Mencintai Alasannya Allah
Saturday, October 20, 2007
Edit
Umar bin Abdul Aziz hidup dalam kemewahan dan kemegahan hidup bareng istrinya yang memiliki ayah seorang khalifah. Setiap hari Umar mengenakan jubah terindah dan busana terbaiknya dengan parfum mahal hingga meninggalkan aroma harum di setiap jalan yang sudah ia lalui. Berjam-jam ia menata rambutnya sampai-sampai terlambah shalat berjemaah. Apa pun yang ia mau dengan gampangnya ia dapatkan.
Hal ini sungguh berkebalikan di saat ia terpilih menjadi khalifah meneruskan amanah sang mertua. Kehidupannya berubah seratus persen. Kemewahan yang begitu didambakan setiap orang, ia lewati begitu saja. Sungguh langkah-langkah yang sungguh langka sebab biasanya setiap orang mencari jabatan mudah-mudahan sanggup hidup glamor dan bergelimang harta.
Keputusan ini ia sampaikan terhadap istri tercintanya, Fatimah binti Abdul Malik. Bagaimanapun juga, kehidupan barunya akan melibatkan kehidupan istrinya yang lama dibuai kemewahan.
Umar berkata kepadanya, "Wahai Fatimah, perkara besar sudah menimpaku. Aku diberi beban yang paling berat dan saya akan dimintai pertangungjawaban tentang manusia yang paling jauh serta yang paling bersahabat dari umat Muhammad saw.
Tugas ini akan menguras seluruh keberadaanku, hingga tidak ada waktu bagiku untuk menyanggupi seluruh hakmu atas diriku. Tidak ada lagi kehendak bagiku terhadap wanita, namun saya tak mau menceraikanmu. Aku tidak menghendaki seorang pun di dunia ini selain dirimu.
Meskipun demikian, saya tak mau menzalimi dirimu. Aku kalut kau tidak sabar atas cara hidup yang kupilih. Oleh sebab itu, saya akan mengantarkanmu ke tempat tinggal ayahmu."
Sang istri terkesima mendengar klarifikasi suaminya yang begitu mendadak. Kemudian ia mengajukan pertanyaan untuk meminta klarifikasi lebih dari suaminya, "Sebenarnya apa maksudmu?"
Dengan sabar Umar menerangkan kembali, "Sesungguhnya harta yang kita miliki serta yang dimiliki oleh saudara-saudara dan kerabatmu ini berasal dari harta kaum muslimin. Aku bertekad akan mengambilnya dan mengembalikannya terhadap mereka. Aku akan mengawali dari diriku. Aku tidak akan menyisihkan untukku, kecuali sebidang tanah yang kubeli dari duit hasil jerih payahku. Aku akan hidup dengan harta tersebut. Jika engkau tidak sabar pada kesempitan hidup sehabis lapangnya, kau boleh kembali terhadap ayahmu."
Tak habis pikir dengan keputusan suaminya, Fatimah kembali bertanya, "Apa yang mendorongmu untuk berbuat seumpama itu?"
Umar menjawab, "Wahai Fatimah, bahu-membahu saya memiliki jiwa ambisius dan saya tidak mendapat sesuatu, kecuali menghendaki yang lebih baik darinya. Aku menghendaki jabatan, lantas mendapatkannya. Ketika saya mendapatkannya, timbul keinginan untuk menguasai khalifah dan di saat saya sudah mendapatkannya, saya menghendaki yang lebih baik darinya, yakni surga."
Sang istri merespon keinginan suaminya, "Wahai suamiku, lakukanlah apa saja yang menurutmu baik, saya akan senantiasa bersamamu. Saya tidak akan menyertaimu dalam kondisi senang, kemudian meninggalkanmu dalam kondisi susah. Saya rida dengan apa yang kauridai."
Setelah mendapat perjanjian dari sang istri, ia pun mengawali tugasnya dengan meninggalkan istana megahnya. Seluruh harta yang ia sanggup dari Baitul Mal dikembalikan. Bersama istrinya, ia menempati gubuk kecil di sebelah kiri masjid. Pakaian, kawasan tinggal, makanan, dan minuman sungguh-sungguh sungguh sederhana, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah saw.
Kini cuma suatu permata yang tertinggal selaku harta satu-satunya Fatimah. Permata kesayangannya, derma dari ayah tercinta. Mengetahui hal tersebut, Umar berkata dengan lembut terhadap istrinya, "Wahai Fatimah, engkau mengenali bahwa permata itu diperoleh ayahmu dari harta kaum muslimin dan menghadiahkannya kepadamu. Sesungguhnya saya tidak senang permata itu ada di rumahku. Karena itu, engkau boleh memilih: permatamu atau aku?"
Apa respon sang istri? Jika ia menegaskan permata, seumur hidupnya akan senantiasa bergelimang harta. Akan tetapi, bila ia menegaskan suaminya, kehidupan apa adanya yang jauh dari kekayaan duniawi mesti ia jalani.
Sang istri sudah mantap dengan pilihannya. la pun berkata, "Demi Allah, pasti saya lebih memilihmu, wahai suamiku, dibandingkan dengan permata ini. Bahkan, bila saya memiliki permata yang berlipat-lipat jumlahnya, akan saya serahkan seluruhnya sebab kau lebih bermanfaat dari semua itu."
Sang istri pun mengembalikan permata kesayangannya ke Baitul Mal.
Kini, kedua suami istri mulia tersebut hidup seadanya. Tidak ada busana glamor dan indah, melainkan busana lama dan sarat tambalan yang menempel pada badan mereka. Tidak ada pula istana, melainkan rumah kecil dengan dinding yang rapuh.
Suatu di saat seorang perempuan Mesir tiba ke tempat tinggal mereka. Fatimah menemuinya yang terlihat kebingungan di depan pintu rumahnya. Ia pun secepatnya menyapa perempuan aneh tersebut, "Wahai hamba Allah, adakah yang sanggup saya bantu?"
Wanita itu berkata, "Aku tiba dari Mesir untuk menemui Amirul Mukminin. Orang-orang menunjuk alamat ini, namun di sini saya tidak menerima istananya."
Fatimah tersenyum lebar dan secepatnya menyambut tamu jauhnya, "Kau benar, ini rumahnya, silakan masuk!"
Alangkah terkejutnya perempuan itu mengenali yang mengatakan di hadapannya yakni istri seorang Amirul Mukminin. Pakaiannya lusuh, tidak berdandan, tanpa gelang dan perhiasan. Siapa yang mengira bahwa ia yakni istri petinggi wilayah ini.
Wanita itu dengan perasaan heran dan gelisah masuk ke dalam rumah. la duduk di atas lantai di temani istri Amirul Mukminin yang terhormat. Namun, sang tamu kembali terkejut menyaksikan di dalam rumah tersebut ada seorang pria dengan tangan sarat tanah dan berpakaian kotor yang sedang memperbaiki dinding rumah.
Disangkanya laki-laki itu yakni tukang batu. Wanita itu pun menegur Fatimah, "Wahai istri Amirul Mukminin. Mengapa kau memasukkan laki-laki ke dalam rumahmu di di saat suamimu tidak ada di rumah?"
Fatimah kembali tersenyum, "Dialah suamiku, Amirul Mukminin yang kaucari."
Sulit untuk diandalkan di saat sang tamu mengenali kehidupan keluarga Amirul Mukminin yang sungguh jauh dari bayangannya. Bukankah petinggi negara diberi akomodasi dari Baitul Mal? Namun, di hadapannya, tidak ada kemewahan, kesombongan, dan jarak antara mereka dan rakyatnya.
Mereka menjauhi kemewahan duniawi mudah-mudahan jiwanya makin besar lengan berkuasa dan terhindar dari fitnah-fitnah dunia. Itulah rumah tangga sarat keimanan yang dihuni oleh pasangan yang menyoroti dunia dan menembus cakrawala.
Siapa yang maksudnya yakni akhirat, Allah akan menyebabkan rasa cukup dalam hatinya, menyatukan kembali apa yang terpisah darinya, dan dunia akan senantiasa tiba kepadanya dalam kondisi tunduk. Dan siapa yang menyebabkan dunia sebaga; tujuannya, Allah akan menyebabkan kefakiran senantiasa membayang-bayanginya, memisahkan yang bersatu dengannya, dan dunia tidak akan tiba kepadanya, kecuali yang kotor baginya. (Al-Hadis)
Hal ini sungguh berkebalikan di saat ia terpilih menjadi khalifah meneruskan amanah sang mertua. Kehidupannya berubah seratus persen. Kemewahan yang begitu didambakan setiap orang, ia lewati begitu saja. Sungguh langkah-langkah yang sungguh langka sebab biasanya setiap orang mencari jabatan mudah-mudahan sanggup hidup glamor dan bergelimang harta.
Keputusan ini ia sampaikan terhadap istri tercintanya, Fatimah binti Abdul Malik. Bagaimanapun juga, kehidupan barunya akan melibatkan kehidupan istrinya yang lama dibuai kemewahan.
Umar berkata kepadanya, "Wahai Fatimah, perkara besar sudah menimpaku. Aku diberi beban yang paling berat dan saya akan dimintai pertangungjawaban tentang manusia yang paling jauh serta yang paling bersahabat dari umat Muhammad saw.
Tugas ini akan menguras seluruh keberadaanku, hingga tidak ada waktu bagiku untuk menyanggupi seluruh hakmu atas diriku. Tidak ada lagi kehendak bagiku terhadap wanita, namun saya tak mau menceraikanmu. Aku tidak menghendaki seorang pun di dunia ini selain dirimu.
Meskipun demikian, saya tak mau menzalimi dirimu. Aku kalut kau tidak sabar atas cara hidup yang kupilih. Oleh sebab itu, saya akan mengantarkanmu ke tempat tinggal ayahmu."
Sang istri terkesima mendengar klarifikasi suaminya yang begitu mendadak. Kemudian ia mengajukan pertanyaan untuk meminta klarifikasi lebih dari suaminya, "Sebenarnya apa maksudmu?"
Dengan sabar Umar menerangkan kembali, "Sesungguhnya harta yang kita miliki serta yang dimiliki oleh saudara-saudara dan kerabatmu ini berasal dari harta kaum muslimin. Aku bertekad akan mengambilnya dan mengembalikannya terhadap mereka. Aku akan mengawali dari diriku. Aku tidak akan menyisihkan untukku, kecuali sebidang tanah yang kubeli dari duit hasil jerih payahku. Aku akan hidup dengan harta tersebut. Jika engkau tidak sabar pada kesempitan hidup sehabis lapangnya, kau boleh kembali terhadap ayahmu."
Tak habis pikir dengan keputusan suaminya, Fatimah kembali bertanya, "Apa yang mendorongmu untuk berbuat seumpama itu?"
Umar menjawab, "Wahai Fatimah, bahu-membahu saya memiliki jiwa ambisius dan saya tidak mendapat sesuatu, kecuali menghendaki yang lebih baik darinya. Aku menghendaki jabatan, lantas mendapatkannya. Ketika saya mendapatkannya, timbul keinginan untuk menguasai khalifah dan di saat saya sudah mendapatkannya, saya menghendaki yang lebih baik darinya, yakni surga."
Sang istri merespon keinginan suaminya, "Wahai suamiku, lakukanlah apa saja yang menurutmu baik, saya akan senantiasa bersamamu. Saya tidak akan menyertaimu dalam kondisi senang, kemudian meninggalkanmu dalam kondisi susah. Saya rida dengan apa yang kauridai."
Setelah mendapat perjanjian dari sang istri, ia pun mengawali tugasnya dengan meninggalkan istana megahnya. Seluruh harta yang ia sanggup dari Baitul Mal dikembalikan. Bersama istrinya, ia menempati gubuk kecil di sebelah kiri masjid. Pakaian, kawasan tinggal, makanan, dan minuman sungguh-sungguh sungguh sederhana, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah saw.
Kini cuma suatu permata yang tertinggal selaku harta satu-satunya Fatimah. Permata kesayangannya, derma dari ayah tercinta. Mengetahui hal tersebut, Umar berkata dengan lembut terhadap istrinya, "Wahai Fatimah, engkau mengenali bahwa permata itu diperoleh ayahmu dari harta kaum muslimin dan menghadiahkannya kepadamu. Sesungguhnya saya tidak senang permata itu ada di rumahku. Karena itu, engkau boleh memilih: permatamu atau aku?"
Apa respon sang istri? Jika ia menegaskan permata, seumur hidupnya akan senantiasa bergelimang harta. Akan tetapi, bila ia menegaskan suaminya, kehidupan apa adanya yang jauh dari kekayaan duniawi mesti ia jalani.
Sang istri sudah mantap dengan pilihannya. la pun berkata, "Demi Allah, pasti saya lebih memilihmu, wahai suamiku, dibandingkan dengan permata ini. Bahkan, bila saya memiliki permata yang berlipat-lipat jumlahnya, akan saya serahkan seluruhnya sebab kau lebih bermanfaat dari semua itu."
Sang istri pun mengembalikan permata kesayangannya ke Baitul Mal.
Kini, kedua suami istri mulia tersebut hidup seadanya. Tidak ada busana glamor dan indah, melainkan busana lama dan sarat tambalan yang menempel pada badan mereka. Tidak ada pula istana, melainkan rumah kecil dengan dinding yang rapuh.
Suatu di saat seorang perempuan Mesir tiba ke tempat tinggal mereka. Fatimah menemuinya yang terlihat kebingungan di depan pintu rumahnya. Ia pun secepatnya menyapa perempuan aneh tersebut, "Wahai hamba Allah, adakah yang sanggup saya bantu?"
Wanita itu berkata, "Aku tiba dari Mesir untuk menemui Amirul Mukminin. Orang-orang menunjuk alamat ini, namun di sini saya tidak menerima istananya."
Fatimah tersenyum lebar dan secepatnya menyambut tamu jauhnya, "Kau benar, ini rumahnya, silakan masuk!"
Alangkah terkejutnya perempuan itu mengenali yang mengatakan di hadapannya yakni istri seorang Amirul Mukminin. Pakaiannya lusuh, tidak berdandan, tanpa gelang dan perhiasan. Siapa yang mengira bahwa ia yakni istri petinggi wilayah ini.
Wanita itu dengan perasaan heran dan gelisah masuk ke dalam rumah. la duduk di atas lantai di temani istri Amirul Mukminin yang terhormat. Namun, sang tamu kembali terkejut menyaksikan di dalam rumah tersebut ada seorang pria dengan tangan sarat tanah dan berpakaian kotor yang sedang memperbaiki dinding rumah.
Disangkanya laki-laki itu yakni tukang batu. Wanita itu pun menegur Fatimah, "Wahai istri Amirul Mukminin. Mengapa kau memasukkan laki-laki ke dalam rumahmu di di saat suamimu tidak ada di rumah?"
Fatimah kembali tersenyum, "Dialah suamiku, Amirul Mukminin yang kaucari."
Sulit untuk diandalkan di saat sang tamu mengenali kehidupan keluarga Amirul Mukminin yang sungguh jauh dari bayangannya. Bukankah petinggi negara diberi akomodasi dari Baitul Mal? Namun, di hadapannya, tidak ada kemewahan, kesombongan, dan jarak antara mereka dan rakyatnya.
Mereka menjauhi kemewahan duniawi mudah-mudahan jiwanya makin besar lengan berkuasa dan terhindar dari fitnah-fitnah dunia. Itulah rumah tangga sarat keimanan yang dihuni oleh pasangan yang menyoroti dunia dan menembus cakrawala.
Siapa yang maksudnya yakni akhirat, Allah akan menyebabkan rasa cukup dalam hatinya, menyatukan kembali apa yang terpisah darinya, dan dunia akan senantiasa tiba kepadanya dalam kondisi tunduk. Dan siapa yang menyebabkan dunia sebaga; tujuannya, Allah akan menyebabkan kefakiran senantiasa membayang-bayanginya, memisahkan yang bersatu dengannya, dan dunia tidak akan tiba kepadanya, kecuali yang kotor baginya. (Al-Hadis)