Bersabarlah Putriku

Panji-panji terus semakin berkobar seiring kemenangan demi kemenangan yang dicapai kaum muslimin di seluruh Jazirah Arab hingga ke Persia dan Syria. Harta berlimpah dan beberapa orang tawanan menjadi milik kaum muslimin.

Sebaliknya, di sudut lain kota Medinah, sang putri Rasulullah tercinta, Fatimah r.a, berada dalam kepayahan. Tangannya melepuh, kulitnya mengelupas, dan sungguh agresif alasannya yakni terlalu keras mengerjakan pekerjaan rumah.

Melihat kondisi sang istri, Ali bin Abi Thalib r.a berkata kepadanya, "Wahai Fatimah, kamu mengerjakan segala sesuatunya sendiri hingga hatiku merintih tak tega."

Ia memandangi tampang letih istrinya dan melanjutkan, "Aku dengar ayahmu mendapatkan tawanan dan harta rampasan yang melimpah. Bagaimana bila kita ke tempat tinggal ia dan meminta salah seorang tawanannya untuk kita jadikan pembantu?" usul Ali r.a.

"Baiklah, demi Allah, saya memang mengerjakan segala sesuatunya sendiri hingga tanganku melepuh."

Fatimah r.a. pun beranjak menuju kediaman ayahnya dengan langkah berat. Sungguh ia merasa aib mengadukan perihal ini, terlebih bila mesti meminta tawanan perang kepadanya.

Setibanya di kediaman Rasulullah saw ia disambut hangat oleh sang ayah. Bagaimana tidak, ia yakni putrinya yang sungguh ia sayangi dan cintai. Namun, saat menyaksikan putri tersayangnya muram, ia pun menanyakan keadaannya, "Bagaimana kondisi kamu dan keluargamu, Nak?"

Fatimah r.a. tidak kuasa untuk berterus terang. la kalut permintaannya akan merisaukan hati ayahanda tercinta. Akhirnya, ia cuma menjawab, "Kami baik-baik saja, Ayah. Saya cuma ingin mengucapkan selamat kepadamu." la pun kembali pulang.

Hari kedua, Fatimah r.a kembali menemui Rasulullah saw. Namun, kali ini ia ditemani suaminya, Ali bin Abi Thalib r.a Dan seumpama sebelumnya, Rasulullah saw menyambut mereka dengan sarat kehangatan.

Fatimah r.a memberanikan diri untuk bercerita, "Ayah, sehari-hari saya mesti memasak, menggiling gandum, menawarkan pakan dan air untuk kuda ternak kami, membenahi rumah dan segala halnya, hingga saya letih dan lelah. Aku dengar kaum muslimin mendapatkan banyak tawanan perempuan. Jika Ayah tidak keberatan, maukah Ayah memberiku seorang tawanan perempuan untuk membantuku?" pinta Fatimah r.a.

Rasulullah saw sungguh mengetahui kesulitan yang dialami putrinya tersebut. Namun, selaku pemimpin, ia lebih mendahulukan rakyatnya yang lebih memerlukan dibandingkan dengan menyanggupi kehendak putrinya.

Beliau pun menyodorkan dengan lembut, "Engkau memerlukan tawanan untuk membantumu, tetapi apakah engkau tega perut para ahlush shuffah melilit kelaparan? Aku tidak punya apa pun untuk menanggung hidup mereka kecuali dengan duit hasil memasarkan tawanan-tawanan perang tersebut. Bersabarlah, putriku. Penuhilah kewajibanmu sebaik-baiknya."

Setelah Rasulullah saw menolak permintaannya, Fatimah dan Ali pun kembali pulang dengan tangan kosong.

Pada sebuah malam Rasulullah saw. mendatangi kediaman putrinya saat kedua suami istri berselimutkan beledu yang bila diangkat ke atas maka terlihat kaki mereka dan bila menutup kaki maka bab atas mereka terbuka.

Melihat kedatangan ayahanda sekaligus mertua yang begitu bersahaja, mereka bergegas berdiri untuk menyambut beliau. Namun, Rasulullah saw secepatnya menahannya, "Tetaplah di kawasan kalian. Maukah saya beri tahu sesuatu yang lebih baik dari yang kalian minta kepadaku?"

Mereka berdua mengangguk.

"Ia yakni beberapa kalimat yang Jibril ajarkan kepadaku. Bacalah tasbih (Subhanallah) sepuluh kali, tahmid (Alhamduliilah) sepuluh kali, dan takbir (Allahu Akbar) sepuluh kali seusai shalat. Dan setiap kali kalian hendak tidur, bacalah tasbih tiga puluh kali, tahmid tiga puluh kali, dan takbir tiga puluh kali atau empat puluh kali."

Ali r.a berkata, "Demi Allah, sejak ia ajarkan kalimat-kalimat tersebut, kami tidak pernah meninggalkannya."

Fatimah r.a yakni pola kehidupan putri pembesar yang sungguh bersahaja. Bisa saja ia hidup dalam kemewahan, tetapi Rasulullah saw mengajarkan bahwa dunia tidak memiliki arti apa-apa bila dibandingkan kenikmatan di darul abadi kelak.

Catatan:
Ahlush shuffah yakni penghuni masjid, yakni para kawan dekat migran yang tinggal di emperan masjid alasannya yakni tidak punya kawasan tinggal tetap di Medinah. Kata shuffah atau sufi digunakan selaku cermin dari kebersahajaan hidup mereka.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel