Catatan Singkat Perjalanan Filsafat Barat: Bringing Philosophy Back To Home
Sunday, June 2, 2013
Edit
Bringing Philosophy Back to Home oleh (Catatan Singkat Perjalanan Filsafat "Barat")[1]
Pertanyaan yang sebaiknya diajukan sebelum mengkaji lebih mendalam wacana filsafat Eropa yakni sejauh mana keterkaitan filsafat Eropa dengan filsafat Islam. Pertanyaan ini menjadi perlu demi menyingkir dari sikap a-historis. Sejenak sebelum karam lebih larut dalam pusaran kajian filsafat Eropa ada beberapa hal yang mesti dijadikan selaku pijakan. Sebagai suatu kajian, filsafat Eropa memang menyimpan daya daya tarik yang luar biasa. Disana ada dongeng wacana era Skolastik, ada hikayat besar wacana masa kegelapan dan ada epos fantastis berkenaan dengan Renaissance.
Parade perjalanan sejarah filsafat Eropa, kini, kerap kali memunculkan kita iri atas efektifitasnya. Terlebih bila menyaksikan realitas miris yang menimpa dunia Islam cerdik balig cukup akal ini. Yang menyakitkan, ketika kita bersepakat bahwa ada suatu proses transformasi filsafat yang dinamis dari Timur (Islam) menuju Barat (Kristen), kenapa dongeng wacana Renaissance sanggup digapai oleh Barat sedangkan kita sibuk mengubur dalam-dalam perlakuan sewenang-wenang terhadap Averroes (Ibn Rushd)?
Dalam goresan pena yang sederhana ini, penulis menjajal menjelitkan sejarah filsafat Barat selaku suatu upaya penyadaran bahwa semangat pencerahan yang menyala di Barat yakni satu hal yang mungkin terjadi di Islam. Paling tidak, kajian terhadap diskursus filsafat Barat akan dengan signifikan mengirimkan kita terhadap sikap respek terhadap para filsuf agung kita. Bukan sikap curiga yang berlebihan dengan meminggirkan kajian filsafat dan menempatkannya di bawah pasung iktikad dan indoktrinasi yang kelewat batas.
Babak Awal Filsafat Barat
Menelaah segi historis filsafat Barat secara mendalam dan menyeluruh akan mengirimkan terhadap suatu kesimpulan bahwa ada tugas dan sumbangsih yang demikian agung dari filsafat Islam. Sebab alasannya yakni sumbangsih dunia Arab lah, Barat pada pertengahan kala 12 dan 13 sanggup mengenal baik karya-karya Aristoteles, Plotinus dan Proclus. Pemikiran filsafati ketiga tokoh inilah, utamanya Aristoteles, yang pada balasannya bisa menyulut kesadaran logika penduduk Eropa dan lantas menjadi begitu dominan.[2]
Hegemoni filsafat Aristoteles utamanya sanggup dipahami dari parade Aristotelian yang memeriahkan panggung filsafat Eropa Klasik.[3] Dominasi mazhab Aristoteles ini sesungguhnya banyak terbantu oleh penerjemahan buku-buku filsafat sarjana muslim. Tercatat, ada Johanna (Spanyol) yang menerjemahkan buku Mantiq-nya Ibn Sina. Ada juga Juan De Salve, yang dengan sokongan Johanna menerjemahkan belahan "al-Thabi'at", belahan "al-Nafs" dan belahan "al-Ilahiyyat" dari buku al-Syifa-nya Ibn Sina. Pun ada penerjemahan buku Maqashid al-Falasifah-nya al-Ghazali dan buku-buku al-Kindi.[4]
Pasca penerjemahan buku-buku karangan sarjana muslim, khususnya karangan Ibn Sina, nuansa Aristoteles demikian kentara dalam corak filsafat Eropa Klasik. Hal ini sanggup dimaklumi alasannya yakni sosok Ibnu Sina ialah sarjana Muslim yang sungguh terpengaruh oleh Aristoteles, utamanya dalam rancangan teologi (ketuhanan). Bagi pihak teolog Barat, serupa dengan Ibn Sina, alam bermula dari Yang Pertama dan dari Yang Pertama inilah timbul (tercipta) al-'Aql al-Tsani kemudian al-'Aql al-Tsalits dan terus berlanjut hingga al-'Aql al-'Asyir yang punya efek sungguh signifikan terhadap manusia.
Untuk memperjelas keterpengaruhan sarjana Barat (filosof) dengan sarjana Muslim rasanya perlu dijelitkan bagaimana sosok Albertus Magnus (Albert the Great), seorang filsuf masa Skolastik yang dengan betul-betul mempelajari buku-buku filsafat Arab yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Keterpengaruhan Albertus Magnus terlihat mengapung kontras ketika dengan vulgar ia mengambil secara utuh konsep-konsep Ibn Sina dalam pembahasan entitas jiwa. Bahkan, keterpengaruhan ini makin nampak ketika dalam mengetahui filsafat Aristoteles, Albertus Magnus banyak merujuk terhadap karya al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rushd.[5]
Yang mengejutkan, keterpengaruhan sarjana Barat dengan sarjana Muslim ternyata tidak cuma terjadi di Jerman; tanah kelahiran Albertus Magnus. Di Italia, sosok besar dalam kajian filsafat Eropa berjulukan Saint Thomas Aquinas timbul selaku seorang Aristotelian sejati. Satu figur yang meningkat menjadi selaku Rushdian sejati pada balasannya nanti. Karakteristik filsafatnya yang Aristotelian sungguh mempunyai pengaruh nampak ketika ia menyuguhkan terhadap umat Kristiani dalil-dalil argumentatif berkenaan dengan keberadaan Tuhan. Dengan lewat pembagian terencana perihal terhadap yang ada (wujud) menjadi 2 macam; yang diktatorial (wajib) dan yang nisbi (mumkin), Saint Thomas Aquinas mengetengahkan terhadap penduduk Kristiani suatu landasan epistemologis rasional bagi dogma-dogma gereja. Gaya dikotomik seperti ini yang dengan brilian dipakai untuk memperkokoh mutu keislaman dan membentengi teologi pada masa klasik oleh al-Farabi dalam Ara’u Ahl al-Madinah al-Fadhilah dan Ibn Sina dalam al-Najat dan al-Syifa-nya.
Melihat realitas demikian yakni suatu fakta historis yang tak terbantahkan bila Saint Thomas Aquinas diyakini pernah membaca karya-karya al-Farabi dan Ibn Sina. Dan hal ini pun pernah diakui secara eksplisit oleh Saint Thomas Aquinas. Pelacakan terhadap kiprah filsafati Saint Thomas Aquinas secara holistik akan mengirimkan pada kesimpulan bahwa tokoh yang satu ini juga pada balasannya terpengaruh dengan Ibn Rushd. Keterpengaruhan Saint Thomas Aquinas oleh Ibn Rushd sanggup dipahami dari konsepnya perihal hubungan antara budi dan wahyu; antara logika dan iman. Tegasnya, konsepsi wacana hubungan antara budi dan wahyu yang diteriakkan oleh Saint Thomas Aquinas pada kala 13 sesungguhnya hanyalah sekedar pengulangan dari apa yang pernah disampaikan oleh Ibn Rushd dalam Fashl al-Maqal wa Taqrir Ma Bayn al-Syari’at wa al-Hikmat min al-Ittishal. Sebuah buku monumental yang balasannya dapat menjadi spirit pencerahan di segenap penjuru kawasan Eropa.[6]
Pengulangan terhadap rancangan milik Ibn Rushd seakan ingin memastikan bahwa hegemoni filsafat mazhab Aristoteles via Ibn Rushd di Eropa yakni sesuatu yang tidak mungkin diingkari. Bahkan, filasafat Aristoteles yang sudah dikembangkan oleh Ibn Rushd ternyata bisa melahirkan suatu mazhab filsafat gres yang menginduk terhadap Ibn Rushd. Dinamika filsafat Rushdian yang makin menggelora di Eropa ditengarai mulai meruyak pesat ketika Michael Scott pada jangka waktu 1228-1235 M. menerjemahkan karya-karya Ibn Rushd yang ialah komentar dari buku-buku Aristoteles. Mungkin, yang perlu diamati di sini, bahwa filsafat para Rushdian Eropa semodel Albertus Magnus dan Saint Thomas Aquinas atau yang dipahami selaku filsafat masa Skolastik ialah permulaan dari perkembangan filsafat secara simultan di daratan Eropa.
Bila memperhatikan terhadap atribut "Skolastik" yang disematkan terhadap filsafat era Saint Thomas Aquinas dan Albertus Magnus, maka sanggup ditarik kesimpulan sebetulnya kajian dan diskursus seputar filsafat lebih banyak dimaksudkan selaku suatu langkah-langkah teologis. Maksudnya, perhatian yang demikian besar terhadap filsafat tidak lain selaku upaya untuk memperkuat ajaran-ajaran gereja beserta konsep-konsep teologis agar lebih mapan dari faktor rasionalnya. Oleh karenanya, tidaklah berlebihan kalau pada masa Skolastik ini, mayoritas para pengkaji filsafat mempunyai latar belakang pendeta atau pastor. Jadi, tidak aneh bila dalam masa ini, gereja punya jasa yang hebat dalam menjaga literatur-literatur filsafat.[7] Yang marak ketika itu, motif mengkaji filsafat yakni motif keagamaan, bukan motif ilmiah. Filsafat ditempatkan selaku media memperkokoh landasan rasional iman seseorang ketimbang dimaknai selaku suatu displin ilmu yang memang menyuguhkan fenomena-fenomena intelektual sungguh memukau dan mempunyai varian kajian yang bermacam-macam.
Ketika Filsafat Membangkitkan Kesadaran
Saat kajian filsafat di masa Skolastik cuma mengambil lokus dalam gereja, seminari dan biara-biara, maka realita ini memunculkan filsafat sungguh tergantung terhadap institusi tersebut. Filsafat yang semula dimaksudkan untuk mengukuhkan bangunan teologis gereja ketika itu, perlahan mulai tergeser dari tujuan semula dan meningkat menjadi selaku suatu media penyadaran bagi proses bernalar penduduk Eropa. Hal ini bisa dilihat dari tipe penduduk masa Skolastik yang tadinya senantiasa mengimani segala keputusan gereja secara buta, tetapi pasca larutnya filsafat dalam kehidupan bermasyarakat, mereka mulai berani menyaksikan secara kritis terhadap segala fenomena kehidupan.
Kondisi penduduk semacam inilah yang sedikit banyak turut berperan dalam tenggelamnya filsafat mazhab Skolastik. Salah satunya, yakni cita-cita untuk membuatkan bidang garap filsafat agar tidak melulu mengkaji faktor teologis, tetapi juga mencapai segala apa yang nampak dan berlangsung dalam peradaban. Sementara itu, dalam segi lainnya, ada satu hal yang sungguh terlibat dalam memudarnya kilauan filsafat mazhab Skolastik yakni terjadinya perpecahan dalam badan gereja. Saat itu, gereja terbagi dalam dua kubu, yakni pertama, kubu Franciscans dan kedua, kubu Dominicans. Kubu yang pertama dihiasi oleh tokoh-tokoh semisal William of Occam, Duns Scout, Saint Bonaventura dan Roger Bacon. Kelompok Franciscans kelihatannya mempersepsikan golongan mereka selaku oposisi bagi kelompok Dominicans yang begitu mengagung-agungkan fatwa Saint Thomas Aquinas.[8]
Secara singkat, filsafat pada masa ini (Renaissance) bisa diklasifikasikan dalam 2 kategori. Pertama, filsafat humanisme (1453-1600), kedua, filsafat materialisme (1600-1690). Filsafat klasifikasi pertama meningkat dengan subur di Italia dan kemudian meluas ke pelbagai daratan Eropa. Filsafat tersebut bermaksud mengembalikan insan terhadap posisinya semula; selaku pemegang peranan dalam kajian filsafat dengan cara menggugah sejarah serta meneladaninya; bukan selaku sikap taklid terhadap masa silam, terlebih sikap glorifikasi terhadap masa lalu. Dalam perkembangan filsafat humanisme, terdapat tokoh-tokoh besar yang ikut menyumbangkan pemikirannya dalam terbentuknya konstruksi filsafat Barat kontemporer. Taruh lah, ada Nicolas Cousa (1401-1463) yang mempercayai terhadap rotasi bumi dan keabadian usang semesta.
Sesudah Nicolas Cousa, lahir tokoh besar yang lain yang berjulukan Paracelus (1493-1541). Bisa jadi, tokoh ini lah yang pertama kali menjajal menanamkan pengertian terhadap penduduk sebetulnya ilmu kedokteran, sesungguhnya ialah akumulasi dari 3 disiplin ilmu atau kajian lainnya, yakni fisika, astronomi dan teologi. Satu masa dengan Paracelus, di Italia lahir satu figur berjulukan Niccolo Machiavelli yang terkenal dengan maha karyanya yang berjudul “The Prince”. Tokoh ini pula yang kadang kala diasumsikan oleh banyak golongan selaku pendiri ilmu politik modern.[9]
Dalam kajian filsafat humanisme, rasanya tidaklah adil bila tidak menyebutkan Geordano Bruno (1548-1600). Tokoh kelahiran Napoli, Italia yang mesti merelakan nyawanya selaku jaminan atas kegigihannya menjaga pendapatnya yang menabrak iktikad gereja. Bagi Bruno, mengimani usulan Copernicus berhubungan dengan metode tata surya akan bermakna adanya rekonstruksi terhadap rancangan teologi yang sudah mapan. Keyakinannya terhadap hasil riset ilmiah Copernicus yang pada balasannya mengirimkan ia terhadap sanksi pihak gereja. Sepeninggal tokoh ini, filsafat humanisme mulai tertatih-tatih dan menuju titik suram.[10] Dan pada masa filsafat humanisme ini lah, perang antara otoritas gereja melawan filsafat mulai terentang. Tentunya, realitas ini sungguh mengenaskan setelah sebelumnya, filsafat demikian mesra berkait bersahabat dengan otoritas agama (institusi gereja).
Menyuramnya filsafat humanisme sebetulnya tidak saja cuma terkait dengan mangkatnya para tokoh pemuja filsafat humanisme melainkan juga terkait dengan ketiadaan metode yang baku dalam filsafat humanisme. Belum lagi pertandingan yang sengit yang terjadi antara golongan agamawan dengan golongan filosof.
Selepas terjungkalnya filsafat humanisme, tanda-tanda berfilsafat mulai beranjak pesat dan meninggalkan kekangan-kekangan agama (gereja). Kajian-kajian filsafat mulai berani untuk membicarakan fenomena-fenomena alam. Akibatnya, kajian filsafat menjadi bercorak materialis alasannya yakni metode yang dipakai yakni metode empirik (tajribah). Filsafat pada masa setelah terpuruknya filsafat humanisme mulai menambahkan pembahasan-pembahasan fisika di dalamnya setelah sebelumnya banyak berkutat dengan diskursus metafisika belaka. Atau memang mengkaji diskursus fisika tetapi masih dalam ketundukan yang taat terhadap doktrin gereja.
Dominannya aliran empirisme dalam dinamika filsafat materialisme bukan bermakna menafikan keberadaan aliran lain. Selain empirisme, ada aliran rasionalis yang masih menilai bahwa budi lah yang ialah poros bagi pengetahuan, bukan eksperimen terhadap realitas-empiris.
Berkembangnya filsafat materialisme-empirisme di daratan Eropa memang banyak ditunjang oleh bahan kajiannya yang lebih membebaskan, ketimbang bahan kajian filsafat era Skolastik dan filsafat humanisme yang masih lebih banyak menyisihkan ruang bagi ketundukan terhadap nilai-nilai agama. Kemunculan filsafat materialisme-empirisme juga diiringi oleh lahirnya tokoh-tokoh besar seumpama Thomas Hobes,Francis Bacon (1561-1626) di Inggris dan yang lainnya. Bagi Francis Bacon, untuk membentuk logika baru, maka mutlak diperlukan adanya ilmu mantiq baru. Ilmu mantiq gres di sini dimaksudkan untuk menawarkan landasan-landasan gres bagi wawasan yang berdasar atas percobaan. Dalam benak Bacon, mantiq gres tersebut yakni suatu upaya untuk terlepas dari hegemoni mantiq qadim-nya Aristoteles yang didominasi oleh metode qiyas dan menggantikannya dengan metode istiqra'i.
Dalam bukunya, Novum Organom, Francis Bacon menjajal menyingkap lebih jauh kesalahan teladan berpikir penduduk pada Abad Pertengahan. Dengan jeli, Bacon menyatakan bahwa ada 4 macam kekeliruan yang sudah ditempuh oleh penduduk sebelumnya. Pertama, Idos of Tribe -Itribus, yakni suatu kekeliruan yang jamak menghinggapi seluruh manusia, kedua, Cave -Sbecus (kekeliruan yang secara spesifik cuma dimiliki oleh individu satu dan condong berlainan dengan lainnya), ketiga, Market -Fori; satu kekeliruan yang ialah pengaruh dari keniscayaan dalam berinteraksi dan yang keempat, Theatre -Theatri, yakni kekeliruan yang terlahir alasannya yakni adanya perasaan terhegemoni oleh alasan filosofis masa silam.[11]
Di segi lain, dari golongan rasionalis bermunculan tokoh-tokoh besar seumpama Baruch Spinoza, G.W. Freiherr von Leibniz dan Rene Descartes --1596-1650-- (Cartesius). Descartes, pemilik jargon "cogito ergo sum" ini punya kepercayaan yang serupa dengan Bacon wacana perlunya metode berpikir baru. Sejarah mencatat, ada 4 tesa Descartes yang demikian fenomenal yang termuat dalam bukunya yang berjudul "Discourse on Method". Keempat tesa tersebut adalah, pertama, ketidak tergesa-gesaan dalam melakukan kesimpulan tamat sebelum adanya kepastian, kedua, mengawali proses hipotesa dari hal-hal yang bersifat lazim dan bergerak menuju hal-hal yang parsial, ketiga, melakukan pembagian terencana perihal terhadap objek secara cermat dan yang keempat, melakukan kajian secara mendalam dan komprehensif.[12]
Gejolak gairah intelektual yang berlandaskan terhadap rasionalitas-empirikal secara signifikan mendorong terhadap kesadaran bernalar penduduk untuk melakukan reposisi terhadap peranan agama dan melakukan pengoptimalan kiprah ilmu pengetahuan. Masyarakat Eropa, pasca melalui fase Skolastik dan Renaissance, menyadari kewajiban adanya hubungan yang sempurna antara diskursus metafisika, fisika dan manusia. Mereka juga berpendapat bahwa pengertian yang sempurna terhadap hakikat insan ialah prasyarat mutlak sebelum melebarkan kajian terhadap alam semesta.
Telah terbentuknya kesadaran penduduk terhadap keperluan epistemologi selaku landasan berpikir mereka, sesungguhnya ialah permulaan dari masa Pencerahan (Aufklarung). Tercatat, dalam masa Aufklarung ini nama-nama filsuf populer seumpama John Locke, David Hume, George Berkeley, Imanuel Kant, Hegel, August Comte, John Stuart Mill dan lainnya. Banyak pakar menilai, bahwa tokoh yang berjasa besar dalam era Aufklarung ini yakni John Locke yang kerap menyuarakan keleluasaan dalam berpikir, berpendapat, beragama dan memahamkan urgensi dari sikap moderat dalam beragama.
Penutup
Betapapun, goresan pena ini cuma bercerita sekelumit perjalanan filsafat Barat; sungguh jauh untuk sekedar menyuguhkan citra yang akurat. Yang menarik, filsafat Barat ternyata begitu bersahabat dan bahkan terinspirasi oleh rasionalitas yang dibangun oleh Ibn Rushd. Namun, Barat dengan bijak menempatkan filsafat selaku suatu media untuk beranjak dari sikap ahumanis dan ahistoris mereka.
Filsafat di tangan Barat meningkat menjadi selaku pemantik kesadaran mendapat perkembangan dalam segala faktor kehidupan, sementara Islam mengubur filsafat dalam-dalam untuk ditundukkan dalam fatwa agama yang dimanfaatkan secara sewenang-wenang oleh golongan agamawan. Maka, sekarang, kita perlu mengambil dan mengembalikan kejayaan filsafat Islam dan menggunakannya selaku modal permulaan dalam menggapai kemajuan.
>>, Peneliti di Philoschool dan Afkar Institute for Aufklarung (AIA)
postingan ini pertama dipublish 18 agustus 2007.
--------------------------------------------------------------------------------
[1] Untuk abang penulis, M. Mustafiedlurrahman, Lc, yang menampilkan ruang bagi kenakalan intelektual.
[2] Abdurrahman Badawi, (2004), Dawr al-'Arab fi Takwin al-Fikr al-Urubiy, Cairo: Maktabah al-Usrah, p. 30
[3] Terma Klasik di sini dimaksudkan untuk menampilkan terhadap filsafat Barat masa Skolastik; yakni suatu era di mana filsafat lebih banyak dipelajari dalam sekolah-sekolah pendeta/ keuskupan (seminari). Filsafat masa Skolastik banyak meningkat di kawasan Italia dan Jerman (Bavaria).
[4] Ibid., p. 31
[5] Ibid., p. 32
[6] Ibid., p. 33-34
[7] William Kelley Wright, (2005), A History Of Modern Philosophy, Cet. II, Cairo: al-Majlis al-A'la li al-Tsaqafah, p. 37. Dialihbahasakan oleh Mahmud Sayyid Ahmad.
[8] Ibid., p. 39-41
[9] Ibid., p. 47-50
[10] Ibid., p. 50-54
[11] Yusuf Karam, (tt), Tarikh al-Falsafah al-Haditsah, Cet. V, Cairo: Dar al-Ma'arif, p. 47-48
[12] Op-cit, p. 93-98
Pertanyaan yang sebaiknya diajukan sebelum mengkaji lebih mendalam wacana filsafat Eropa yakni sejauh mana keterkaitan filsafat Eropa dengan filsafat Islam. Pertanyaan ini menjadi perlu demi menyingkir dari sikap a-historis. Sejenak sebelum karam lebih larut dalam pusaran kajian filsafat Eropa ada beberapa hal yang mesti dijadikan selaku pijakan. Sebagai suatu kajian, filsafat Eropa memang menyimpan daya daya tarik yang luar biasa. Disana ada dongeng wacana era Skolastik, ada hikayat besar wacana masa kegelapan dan ada epos fantastis berkenaan dengan Renaissance.
Parade perjalanan sejarah filsafat Eropa, kini, kerap kali memunculkan kita iri atas efektifitasnya. Terlebih bila menyaksikan realitas miris yang menimpa dunia Islam cerdik balig cukup akal ini. Yang menyakitkan, ketika kita bersepakat bahwa ada suatu proses transformasi filsafat yang dinamis dari Timur (Islam) menuju Barat (Kristen), kenapa dongeng wacana Renaissance sanggup digapai oleh Barat sedangkan kita sibuk mengubur dalam-dalam perlakuan sewenang-wenang terhadap Averroes (Ibn Rushd)?
Dalam goresan pena yang sederhana ini, penulis menjajal menjelitkan sejarah filsafat Barat selaku suatu upaya penyadaran bahwa semangat pencerahan yang menyala di Barat yakni satu hal yang mungkin terjadi di Islam. Paling tidak, kajian terhadap diskursus filsafat Barat akan dengan signifikan mengirimkan kita terhadap sikap respek terhadap para filsuf agung kita. Bukan sikap curiga yang berlebihan dengan meminggirkan kajian filsafat dan menempatkannya di bawah pasung iktikad dan indoktrinasi yang kelewat batas.
Babak Awal Filsafat Barat
Menelaah segi historis filsafat Barat secara mendalam dan menyeluruh akan mengirimkan terhadap suatu kesimpulan bahwa ada tugas dan sumbangsih yang demikian agung dari filsafat Islam. Sebab alasannya yakni sumbangsih dunia Arab lah, Barat pada pertengahan kala 12 dan 13 sanggup mengenal baik karya-karya Aristoteles, Plotinus dan Proclus. Pemikiran filsafati ketiga tokoh inilah, utamanya Aristoteles, yang pada balasannya bisa menyulut kesadaran logika penduduk Eropa dan lantas menjadi begitu dominan.[2]
Hegemoni filsafat Aristoteles utamanya sanggup dipahami dari parade Aristotelian yang memeriahkan panggung filsafat Eropa Klasik.[3] Dominasi mazhab Aristoteles ini sesungguhnya banyak terbantu oleh penerjemahan buku-buku filsafat sarjana muslim. Tercatat, ada Johanna (Spanyol) yang menerjemahkan buku Mantiq-nya Ibn Sina. Ada juga Juan De Salve, yang dengan sokongan Johanna menerjemahkan belahan "al-Thabi'at", belahan "al-Nafs" dan belahan "al-Ilahiyyat" dari buku al-Syifa-nya Ibn Sina. Pun ada penerjemahan buku Maqashid al-Falasifah-nya al-Ghazali dan buku-buku al-Kindi.[4]
Pasca penerjemahan buku-buku karangan sarjana muslim, khususnya karangan Ibn Sina, nuansa Aristoteles demikian kentara dalam corak filsafat Eropa Klasik. Hal ini sanggup dimaklumi alasannya yakni sosok Ibnu Sina ialah sarjana Muslim yang sungguh terpengaruh oleh Aristoteles, utamanya dalam rancangan teologi (ketuhanan). Bagi pihak teolog Barat, serupa dengan Ibn Sina, alam bermula dari Yang Pertama dan dari Yang Pertama inilah timbul (tercipta) al-'Aql al-Tsani kemudian al-'Aql al-Tsalits dan terus berlanjut hingga al-'Aql al-'Asyir yang punya efek sungguh signifikan terhadap manusia.
Untuk memperjelas keterpengaruhan sarjana Barat (filosof) dengan sarjana Muslim rasanya perlu dijelitkan bagaimana sosok Albertus Magnus (Albert the Great), seorang filsuf masa Skolastik yang dengan betul-betul mempelajari buku-buku filsafat Arab yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Keterpengaruhan Albertus Magnus terlihat mengapung kontras ketika dengan vulgar ia mengambil secara utuh konsep-konsep Ibn Sina dalam pembahasan entitas jiwa. Bahkan, keterpengaruhan ini makin nampak ketika dalam mengetahui filsafat Aristoteles, Albertus Magnus banyak merujuk terhadap karya al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rushd.[5]
Yang mengejutkan, keterpengaruhan sarjana Barat dengan sarjana Muslim ternyata tidak cuma terjadi di Jerman; tanah kelahiran Albertus Magnus. Di Italia, sosok besar dalam kajian filsafat Eropa berjulukan Saint Thomas Aquinas timbul selaku seorang Aristotelian sejati. Satu figur yang meningkat menjadi selaku Rushdian sejati pada balasannya nanti. Karakteristik filsafatnya yang Aristotelian sungguh mempunyai pengaruh nampak ketika ia menyuguhkan terhadap umat Kristiani dalil-dalil argumentatif berkenaan dengan keberadaan Tuhan. Dengan lewat pembagian terencana perihal terhadap yang ada (wujud) menjadi 2 macam; yang diktatorial (wajib) dan yang nisbi (mumkin), Saint Thomas Aquinas mengetengahkan terhadap penduduk Kristiani suatu landasan epistemologis rasional bagi dogma-dogma gereja. Gaya dikotomik seperti ini yang dengan brilian dipakai untuk memperkokoh mutu keislaman dan membentengi teologi pada masa klasik oleh al-Farabi dalam Ara’u Ahl al-Madinah al-Fadhilah dan Ibn Sina dalam al-Najat dan al-Syifa-nya.
Melihat realitas demikian yakni suatu fakta historis yang tak terbantahkan bila Saint Thomas Aquinas diyakini pernah membaca karya-karya al-Farabi dan Ibn Sina. Dan hal ini pun pernah diakui secara eksplisit oleh Saint Thomas Aquinas. Pelacakan terhadap kiprah filsafati Saint Thomas Aquinas secara holistik akan mengirimkan pada kesimpulan bahwa tokoh yang satu ini juga pada balasannya terpengaruh dengan Ibn Rushd. Keterpengaruhan Saint Thomas Aquinas oleh Ibn Rushd sanggup dipahami dari konsepnya perihal hubungan antara budi dan wahyu; antara logika dan iman. Tegasnya, konsepsi wacana hubungan antara budi dan wahyu yang diteriakkan oleh Saint Thomas Aquinas pada kala 13 sesungguhnya hanyalah sekedar pengulangan dari apa yang pernah disampaikan oleh Ibn Rushd dalam Fashl al-Maqal wa Taqrir Ma Bayn al-Syari’at wa al-Hikmat min al-Ittishal. Sebuah buku monumental yang balasannya dapat menjadi spirit pencerahan di segenap penjuru kawasan Eropa.[6]
Pengulangan terhadap rancangan milik Ibn Rushd seakan ingin memastikan bahwa hegemoni filsafat mazhab Aristoteles via Ibn Rushd di Eropa yakni sesuatu yang tidak mungkin diingkari. Bahkan, filasafat Aristoteles yang sudah dikembangkan oleh Ibn Rushd ternyata bisa melahirkan suatu mazhab filsafat gres yang menginduk terhadap Ibn Rushd. Dinamika filsafat Rushdian yang makin menggelora di Eropa ditengarai mulai meruyak pesat ketika Michael Scott pada jangka waktu 1228-1235 M. menerjemahkan karya-karya Ibn Rushd yang ialah komentar dari buku-buku Aristoteles. Mungkin, yang perlu diamati di sini, bahwa filsafat para Rushdian Eropa semodel Albertus Magnus dan Saint Thomas Aquinas atau yang dipahami selaku filsafat masa Skolastik ialah permulaan dari perkembangan filsafat secara simultan di daratan Eropa.
Bila memperhatikan terhadap atribut "Skolastik" yang disematkan terhadap filsafat era Saint Thomas Aquinas dan Albertus Magnus, maka sanggup ditarik kesimpulan sebetulnya kajian dan diskursus seputar filsafat lebih banyak dimaksudkan selaku suatu langkah-langkah teologis. Maksudnya, perhatian yang demikian besar terhadap filsafat tidak lain selaku upaya untuk memperkuat ajaran-ajaran gereja beserta konsep-konsep teologis agar lebih mapan dari faktor rasionalnya. Oleh karenanya, tidaklah berlebihan kalau pada masa Skolastik ini, mayoritas para pengkaji filsafat mempunyai latar belakang pendeta atau pastor. Jadi, tidak aneh bila dalam masa ini, gereja punya jasa yang hebat dalam menjaga literatur-literatur filsafat.[7] Yang marak ketika itu, motif mengkaji filsafat yakni motif keagamaan, bukan motif ilmiah. Filsafat ditempatkan selaku media memperkokoh landasan rasional iman seseorang ketimbang dimaknai selaku suatu displin ilmu yang memang menyuguhkan fenomena-fenomena intelektual sungguh memukau dan mempunyai varian kajian yang bermacam-macam.
Ketika Filsafat Membangkitkan Kesadaran
Saat kajian filsafat di masa Skolastik cuma mengambil lokus dalam gereja, seminari dan biara-biara, maka realita ini memunculkan filsafat sungguh tergantung terhadap institusi tersebut. Filsafat yang semula dimaksudkan untuk mengukuhkan bangunan teologis gereja ketika itu, perlahan mulai tergeser dari tujuan semula dan meningkat menjadi selaku suatu media penyadaran bagi proses bernalar penduduk Eropa. Hal ini bisa dilihat dari tipe penduduk masa Skolastik yang tadinya senantiasa mengimani segala keputusan gereja secara buta, tetapi pasca larutnya filsafat dalam kehidupan bermasyarakat, mereka mulai berani menyaksikan secara kritis terhadap segala fenomena kehidupan.
Kondisi penduduk semacam inilah yang sedikit banyak turut berperan dalam tenggelamnya filsafat mazhab Skolastik. Salah satunya, yakni cita-cita untuk membuatkan bidang garap filsafat agar tidak melulu mengkaji faktor teologis, tetapi juga mencapai segala apa yang nampak dan berlangsung dalam peradaban. Sementara itu, dalam segi lainnya, ada satu hal yang sungguh terlibat dalam memudarnya kilauan filsafat mazhab Skolastik yakni terjadinya perpecahan dalam badan gereja. Saat itu, gereja terbagi dalam dua kubu, yakni pertama, kubu Franciscans dan kedua, kubu Dominicans. Kubu yang pertama dihiasi oleh tokoh-tokoh semisal William of Occam, Duns Scout, Saint Bonaventura dan Roger Bacon. Kelompok Franciscans kelihatannya mempersepsikan golongan mereka selaku oposisi bagi kelompok Dominicans yang begitu mengagung-agungkan fatwa Saint Thomas Aquinas.[8]
Secara singkat, filsafat pada masa ini (Renaissance) bisa diklasifikasikan dalam 2 kategori. Pertama, filsafat humanisme (1453-1600), kedua, filsafat materialisme (1600-1690). Filsafat klasifikasi pertama meningkat dengan subur di Italia dan kemudian meluas ke pelbagai daratan Eropa. Filsafat tersebut bermaksud mengembalikan insan terhadap posisinya semula; selaku pemegang peranan dalam kajian filsafat dengan cara menggugah sejarah serta meneladaninya; bukan selaku sikap taklid terhadap masa silam, terlebih sikap glorifikasi terhadap masa lalu. Dalam perkembangan filsafat humanisme, terdapat tokoh-tokoh besar yang ikut menyumbangkan pemikirannya dalam terbentuknya konstruksi filsafat Barat kontemporer. Taruh lah, ada Nicolas Cousa (1401-1463) yang mempercayai terhadap rotasi bumi dan keabadian usang semesta.
Sesudah Nicolas Cousa, lahir tokoh besar yang lain yang berjulukan Paracelus (1493-1541). Bisa jadi, tokoh ini lah yang pertama kali menjajal menanamkan pengertian terhadap penduduk sebetulnya ilmu kedokteran, sesungguhnya ialah akumulasi dari 3 disiplin ilmu atau kajian lainnya, yakni fisika, astronomi dan teologi. Satu masa dengan Paracelus, di Italia lahir satu figur berjulukan Niccolo Machiavelli yang terkenal dengan maha karyanya yang berjudul “The Prince”. Tokoh ini pula yang kadang kala diasumsikan oleh banyak golongan selaku pendiri ilmu politik modern.[9]
Dalam kajian filsafat humanisme, rasanya tidaklah adil bila tidak menyebutkan Geordano Bruno (1548-1600). Tokoh kelahiran Napoli, Italia yang mesti merelakan nyawanya selaku jaminan atas kegigihannya menjaga pendapatnya yang menabrak iktikad gereja. Bagi Bruno, mengimani usulan Copernicus berhubungan dengan metode tata surya akan bermakna adanya rekonstruksi terhadap rancangan teologi yang sudah mapan. Keyakinannya terhadap hasil riset ilmiah Copernicus yang pada balasannya mengirimkan ia terhadap sanksi pihak gereja. Sepeninggal tokoh ini, filsafat humanisme mulai tertatih-tatih dan menuju titik suram.[10] Dan pada masa filsafat humanisme ini lah, perang antara otoritas gereja melawan filsafat mulai terentang. Tentunya, realitas ini sungguh mengenaskan setelah sebelumnya, filsafat demikian mesra berkait bersahabat dengan otoritas agama (institusi gereja).
Menyuramnya filsafat humanisme sebetulnya tidak saja cuma terkait dengan mangkatnya para tokoh pemuja filsafat humanisme melainkan juga terkait dengan ketiadaan metode yang baku dalam filsafat humanisme. Belum lagi pertandingan yang sengit yang terjadi antara golongan agamawan dengan golongan filosof.
Selepas terjungkalnya filsafat humanisme, tanda-tanda berfilsafat mulai beranjak pesat dan meninggalkan kekangan-kekangan agama (gereja). Kajian-kajian filsafat mulai berani untuk membicarakan fenomena-fenomena alam. Akibatnya, kajian filsafat menjadi bercorak materialis alasannya yakni metode yang dipakai yakni metode empirik (tajribah). Filsafat pada masa setelah terpuruknya filsafat humanisme mulai menambahkan pembahasan-pembahasan fisika di dalamnya setelah sebelumnya banyak berkutat dengan diskursus metafisika belaka. Atau memang mengkaji diskursus fisika tetapi masih dalam ketundukan yang taat terhadap doktrin gereja.
Dominannya aliran empirisme dalam dinamika filsafat materialisme bukan bermakna menafikan keberadaan aliran lain. Selain empirisme, ada aliran rasionalis yang masih menilai bahwa budi lah yang ialah poros bagi pengetahuan, bukan eksperimen terhadap realitas-empiris.
Berkembangnya filsafat materialisme-empirisme di daratan Eropa memang banyak ditunjang oleh bahan kajiannya yang lebih membebaskan, ketimbang bahan kajian filsafat era Skolastik dan filsafat humanisme yang masih lebih banyak menyisihkan ruang bagi ketundukan terhadap nilai-nilai agama. Kemunculan filsafat materialisme-empirisme juga diiringi oleh lahirnya tokoh-tokoh besar seumpama Thomas Hobes,Francis Bacon (1561-1626) di Inggris dan yang lainnya. Bagi Francis Bacon, untuk membentuk logika baru, maka mutlak diperlukan adanya ilmu mantiq baru. Ilmu mantiq gres di sini dimaksudkan untuk menawarkan landasan-landasan gres bagi wawasan yang berdasar atas percobaan. Dalam benak Bacon, mantiq gres tersebut yakni suatu upaya untuk terlepas dari hegemoni mantiq qadim-nya Aristoteles yang didominasi oleh metode qiyas dan menggantikannya dengan metode istiqra'i.
Dalam bukunya, Novum Organom, Francis Bacon menjajal menyingkap lebih jauh kesalahan teladan berpikir penduduk pada Abad Pertengahan. Dengan jeli, Bacon menyatakan bahwa ada 4 macam kekeliruan yang sudah ditempuh oleh penduduk sebelumnya. Pertama, Idos of Tribe -Itribus, yakni suatu kekeliruan yang jamak menghinggapi seluruh manusia, kedua, Cave -Sbecus (kekeliruan yang secara spesifik cuma dimiliki oleh individu satu dan condong berlainan dengan lainnya), ketiga, Market -Fori; satu kekeliruan yang ialah pengaruh dari keniscayaan dalam berinteraksi dan yang keempat, Theatre -Theatri, yakni kekeliruan yang terlahir alasannya yakni adanya perasaan terhegemoni oleh alasan filosofis masa silam.[11]
Di segi lain, dari golongan rasionalis bermunculan tokoh-tokoh besar seumpama Baruch Spinoza, G.W. Freiherr von Leibniz dan Rene Descartes --1596-1650-- (Cartesius). Descartes, pemilik jargon "cogito ergo sum" ini punya kepercayaan yang serupa dengan Bacon wacana perlunya metode berpikir baru. Sejarah mencatat, ada 4 tesa Descartes yang demikian fenomenal yang termuat dalam bukunya yang berjudul "Discourse on Method". Keempat tesa tersebut adalah, pertama, ketidak tergesa-gesaan dalam melakukan kesimpulan tamat sebelum adanya kepastian, kedua, mengawali proses hipotesa dari hal-hal yang bersifat lazim dan bergerak menuju hal-hal yang parsial, ketiga, melakukan pembagian terencana perihal terhadap objek secara cermat dan yang keempat, melakukan kajian secara mendalam dan komprehensif.[12]
Gejolak gairah intelektual yang berlandaskan terhadap rasionalitas-empirikal secara signifikan mendorong terhadap kesadaran bernalar penduduk untuk melakukan reposisi terhadap peranan agama dan melakukan pengoptimalan kiprah ilmu pengetahuan. Masyarakat Eropa, pasca melalui fase Skolastik dan Renaissance, menyadari kewajiban adanya hubungan yang sempurna antara diskursus metafisika, fisika dan manusia. Mereka juga berpendapat bahwa pengertian yang sempurna terhadap hakikat insan ialah prasyarat mutlak sebelum melebarkan kajian terhadap alam semesta.
Telah terbentuknya kesadaran penduduk terhadap keperluan epistemologi selaku landasan berpikir mereka, sesungguhnya ialah permulaan dari masa Pencerahan (Aufklarung). Tercatat, dalam masa Aufklarung ini nama-nama filsuf populer seumpama John Locke, David Hume, George Berkeley, Imanuel Kant, Hegel, August Comte, John Stuart Mill dan lainnya. Banyak pakar menilai, bahwa tokoh yang berjasa besar dalam era Aufklarung ini yakni John Locke yang kerap menyuarakan keleluasaan dalam berpikir, berpendapat, beragama dan memahamkan urgensi dari sikap moderat dalam beragama.
Penutup
Betapapun, goresan pena ini cuma bercerita sekelumit perjalanan filsafat Barat; sungguh jauh untuk sekedar menyuguhkan citra yang akurat. Yang menarik, filsafat Barat ternyata begitu bersahabat dan bahkan terinspirasi oleh rasionalitas yang dibangun oleh Ibn Rushd. Namun, Barat dengan bijak menempatkan filsafat selaku suatu media untuk beranjak dari sikap ahumanis dan ahistoris mereka.
Filsafat di tangan Barat meningkat menjadi selaku pemantik kesadaran mendapat perkembangan dalam segala faktor kehidupan, sementara Islam mengubur filsafat dalam-dalam untuk ditundukkan dalam fatwa agama yang dimanfaatkan secara sewenang-wenang oleh golongan agamawan. Maka, sekarang, kita perlu mengambil dan mengembalikan kejayaan filsafat Islam dan menggunakannya selaku modal permulaan dalam menggapai kemajuan.
>>, Peneliti di Philoschool dan Afkar Institute for Aufklarung (AIA)
postingan ini pertama dipublish 18 agustus 2007.
--------------------------------------------------------------------------------
[1] Untuk abang penulis, M. Mustafiedlurrahman, Lc, yang menampilkan ruang bagi kenakalan intelektual.
[2] Abdurrahman Badawi, (2004), Dawr al-'Arab fi Takwin al-Fikr al-Urubiy, Cairo: Maktabah al-Usrah, p. 30
[3] Terma Klasik di sini dimaksudkan untuk menampilkan terhadap filsafat Barat masa Skolastik; yakni suatu era di mana filsafat lebih banyak dipelajari dalam sekolah-sekolah pendeta/ keuskupan (seminari). Filsafat masa Skolastik banyak meningkat di kawasan Italia dan Jerman (Bavaria).
[4] Ibid., p. 31
[5] Ibid., p. 32
[6] Ibid., p. 33-34
[7] William Kelley Wright, (2005), A History Of Modern Philosophy, Cet. II, Cairo: al-Majlis al-A'la li al-Tsaqafah, p. 37. Dialihbahasakan oleh Mahmud Sayyid Ahmad.
[8] Ibid., p. 39-41
[9] Ibid., p. 47-50
[10] Ibid., p. 50-54
[11] Yusuf Karam, (tt), Tarikh al-Falsafah al-Haditsah, Cet. V, Cairo: Dar al-Ma'arif, p. 47-48
[12] Op-cit, p. 93-98