Sejarah Perkembangan Tasawuf

1. Abad I dan II Hijriyah
Fase era pertama dan kedua Hijriyah belum sanggup sepenuhnya disebut sebagai fase tasawuf tapi lebih sempurna disebut sebagai fase kezuhudan. Tasawuf pada fase ini lebih bersifat amaliah dari pada bersifat pemikiran. Bentuk amaliah itu menyerupai memperbanyak ibadah, menyedikitkan makan minum, menyedikitkan tidur dan lain sebagainya.

Kesederhanaan kehidupan Nabi diklaim sebagai panutan jalan para zahid. Banyak ucapan dan tindakan Nabi Saw. yang mencerminkan kehidupan zuhud dan kesederhanaan baik dari segi pakaian maupun makanan, meskipun bahwasanya kuliner yang lezat dan pakaian yang manis sanggup dipenuhi. Pada masa ini, terdapat fenomena kehidupan spiritual yang cukup menonjol yang dilakukan oleh sekelompok sahabat Rasul Saw yang di sebut dengan ahl al- Shuffah.

Kelompok ini dikemudian hari dijadikan sebagai tipe dan panutan para shufi. Dengan anggapan mereka ialah para sahabat Rasul Saw dan kehidupan mereka ialah corak Islam. Di antara mereka ialah Abu Dzar al-Ghifari, Salman al-Fartsi, Abu Hurairah, Muadz Ibn Jabal, Abd Allah Ibn Mas’ud, Abd Allah ibn umar, Khudzaifah ibn al-Yaman, Anas ibn Malik, Bilal ibn Rabah, Ammar ibn Yasar, Shuhaib al-Rumy, Ibn Ummu Maktum dan Khibab ibn al-Arut.

2. Fase Abad III dan IV Hijriyah
Abad ketiga dan keempat disebut sebagai fase tasawuf. pada permulaan era ketiga hijriyah menerima sebutan shufi. Hal itu dikarenakan tujuan utama acara ruhani mereka tidak semata-mata kebahagian alam abadi yang ditandai dengan pencapaian pahala dan penghindaran siksa, akan tetapi untuk menikmati korelasi pribadi dengan Tuhan yang didasari dengan cinta. Cinta Tuhan membawa konsekuensi pada kondisi karam dan mabuk kedalam yang dicintai (fana fi al-mahbub). Kondisi ini tentu akan mendorong ke persatuan dengan yang dicintai (al-ittihad). Di sini telah terjadi perbedaan tujuan ibadah orang-orang syariat dan hebat hakikat.

Pada fase ini muncul istilah fana`, ittihad dan hulul. Fana ialah suatu kondisi dimana seorang shufi kehilangan kesadaran terhadap hal-hal fisik (al-hissiyat). Ittihad ialah kondisi dimana seorang shufi merasa bersatu dengan Allah Swt sehingga masingmasing sanggup memanggil dengan kata saya (ana). Hulul ialah masuknya Allah Swt kedalam badan insan yang dipilih.

Di antara tokoh pada fase ini ialah Abu yazid al-Busthami (w.263 H.) dengan konsep ittihadnya, Abu al-Mughits al-Husain Abu Manshur al-Hallaj ( 244 – 309 H. ) yang lebih dikenal dengan al-Hallaj dengan fatwa hululnya.

3. Fase Abad V Hihriyah
Fase ini disebut sebagai fase konsolidasi yakni memperkuat tasawuf dengan dasarnya yang orisinil yaitu al-Qur`an dan al-Hadis atau yang sering disebut dengan tasawuf sunny yakni tasawuf yang sesuai dengan tradisi (sunnah) Nabi dan para sahabatnya. Fase ini bahwasanya merupakan reaksi terhadap fase sebelumnya dimana tasawuf sudah mulai melenceng dari koridor syariah atau tradisi (sunnah) Nabi Saw dan sahabatnya.

Tokoh tasawuf pada fase ini ialah Abu Hamid al-Ghazali (w.505 H) atau yang lebih dikenal dengan al-Ghazali. Tokoh lainnya ialah Abu al-Qasim Abd al-Karim bin Hawazin Bin Abd al-Malik Bin Thalhah al-Qusyairi atau yang lebih dikenal dengan al-Qusyairi ( 471 H.), al-Qusyairi menulis al-Risalah al-Qusyairiyah terdiri dari dua jilid.

4. Fase Abad VI Hijriyah
Fase ini ditandai dengan munculnya tasawuf falsafi yakni tasawuf yang memadukan antara rasa (dzauq) dan rasio (akal), tasawuf bercampur dengan filsafat terutama filsafat Yunani. Pengalaman-pengalaman yang diklaim sebagai persatuan antara Tuhan dan hamba kemudian diteorisasikan dalam bentuk pemikiran menyerupai konsep wahdah al-wujud yakni bahwa wujud yang bahwasanya ialah Allah Swt sedangkan selain Allah Swt hanya gambar yang sanggup hilang dan sekedar sangkaan dan khayali.

Tokoh-tokoh pada fase ini ialah Muhyiddin Ibn Arabi atau yang lebih dikenal dengan Ibnu Arabi (560 -638 H.) dengan konsep wahdah al-Wujudnya. Ibnu Arabi yang dilahirkan pada tahun 560 H. dikenal dengan sebutan as-Syaikh al-Akbar (Syekh Besar). Tokoh lain ialah al-Syuhrawardi (549-587 H.) dengan konsep Isyraqiyahnya. Ia dieksekusi bunuh dengan tuduhan telah melaksanakan kekufuran dan kezindikan pada masa pemerintahan Shalahuddin al-Ayubi. Diantara kitabnya ialah Hikmat al-Israq. Tokoh berikutnya ialah Ibnu Sab’in (667 H.) dan Ibn al-Faridl (632 H.)

Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan perihal sejarah perkembangan tasawwuf. Sumber buku Siswa Akidah Akhlak Kelas XI MA Kementerian Agama Republik Indonesia, 2015. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel