Asal-Usul Bedug Dalam Kebudayaan Islam
Thursday, April 19, 2012
Edit
Di Indonesia bedug telah menjadi budaya yang dianggap berasal dari Islam. Seperti halnya sarung yang menjadi salah satu identitas bagi kaum muslim. Namun pernahkah kita berpikir bersama-sama dari manakah asa-muasal bedug itu? Untuk sedikit mengorek persoalan ini berikut ini yaitu sepenggal goresan pena yang diambil dari Majalah Gontor edisi 11 Tahun 2008.
Mungkin hanya di Indonesia bedug bisa memasuki relung kehidupan umat Islam. Walau entah dari mana tiba dan masuknya budaya itu ke tengah kehidupan Umat Islam Indonesia, namun bedug telah menjadi salah satu simbol budaya sendiri.
Goenawan Mohammad dalam Catatan Pinggirnya menyatakan bahwa bedug berasal dari Cina. Informasi ini ia sanggup dari seorang guru besar etnomusikologi Amerika, Charles Capwell. Menurut Capwell, di zaman Hindu dan Budha instrumen itu tidak pernah disebut. Kemungkinan gres muncul selepas Cheng Ho dan pasukannya ketika menjadi utusan Maharaja Ming ke Jawa. Dialah yang memperkenalkan bedug ketika memberi tanda berbaris kepada para tentaranya.
Terlepas dari validitas sumber ini, pada pada dasarnya bedug yaitu budaya lokal yang telah membumi menjadi budaya Islam Indonesia. Di situlah terlihat terjadinya akulturasi timbal balik antara Islam dan Budaya Lokal. Dalam tradisi Islam, akulturasi yaitu sesuatu yang sah, tergambar dalam kaidah Ushuliyah :"al-'aadah muhakkamah" (Kebiasaaan sanggup menjadi patokan hukum). Dan kaidah lainnya: "al-Tsabit bil 'urfi kats-tasbit bidaliilisyar'i" (Perkara yang ditetapkan oleh Urf(tradisi) sama menyerupai yang ditetapkan oleh syar'i).
Walau pada masa kemudian bedug perlu ditoleransi untuk menjadi bab dari Islam, namun pada konteks kekinian, kegunaan dan penggunaan bedug bukan hanya untuk memberitahu masuknya waktu shalat, tetapi juga telah merambah pada hal-hal negatif.
Di Banten sanggup ditemui seni tari bedug yang biasanya dilakukan di depan Masjid Agung Banten yang ditabuh oleh gadis-gadis. Kini juga marak konser bedug yang disponsori oleh pabrik rokok. Bahkan dalam kesempatan lain, bedug dijadikan sebagai ajang unjuk kegaduhan dan keramaian.
Lihatlah ketika bulan Ramadhan atau menjelang dan sesudah Hari Raya. Atas nama syiar Islam, bedug ditabuh bertalu-talu, sekalipun sangat menggangu tetangga sekitar. Di sinilah perlunya telaah kembali semoga bedug sanggup diletakan secara proporsional sebagai sebuah budaya lokal yang arif.
(Gontor | Shafar 1429/Maret 2008 | hal. 69)