Liberalisme; Suatu Keniscayaan Sejarah

Liberalisme; Sebuah Keniscayaan Sejarah. oleh

Liberalisme dalam dunia Barat berawal dari masa Renaissance, satu masa yang banyak diinterpretasikan selaku pijakan bagi kebangkitan penduduk Eropa. Satu estimasi yang sanggup dibuktikan dari makna kata renaissance. Secara literal, renaissance berasal dari bahasa Italia, rinascimento dan memiliki arti terlahir kembali.

Penamaan ini seakan ingin memastikan bahwa penduduk Barat-Eropa sedang mendapatkan kehidupannya kembali yang sempat hilang pada masa sebelumnya yang disebut era kegelapan (dark ages). Kebangkitan penduduk Barat-Eropa pada masa Reanaissance sanggup ditengarai dari pergantian paradigma. Kalau dalam era kegelapan (dari era ke-4 hingga era ke-15), mereka terjebak dalam pemujaan dan ketundukan nan otoriter terhadap monarki yang diback-up oleh pemuka agama atau gerejawan, maka dalam era Renaissance ini, mereka merasa perlu untuk kembali mengulang kejayaan yang pernah digapai pada masa Greko-Romawi.

Keinginan ini mereka realisasikan dengan memunculkan falsafah hidup yang serupa sekali baru. Mereka beranjak dari ketaklidan dan fanatisme buta menuju keleluasaan contoh pikir –liberalisme—dan semangat untuk mereformasi metode dan nilai-nilai beragama yang otoriter dan semena-mena. Apalagi dalam pikiran mereka sudah timbul sebentuk keimanan gres yang meyakini bahwa kemunduran yang terjadi merupakan alasannya merupakan tidak adanya batas-batas yang terang bagi otoritas agama. Akibatnya, semua capaian-capaian ilmu wawasan mesti tunduk terhadap dogma gereja atau mesti mau mengadakan persesuaian dengan kepercayaan teologi yang sudah mapan. Efek yang buruk dari alam pikir seperti ini merupakan pemberangusan terhadap kemajuan-kemajuan sains yang tidak sejalan dengan kitab suci. Kasus kekerasan terhadap Copernicus dan Galileo-Galilei mungkin bisa mewakili bagaimana ‘kegelapan’ memang demikian melingkupi era kegelapan/ patristik-skolastik.

Ekspektasi publik yang makin memuncak terhadap kehidupan yang liberal ternyata dengan praktis sanggup dimengerti (obvious) dan dipahami alasannya merupakan terkait juga dengan perjalanan sejarah filsafat. Kenapa sejarah liberalisme mesti diinherenkan dengan sejarah filsafat? Sebab, dalam masa kegelapan, contoh pikir penduduk masih banyak berkutat dalam daerah teosentris. Pola pikir seperti ini terang berperan besar dalam menyuburkan keotoriteran kelompok agamawan yang senantiasa mencarikan pembenarnya dari kitab suci. Pun demikian, contoh pikir ini disokong oleh iklim berpikir yang dikembangkan oleh para filsuf semacam Thomas Aquinas, Albertus Magnus dan Dante Alighieri.

Disinilah tugas filsafat paska Thomas Aquinas yang mulai berani menampilkan kajian yang bersifat antroposentris dengan mengesampingkan pembahasan Tuhan sedikit banyak bisa membangkitkan kesadaran kolektif penduduk untuk bersikap kritis dalam menjalani kehidupan beragamanya. Filsafat –dengan kajiannya yang bersifat antroposentris—secara meyakinkan bisa menggambarkan bahwa manusialah sebaiknya yang menjadi titik konsentrasi kenyataan; bukan varian-varian absurd yang terkesan sukar dinalar. Sebuah tawaran yang dibungkus dengan sungguh menggemaskan oleh figur semodel Thomas Hobbes dan Francis Bacon.

Gugatan-gugatan epistemologis-kritis ala filsafat dengan tentu menumbuhkembangkan keberanian berpikir dalam alam budi setiap individu. Bahkan somasi tersebut direspon dengan positif dan apresiatif oleh Martin Luder (Luther dalam model Barat). Sebagai seorang langsung yang pernah menggeluti filsafat dan lantas menenggelamkan dirinya dalam kajian teologi, Martin Luder mencicipi ada kerancuan –untuk tidak menyebutnya kesalahan—nan sistematis dalam rancangan teologi Kristen-Katolik yang mesti dibenahi dengan segera. Oleh karenanya, berangkat dari keprihatinan yang mendalam, ia menuangkan kritikannya atas ke-salah sengaja-an dalam ritual peribadatan Kristen-Katolik yang kemudian dibukukan dalam judul The Disputation of Doctor Martin Luther on the Power and Efficacy of Indulgences.

Kritikan pedas Martin Luther inilah yang bahwasanya merupakan benih permulaan dari Reformasi Protestan. Sebuah reformasi yang bermula dari liberalisme dalam teologi Kristen-Katolik; dengan mempertanyakan asas peniadaan dosa, kuasa atau otoritas Paus yang berlebihan dan pada alhasil berujung pada penanaman sikap liberalisme selaku sebentuk ideologi gres untuk terciptanya penduduk yang berperadaban. Sebuah tipikal penduduk dengan aksara sebagaimana digambarkan oleh Max Weber dalam bukunya, The Protestant Ethics and the Spirit of Capitalisme, selaku penduduk yang mempunyai etos berpikir rasional, berorientasi berhasil (material), bertingkah sistematik dan mempunyai jiwa investasi.

Sejatinya, rancangan yang diwacanakan Martin Luther dan berikutnya mendapatkan kematangannya dalam tangan Jean Chauvin --John Calvin dalam dialek Barat-- menuntut dan meniscayakan adanya transformasi radikal (meminjam bahasanya Sukidi); dari ketundukan terhadap kekuasaan pemuka agama dan institusi gereja menuju otoritas iman per individu; dari budaya monotafsir yang menelikung objektifitas berganti multitafsir selaku cermin lisan keleluasaan dan wujud konkret dari penghilangan budaya penafsiran yang manipulatif.

Semangat reformasi keagamaan yang berhembus ternyata bukan cuma memunculkan transformasi radikal dalam tataran pemikiran (baca; keimanan), tetapi bisa terlembagakan dengan rapi yang tergambar dari kedatangan ‘firqah’ Kristen-Protestan. Kemunculan ‘firqah’ ini terang dimaksudkan selaku musuh seimbang bagi Kristen-Katolik yang begitu menghegemoni dengan segala keotoriterannya sekaligus antitesis atas ajaran-ajarannya yang indoktrinatif. Secara signifikan, semangat reformasi keagamaannya Martin Luther yang diwariskan terhadap John Calvin dan terformat dalam gerakan keagamaan Kristen-Protestan sanggup memantik keinginan untuk bebas berpikir dan bersikap dalam segala hal, sekalipun hal-hal yang tabu semisal kepercayaan atau akidah.

Terpantiknya nalar-nalar progresif penduduk Barat-Eropa yang sempat mati alasannya merupakan terjebak dalam era kegelapan yang didominasi oleh pemikiran patristik dan skolastik dengan praktis sanggup kita identifikasi dari terjelangnya era Pencerahan (aufklarung). Oleh sebagian kalangan, era Pencerahan ini intinya merupakan puncak dari kesuksesan penduduk Barat-Eropa menjalankan reformasi keagamaan yang menyebabkan revolusi dalam bidang sains dan mengkaji ulang filsafat dan seni. Tahapan yang berhasil diperoleh dari liberalisme antara lain metode ekonomi kapitalisme dan mungkin yang paling kronis dari capaian liberalisme dalam masa Pencerahan merupakan sikap sekular. Satu sikap yang meniscayakan peminggiran wahyu dengan mengedepankan rasio. Sikap yang diyakini sarat oleh Diderot dan Voltaire dengan berasumsi cuma ilmu pengetahuanlah yang dapat menjawab duduk kasus laten dan kontemporer manusia. Sebuah sikap yang dapat jadi terilhami oleh pernyataan lugas Immanuel Kant dengan semboyannya, “Sapere Aude”.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel