Memerah Asi Dan Aturan Menyusui (Radha'ah)

ASI (air susu ibu) merupakan makanan terbaik bagi bayi. Semua orang sudah tahu manfaat ASI bagi pertumbuhan bayi. Hal ini menciptakan animo gres di kalangan ibu-ibu muda yang sibuk bekerja, "Memerah" ASI nya untuk anaknya. Memang "memerah" ASI untuk diminumkan pada bayi kandungnya sendiri tidak menjadi problem dalam aturan Islam. 

Namun, ada info yang menyampaikan adanya Ibu bayi yang berlebih ASI nya sehingga, alhasil ASI "perahan" tersebut diminumkan kepada bayi yang bukan anak kandungnya. Hal inilah yang mengakibatkan problem dalam aturan Islam yang perlu kita ketahui bersama.

Dalam hukum Islam (Fikih), bayi-bayi yang meminum ASI dari satu Ibu maka akan menjadi saudara sepersusuan. Dengan menjadi saudara sesusuan ini, maka timbul aturan bagi si bayi.

Jika bayi-bayi yang sama-sama minum ASI dari seorang ibu itu, pria dan perempuan, maka antara keduanya tidak diperbolehkan menikah. Mari kita simak klarifikasi dalam fikih perihal problem menyusui (Radha'ah) ,atau dalam kala kontemporer lebih khusus dibahas dalam problem Donor ASI, berikut ini. 

Hukum Ar-Radha'ah - Menyusui

Secara etimologis, ar-radhâ’ah atau ar-ridhâ’ah ialah sebuah istilah bagi isapan susu, baik isapan susu insan maupun susu binatang.  Dalam pengertian etimologis tidak dipersyaratkan bahwa yang disusui itu [ar-radhî’] berupa anak kecil [bayi] atau bukan.

Adapun dalam pengertian terminologis, sebagian ulama fiqh mendefinisikan ar-radhâ’ah (dibaca:rozdongah) sebagai berikut:

“Sampainya [masuknya] air susu insan [perempuan] ke dalam perut seorang anak [bayi] yang belum berusia dua tahun, 24 bulan.”

Mencermati pengertian ini, ada tiga unsur batasan untuk sanggup disebut ar-radhâ’ah asy-syar’iyyah  [persusuan yang berlandaskan adat Islam]. Yaitu,

Pertama, adanya air susu insan [labanu adamiyyatin].   Kedua,  air susu itu masuk ke dalam perut seorang bayi [wushûluhu ilâ jawfi thiflin].  Dan ketiga, bayi tersebut belum berusia dua tahun [dûna al-hawlayni].

Dengan demikian, rukun ar-radhâ’ah asy-syar’iyyah ada tiga unsur:

pertama, anak yang menyusu [ar-radhî’];  kedua, wanita yang menyusui [al-murdhi’ah]; dan ketiga, kadar air susu [miqdâr al-laban] yang memenuhi batas minimal.

Suatu kasus [qadhiyyah] sanggup disebut ar-radhâ’ah asy-syar’iyyah, dan karenanya mengandung konsekuensi-konsekuensi aturan yang harus berlaku, apabila tiga unsur ini sanggup ditemukan padanya.  Apabila salah satu unsur saja tidak ditemukan, maka arradhâ’ah dalam kasus itu tidak sanggup disebut ar-radhâ’ah asy-syar’iyyah, yang karenanya konsekuensi-konsekuensi aturan syara’ tidak berlaku padanya.

Adapun wanita yang menyusui itu disepakati oleh para ulama [mujma’ ‘alayh] sanggup wanita yang sudah baligh atau juga belum, sudah menopause atau juga belum, gadis atau sudah nikah, hamil atau tidak hamil.  Semua air susu mereka bisa menyebabkan  ar-radhâ’ah asy-syar’iyyah,  yang berimplikasi pada kemahraman bagi anak yang disusuinya.

Itulah klarifikasi sedikit perihal aturan menyusui (Radha'ah), namun di kala kontemporer ini ada perbedaan pendapat mengenai problem ini. Untuk mengetahuinya silahkan baca sebuah posting dari blog lain yang membahas problem "Hukum Bank ASI". selain itu Anda perlu juga untuk mencari informasi lainnya mengenai problem Hukum Donor ASI atau Bank ASI tersebut.

NB: Mohon kepada pengunjung untuk berkenan men-share informasi ini kepada orang lain, alasannya ialah hal ini sangat penting kaitanya dengan siapa yang haram dinikahi.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel