Pengorbanan Seorang Nabiyullah
Thursday, October 4, 2007
Edit
Nabi Ibrahim a.s yakni seorang delegasi Allah SWT yang taat dan hanif. Berkali-kali ia diuji oleh Allah SWT dengan ujian yang tiada seorang pun sanggup melaluinya. Namun, ia pertanda bahwa kecintaannya terhadap Allah SWT di atas semuanya hingga beliau sukses menjalani ujian demi ujian dengan gemilang.
Ujian berat pertama yang mesti dilalui Ibrahim a.s yakni di saat anak yang sudah usang ia dambakan mesti berpisah dengannya. Bayi mungil itu berjulukan Ismail. Ia lahir dari istri Ibrahim a.s yang berjulukan Siti Hajar r.a.
Belum usang Ibrahim a.s menikmati status barunya selaku ayah, ia menemukan perintah dari Allah SWT untuk menenteng putranya yang masih merah bareng Siti Hajar ke suatu tempat yang serupa sekali belum diketahuinya.
Padahal, di saat itu ia sedang mencicipi masa-masa senang menimang Ismail mungil. Akan tetapi, tidak ada pilihan lain bagi Ibrahim a.s selain menaati perintah-Nya. Diajaklah Siti Hajar r.a dan Ismail dalam buaiannya menuju tempat yang diperintahkan. Sebuah awan besar mengiringi perjalalanan mereka.
Awan besar itu berhenti di suatu tempat yang gersang dan tandus. Hanya sebatang pohon besar yang menaungi mereka. Di sanalah Nabi Ibrahim mesti meninggalkan istri dan anak tercintanya. Bayangkan bagaimana perasaan seorang ayah di saat mesti meninggalkan keluarganya di tempat yang tak berpenghuni menyerupai itu.
Ibrahim a.s. meminta mudah-mudahan sang istri bareng Ismail mungil tetap di tempat itu dan tidak mengikuti kepergiannya. Ibrahim a.s. membekali mereka dengan segantang kurma dan sekantung wadah berisi air. Ketika Ibrahim a.s beranjak hendak meninggalkan mereka berdua, Hajar r.a memukau busana suaminya mudah-mudahan tidak pergi seraya berkata, "Suamiku, ke mana kamu hendak pergi? Apakah kamu hendak meninggalkan kami di tempat yang tidak ada sesuatu pun di sini?"
Ibrahim a.s diam diam dan melepas pegangan sang istri sambil berlalu. Ia terus melangkah meninggalkan sang istri dan putra yang sungguh dicintainya.
Siti Hajar r.a kembali mengundang dan bertanya, "Ayahanda Ismail, apakah kamu hendak meninggalkan kami di tempat yang tidak ada sesuatu pun di sini?"
Panggilan kedua sang istri tersayang tetap tidak menyurutkan langkah Ibrahim a.s. Padahal, maksud Hajar mengundang dengan perkataan 'Ayahanda Ismail' yakni untuk mengingatkan bahwa yang hendak Ibrahim a.s lewati yakni anak semata wayangnya, Ismail, yang masih merah dan lemah dan sungguh ditunggu kelahirannya. Namun, sang ayah tetap tidak bergeming.
Ketiga kalinya sang istri mengundang dengan agak keras, "Ibrahim! Apakah kamu tega meninggalkan kami di tempat yang tidak ada sesuatu pun di sini?"
Kesabaran Hajar r.a mungkin sudah hingga pada puncaknya di saat menyaksikan perilaku suaminya yang terus diam dan tidak mengenal mereka berdua hingga ia mengundang sang suami dengan menyebut namanya.
Ia betul-betul mengharap suatu respon mengapa suami yang sungguh pengasih terhadap keluarganya sekarang tega meninggalkan ia dan putranya yang tak berdaya di suatu tempat tak berpenghuni. Namun, apa yang dibutuhkan tidak terjadi, jangankan Ibrahim a.s berhenti, menoleh pun tidak.
Melihat sang suami tidak menggubris panggilannya, Siti Hajar r.a pribadi mengerti bahwa suaminya tidak akan mungkin berbuat demikian kecuali atas perintah Allah SWT.
Siti Hajar r.a kembali melunakkan suaranya dan memanggil, " Nabiyullah, apakah ini perintah Allah?"
Pertanyaan tersebut menghasilkan Ibrahim a.s berhenti sejenak, kemudian mengangguk tanda mengiyakan prasangka istrinya. Mengetahui hal itu, Siti Hajar r.a pribadi berseru, "Suamiku, apabila ini perintah Allah maka pergilah! Kami tidak akan tersia-siakan selagi Allah bareng kami!"
Ibrahim a.s pun kembali melanjutkan perjalanannya dengan perasaan berkecamuk di dalam dadanya. Sebagai seseorang yang lembut dan pengasih, niscaya tidak gampang meninggalkan dua insan lemah yang masih memerlukan tunjangan dan kasih sayangnya di suatu padang yang gersang.
Jika bukan alasannya keimanan yang memiliki pengaruh terhadap Allah SWT dalam melaksanakan amanah yang diturunkan kepadanya, ia tidak akan sanggup melakukannya.
Lalu, Ibrahim a.s. mengangkat kedua tangannya seraya berdoa terhadap Allah SWT untuk keamanan istri dan anaknya tercinta, sebagaimana yang dikisahkan dalam Al-Qur'an, "Ya Tuhan, sebetulnya saya sudah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tak punya tanam-tanaman di bersahabat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan (yang demikian itu) mudah-mudahan mereka metoksanakan shalat maka jadikanlah hati sebagian insan condong terhadap mereka dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur." (QS. Ibrahim [14]: 37)
Dua hari berlalu dan perbekalan habis, begitu pula air susu sang bunda sudah mengering untuk sang bayi. la sendiri merasa kehausan di tengah padang tandus yang terik. Bayi Ismail berteriak menangis keras mudah-mudahan sang bunda mau melepas dahaganya. Namun, apa daya alasannya air susu sudah kering dan sang bunda pun didera rasa haus yang sangat.
Siti Hajar menyaksikan Bukit Shafa tinggi menjulang. Mungkin dari sana, barangkali ada mata air yang sanggup diambil untuk melepas dahaga atau seseorang yang sanggup dimintai pertolongan.
Akhirnya, Hajar r.a membaringkan Ismail yang terus menangis untuk mencari setetes air. Ia kuatkan hatinya dan berlari kecil menaiki Bukit Shafa. Di puncak Bukit Shafa, terik matahari makin berangasan menerpa wajah lelahnya. Ia lindungi matanya dengan tangan mudah-mudahan tidak silau dan lebih terang menyaksikan sekelilingnya.
Namun, sejauh mata memandang, ia tidak menyaksikan sumber air, kafilah, atau apa pun yang sanggup membantunya. Yang ia lihat cuma sang jabang bayi yang terus menangis dari kejauhan. Ia secepatnya menuruni Bukit Shafa.
Namun, di lembah antara dua bukit tersebut, Hajar r.a tidak sanggup mengawasi putranya. Kemudian ia secepatnya naik ke atas Bukit Marwah yang bersebelahan dengan Bukit Shafa. Selanjutnya, ia kembali mengamati sekitarnya. Tidak ada apa-apa yang terlihat kecuali cuma bayi mungil dan semilir angin yang menenteng bubuk kering menyapu padang tandus yang sepi dan gersang.
Khawatir dengan sang jabang bayi, Hajar r.a turun dari Bukit Marwah untuk menengok kondisi buah hatinya. Ismail masih menangis. Dengan terus berharap, sang bunda kembali naik ke Bukit Shafa. Sama menyerupai semula, tidak ada hal gres yang sanggup menolongnya.
Ia kembali menuruni Bukit Shafa dan kembali naik ke Bukit Marwah. Dari atas sana, cuma kesunyian yang membentang di hadapannya. Namun, ia tetap percaya akan dukungan Allah, kemudian ia melaksanakan hal yang serupa, yakni menaiki dan menuruni Bukit Shafa dan Marwah.
Setelah tujuh kali Hajar r.a berlari menaiki dan menuruni kedua bukit tersebut, ia kembali menengok Ismail yang makin melemah. Kemudian ia terduduk letih di segi sang buah hati. Sungguh tak tega mendengar bunyi tangisan bayinya yang makin lemas dan serak menahan haus. Saat itulah rahmat Allah SWT tercurah terhadap mereka. Sebuah mata air memancar deras sempurna di tempat Ismail menghentakkan kakinya.
Rasa syukur dan senang yang hebat membuncah di saat menyaksikan percikan air di bawah kaki putra tercintanya. Kemudian ia secepatnya menciduk air tersebut dengan tangannya dan meneteskan ke dalam lisan Ismail. la juga meraup air sarat berkah tersebut untuk diminumnya.
Subhanallah, sungguh kenikmatan yang luar biasa. Dahaga dan letih musnah sudah di saat air bening yang segar mengalir lewat kerongkongannya yang sudah usang kering.
Ujian dari Allah SWT rampung indah. Sumber air tersebut menjadi tempat persinggahan kafilah-kafilah yang sedang melaksanakan perjalanan. Lama-kelamaan terbentuklah perkampungan di sekeliling mata air tersebut. Sumber air itu kondang dengan nama 'zamzam' hingga kini.
Ujian berat pertama yang mesti dilalui Ibrahim a.s yakni di saat anak yang sudah usang ia dambakan mesti berpisah dengannya. Bayi mungil itu berjulukan Ismail. Ia lahir dari istri Ibrahim a.s yang berjulukan Siti Hajar r.a.
Belum usang Ibrahim a.s menikmati status barunya selaku ayah, ia menemukan perintah dari Allah SWT untuk menenteng putranya yang masih merah bareng Siti Hajar ke suatu tempat yang serupa sekali belum diketahuinya.
Padahal, di saat itu ia sedang mencicipi masa-masa senang menimang Ismail mungil. Akan tetapi, tidak ada pilihan lain bagi Ibrahim a.s selain menaati perintah-Nya. Diajaklah Siti Hajar r.a dan Ismail dalam buaiannya menuju tempat yang diperintahkan. Sebuah awan besar mengiringi perjalalanan mereka.
Awan besar itu berhenti di suatu tempat yang gersang dan tandus. Hanya sebatang pohon besar yang menaungi mereka. Di sanalah Nabi Ibrahim mesti meninggalkan istri dan anak tercintanya. Bayangkan bagaimana perasaan seorang ayah di saat mesti meninggalkan keluarganya di tempat yang tak berpenghuni menyerupai itu.
Ibrahim a.s. meminta mudah-mudahan sang istri bareng Ismail mungil tetap di tempat itu dan tidak mengikuti kepergiannya. Ibrahim a.s. membekali mereka dengan segantang kurma dan sekantung wadah berisi air. Ketika Ibrahim a.s beranjak hendak meninggalkan mereka berdua, Hajar r.a memukau busana suaminya mudah-mudahan tidak pergi seraya berkata, "Suamiku, ke mana kamu hendak pergi? Apakah kamu hendak meninggalkan kami di tempat yang tidak ada sesuatu pun di sini?"
Ibrahim a.s diam diam dan melepas pegangan sang istri sambil berlalu. Ia terus melangkah meninggalkan sang istri dan putra yang sungguh dicintainya.
Siti Hajar r.a kembali mengundang dan bertanya, "Ayahanda Ismail, apakah kamu hendak meninggalkan kami di tempat yang tidak ada sesuatu pun di sini?"
Panggilan kedua sang istri tersayang tetap tidak menyurutkan langkah Ibrahim a.s. Padahal, maksud Hajar mengundang dengan perkataan 'Ayahanda Ismail' yakni untuk mengingatkan bahwa yang hendak Ibrahim a.s lewati yakni anak semata wayangnya, Ismail, yang masih merah dan lemah dan sungguh ditunggu kelahirannya. Namun, sang ayah tetap tidak bergeming.
Ketiga kalinya sang istri mengundang dengan agak keras, "Ibrahim! Apakah kamu tega meninggalkan kami di tempat yang tidak ada sesuatu pun di sini?"
Kesabaran Hajar r.a mungkin sudah hingga pada puncaknya di saat menyaksikan perilaku suaminya yang terus diam dan tidak mengenal mereka berdua hingga ia mengundang sang suami dengan menyebut namanya.
Ia betul-betul mengharap suatu respon mengapa suami yang sungguh pengasih terhadap keluarganya sekarang tega meninggalkan ia dan putranya yang tak berdaya di suatu tempat tak berpenghuni. Namun, apa yang dibutuhkan tidak terjadi, jangankan Ibrahim a.s berhenti, menoleh pun tidak.
Melihat sang suami tidak menggubris panggilannya, Siti Hajar r.a pribadi mengerti bahwa suaminya tidak akan mungkin berbuat demikian kecuali atas perintah Allah SWT.
Siti Hajar r.a kembali melunakkan suaranya dan memanggil, " Nabiyullah, apakah ini perintah Allah?"
Pertanyaan tersebut menghasilkan Ibrahim a.s berhenti sejenak, kemudian mengangguk tanda mengiyakan prasangka istrinya. Mengetahui hal itu, Siti Hajar r.a pribadi berseru, "Suamiku, apabila ini perintah Allah maka pergilah! Kami tidak akan tersia-siakan selagi Allah bareng kami!"
Ibrahim a.s pun kembali melanjutkan perjalanannya dengan perasaan berkecamuk di dalam dadanya. Sebagai seseorang yang lembut dan pengasih, niscaya tidak gampang meninggalkan dua insan lemah yang masih memerlukan tunjangan dan kasih sayangnya di suatu padang yang gersang.
Jika bukan alasannya keimanan yang memiliki pengaruh terhadap Allah SWT dalam melaksanakan amanah yang diturunkan kepadanya, ia tidak akan sanggup melakukannya.
Lalu, Ibrahim a.s. mengangkat kedua tangannya seraya berdoa terhadap Allah SWT untuk keamanan istri dan anaknya tercinta, sebagaimana yang dikisahkan dalam Al-Qur'an, "Ya Tuhan, sebetulnya saya sudah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tak punya tanam-tanaman di bersahabat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan (yang demikian itu) mudah-mudahan mereka metoksanakan shalat maka jadikanlah hati sebagian insan condong terhadap mereka dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur." (QS. Ibrahim [14]: 37)
Dua hari berlalu dan perbekalan habis, begitu pula air susu sang bunda sudah mengering untuk sang bayi. la sendiri merasa kehausan di tengah padang tandus yang terik. Bayi Ismail berteriak menangis keras mudah-mudahan sang bunda mau melepas dahaganya. Namun, apa daya alasannya air susu sudah kering dan sang bunda pun didera rasa haus yang sangat.
Siti Hajar menyaksikan Bukit Shafa tinggi menjulang. Mungkin dari sana, barangkali ada mata air yang sanggup diambil untuk melepas dahaga atau seseorang yang sanggup dimintai pertolongan.
Akhirnya, Hajar r.a membaringkan Ismail yang terus menangis untuk mencari setetes air. Ia kuatkan hatinya dan berlari kecil menaiki Bukit Shafa. Di puncak Bukit Shafa, terik matahari makin berangasan menerpa wajah lelahnya. Ia lindungi matanya dengan tangan mudah-mudahan tidak silau dan lebih terang menyaksikan sekelilingnya.
Namun, sejauh mata memandang, ia tidak menyaksikan sumber air, kafilah, atau apa pun yang sanggup membantunya. Yang ia lihat cuma sang jabang bayi yang terus menangis dari kejauhan. Ia secepatnya menuruni Bukit Shafa.
Namun, di lembah antara dua bukit tersebut, Hajar r.a tidak sanggup mengawasi putranya. Kemudian ia secepatnya naik ke atas Bukit Marwah yang bersebelahan dengan Bukit Shafa. Selanjutnya, ia kembali mengamati sekitarnya. Tidak ada apa-apa yang terlihat kecuali cuma bayi mungil dan semilir angin yang menenteng bubuk kering menyapu padang tandus yang sepi dan gersang.
Khawatir dengan sang jabang bayi, Hajar r.a turun dari Bukit Marwah untuk menengok kondisi buah hatinya. Ismail masih menangis. Dengan terus berharap, sang bunda kembali naik ke Bukit Shafa. Sama menyerupai semula, tidak ada hal gres yang sanggup menolongnya.
Ia kembali menuruni Bukit Shafa dan kembali naik ke Bukit Marwah. Dari atas sana, cuma kesunyian yang membentang di hadapannya. Namun, ia tetap percaya akan dukungan Allah, kemudian ia melaksanakan hal yang serupa, yakni menaiki dan menuruni Bukit Shafa dan Marwah.
Setelah tujuh kali Hajar r.a berlari menaiki dan menuruni kedua bukit tersebut, ia kembali menengok Ismail yang makin melemah. Kemudian ia terduduk letih di segi sang buah hati. Sungguh tak tega mendengar bunyi tangisan bayinya yang makin lemas dan serak menahan haus. Saat itulah rahmat Allah SWT tercurah terhadap mereka. Sebuah mata air memancar deras sempurna di tempat Ismail menghentakkan kakinya.
Rasa syukur dan senang yang hebat membuncah di saat menyaksikan percikan air di bawah kaki putra tercintanya. Kemudian ia secepatnya menciduk air tersebut dengan tangannya dan meneteskan ke dalam lisan Ismail. la juga meraup air sarat berkah tersebut untuk diminumnya.
Subhanallah, sungguh kenikmatan yang luar biasa. Dahaga dan letih musnah sudah di saat air bening yang segar mengalir lewat kerongkongannya yang sudah usang kering.
Ujian dari Allah SWT rampung indah. Sumber air tersebut menjadi tempat persinggahan kafilah-kafilah yang sedang melaksanakan perjalanan. Lama-kelamaan terbentuklah perkampungan di sekeliling mata air tersebut. Sumber air itu kondang dengan nama 'zamzam' hingga kini.