Pengalaman Sufi Sahabat Nabi Saw
Thursday, April 20, 2017
Edit
Abu Bakar r.a yaitu salah spesialis surga, Nabi Saw sendiri pernah memberi informasi bangga kepada dia ihwal kedudukan dia di dalam syurga. Bahkan diberitahu bahawa dia akan menjadi ketua kepada satu kumpulan andal syurga. Semua pintu nirwana akan menyeru dan memanggil nama beliau.
Banyak orang yang sudah biasa dengan suatu kepercayaan sudah tidak ragu lagi, sampai-sampai ia jadi fanatik dan kaku dengan kepercayaannya itu. Bahkan ada yang sudah tidak tahan lagi melihat muka orang yang berbeda kepercayaan. Mereka menganggap bahwa iman yang bahwasanya harus fanatik, keras, dan tegar.
Sebaliknya Abu Bakar, dengan keimanannya yang begitu agung dan begitu teguh, tak pernah ia goyah dan ragu, jauh dari perilaku kasar. Sikapnya lebih lunak, penuh pemaaf, penuh kasih bila iman itu sudah menerima kemenangan. Dengan begitu, dalam hatinya terpadu dua prinsip kemanusiaan yang paling mendasari: menyayangi kebenaran, dan penuh kasih sayang. Demi kebenaran itu segalanya bukan apa-apa baginya, terutama persoalan hidup duniawi. Apabila kebenaran itu sudah dijunjung tinggi, maka lahir pula rasa kasih sayang, dan ia akan berpegang teguh pada prinsip ini ibarat pada yang pertama. Terasa lemah ia menghadapi semua itu sehingga matanya berair oleh air mata yang deras mengalir.
Rabi’ah Aslami r.a menceritakan, ”Pernah sekali berlaku pertengkaran antara saya dengan Hazrat Abu Bakar r.a kerana sesuatu perkara. Beliau telah menyampaikan sesuatu yang bergairah terhadap saya yang saya tidak suka. Beliau segera menyedari keadaan itu dan berkata kepada saya, ”Engkau pun katakanlah perkataan itu kepada saya supaya menjadi akhir terhadap saya.
Demikian itulah sifat ketakutan Hazrat Abu Bakar r.a kepada Allah Swt. Beliau begitu risau dan mengambil berat ihwal satu perkataan yang remeh sehingga pada mulanya dia sendiri yang meminta supaya dibalasi dan kemudian dengan perantaraan Rasulullah Saw, dia ingin supaya Rabi’ah r.a mengambil tindakan balas.
b. Umar Bin Khattab
Suatu hari Amiril Mukminin Umar bin Khaththab r.a. dikirimi harta yang banyak. Beliau memanggil salah seorang pembatu yang berada di dekatnya. “Ambillah harta ini dan pergilah ke rumah Abu Ubaidah bin Jarrah, kemudian berikan uang tersebut. Setelah itu berhentilah sesaat di rumahnya untuk melihat apa yang ia lakukan dengan harta tersebut,” begitu perintah Umar kepadanya.
Rupanya Umar ingin melihat bagaimana Abu Ubaidah menggunakan hartanya. Ketika pembantu Umar hingga di rumah Abu Ubadah, ia berkata, “Amirul Mukminin mengirimkan harta ini untuk Anda, dan dia juga berpesan kepada Anda, ‘Silakan pergunakan harta ini untuk memenuhi kebutuhan hidup apa saja yang Anda kehendaki’.”
Abu Ubaidah berkata, “Semoga Allah mengaruniainya keselamatan dan kasih sayang. Semoga Allah membalasnya dengan pahala yang berlipat.”
Kemudian ia bangun dan memanggil hamba sahaya wanitanya. “Kemarilah. Bantu saya membagi-bagikan harta ini!.”
Lalu mereka mulai membagi-bagikan harta santunan Umar itu kepada para fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan dari kaum muslimin, hingga seluruh harta ini habis diinfakkan.
Pembantu Umar pun kembali pulang. Umar pun memberinya uang sebesar empat ratus dirham seraya berkata, “Berikan harta ini kepada Muadz bin Jabal!” Umar ingin melihat apa yang dilakukan Muadz dengan harta itu. Maka, berangkatlah si pembantu menuju rumah Muadz bin Jabal dan berhenti sesaat di rumahnya untuk melihat apa yang dilakukan Muadz terhadap harta tersebut.
Muadz memanggil hamba sahayanya. “Kemarilah, bantu saya membagi-bagikan harta ini!” Lalu Muadz pun membagi-bagikan hartanya kepada fakir miskin dan mereka yang membutuhkan dari kalangan kaum muslimin hingga harta itu habis sama sekali di bagi-bagikan. Ketika itu istri Muadz melihat dari dalam rumah, kemudian berkata, “Demi Allah, saya juga miskin.” Muadz berkata, “Ambillah dua dirham saja.”
Pembantu Umar pun pulang. Untuk ketiga kalinya Umar memberi empat ribu dirham, kemudian berkata, “Pergilah ke daerah Saad bin Abi Waqqash!” Ternyata Saad pun melaksanakan apa yang dilakukan oleh dua sobat sebelumnya. Pulanglah sang pembantu kepada Umar. Kemudian Umar menangis dan berkata, “Alhamdulillah, segala puji syukur bagi Allah.”
c. Utsman Bin Affan
Dalam kitab Al Thabaqat, Taj-ul Subki menceritakan bahwa ada seorang lakilaki bertamu kepada Utsman. Laki-laki tersebut gres saja bertemu dengan seorang perempuan di tengah jalan, kemudian ia menghayalkannya. Utsman berkata kepada pria itu, “Aku melihat ada bekas zina di matamu.”
Laki-laki itu bertanya, “Apakah wahyu masih diturunkan sehabis Rasulullah saw wafat?”
Utsman menjawab, “Tidak, ini yaitu firasat seorang mukmin.” Utsman r.a. menyampaikan hal tersebut untuk mendidik dan menegur pria itu semoga tidak mengulangi apa yang telah dilakukannya.
Selanjutnya Taj-ul Subki menjelaskan bahwa bila seseorang hatinya jernih, maka ia akan melihat dengan nur Allah Swt, sehingga ia sanggup mengetahui apakah yang dilihatnya itu kotor atau bersih. Maqam orang-orang ibarat itu berbeda-beda. Ada yang mengetahui bahwa yang dilihatnya itu kotor tetapi ia tidak mengetahui sebabnya. Ada yang maqamnya lebih tinggi lantaran mengetahui alasannya yaitu kotornya, ibarat Utsman r.a. Ketika ada seorang pria tiba kepadanya, Utsman sanggup melihat bahwa hati orang itu kotor dan mengetahui sebabnya yakni lantaran menghayalkan seorang perempuan.
Sekecil apa pun kemaksiatan akan menciptakan hati kotor sesuai kadar kemaksiatan itu. Kotoran itu sanggup dibersihkan dengan memohon ampun (istighfar) atau perbuatan-perbuatan lain yang sanggup menghilangkannya. Hal tersebut hanya diketahui oleh orang yang mempunyai mata batin yang tajam ibarat Utsman bin Affan, sehingga ia sanggup mengetahui kotoran hati meskipun kecil, lantaran menghayalkan seorang perempuan merupakan dosa yang paling ringan, Utsman sanggup melihat kotoran hati itu dan mengetahui sebabnya. Ini yaitu maqam paling tinggi di antara maqam maqam lainnya.
d. Ali Bin Abi Thalib
Ali bin Abi Thalib ra, selain dalam kehidupan pribadinya, ia yaitu orang yang zuhud (sederhana dalam hidup), dia memandang bahwa zuhud bagi penguasa merupakan sesuatu yang penting dan wajib. Beliau berkata, “Allah menjadikanku sebagai imam dan pemimpin dan saya melihat perlunya saya hidup ibarat orang miskin dalam berpakian, makan, dan minum sehingga orang-orang miskin mengikuti kemiskinanku dan orang-orang kaya tidak berbuat yang berlebihan.”
Ali bin Abi Thalib menggunakan pakaian yang keras, yang dibelinya seharga lima dirham. Pakaian itu bertambal sehingga dikatakan, “Wahai Imam Ali! Pakaian apa yang engkau kenakan?” Beliau berkata, “Pakaian yang menjadi pola bagi Mukminin menjadi penyebab khusyuknya hati dan tawadhu’, memberikan insan kepada tujuan, merupakan syiar orang saleh, dan tidak menimbulkan kesombongan. Alangkah baiknya bila Muslimin mencontohnya.