Faktor-Faktor Runtuhnya (Kemunduran) Bani Umayyah Di Andalusia (Spanyol)
Monday, May 22, 2017
Edit
Faktor-faktor Kemunduran Peradaban Islam di Andalusia
Dalam sejarah dan literatur yang ada mengisyaratkan bahwa, kedigdayaan Islam di Andalusia hanya bisa bertahan sekitar delapan kurun saja, kalau di hitung memang waktu yang cukup panjang dan terjadinya beberapa kali pergantian dinasti. Khalifah terakhir Daulah Umayyah di Andalusia yaitu Hisyam III al-Mu’tadd. Runtuhnya dinasti inidisebabkan oleh lantaran sering terjadinya perseteruan, rivalitas politik, dan konflik internal dalam pemerintahan yang saling memperebutkan kekuasaan. Situasi tersebut diperparah dengan oleh kelemahan pemerintah sentra semenjak Ibnu Amir al-Mansur meninggal dunia pada tahun 399 H/1008 M.
Selama 50 tahun, Andalusia tidak memiliki satu kesatuan komando, terpecah dan tercabik menjadi 20-30 thaifah (golongan). Kurun waktu semenjak tahun 400 H/1010 M hingga dengan Dinasti Murabithun merebut kekuasaan di Andalusia pada tahun 480 H/1090 M disebut sebagai muluk ath-thawaif (raja-raja golongan).
Keruntuhan Daulah Umayyah di Andalusia semakin erat ketika terjadi saling serang antar dinasti demi mencapai ambisi politik dan kekuasaan dinastinya sendiri. Pada kesannya tiba juga masa yang ditakuti yaitu masa-masa kehancuran, yang hingga pada hari ini masih belum berdiri dari keluluhan itu. Di antara penyebab keruntuhan peradaban dan pendidikan Islam di Andalusia:
1. Konflik Agama
Para penguasa Muslim tidak melaksanakan Islamisasi secara sempurna. Mereka sudah merasa puas dengan hanya menagih upeti dari kerajaan-kerajaan Kristen taklukannya dan membiarkan mereka mempertahankan aturan dan adat mereka, termasuk posisi hirarki tradisional, asal tidak ada perlawanan bersenjata. Namun demikian, kehadiran Arab Islam telah memperkuat rasa kebangsaan orang-orang Spanyol Kristen. Hal itu mengakibatkan kehidupan umat Islam di Spanyol tidak pernah berhenti dari kontradiksi antara Islam dan Kristen. Pada kurun ke-11 M umat Kristen memperoleh kemajuan pesat, sementara umat Islam sedang mengalami kemunduran.
Pada akhir-akhir kemajuan peradaban pendidikan Islam di Andalusia, telah muncul kepermukaan paham-paham dan perbedaan keyakinan. Kondisi yang tidak menguntungkan bagi umat Islam telah membuat “berani” umat kristiani menampakkan dirinya kepermukaan. Bahkan terang-terangan telah pula berani menentang kebijakan penguasa Islam di kala itu. Para penguasa muslim tidak melaksanakan Islamisasi secara sempurna, mereka sudah mera puas dengan menagih upeti dari kerajaan-kerajaan kristen taklukannya dan membiarkan mereka mempertahan aturan dan adat mereka, termasuk posisi hierarki tradisional, asal tidak ada perlawanan bersenjata. Kondisi menyerupai ini sanggup diprekdiksi, bahwa kelengahan umat Islam termasuk toleransi dan wewenang yang diberikan kepada umat Kristen telah dimanfaatkan untuk mencari kelemahan Islam di ketika Islam lengah di kala itu. Hal ini diperkuat pula oleh al-Qur’an bahwa umat Kristen itu tidak akan pernah membisu dan senang, sebelum Islam bertekuk lutut kepadanya.
2. Ideologi Perpecahan
Adanya rasa enggan orang-orang Arab untuk mendapatkan orang-orang pribumi yang gres masuk Islam sebagai pecahan yang sama dengan Muslim Arab lainya. Setidaktidaknya hingga kurun ke-10 M, mereka masih memberi istilah ‘Ibad dan Muwalladun kepada para muallaf itu, suatu ungkapan yang dinilai merendahkan. Akibatnya, kelompok kelompok etnis non-Arab yang ada sering menggerogoti dan merusak perdamaian. Hal ini memberikan tidak adanya ideologi yang sanggup memberi makna persatuan, disamping kurangnya figur yang sanggup menjadi pemersatu ideologi.
Kultur sosial kemasyarakatan ketika itu amat berpeluang besar terjadinya pertikaian, apalagi dengan tidak adanya sosok pemimpin yang sanggup mempersatukan ideologi yang telah memecah belah persatuan. Sehingga keamanan negeri tidak lagi bisa terjamin dengan baik dan terjadinya perampokan dimana-mana. Kondisi menyerupai ini dimanfaatkan oleh umat Kristiani untuk menyusun kekuatan.
3. Krisis Ekonomi
Dalam situasi yang semakin sulit, umat Kristiani tidak lagi jujur membayarkan upetinya kepada penguasa Islam. Dengan banyak sekali dalih, supaya upeti dan pajak tidak lagi dikumpulkan kepada penguasa. Sering terjadi perampokan yang di skenario oleh kelompok Kristiani, dan pada kesannya menuduh umat Islam yang berbuat aniaya kepadanya. Keadaan yang tidak aman ini menciptakan inkam negara jauh berkurang, dan kesannya berdampak besar kepada masyarakat. Padahal dipertengahan kekuasaan Islam, pemerintah lebih memperhatikan kemajuan dan lupa menata perekonomian, sehingga melemahkan ekonomi negara dan kekuatan militer serta politik.
4. Perang Salib dan Peralihan Kekuasaan
Awal mula Perang Salib yaitu Perang antar Gereja dan Yahudi, jadi bukan bermula Perang antara Kristen dan Islam, yang penengertian umum ketika ini.Berkut yaitu Riwayatnya: Perang Salib Pertama dilancarkan pada 1095 oleh Paus Urban II untuk mengambil kuasa kota suci Yerusalem dan tanah suci Kristen dari Muslim. Apa yang dimulai sebagai panggilan kecil untuk meminta pinjaman dengan cepat menjelma migrasi dan penaklukan keseluruhan wilayah di luar Eropa. Perang Salib Pertama dilancarkan pada 1095 oleh Paus Urban II untuk merebut kembali kota suci Yerusalem dan tanah suci Kristen dari penaklukan Muslim. Apa yang dimulai sebagai panggilan kecil untuk meminta pinjaman dengan cepat menjelma migrasi dan penaklukan keseluruhan wilayah di luar Eropa.
Baik ksatria dan orang awam dari banyak negara di Eropa Barat, dengan sedikit pimpinan terpusat, berjalan melalui tanah dan bahari menuju Yerusalem dan menangkap kota tersebut pada Juli 1099, mendirikan Kerajaan Yerusalem atau kerajaan Latin di Yerusalem. Meskipun penguasaan ini hanya berakhir kurang dari dua ratus tahun, Perang salib merupakan titik balik penguasaan dunia Barat, dan satu-satunya yang berhasil meraih tujuannya. Meskipun menjelang kurun kesebelas sebagian besar Eropa memeluk agama Kristen secara formal - setiap anak dipermandikan, hierarki gereja telah ada untuk menempatkan setiap orang percaya di bawah bimbingan pastoral, kesepakatan nikah dilangsungkan di Gereja, dan orang yang sekarat mendapatkan ritual gereja terakhir - namun Eropa tidak menunjukkan diri sebagai Kerajaan Allah di dunia. Pertikaian selalu bermunculan di antara pangeran-pangeran Kristen, dan peperangan antara para darah biru yang haus tanah menciptakan rakyat menderita.Pada tahun 1088, seorang Perancis berjulukan Urbanus II menjadi Paus. Kepausannya itu ditandai dengan pertikaian raja Jerman, Henry IV kelanjutan kebijakan pembaruan oleh Paus Gregorius VIII yang tidak menghasilkan apa-apa. Paus yang gres ini tidak ingin meneruskan pertikaian ini. Tetapi ia ingin menyatukan semua kerajaan Kristen. Ketika Kaisar Alexis dari Konstantinopel meminta pinjaman Paus melawan orang-orang Muslim Turki, Urbanus melihat bahwa adanya musuh bersama ini akan membantu mencapai tujuannya. Tidak dilema meskipun Paus telah mengucilkan patriark Konstantinopel, serta Kristen dan Kristen Ortodoks Timor tidak lagi merupakan satu gereja. Urbanus mencari jalan untuk menguasai Timur, sementara ia menemukan cara pengalihan bagi para pangeran Barat yang bertengkar terus.
Pada tahun 1095 Urbanus mengadakan Konsili Clermont. Di sana ia memberikan kotbahnya yang menggerakkan: "Telah tersebar sebuah kisah mengerikan ... sebuah golongan terkutuk yang sama sekali diasingkan Allah ... telah menyerang tanah (negara) orang Kristen dan memerangi penduduk setempat dengan pedang, menjarah dan membakar." Ia berseru: "Pisahkanlah tempat itu dari tangan bangsa yang jahat itu dan jadikanlah sebagai milikmu." "Deus vult! Deus vult! (Allah menghendakinya)," teriak para peserta. Ungkapan itu telah menjadi slogan perang pasukan Perang Salib. Ketika para utusan Paus melintasi Eropa, merekrut para ksatria untuk pergi ke Palestina, mereka mendapatkan respons antusias dari pejuang-pejuang Perancis dan Italia. Banyak di antaranya tersentak lantaran tujuan agamawi, tetapi tidak diragukan juga bahwa yang lain berangkat untuk laba ekonomi. Ada juga yang ingin berpetualang merampas kembali tanah peziarahan di Palestina, yang telah jatuh ke tangan Muslim.
Mungkin, para pejuang tersebut merasa bahwa membunuh seorang musuh non Kristen yaitu kebajikan. Membabat orang-orang kafir yang telah merampas tanah suci orang Kristen sepertinya menyerupai tindakan melayani Allah. Untuk mendorong tentara Perang Salib, Urbanus dan para paus yang mengikutinya menekankan "keuntungan" spiritual dari perang melawan orang-orang Muslim itu. Dari sebuah halaman Bible, Urbanus meyakinkan para pejuang itu bahwa dengan melaksanakan perbuatan ini, mereka akan eksklusif masuk surga, atau sekurang-kurangnya sanggup memperpendek waktu di api penyucian.
Philip K. Hitti beropini bahwa perang Salib terjadi tiga angkatan, segala negara Kristen mempersiapkan tentara yang lengkap persenjataannyauntuk pergi berperang merebut Palestina. Dari sinilah bermula suatu penyerbuan Barat Kristen ke dunia Islam yang berjalan selama 200 tahun lamanya dari mulai 1095-1293 M dengan 8 kali penyerbuan. Tentara Alp Arsenal yang hanya berkekuatan 15.000 prajurit dalam insiden ini berhasil mengalahkan tentara Romawi yang berjumlah 200.000 orang, terdiri dari tentara romawi, Ghuz, Al-Akraj, Perancis, dan Armenia. Peristiwa besar ini menanamkan benih permusuhandan kebencian orang-orang Kristen terhadap umat Islam, yang kemudian mencetuskan perang salib. Dengan nalar sehat sanggup dipahami bahwa, peperangan yang memakan waktu begitu lama, mau tidak mau akan memporak-porandakan segalanya.keadaan sepertini menjadikan leburnya seluruh usaha yang sudah ditata dengan baik. Keamanan tidak lagi bisa dijamin, penduduk saling curiga mencurigai, pendidikan tidak lagi berjalan menyerupai yang diharapkan. Ketidak dinamisan ini tinggal menunggu kehancuran.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan perihal faktor-faktor runtuhnya Bani Umayyah di Andalusia (Spanyol). Sumber Modul 4 Perkembangan Islam Sesudah Masa Khulafaur Rasyidin, Pendidikan Profesi Guru dalam Jabatan Kementerian Agama Republik Indonesia 2018. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.
Dalam sejarah dan literatur yang ada mengisyaratkan bahwa, kedigdayaan Islam di Andalusia hanya bisa bertahan sekitar delapan kurun saja, kalau di hitung memang waktu yang cukup panjang dan terjadinya beberapa kali pergantian dinasti. Khalifah terakhir Daulah Umayyah di Andalusia yaitu Hisyam III al-Mu’tadd. Runtuhnya dinasti inidisebabkan oleh lantaran sering terjadinya perseteruan, rivalitas politik, dan konflik internal dalam pemerintahan yang saling memperebutkan kekuasaan. Situasi tersebut diperparah dengan oleh kelemahan pemerintah sentra semenjak Ibnu Amir al-Mansur meninggal dunia pada tahun 399 H/1008 M.
Selama 50 tahun, Andalusia tidak memiliki satu kesatuan komando, terpecah dan tercabik menjadi 20-30 thaifah (golongan). Kurun waktu semenjak tahun 400 H/1010 M hingga dengan Dinasti Murabithun merebut kekuasaan di Andalusia pada tahun 480 H/1090 M disebut sebagai muluk ath-thawaif (raja-raja golongan).
Keruntuhan Daulah Umayyah di Andalusia semakin erat ketika terjadi saling serang antar dinasti demi mencapai ambisi politik dan kekuasaan dinastinya sendiri. Pada kesannya tiba juga masa yang ditakuti yaitu masa-masa kehancuran, yang hingga pada hari ini masih belum berdiri dari keluluhan itu. Di antara penyebab keruntuhan peradaban dan pendidikan Islam di Andalusia:
1. Konflik Agama
Para penguasa Muslim tidak melaksanakan Islamisasi secara sempurna. Mereka sudah merasa puas dengan hanya menagih upeti dari kerajaan-kerajaan Kristen taklukannya dan membiarkan mereka mempertahankan aturan dan adat mereka, termasuk posisi hirarki tradisional, asal tidak ada perlawanan bersenjata. Namun demikian, kehadiran Arab Islam telah memperkuat rasa kebangsaan orang-orang Spanyol Kristen. Hal itu mengakibatkan kehidupan umat Islam di Spanyol tidak pernah berhenti dari kontradiksi antara Islam dan Kristen. Pada kurun ke-11 M umat Kristen memperoleh kemajuan pesat, sementara umat Islam sedang mengalami kemunduran.
Pada akhir-akhir kemajuan peradaban pendidikan Islam di Andalusia, telah muncul kepermukaan paham-paham dan perbedaan keyakinan. Kondisi yang tidak menguntungkan bagi umat Islam telah membuat “berani” umat kristiani menampakkan dirinya kepermukaan. Bahkan terang-terangan telah pula berani menentang kebijakan penguasa Islam di kala itu. Para penguasa muslim tidak melaksanakan Islamisasi secara sempurna, mereka sudah mera puas dengan menagih upeti dari kerajaan-kerajaan kristen taklukannya dan membiarkan mereka mempertahan aturan dan adat mereka, termasuk posisi hierarki tradisional, asal tidak ada perlawanan bersenjata. Kondisi menyerupai ini sanggup diprekdiksi, bahwa kelengahan umat Islam termasuk toleransi dan wewenang yang diberikan kepada umat Kristen telah dimanfaatkan untuk mencari kelemahan Islam di ketika Islam lengah di kala itu. Hal ini diperkuat pula oleh al-Qur’an bahwa umat Kristen itu tidak akan pernah membisu dan senang, sebelum Islam bertekuk lutut kepadanya.
2. Ideologi Perpecahan
Adanya rasa enggan orang-orang Arab untuk mendapatkan orang-orang pribumi yang gres masuk Islam sebagai pecahan yang sama dengan Muslim Arab lainya. Setidaktidaknya hingga kurun ke-10 M, mereka masih memberi istilah ‘Ibad dan Muwalladun kepada para muallaf itu, suatu ungkapan yang dinilai merendahkan. Akibatnya, kelompok kelompok etnis non-Arab yang ada sering menggerogoti dan merusak perdamaian. Hal ini memberikan tidak adanya ideologi yang sanggup memberi makna persatuan, disamping kurangnya figur yang sanggup menjadi pemersatu ideologi.
Kultur sosial kemasyarakatan ketika itu amat berpeluang besar terjadinya pertikaian, apalagi dengan tidak adanya sosok pemimpin yang sanggup mempersatukan ideologi yang telah memecah belah persatuan. Sehingga keamanan negeri tidak lagi bisa terjamin dengan baik dan terjadinya perampokan dimana-mana. Kondisi menyerupai ini dimanfaatkan oleh umat Kristiani untuk menyusun kekuatan.
3. Krisis Ekonomi
Dalam situasi yang semakin sulit, umat Kristiani tidak lagi jujur membayarkan upetinya kepada penguasa Islam. Dengan banyak sekali dalih, supaya upeti dan pajak tidak lagi dikumpulkan kepada penguasa. Sering terjadi perampokan yang di skenario oleh kelompok Kristiani, dan pada kesannya menuduh umat Islam yang berbuat aniaya kepadanya. Keadaan yang tidak aman ini menciptakan inkam negara jauh berkurang, dan kesannya berdampak besar kepada masyarakat. Padahal dipertengahan kekuasaan Islam, pemerintah lebih memperhatikan kemajuan dan lupa menata perekonomian, sehingga melemahkan ekonomi negara dan kekuatan militer serta politik.
4. Perang Salib dan Peralihan Kekuasaan
Awal mula Perang Salib yaitu Perang antar Gereja dan Yahudi, jadi bukan bermula Perang antara Kristen dan Islam, yang penengertian umum ketika ini.Berkut yaitu Riwayatnya: Perang Salib Pertama dilancarkan pada 1095 oleh Paus Urban II untuk mengambil kuasa kota suci Yerusalem dan tanah suci Kristen dari Muslim. Apa yang dimulai sebagai panggilan kecil untuk meminta pinjaman dengan cepat menjelma migrasi dan penaklukan keseluruhan wilayah di luar Eropa. Perang Salib Pertama dilancarkan pada 1095 oleh Paus Urban II untuk merebut kembali kota suci Yerusalem dan tanah suci Kristen dari penaklukan Muslim. Apa yang dimulai sebagai panggilan kecil untuk meminta pinjaman dengan cepat menjelma migrasi dan penaklukan keseluruhan wilayah di luar Eropa.
Baik ksatria dan orang awam dari banyak negara di Eropa Barat, dengan sedikit pimpinan terpusat, berjalan melalui tanah dan bahari menuju Yerusalem dan menangkap kota tersebut pada Juli 1099, mendirikan Kerajaan Yerusalem atau kerajaan Latin di Yerusalem. Meskipun penguasaan ini hanya berakhir kurang dari dua ratus tahun, Perang salib merupakan titik balik penguasaan dunia Barat, dan satu-satunya yang berhasil meraih tujuannya. Meskipun menjelang kurun kesebelas sebagian besar Eropa memeluk agama Kristen secara formal - setiap anak dipermandikan, hierarki gereja telah ada untuk menempatkan setiap orang percaya di bawah bimbingan pastoral, kesepakatan nikah dilangsungkan di Gereja, dan orang yang sekarat mendapatkan ritual gereja terakhir - namun Eropa tidak menunjukkan diri sebagai Kerajaan Allah di dunia. Pertikaian selalu bermunculan di antara pangeran-pangeran Kristen, dan peperangan antara para darah biru yang haus tanah menciptakan rakyat menderita.Pada tahun 1088, seorang Perancis berjulukan Urbanus II menjadi Paus. Kepausannya itu ditandai dengan pertikaian raja Jerman, Henry IV kelanjutan kebijakan pembaruan oleh Paus Gregorius VIII yang tidak menghasilkan apa-apa. Paus yang gres ini tidak ingin meneruskan pertikaian ini. Tetapi ia ingin menyatukan semua kerajaan Kristen. Ketika Kaisar Alexis dari Konstantinopel meminta pinjaman Paus melawan orang-orang Muslim Turki, Urbanus melihat bahwa adanya musuh bersama ini akan membantu mencapai tujuannya. Tidak dilema meskipun Paus telah mengucilkan patriark Konstantinopel, serta Kristen dan Kristen Ortodoks Timor tidak lagi merupakan satu gereja. Urbanus mencari jalan untuk menguasai Timur, sementara ia menemukan cara pengalihan bagi para pangeran Barat yang bertengkar terus.
Pada tahun 1095 Urbanus mengadakan Konsili Clermont. Di sana ia memberikan kotbahnya yang menggerakkan: "Telah tersebar sebuah kisah mengerikan ... sebuah golongan terkutuk yang sama sekali diasingkan Allah ... telah menyerang tanah (negara) orang Kristen dan memerangi penduduk setempat dengan pedang, menjarah dan membakar." Ia berseru: "Pisahkanlah tempat itu dari tangan bangsa yang jahat itu dan jadikanlah sebagai milikmu." "Deus vult! Deus vult! (Allah menghendakinya)," teriak para peserta. Ungkapan itu telah menjadi slogan perang pasukan Perang Salib. Ketika para utusan Paus melintasi Eropa, merekrut para ksatria untuk pergi ke Palestina, mereka mendapatkan respons antusias dari pejuang-pejuang Perancis dan Italia. Banyak di antaranya tersentak lantaran tujuan agamawi, tetapi tidak diragukan juga bahwa yang lain berangkat untuk laba ekonomi. Ada juga yang ingin berpetualang merampas kembali tanah peziarahan di Palestina, yang telah jatuh ke tangan Muslim.
Mungkin, para pejuang tersebut merasa bahwa membunuh seorang musuh non Kristen yaitu kebajikan. Membabat orang-orang kafir yang telah merampas tanah suci orang Kristen sepertinya menyerupai tindakan melayani Allah. Untuk mendorong tentara Perang Salib, Urbanus dan para paus yang mengikutinya menekankan "keuntungan" spiritual dari perang melawan orang-orang Muslim itu. Dari sebuah halaman Bible, Urbanus meyakinkan para pejuang itu bahwa dengan melaksanakan perbuatan ini, mereka akan eksklusif masuk surga, atau sekurang-kurangnya sanggup memperpendek waktu di api penyucian.
Philip K. Hitti beropini bahwa perang Salib terjadi tiga angkatan, segala negara Kristen mempersiapkan tentara yang lengkap persenjataannyauntuk pergi berperang merebut Palestina. Dari sinilah bermula suatu penyerbuan Barat Kristen ke dunia Islam yang berjalan selama 200 tahun lamanya dari mulai 1095-1293 M dengan 8 kali penyerbuan. Tentara Alp Arsenal yang hanya berkekuatan 15.000 prajurit dalam insiden ini berhasil mengalahkan tentara Romawi yang berjumlah 200.000 orang, terdiri dari tentara romawi, Ghuz, Al-Akraj, Perancis, dan Armenia. Peristiwa besar ini menanamkan benih permusuhandan kebencian orang-orang Kristen terhadap umat Islam, yang kemudian mencetuskan perang salib. Dengan nalar sehat sanggup dipahami bahwa, peperangan yang memakan waktu begitu lama, mau tidak mau akan memporak-porandakan segalanya.keadaan sepertini menjadikan leburnya seluruh usaha yang sudah ditata dengan baik. Keamanan tidak lagi bisa dijamin, penduduk saling curiga mencurigai, pendidikan tidak lagi berjalan menyerupai yang diharapkan. Ketidak dinamisan ini tinggal menunggu kehancuran.