Pengalaman Sufi Nabi Muhammad Saw
Friday, April 21, 2017
Edit
Dalam sejarah Islam, Muhammad Saw. dikenal sebagai pioner yang mempunyai tugas terpenting dalam proses tumbuh dan berkembangnya khazanah sufisme Islam dari satu generasi ke generasi yang lain. Kaum zuhad atau kaum sufi semenjak masa permulaan Islam dalam menjalani kegiatan sufistik mereka selalu merujuk pada Muhammad Saw sebagai mursyid tertinggi dalam Islam. Bahkan, kaum sufi sendiri menganggap Nabi Muhammad Saw. sebagai sosok insan tepat (al-insan al-kamil) sekaligus mursyid tertinggi yang harus dijadikan teladan (uswah hasanah) dalam perjalanan suϐistik mereka menuju kepada Yang Haq (Allah). Itulah sebabnya, dalam goresan pena ini penulis tertarik memaparkan kajian seputar pengalaman sufistik Muhammad Saw. dengan bermacam-macam macamnya itu dengan pendekatan normative-historis.
Keparipurnaannya sebagai seorang nabi telah tercermin melalui beberapa sifat luhur dan keistimewaan spiritual yang terhimpun dalam dirinya.
Pertama, kehormatan nasabnya dari suku Quraisy yang merupakan keturunan dari Isma’il ibn Ibrahim, tanda kenabian yang terdapat di antara kedua pundaknya, penampakan wajah, dan bentuknya yang memancarkan sinar kejujuran dan kenabiannya.
Kedua, sifat dan akhlaknya yang terpuji; menyerupai sifat kasih sayang, sabar, rendah hati, dan jujur.
Ketiga, tanda-tanda kenabian dan pengalaman sufistik tertinggi yang telah dialirkan oleh Allah Swt kepadanya, menyerupai benda-benda padat sanggup berbicara kepadanya, sanggup menambah makanan dan minuman, membelah bulan; dan yang paling agung dan infinit ialah memperoleh wahyu serta menjalani mi’raj untuk bertemu dan berdialog dengan Allah Swt.
Keempat, doanya dikabulkan setiap kali Nabi memohon untuk seseorang atau umatnya.
a. Pengalaman Khalwat di Gua Hira
Mendekati usia 40 tahun, mulailah tumbuh pada diri Muhammad Saw kecenderungan untuk melaksanakan uzlah (menjauhi pergaulan masyarakat ramai). Uzlah yang dilakukan Muhammad Saw menjelang dinobatkan sebagai rasul ini mempunyai makna dan mengandung pelajaran yang sangat besar dalam kehidupan yakni mencicipi pengawasan Tuhan dan merenungkan fenomena-fenomena atau tanda-tanda alam semesta yang menjadi bukti keagungan-Nya.
Dari kegiatan uzlah ini, sanggup diambil suatu pelajaran bahwa setiap jiwa insan mempunyai sejumlah penyakit yang tidak sanggup dibersihkan kecuali dengan cara uzlah. Sifat sombong, ujub, hasud, riya, dan cinta dunia merupakan penyakit yang sanggup menguasai jiwa, merusak hati nurani, sekalipun secara lahiriah seseorang terlihat melaksanakan amal-amal saleh. Di samping itu, dengan khalwat seseorang sanggup hingga pada mahabbah (mencintai) kepada Allah Swt. Tafakkur, perenungan, banyak mengingat keagungan Allah Swt, nampaknya sanggup diwujudkan melalui cara khalwat. Khalwat ini sekaligus menjadi sarana untuk membuat dorongan-dorongan spiritual di dalam hati; menyerupai rasa takut, cinta, dan penuh harap, yang sanggup menjadi motivasi besar lengan berkuasa dalam keimanan maupun keIslaman seseorang. Tetapi khalwat di sini bukan dipahami sebagai tindakan meninggalkan sama sekali pergaulan sesama insan dengan hidup secara terasing. Karena khalwat yang dilakukan Muhammad saw bersifat temporer, berdasarkan kadar tertentu, dan sebagai pencarian obat untuk memperbaiki keadaan.
b. Kebenaran Mimpi Nabi saw (ar ru’ya as sadiqah)
Mimpi yang benar juga dipandang oleh Nabi Muhammad Saw sebagai suatu insiden yang sanggup terjadi pada insan muslim pada umumnya. Bahkan, nabi Muhammad Saw sendiri memandang mimpi yang benar merupakan cuilan dari empat puluh juz kenabian. Sekaligus sebagai nikmat dari Allah Swt. kepada orang muslim yang menerimanya dan juga pengganti dari sifat kenabian yang telah dicabut sehabis Nabi Muhammad Saw.
Pengalaman sufistik ini sama halnya dengan pengalaman mimpi yang dialami Nabi Ibrahim ketika ia mendapat perintah dari Allah Swt. untuk mengorbankan putranya, Ismail. Pengalaman sufistik ini merupakan fenomena umum yang terjadi di kalangan para nabi terdahulu semoga hatinya damai sebagai persiapan mental untuk mengalami pewahyuan dalam kondisi sadar.
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Nabi menuturkan sebuah mimpi kepada pamannya. Nabi berkata, “Wahai paman, orang (malaikat) yang telah saya tuturkan kemarin kepadamu memasukkan tangannya ke dalam perutku sehingga saya mencicipi hawa dinginnya”.
Ibn Umar meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad Saw pernah bercerita, “Suatu dikala saya sedang tidur, tiba-tiba saya diberi satu gelas air susu, kemudian saya meminum sebagiannya, dan sisanya saya berikan kepada Umar ibn Khaththab”. Para sahabat kemudian bertanya, “Apakah yang kau tafsirkan wahai Rasul?” Nabi menjawab, “ilmu”.
c. Masalah Wahyu yang Turun Kepada Nabi Saw.
Nabi Muhammad Saw, dalam konteks ini, telah mengalami pengalaman pewahyuan dari Allah Swt. melalui dua bentuk; eksklusif dari Allah Swt dan melalui mediator malaikat Jibril. Pada cara yang pertama, Nabi Saw memperoleh pengalaman pewahyuan itu dari Tuhan secara langsung, tidak melalui malaikat Jibril, di antaranya mimpi yang benar di waktu tidur. Bentuk lain dari penyampaian wahyu model ini ialah kalam Allah Swt. yang diterima dari balik hijab tanpa melalui mediator dan dalam keadaan terjaga. Wahyu model ini, berdasarkan ulama Islam, terjadi pada Nabi Muhammad Saw di malam Isra’-Mi’raj.
Contoh wahyu Allah Swt. yang diturunkan melalui malaikat Jibril tatkala Nabi sedang bertahanuth di gua Hira dan memperoleh wahyu Al-Qur'an yang pertama kali. Dalam pengalaman sufistik itu, ia melihat Malaikat Jibril tampil menutupi keluasan cakrawala. Pengalaman sufistik ini sanggup dilihat dan didengar. Malaikat itu memerintahkan Muhammad Saw untuk melafalkan iqra’ yang dalam bahasa Arab ialah bentuk kalimat perintah dari kata kerja qara’a yang artinya “membaca” (untuk meneliti). Oleh lantaran itu, cuilan pertama (surah) dari Al-Qur'an ialah Al-Alaq ayat 1-5 diwahyukan kepada umat manusia.
Selama dua puluh tiga tahun hingga meninggal, kapan saja wahyu tiba Nabi selalu mencicipi tekanan yang berat. Beliau akan berkeringat andal dan andaikan dia sedang naik unta atau naik kuda, maka hewan-hewan itu akan terbungkuk di bawah tekanan firman yang turun dari atas. Nabi Muhammad Saw pernah berkata, “Aku tidak pernah mendapatkan wahyu dalam kesadaran yang lengkap dengan rohku lantaran ia sedang dihilangkan dariku”.
d. Pengalaman Isra’ Mi’raj
Pengalaman spiritual penting itu ialah perjalanan Nabi Saw pada malam hari naik ke langit untuk menghadap kepada Allah SWT. Nabi Muhammad Saw secara mukjizat dibawa dari Mekah ke Jerussalem dan dari sana melaksanakan mi’râj atau naik ke seluruh tingkat hingga mencapai jagat yang paling ujung (sidrat-ul muntaha) bahkan jauh lagi di atas itu yaitu tiba pada hadirat Allah Swt, yang digambarkan sebagai lingkungan “berjarak dua busur panah”. Dalam perjalanan itu, ia menunggang kuda mistik; buraq dan didampingi oleh malaikat Jibril. Al-Qur'an mengungkapkan perjalanan malam ini dengan menyampaikan “Maha suci Allah SWT, yang membawa perjalanan hamba- Nya malam hari dari Masjid Al Haram ke Masjid Al Aqsha, yang Kami berkati sekitarnya untuk menunjukkan kepadanya beberapa tanda (kebesaran) Kami. Sungguh Dia itu Maha Mendengar, yang Maha Melihat.”
Pengalaman sufistik Nabi Muhammad Saw yang demikian penting dan terpusat pada kedalaman spiritual merupakan pola kualitas spiritual tertinggi dan teladan bagi kedalaman kehidupan beragama. “Malam kenaikan” disejawatkan dengan “malam kekuasaan”, lantaran Al-Qur'an juga diwahyukan pada cuilan penghujung simpulan bulan suci Ramadhan. Pengalaman isra’ mi’raj itu, secara sufistik merupakan pengalaman rohaniah tertinggi yang menunjukkan terpilihnya Muhammad Saw oleh Allah Swt untuk mushahadah dengan-Nya. Bagi para sufi, pengalaman itu merupakan pengalaman gaib paling agung dari Nabi Muhammad Saw.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan perihal pengalaman sufi Nabi Muhammad Saw. Sumber buku Siswa Akidah Akhlak Kelas XI MA Kementerian Agama Republik Indonesia, 2015. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.
Keparipurnaannya sebagai seorang nabi telah tercermin melalui beberapa sifat luhur dan keistimewaan spiritual yang terhimpun dalam dirinya.
Pertama, kehormatan nasabnya dari suku Quraisy yang merupakan keturunan dari Isma’il ibn Ibrahim, tanda kenabian yang terdapat di antara kedua pundaknya, penampakan wajah, dan bentuknya yang memancarkan sinar kejujuran dan kenabiannya.
Kedua, sifat dan akhlaknya yang terpuji; menyerupai sifat kasih sayang, sabar, rendah hati, dan jujur.
Ketiga, tanda-tanda kenabian dan pengalaman sufistik tertinggi yang telah dialirkan oleh Allah Swt kepadanya, menyerupai benda-benda padat sanggup berbicara kepadanya, sanggup menambah makanan dan minuman, membelah bulan; dan yang paling agung dan infinit ialah memperoleh wahyu serta menjalani mi’raj untuk bertemu dan berdialog dengan Allah Swt.
Keempat, doanya dikabulkan setiap kali Nabi memohon untuk seseorang atau umatnya.
a. Pengalaman Khalwat di Gua Hira
Mendekati usia 40 tahun, mulailah tumbuh pada diri Muhammad Saw kecenderungan untuk melaksanakan uzlah (menjauhi pergaulan masyarakat ramai). Uzlah yang dilakukan Muhammad Saw menjelang dinobatkan sebagai rasul ini mempunyai makna dan mengandung pelajaran yang sangat besar dalam kehidupan yakni mencicipi pengawasan Tuhan dan merenungkan fenomena-fenomena atau tanda-tanda alam semesta yang menjadi bukti keagungan-Nya.
Dari kegiatan uzlah ini, sanggup diambil suatu pelajaran bahwa setiap jiwa insan mempunyai sejumlah penyakit yang tidak sanggup dibersihkan kecuali dengan cara uzlah. Sifat sombong, ujub, hasud, riya, dan cinta dunia merupakan penyakit yang sanggup menguasai jiwa, merusak hati nurani, sekalipun secara lahiriah seseorang terlihat melaksanakan amal-amal saleh. Di samping itu, dengan khalwat seseorang sanggup hingga pada mahabbah (mencintai) kepada Allah Swt. Tafakkur, perenungan, banyak mengingat keagungan Allah Swt, nampaknya sanggup diwujudkan melalui cara khalwat. Khalwat ini sekaligus menjadi sarana untuk membuat dorongan-dorongan spiritual di dalam hati; menyerupai rasa takut, cinta, dan penuh harap, yang sanggup menjadi motivasi besar lengan berkuasa dalam keimanan maupun keIslaman seseorang. Tetapi khalwat di sini bukan dipahami sebagai tindakan meninggalkan sama sekali pergaulan sesama insan dengan hidup secara terasing. Karena khalwat yang dilakukan Muhammad saw bersifat temporer, berdasarkan kadar tertentu, dan sebagai pencarian obat untuk memperbaiki keadaan.
b. Kebenaran Mimpi Nabi saw (ar ru’ya as sadiqah)
Mimpi yang benar juga dipandang oleh Nabi Muhammad Saw sebagai suatu insiden yang sanggup terjadi pada insan muslim pada umumnya. Bahkan, nabi Muhammad Saw sendiri memandang mimpi yang benar merupakan cuilan dari empat puluh juz kenabian. Sekaligus sebagai nikmat dari Allah Swt. kepada orang muslim yang menerimanya dan juga pengganti dari sifat kenabian yang telah dicabut sehabis Nabi Muhammad Saw.
Pengalaman sufistik ini sama halnya dengan pengalaman mimpi yang dialami Nabi Ibrahim ketika ia mendapat perintah dari Allah Swt. untuk mengorbankan putranya, Ismail. Pengalaman sufistik ini merupakan fenomena umum yang terjadi di kalangan para nabi terdahulu semoga hatinya damai sebagai persiapan mental untuk mengalami pewahyuan dalam kondisi sadar.
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Nabi menuturkan sebuah mimpi kepada pamannya. Nabi berkata, “Wahai paman, orang (malaikat) yang telah saya tuturkan kemarin kepadamu memasukkan tangannya ke dalam perutku sehingga saya mencicipi hawa dinginnya”.
Ibn Umar meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad Saw pernah bercerita, “Suatu dikala saya sedang tidur, tiba-tiba saya diberi satu gelas air susu, kemudian saya meminum sebagiannya, dan sisanya saya berikan kepada Umar ibn Khaththab”. Para sahabat kemudian bertanya, “Apakah yang kau tafsirkan wahai Rasul?” Nabi menjawab, “ilmu”.
c. Masalah Wahyu yang Turun Kepada Nabi Saw.
Nabi Muhammad Saw, dalam konteks ini, telah mengalami pengalaman pewahyuan dari Allah Swt. melalui dua bentuk; eksklusif dari Allah Swt dan melalui mediator malaikat Jibril. Pada cara yang pertama, Nabi Saw memperoleh pengalaman pewahyuan itu dari Tuhan secara langsung, tidak melalui malaikat Jibril, di antaranya mimpi yang benar di waktu tidur. Bentuk lain dari penyampaian wahyu model ini ialah kalam Allah Swt. yang diterima dari balik hijab tanpa melalui mediator dan dalam keadaan terjaga. Wahyu model ini, berdasarkan ulama Islam, terjadi pada Nabi Muhammad Saw di malam Isra’-Mi’raj.
Contoh wahyu Allah Swt. yang diturunkan melalui malaikat Jibril tatkala Nabi sedang bertahanuth di gua Hira dan memperoleh wahyu Al-Qur'an yang pertama kali. Dalam pengalaman sufistik itu, ia melihat Malaikat Jibril tampil menutupi keluasan cakrawala. Pengalaman sufistik ini sanggup dilihat dan didengar. Malaikat itu memerintahkan Muhammad Saw untuk melafalkan iqra’ yang dalam bahasa Arab ialah bentuk kalimat perintah dari kata kerja qara’a yang artinya “membaca” (untuk meneliti). Oleh lantaran itu, cuilan pertama (surah) dari Al-Qur'an ialah Al-Alaq ayat 1-5 diwahyukan kepada umat manusia.
Selama dua puluh tiga tahun hingga meninggal, kapan saja wahyu tiba Nabi selalu mencicipi tekanan yang berat. Beliau akan berkeringat andal dan andaikan dia sedang naik unta atau naik kuda, maka hewan-hewan itu akan terbungkuk di bawah tekanan firman yang turun dari atas. Nabi Muhammad Saw pernah berkata, “Aku tidak pernah mendapatkan wahyu dalam kesadaran yang lengkap dengan rohku lantaran ia sedang dihilangkan dariku”.
d. Pengalaman Isra’ Mi’raj
Pengalaman spiritual penting itu ialah perjalanan Nabi Saw pada malam hari naik ke langit untuk menghadap kepada Allah SWT. Nabi Muhammad Saw secara mukjizat dibawa dari Mekah ke Jerussalem dan dari sana melaksanakan mi’râj atau naik ke seluruh tingkat hingga mencapai jagat yang paling ujung (sidrat-ul muntaha) bahkan jauh lagi di atas itu yaitu tiba pada hadirat Allah Swt, yang digambarkan sebagai lingkungan “berjarak dua busur panah”. Dalam perjalanan itu, ia menunggang kuda mistik; buraq dan didampingi oleh malaikat Jibril. Al-Qur'an mengungkapkan perjalanan malam ini dengan menyampaikan “Maha suci Allah SWT, yang membawa perjalanan hamba- Nya malam hari dari Masjid Al Haram ke Masjid Al Aqsha, yang Kami berkati sekitarnya untuk menunjukkan kepadanya beberapa tanda (kebesaran) Kami. Sungguh Dia itu Maha Mendengar, yang Maha Melihat.”
Pengalaman sufistik Nabi Muhammad Saw yang demikian penting dan terpusat pada kedalaman spiritual merupakan pola kualitas spiritual tertinggi dan teladan bagi kedalaman kehidupan beragama. “Malam kenaikan” disejawatkan dengan “malam kekuasaan”, lantaran Al-Qur'an juga diwahyukan pada cuilan penghujung simpulan bulan suci Ramadhan. Pengalaman isra’ mi’raj itu, secara sufistik merupakan pengalaman rohaniah tertinggi yang menunjukkan terpilihnya Muhammad Saw oleh Allah Swt untuk mushahadah dengan-Nya. Bagi para sufi, pengalaman itu merupakan pengalaman gaib paling agung dari Nabi Muhammad Saw.