ia sudah tidak lagi memegang jabatan sebagai pemimpin, ia memilih keluar. Inilah potret yang saat ini terjadi dan sudah membudaya. Akhirnya bermusuhan dan saling menjatuhkan satu sama lain, sehingga perseteruan ini tanpa akhir alias jadi “musuh bebuyutan”.
Keempat, keras kepala. Keras kepala identik dengan sebutan kepala batu, artinya isi kepalanya sangat keras sehingga sangat sulit untuk dihancurkan. Orang berkepala batu yaitu orang yang tidak bisa menerima masukan dari orang lain. Orang yang berkepala batu biasanya berpasangan dengan muka tembok dan keras hati. Jika tiga unsur ini sudah menyatu, maka sangat sulit untuk mengubahnya apa lagi untuk diingatkan.
Orang yang keras kepala pada masa Nabi Musa as adalah Fir’aun, dan akhirnya Allâh swt tenggelamkan Fir’aun dan tentaranya di tengah lautan. Tak hanya itu, pada masa Nabi Nuh as. umatnya juga sangat keras kepala. Sehingga Allâh swt mengirimkan banjir bandang yang sangat dahsyat, sehingga tidak ada yang selamat dari umatnya Nabi Nuh walaupun pun mereka lari ke atas gunung. Kecuali yang ikut naik kapal dengan Nabi Nuh as mereka selamat.
Pribadi egois adalah pribadi yang melihat segala sesuatu dari kacamatanya. Dia tidak bisa memahami pikiran orang, perasaan orang, dan selalu menuntut orang untuk mengikuti pendapatnya. Pribadi egois juga pribadi yang mementingkan dirinya sendiri, ia tidak bisa mempertimbangkan kebutuhan orang, senantiasa mengedepankan kebutuhannya di atas kebutuhan orang lain.
Dapat disimpulkan bahwa pribadi yang egois adalah pribadi yang susah sekali untuk tulus, sebab ujung-ujungnya untuk kepentingannya sendiri.
Ada beberapa tips untuk menghilangkan sifat egois:
Sekali lagi, semua kembali ke diri kita masing-masing. Dan jangan lupa berdo’a kepada Allah agar hati kita dapat di kontrol dan kita selalu diberikan hidayah-Nya. Karena hanya Allah yang dapat membolak-balikkan perasaan manusia.
Penutup
Egois adalah sifat yang tumbuh alami dari dalam diri manusia. Karena saking alaminya, sampai manusia tidak menyadari kehadiran sifat egois itu sendiri. Sampai sekarang pun belum ada obat yang bisa menghilangkan sifat egois dari dalam diri manusia. Obat yang dicari adalah bukan obat berbentuk kapsul atau tablet, bukan pula berbentuk sirup yang diberikan oleh sang dokter.
Rasûlullâh SAW bersabda : "Kita baru kembali dari satu peperangan yang kecil untuk memasuki peperangan yang lebih besar...’, yang membuat para Sahabat terkejut dan bertanya, "Peperangan apakah itu wahai Rasûlullâh ?"Rasûlullâh berkata, "Peperangan melawan hawa nafsu." (Riwayat Al Baihaqi)
Perang melawan hawan nafsu adalah perang yang sesungguhnya. Filsafat kuno juga menyebutkan, musuh terbesar adalah diri sendiri. Karena dalam diri manusia terdapat sifat-sifat buruk. Amarah, dendam, iri, dan benci adalah contoh sifat manusia buruk. Begitu juga dengan egois. Untuk itu, melawan musuh yang ada dalam diri sendiri sangat sulit.
Maka sebenarnya, saat ini secara tidak langsung kita sedang berperang melawan diri sendiri. Berperang melawan sifat sifat buruk yang timbul secara alami di dalam diri kita. Mungkin hanya kebesaran iman kitalah yang mampu melawan itu semua. Hanya imanlah yang mampu menjadi obat penawarnya untuk melawan egois itu. Abu Bakar Al-Warraq berkata :“Jika hawa nafsu mendominasi, maka hati akan menjadi kelam, Jika hati menjadi kelam, maka akan menyesakkan dada. Jika dada menjadi sesak, maka akhlaknya menjadi rusak. Jika akhlaknya, maka masyarakat akan membencinya dan iapun membenci mereka”.
Dengan mengedepankan iman, tentu sifat-sifat egois yang terdapat dalam diri kita akan bisa diredam. Bantuan Allâh swt lah yang menjadi tumpuan terakhir agar kita terbebas dari sifat-sifat buruk itu, dan selalu dalam bimbingan-NYA. Semoga kita termasuk kedalam hamba-hamba yang mendapat perlindungan Allâh swt. Amîn
Sumber :
http://pesantren.uii.ac.id
https://hidayah18.wordpress.com
Dalam serapan asing dan bahasa Indonesia, kata egois berarti orang yang mementingkan diri sendiri, tidak peduli akan orang lain atau masyarakat. Dalam kamus bahasa Indonesia online, egois berarti tingkah laku yang didasarkan atas dorongan untuk keuntungan diri sendiri dari pada untuk kesejahteraan orang lain atau segala perbuatan dan tindakan selalu disebabkan oleh keinginan untuk menguntungkan diri sendiri.
Ketika ada orang yang lebih mementingkan kepentingan dirinya sendiri ketimbang orang lain, maka kita sebut ia adalah orang egois. Begitu juga, saat ada orang yang selalu ingin menang sendiri, kita sebut orang itu dengan sebutan yang sama, yaitu egois. Pernahkah kita melalukan tindakan yang menurut orang lain itu egois? Padahal dalam diri kita sendiri, tindakan itu sama sekali bukan egois.
Tak jarang keegoisan seseorang membuat orang lain menjadi benci pada dirinya, bahkan tidak sedikit pula yang memusuhinya. Ketika awal mula berteman, sifat keegoisannya belum kelihatan, tetapi setelah lama-kelamaan akhirnya tahu juga bahwa sang teman mempunyai sifat egois. Tentu yang dilakukan adalah menjaga jarak dari sang teman atau memilih tidak menjadi temannya lagi.
Coba kita bayangkan jika keegoisan tumbuh dalam sebuah keluarga. Biasanya, saat masih menjadi suami-istri baru, sifat egois tidak kelihatan, tetapi seiring berjalannya waktu akhirnya kelihatan juga. Jika tidak pintar dalam menyikapinya bisa dipastikan hubungannya tidak bertahan lama, dan berakhir dengan perceraian.
Nabi Pernah Egois
Semua manusia pernah egois, tetapi kadang secara sadar atau pun tidak sadar tidak merasa melakukannya. Menurut sebuah riwayat yang disampaikan oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari, demikian juga riwayat dari Ibnu Abi Hatim, yang diterima dari Ibnu Abbas : “Sedang Rasûlullâh menghadapi beberapa orang terkemuka Quraisy, yaitu Utbah bin Rabi’ah, Abu Jahal dan Abbas bin Abdul Muthalib dengan maksud memberi keterangan kepada mereka tentang hakikat Islam agar mereka sudi beriman. Pada waktu yang sama, masuklah seoranglaki -laki buta, yang dikenal namanya dengan Abdullah bin Ummi Maktum”.
Dia masuk ke dalam majelis dengan tangan meraba-raba. Sejenak Rasûlullâh terhenti bicara, Ibnu Ummi Maktum memohon kepada Nabi agar diajarkan padanya beberapa ayat al-Qur’an. Beliau merasa terganggu sebab sedang menghadapi pemuka-pemuka Quraisy, kelihatanlah wajah beliau masam menerima permintaan Ibnu Ummi Maktum, sehingga perkataannya itu seakan-akan tidak beliau dengarkan. Beliau terus juga menghadapi pemuka-pemuka Quraisy itu. Akhirnya Allâh menurunkan surat ‘Abasa yang artinya : Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, sebab telah datang seorang buta kepadanya, tahukah kalian barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa).... (Qs. ‘Abasa : 1-4)
Setelah ayat itu turun, sadarlah Rasûlullâh saw akan kekhilafannya itu. Lalu segera beliau hadapilah Ibnu Ummi Maktum dan beliau perkenankan apa yang ia minta. Ibnu Ummi Maktum pun menjadi seorang yang sangat disayangi oleh Rasûlullâh saw. Allâh swt begitu halus mengingatkan Rasûlullâh saat beliau sedikit saja melakukan kesalahan, sebab menurut Rasûlullâh melobi para pembesar Quraisy lebih penting dibandingkan dengan melayani Ibnu Ummi Maktum.
Tipe Egois
Sikap egois bisa kita temukan dimana pun, lebih tepatnya adalah dalam kehidupan kita sehari-hari. Salah satu ciri orang yang egois; Mendustakan ayat-ayat Allâh, ingin menang sendiri, suka mengatur tapi tidak mau diatur, dan keras kepala.
Pertama, mendustakan ayat-ayat Allâh swt. Dalam hal ini cakupannya sangat luas sekali. Orang kafir bisa dikategorikan orang yang egois, sebab mereka enggan memeluk islam. Padahal agama Islam adalah agama penyempurna bagi agama sebelumnya. Sehingga jelaslah bahwa mereka adalah orang-orang yang bisa dikatakan orang yang super egois.
Orang yang mengaku muslim (orang Islam) tetapi tidak melaksanakan perintah-perintah Allâh maka termasuk ke dalam orang-orang egois. Misalnya saja tidak melaksanakan sholat lima waktu, dan amalan-amalan yang lain yang Allâh perintahkan, serta tidak meninggalkan apa yang Allâh larang, misalnya mabuk-mabukan, berfoya-foya, dan lain sebagainya.
Pengertian egois yang dimaksud di sini, yaitu mereka egois pada dirinya sendiri dan seolah tidak peduli dengan pahala dan ancaman Allâh swt. Padahal akibat ke-egois-an merekalah Allâh swt memberikan sebuah peringatan melalui tentara-tentaranya. Misalnya saja Allâh mengirimkan tentara air, tanah, angin, dan sebagainya. Sehingga timbullah banjir, angin puting beliung, longsor, gempa bumi dan lainnya.
Kedua, ingin menang sendiri. Menang dan kalah dalam sebuah pertandingan adalah hal yang lumrah. Menjadi bermasalah saat ada orang yang ingin menang sendiri, tidak mau kalah. Untuk apa menang kalau tidak sportif, menang seperti ini sama saja kalah. Tentu, kemenangan sesungguhnya adalah menang yang diperoleh dengan secara sportif, tentu cara seperti ini lebih terhormat. Akibat sifatnya inilah biasanya seseorang dijauhi serta di musuhi teman-temannya.
Orang yang ingin menang sendiri biasanya tidak peduli dengan apa yang ia lakukan, walaupun itu sebetulnya salah. Untuk itu berhati-hatilah bila mempunyai teman yang seperti ini. Sedini mungkin untuk diingatkan sebelum hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Jika bukan anda sebagai sahabatnya, maka siapa lagi.
Ketiga, suka mengatur tapi tidak mau diatur. Seorang pemimpin dituntut untuk mampu memimpin bawahannya. Tetapi masa menjadi seorang pemimpin itu ada batas dan jangka waktunya. Ketika menjadi seorang pemimpin ia bisa mengatur anggotanya seperti apa yang diinginkan. Tetapi saat masa jabatannya habis, ia kembali menjadi anggota, maka harus siap diatur pemimpin yang baru. Sama seperti dirinya mengatur saat menjadi pimpinan.
Saat ini, banyak sekali kita temukan orang-orang yang siap memimpin tetapi tidak siap dipimpin. Ketika ia sudah tidak lagi memegang jabatan sebagai pemimpin, ia memilih keluar. Inilah potret yang saat ini terjadi dan sudah membudaya. Akhirnya bermusuhan dan saling menjatuhkan satu sama lain, sehingga perseteruan ini tanpa akhir alias jadi “musuh bebuyutan”.
Keempat, keras kepala. Keras kepala identik dengan sebutan kepala batu, artinya isi kepalanya sangat keras sehingga sangat sulit untuk dihancurkan. Orang berkepala batu yaitu orang yang tidak bisa menerima masukan dari orang lain. Orang yang berkepala batu biasanya berpasangan dengan muka tembok dan keras hati. Jika tiga unsur ini sudah menyatu, maka sangat sulit untuk mengubahnya apa lagi untuk diingatkan.
Orang yang keras kepala pada masa Nabi Musa as adalah Fir’aun, dan akhirnya Allâh swt tenggelamkan Fir’aun dan tentaranya di tengah lautan. Tak hanya itu, pada masa Nabi Nuh as. umatnya juga sangat keras kepala. Sehingga Allâh swt mengirimkan banjir bandang yang sangat dahsyat, sehingga tidak ada yang selamat dari umatnya Nabi Nuh walaupun pun mereka lari ke atas gunung. Kecuali yang ikut naik kapal dengan Nabi Nuh as mereka selamat.
Cara menghilangkan sifat egois dalam Islam
Pribadi egois adalah pribadi yang melihat segala sesuatu dari kacamatanya. Dia tidak bisa memahami pikiran orang, perasaan orang, dan selalu menuntut orang untuk mengikuti pendapatnya. Pribadi egois juga pribadi yang mementingkan dirinya sendiri, ia tidak bisa mempertimbangkan kebutuhan orang, senantiasa mengedepankan kebutuhannya di atas kebutuhan orang lain.
Dapat disimpulkan bahwa pribadi yang egois adalah pribadi yang susah sekali untuk tulus, sebab ujung-ujungnya untuk kepentingannya sendiri.
Ada beberapa tips untuk menghilangkan sifat egois:
- Selalu berpikiran baik (husnudzhon) pada orang lain, jangan biarkan pikiran negatif masuk kepikiranmu.
- Jangan suka membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain.
- Kembangkan empati kita pada orang lain.
- Kembangkan sikap melayani dan mendahulukan kepentingan orang lain.
- Perbanyaklah senyum, ingat selalu bahwa senyum itu ibadah.
Sekali lagi, semua kembali ke diri kita masing-masing. Dan jangan lupa berdo’a kepada Allah agar hati kita dapat di kontrol dan kita selalu diberikan hidayah-Nya. Karena hanya Allah yang dapat membolak-balikkan perasaan manusia.
Penutup
Egois adalah sifat yang tumbuh alami dari dalam diri manusia. Karena saking alaminya, sampai manusia tidak menyadari kehadiran sifat egois itu sendiri. Sampai sekarang pun belum ada obat yang bisa menghilangkan sifat egois dari dalam diri manusia. Obat yang dicari adalah bukan obat berbentuk kapsul atau tablet, bukan pula berbentuk sirup yang diberikan oleh sang dokter.
Rasûlullâh SAW bersabda : "Kita baru kembali dari satu peperangan yang kecil untuk memasuki peperangan yang lebih besar...’, yang membuat para Sahabat terkejut dan bertanya, "Peperangan apakah itu wahai Rasûlullâh ?"Rasûlullâh berkata, "Peperangan melawan hawa nafsu." (Riwayat Al Baihaqi)
Perang melawan hawan nafsu adalah perang yang sesungguhnya. Filsafat kuno juga menyebutkan, musuh terbesar adalah diri sendiri. Karena dalam diri manusia terdapat sifat-sifat buruk. Amarah, dendam, iri, dan benci adalah contoh sifat manusia buruk. Begitu juga dengan egois. Untuk itu, melawan musuh yang ada dalam diri sendiri sangat sulit.
Maka sebenarnya, saat ini secara tidak langsung kita sedang berperang melawan diri sendiri. Berperang melawan sifat sifat buruk yang timbul secara alami di dalam diri kita. Mungkin hanya kebesaran iman kitalah yang mampu melawan itu semua. Hanya imanlah yang mampu menjadi obat penawarnya untuk melawan egois itu. Abu Bakar Al-Warraq berkata :“Jika hawa nafsu mendominasi, maka hati akan menjadi kelam, Jika hati menjadi kelam, maka akan menyesakkan dada. Jika dada menjadi sesak, maka akhlaknya menjadi rusak. Jika akhlaknya, maka masyarakat akan membencinya dan iapun membenci mereka”.
Dengan mengedepankan iman, tentu sifat-sifat egois yang terdapat dalam diri kita akan bisa diredam. Bantuan Allâh swt lah yang menjadi tumpuan terakhir agar kita terbebas dari sifat-sifat buruk itu, dan selalu dalam bimbingan-NYA. Semoga kita termasuk kedalam hamba-hamba yang mendapat perlindungan Allâh swt. Amîn
Sumber :
http://pesantren.uii.ac.id
https://hidayah18.wordpress.com