Pengertian Al-Maqamat Dan Tingkatan Al-Maqamat (Tasawuf)

A. Pengertian Al-Maqamat
Definisi Al maqamat secara etimologis yaitu bentuk jamak dari kata maqam, yang berarti kedudukan spiritual (English : Station). Maqam arti dasarnya yaitu kawasan berdiri, dalam terminologi sufistik berarti kawasan atau martabat seseorang hamba di hadapan Allah Swt pada dikala dia bangkit menghadap kepada-Nya.

Menurut Al Qusyairi (w. 465 H) maqam yaitu tahapan budpekerti (etika) seorang hamba dalam rangka wushul (sampai) kepadaNya dengan banyak sekali upaya, diwujudkan dengan suatu tujuan pencarian dan ukuran tugas. Dalam pandangan Abu Nashr Al Sarraj (w. 378 H) yaitu kedudukan atau tingkatan seorang hamba dihadapan Allah Swt yang diperoleh melalui serangkaian dedikasi (‘ibadah), kesungguhan melawan hawa nafsu dan penyakit-penyakit hati (mujahadah), latihan-latihan spiritual (riyadhah) dan mengarahkan segenap jiwa raga semata-mata kepada Allah Swt.

B. Tingkatan Al-Maqamat
Imam Ghazali dalam kitab Ihya Ulumudin menciptakan sistematika maqamat dengan taubat, sabar, faqir, zuhud, tawakal, mahabah, ma’rifat dan ridha.

1) Taubah
Dalam fatwa tasawuf konsep taubat dikembangkan dan mempunyai banyak sekali macam pengertian. Secara literal taubat berarti kembali. Dalam perspektif tasawuf, taubat berarti kembali dari perbuatan-perbuatan yang menyimpang, berjanji untuk tidak mengulanginya lagi dan kembali kepada Allah Swt.

Menurut Abu Nashr Al Sarraj taubah terbagi pada beberapa bagian.
Pertama, taubatnya orang-orang yang berkehendak (muridin), muta’arridhin, thalibin dan qashidin

Kedua, taubatnya andal haqiqat (kaum khawwas).
Pada bab ini para andal haqiqat tidak ingat lagi akan dosa-dosa mereka alasannya keagungan Allah Swt telah memenuhi hati mereka dan mereka senantiasa berzikir kepadaNya.

Ketiga, taubat andal ma’rifat (khusus al-khusus). Adapun taubatnya andal ma’rifat yaitu berpaling dari segala sesuatu selain Allah Swt.

وَمَآ أُبَرِّئُ نَفْسِىٓ ۚ إِنَّ ٱلنَّفْسَ لَأَمَّارَةٌۢ بِٱلسُّوٓءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّىٓ ۚ إِنَّ رَبِّى غَفُورٌ رَّحِيمٌ

wamaa ubarri-u nafsii inna nnafsa la-ammaaratun bissuu-i illaa maa rahima rabbii inna rabbii ghafuurun rahiim

“ dan saya tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), alasannya Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (QS. Yusuf [12]: 53)

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ تُوبُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ تَوْبَةً نَّصُوحًا عَسَىٰ رَبُّكُمْ أَن يُكَفِّرَ عَنكُمْ سَيِّـَٔاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّٰتٍ

yaa ayyuhaa ladziina aamanuu tuubuu ilaa laahi tawbatan nashuuhan 'asaa rabbukum an yukaffira 'ankum sayyi-aatikum wayudkhilakum jannaatin

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah …” (QS. At Tahrim [66]: 8).

2). Wara’
Kata wara’ secara etimologi berarti menghindari atau menjauhkan diri. Dalam perspektif tasawuf bermakna menahan diri hal-hal yang sia-sia, yang haram dan hal-hal yang mencurigai (syubhat). Hal ini sejalan dengan hadis nabi, “Diantara (tanda) kebaikan ke-Islaman seseorang ialah meninggalkan sesuatu yang tidak penting baginya”.

Adapun 2 perkara yang wajib ditinggalkan dalam wara’ yaitu :

a) Meninggalkan apa yang dihentikan oleh Allah dan terkait dengan hati (kesesatan, bid’ah, kefanatikan dan berlebih-lebihan)

b) Meninggalkan segala sesuatu yang terkait dengan syubhat, yang dikhawatirkan akan jatuh pada keharaman, dan meninggalkan kelebihan meskupun berupa bab dari kehalalan.

2) Zuhud
Menurut Imam Ghazali, makna kata zuhud yaitu mengurangi impian kepada dunia dan menjauh darinya dengan penuh kesadaran. Menurut Abu Bakr Muhammad saw Al-Warraq (w. 290/903 M ) kata zuhud mengandung tiga hal yang mesti ditinggalkan yaitu abjad z berarti zinah (perhiasan atau kehormatan), abjad h berarti hawa (keinginan), dan d menunjuk kepada dunya (materi). Dalam perspektif tasawuf, zuhud diartikan dengan kebencian hati terhadap hal ihwal keduniaan padahal terdapat kesempatan untuk meraihnya hanya alasannya semata-mata taat dan mengharapkan ridha Allah SWT. Inti dari zuhd yaitu keteguhan jiwa, yaitu tidak merasa senang dengan kenikmatan dunia yang didapat, dan tidak bersedih dan frustasi atas kenikmatan dunia yang tidak didapat.

Menurut Syaikh Syihabuddin ada tiga jenis kezuhudan yaitu :
Pertama, Kezuhudan orang-orang awam dalam peringkat pertama.

Kedua, kezuhudan orang-orang khusus (kezuhudan dalam kezuhudan). Hal ini berarti berubahnya kegembiraan yang merupakan hasil daripada zuhud hanyalah kegembiraan akhirat, sehingga nafsunya benar-benar hanya dipenuhi dengan akhirat.

Ketiga, Kezuhudan orang-orang khusus dikalangan kaum khusus. Dalam peringkat ketiga ini yaitu kezuhudan bersama Allah Swt. Hal ini hanyalah dikhususkan bagi para Nabi dan insan suci. Mereka telah merasa fana’ sehingga kehendaknya yaitu kehendak Allah Swt.

Sedangkan berdasarkan Abu Nashr Al Sarraj ada tiga kelompok zuhud :
a) Kelompok pemula (mubtadiin), mereka yaitu orang-orang yang kosong tangannya dari harta milik, dan juga kosong kalbunya.

b) Kelompok para andal hakikat perihal zuhud (mutahaqqiqun fi Al zuhd). Kelompok ini dinyatakan sebagai orang-orang yang meninggalkan kesenangan-kesenangan jiwa dari apa-apa yang ada di dunia ini, baik itu berupa kebanggaan dan penghormatan dari manusia.

c) Kelompok yang mengetahui dan meyakini bahwa apapun yang ada di dunia ini yaitu halal bagi mereka, namun yakin bahwa harta milik tidak menciptakan mereka jauh dari Allah Swt dan tidak mengurangi sedikitpun kedudukan mereka, semuanya semata-mata alasannya Allah Swt.

 مَتَٰعُ ٱلدُّنْيَا قَلِيلٌ وَٱلْءَاخِرَةُ خَيْرٌ لِّمَنِ ٱتَّقَىٰ

 mataa'u ddunyaa qaliilun wal-aakhiratu khayrun limani ittaqaa

“… Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan alam abadi itu lebih baik untuk orangorang yang bertakwa…” (QS. An Nisa [4]: 77)

وَٱلَّذِينَ تَبَوَّءُو ٱلدَّارَ وَٱلْإِيمَٰنَ مِن قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِى صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِّمَّآ أُوتُوا۟ وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ۚ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِۦ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ

walladziina tabawwauu ddaara wal-iimaana min qablihim yuhibbuuna man haajara ilayhim walaa yajiduuna fii shuduurihim haajatan mimmaa uutuu wayu'tsiruuna 'alaa anfusihim walaw kaana bihim khasasatun waman yuuqa syuhha nafsihi faulaa-ika humu lmuflihuun

“…dan mereka (Anshor) tiada menaruh impian dalam hati mereka terhadap apaapa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orangorang muhajirin), atas diri mereka sendiri, Sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung”. (QS. Al Hasyr [59]: 9)

4). Al Shabr
Al Sabr secara etimologi berarti tabah hati. Dalam Mu’jam Maqayis Al Lughah disebutkan bahwa kata tabah mempunyai tiga arti yaitu menahan, sesuatu yang paling tinggi dan jenis bebatuan. Menurut terminologi yaitu menahan jiwa dari segala apa tidak disukai baik itu berupa kesenangan dan larangan untuk mendapatkan ridha Allah Swt. Dalam perspektif tasawuf Al shabr berarti menjaga menjaga budpekerti pada petaka yang menimpanya, selalu tabah dalam menjalankan perintah Allah Swt dan menjauhi segala laranganNya serta tabah menghadapi segala peristiwa. Sabar merupakan kunci sukses orang beriman. Sabar itu seperdua dari kepercayaan alasannya kepercayaan terdiri dari dua bagian. Setengahnya yaitu tabah dan setengahnya lagi syukur baik itu ketika baha gia maupun dalam keadaan susah. Makna Al Shabr berdasarkan andal sufi intinya sama yaitu perilaku menahan diri terhadap apa yang menimpanya.

Ibn ‘Ata’illah membagi tabah menjadi 3 macam sabar terhadap perkara haram, tabah terhadap kewajiban, dan tabah terhadap segala perencanaan (angan-angan) dan usaha. Sabar terhadap perkara haram yaitu tabah terhadap hak-hak manusia. Sabar terhadap kewajiban yaitu tabah terhadap kewajiban dan keharusan untuk menyembah kepada Allah Swt.

Segala sesuatu yang menjadi kewajiban ibadah kepada Allah Swt akan melahirkan bentuk tabah yang ketiga yaitu tabah yang menuntut saling untuk meninggalkan segala bentuk angan-angan kepada-Nya. Sabar bukanlah suatu maqam yang diperoleh melalui perjuangan insan sendiri. Namun, tabah yaitu suatu anugerah yang diberikan Allah Swt kepada salik dan orangorang yang dipilih-Nya. Maqam tabah itu dilandasi oleh keimanan yang tepat terhadap kepastian dan ketentuan Allah Swt, serta menanggalkan segala bentuk perencanaan (angan-angan) dan usaha.

وَٱصْبِرْ وَمَا صَبْرُكَ إِلَّا بِٱللَّهِ ۚ وَلَا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَلَا تَكُ فِى ضَيْقٍ مِّمَّا يَمْكُرُونَ

washbir wamaa shabruka illaa bilaahi walaa tahzan 'alayhim walaa taku fii dhayqin mimmaa yamkuruun

“bersabarlah (hai Muhammad SAW) dan Tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kau bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kau bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan.” (QS. An Nahl [16]: 127)

Untuk lebih jelasnya berikut diketengahkan teladan Shabr

a) Sabar dalam menghadapi sesuatu yang menyakitkan menyerupai musibah, bencana, atau kesusahan. Adapun misalnya apa yang terjadi pada nabi Ayyub, ia ditinggalkan oleh istri dan anak-anaknya tercinta meninggal dunia, kemudian ditambah lagi dengan harta bendanya yang melimpah habis alasannya tertimpa bencana.

b) Sabar dalam meninggalkan perbuatan maksiat. Adapun contohnya, sebagaimana yang terjadi pada nabi Yusuf, Allah SWT menguji kesabaran Yusuf dengan ujian yang lebih berat, yaitu rayuan Siti Zulaikha, seorang perempuan anggun lagi terpandang. Namun, dengan kesabaran dan keteguhan iman, Nabi Yusuf pun bisa melewati ujian ini dengan selamat. Padahal, dikala itu Yusuf pun menyukai Zulaikha, dan suasana pun sangat mendukung untuk melaksanakan maksiat.

c) Sabar dalam menjalankan ketaatan. Sedangkan teladan yang ketiga yaitu kesabaran yang di miliki oleh nabi Ibrahim dan anaknya Ismail, ia berdua dengan tetap tabah dan taat atas perintah Allah Swt, meskipun dikala itu sang ayah akan menyembelih anaknya sendiri. Inilah bukti kesabaran dalam menjalani ketaatan atas perintah-Nya.

5). Syukur
Syukur secara terminology berasal dari kata bahasa Arab, syakara yang berarti membuka segala nikmat, yakni citra dalam benak tetang nikmat dan menampakkannya ke permukaan. Syukur berarti rasa terima kasih atas nikmat yang telah diberikan, sembari memakai nikmat tersebut di jalan yang diridhai Allah SWT. Syukur tersusun dari ilmu, hal, dan amal perbuatan. Ilmu berarti mengetahui nikmat yang diberikan dan pemberi nikmat. Hal berarti gembira atas nikmat yang telah diberikan.

Syukur dalam pandangan Ibn ‘Ata’illah terbagi menjadi 3 macam;

Pertama syukur dengan lisan, yaitu mengungkapkan secara lisan, menceritakan nikmat yang didapat.

Kedua, syukur dengan anggota tubuh, yaitu shukur yang diimplementasikan dalam bentuk ketaatan.

Ketiga, syukur dengan hati, yaitu dengan mengakui bahwa hanya Allah Swt Sang Pemberi Nikmat, segala bentuk kenikmatan yang diperoleh dari insan semata-mata dari-Nya.

Dengan logika ini insan sanggup berpikir, berangan-angan, dan berkehendak. Sehingga insan mempunyai potensi untuk mengangan-angankan dan menginginkan suatu bentuk kenikmatan yang akan diberikan oleh Allah Swt. Hal inilah yang harus ditiadakan dalam pengejawantahan syukur.

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِى لَشَدِيدٌ

wa-idz ta-adzdzana rabbukum la-in syakartum la-aziidannakum wala-in kafartum inna 'adzaabii lasyadiid

“dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; «Sesungguhnya jikalau kau bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jikalau kau mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih».(QS. Ibrahim : 7)

6). Tawakkal
Tawakkal bermakna berserah diri. Tawakkal dalam tasawuf dijadikan washilah untuk memalingkan dan menyucikan hati insan biar tidak terikat dan tidak ingin dan memikirkan keduniaan serta apa saja selain Allah Swt. Pada dasarnya makna atau konsep tawakkal dalam dunia tasawuf berbeda dengan konsep agama. Tawakkal berdasarkan para sufi bersifat fatalis/majbur yakni menggantungkan segala sesuatu pada takdir dan kehendak Allah Swt. Syekh Abdul Qadir Jailany menyebut dalam kitabnya bahwa semua yang menjadi ketentuan Tuhan tepat adanya, sungguh tidak berakhlak seorang jikalau ia meminta lebih dari yang telah ditentukan Allah Swt.

 وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّهُۥ مَخْرَجًا
وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ۚ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُۥٓ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ بَٰلِغُ أَمْرِهِۦ ۚ قَدْ جَعَلَ ٱللَّهُ لِكُلِّ شَىْءٍ قَدْرًا

“… Barangsiapa bertakwa kepada Allah pasti Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah pasti Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah Mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS. At Thalaaq [65]: 2-3)

قُل لَّن يُصِيبَنَآ إِلَّا مَا كَتَبَ ٱللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلَىٰنَا ۚ وَعَلَى ٱللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ ٱلْمُؤْمِنُونَ

qul lan yushiibanaa illaa maa kataba laahu lanaa huwa mawlaanaa wa'alaa laahi falyatawakkali lmu'minuun

“ Katakanlah: «Sekali-kali tidak akan menimpa Kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah pelindung Kami, dan hanya kepada Allah orangorang yang beriman harus bertawakal.» (QS. At Taubah [9]: 51)

7). Ridha
Ridha berarti sebuah perilaku mendapatkan dengan tulus dan senang terhadap apapun keputusan Allah Swt kepada seorang hamba, meskipun hal tersebut menyenangkan atau tidak. Sikap ridha merupakan buah dari kesungguhan seseorang dalam menahan hawa nafsunya.

Imam Ghazali menyampaikan bahwa hakikat ridha yaitu tatkala hati senantiasa dalam keadaan sibuk mengingatnya. Berdasarkan pernyataan tersebut sanggup dipahami bahwa seluruh kegiatan kehidupan insan hendaknya selalu berada dalam kerangka mencari keridhaan Allah Swt.

Orang yang ridha terhadap ketentuan dan kepastian Allah Swt, dia akan menimbulkan Allah Swt sebagai penuntun dalam segala urusannya, dia akan berpegang teguh kepadaNya, dan yakin bahwa Dia akan memilih yang terbaik bagi dirinya.

قَالَ ٱللَّهُ هَٰذَا يَوْمُ يَنفَعُ ٱلصَّٰدِقِينَ صِدْقُهُمْ ۚ لَهُمْ جَنَّٰتٌ تَجْرِى مِن تَحْتِهَا ٱلْأَنْهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَآ أَبَدًا ۚ رَّضِىَ ٱللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا۟ عَنْهُ ۚ ذَٰلِكَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ

qaala laahu haadzaa yawmu yanfa'u shshaadiqiina shidquhum lahum jannaatun tajrii min tahtihaa l-anhaaru khaalidiina fiihaa abadan radhiya laahu 'anhum waradhuu 'anhu dzaalika lfawzu l'azhiim

Allah berfirman: "Ini yaitu suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. bagi mereka nirwana yang dibawahnya mengalir sungai-sungai; mereka awet di dalamnya selama-lamanya; Allah ridha terhadapNya. Itulah keberuntungan yang paling besar”.(QS. Al Maaidah [5]: 119)

Untuk lebih jelasnya berikut diketengahkan teladan Ridha Segala sesuatu yang menimpa kita yaitu kehendak-Nya. Tugas kita sebagai insan hanyalah berusaha dan bertawakal kepada-Nya. Kita selayaknya senantiasa bersikap ridha kepada qadha dan qadarn-Nya walaupun terkadang pahit dan menyakitkan. Sikap ridha yaitu cerminan kepaTuhan hamba kepada Penciptanya. Apapun bentuk pemberian-Nya merupakan yang terbaik untuk kita.

Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan perihal pengertian al-maqamat dan tingkatan al-maqamat. Sumber buku Siswa Akidah Akhlak Kelas XI MA Kementerian Agama Republik Indonesia, 2015. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel