Puasa Ramadhan Dalam Al-Qur'an
Thursday, September 24, 2015
Edit
PUASA RAMADHAN. Uraian Al-Quran tentang puasa Ramadhan, didapatkan dalam surat Al-Baqarah (2): 183, 184, 185, dan 187. Ini mempunyai arti bahwa puasa Ramadhan gres diwajibkan sehabis Nabi saw tiba di Madinah, alasannya merupakan ulama Al-Quran sepakat bahwa surat Al-Baqarah turun di Madinah. Para sejarawan menyatakan bahwa keharusan melaksanakan puasa Ramadhan ditetapkan Allah pada 10 Sya'ban tahun kedua Hijrah.
Apakah keharusan itu pribadi ditetapkan oleh Al-Quran selama istilah penuh, ataukah bertahap? Kalau menyaksikan perilaku Al-Quran yang terkadang melaksanakan penahapan dalam perintah- perintahnya, maka agaknya keharusan berpuasa pun sanggup dibilang demikian. Ayat 184 yang menyatakan ayyaman ma'dudat (beberapa hari tertentu) dimengerti oleh sementara ulama selaku tiga hari dalam istilah yang merupakan tahap permulaan dari keharusan berpuasa. Hari-hari tersebut kemudian diperpanjang dengan turunnya ayat 185.
(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kau ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) mengeluarkan duit fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati melakukan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu kalau kau mengetahui.(QS. Al-Baqarah (2): 184)
(Beberapa hari yang diputuskan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an selaku isyarat bagi insan dan penjelasan-penjelasan mengenai isyarat itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kau hadir (di negeri kawasan tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah mengharapkan fasilitas bagimu, dan tidak mengharapkan kesukaran bagimu. Dan hendaklah kau mencukupkan bilangannya dan hendaklah kau mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kau bersyukur.(QS. Al-Baqarah (2): 185)
Pemahaman seperti ini memicu ayat-ayat puasa Ramadhan terputus-putus tidak menjadi satu kesatuan. Merujuk terhadap ketiga ayat puasa Ramadhan selaku satu kesatuan, Quraish Shihab lebih condong mendukung pertimbangan ulama yang menyatakan bahwa Al-Quran mewajibkannya tanpa penahapan. Memang, tidak tidak mungkin bahwa Nabi dan sahabatnya sudah melaksanakan puasa sunnah sebelumnya. Namun itu bukan keharusan dari Al-Quran, terlebih tidak didapatkan satu ayat pun yang mengatakan tentang puasa sunnah tertentu.
Uraian Al-Quran tentang keharusan puasa di bulan Ramadhan, dimulai dengan satu pendahuluan yang mendorong umat islam untuk melaksanakannya dengan baik, tanpa sedikit kekesalan pun.
Perhatikan surat Al-Baqarah (2): 183. ia dimulai dengan panggilan mesra, "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan terhadap kau berpuasa." Di sini tidak diterangkan siapa yang mewajibkan, belum juga diterangkan berapa keharusan puasa itu, tetapi terlebih dulu dikemukakan bahwa, "sebagaimana diwajibkan terhadap umat-umat sebelum kamu." Jika demikian, maka masuk akal pula kalau umat Islam melaksanakannya, terlebih tujuan puasa tersebut merupakan untuk kepentingan yang berpuasa sendiri yakni "agar kau bertakwa (terhindar dari siksa)."
Kemudian Al-Quran dalam surat Al-Baqarah (2): 184, 185 menerangkan bahwa keharusan itu bukannya sepanjang tahun, tetapi cuma "beberapa hari tertentu," itu pun cuma diwajibkan bagi yang berada di kampung halaman kawasan tinggalnya, dan dalam kondisi sehat, sehingga "barangsiapa sakit atau dalam perjalanan," maka ia (boleh) tidak berpuasa dan menjumlah berapa hari ia tidak berpuasa untuk digantikannya pada hari-hari yang lain. "Sedang yang merasa sungguh berat berpuasa, maka (sebagai gantinya) ia mesti mengeluarkan duit fidyah, yakni memberi makan seorang miskin." Penjelasan di atas ditutup dengan pernyataan bahwa "berpuasa merupakan baik."
Setelah itu disusul dengan klarifikasi tentang spesialisasi bulan Ramadhan, dan dari sini tiba perintah-Nya untuk berpuasa pada bulan tersebut, tetapi kembali diingatkan bahwa orang yang sakit dan dalam perjalanan (boleh) tidak berpuasa dengan menyediakan penegasan mengenai peraturan berpuasa sebagaimana disebut sebelumnya. Ayat tentang keharusan puasa Ramadhan ditutup dengan "Allah mengharapkan kemudahdn untuk kau bukan kesulitan," kemudian diakhiri dengan perintah bertakbir dan bersyukur. Ayat 186 tidak mengatakan tentang puasa, tetapi tentang doa. Penempatan uraian tentang doa atau penyisipannya dalam uraian Al-Quran tentang puasa pasti mempunyai belakang layar tersendiri. Agaknya ia mengisyaratkan bahwa berdoa di bulan Ramadhan merupakan ibadah yang sungguh dianjurkan, dan alasannya merupakan itu ayat tersebut memastikan bahwa "Allah bersahabat terhadap hamba-hamba-Nya dan menemukan doa siapa yang berdoa."
Selanjutnya ayat 187 antara lain menyangkut izin melaksanakan hubungan seks di malam Ramadhan, di samping klarifikasi tentang lamanya puasa yang mesti dikerjakan, yakni dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari.
Banyak informasi dan tuntunan yang sanggup ditarik dari ayat-ayat di atas berhubungan dengan aturan maupun tujuan puasa. Berikut akan dikemukan sekelumit baik yang berhubungan dengan aturan maupun hikmahnya, dengan menggarisbawahi kata atau kalimat dari ayat-ayat puasa di atas.
Apakah keharusan itu pribadi ditetapkan oleh Al-Quran selama istilah penuh, ataukah bertahap? Kalau menyaksikan perilaku Al-Quran yang terkadang melaksanakan penahapan dalam perintah- perintahnya, maka agaknya keharusan berpuasa pun sanggup dibilang demikian. Ayat 184 yang menyatakan ayyaman ma'dudat (beberapa hari tertentu) dimengerti oleh sementara ulama selaku tiga hari dalam istilah yang merupakan tahap permulaan dari keharusan berpuasa. Hari-hari tersebut kemudian diperpanjang dengan turunnya ayat 185.
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kau berpuasa sebagaimana diwajibkan atas umat-umat sebelum kau biar kau bertakwa, (QS. Al-Baqarah (2): 183)
(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kau ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) mengeluarkan duit fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati melakukan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu kalau kau mengetahui.(QS. Al-Baqarah (2): 184)
(Beberapa hari yang diputuskan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an selaku isyarat bagi insan dan penjelasan-penjelasan mengenai isyarat itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kau hadir (di negeri kawasan tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah mengharapkan fasilitas bagimu, dan tidak mengharapkan kesukaran bagimu. Dan hendaklah kau mencukupkan bilangannya dan hendaklah kau mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kau bersyukur.(QS. Al-Baqarah (2): 185)
Pemahaman seperti ini memicu ayat-ayat puasa Ramadhan terputus-putus tidak menjadi satu kesatuan. Merujuk terhadap ketiga ayat puasa Ramadhan selaku satu kesatuan, Quraish Shihab lebih condong mendukung pertimbangan ulama yang menyatakan bahwa Al-Quran mewajibkannya tanpa penahapan. Memang, tidak tidak mungkin bahwa Nabi dan sahabatnya sudah melaksanakan puasa sunnah sebelumnya. Namun itu bukan keharusan dari Al-Quran, terlebih tidak didapatkan satu ayat pun yang mengatakan tentang puasa sunnah tertentu.
Uraian Al-Quran tentang keharusan puasa di bulan Ramadhan, dimulai dengan satu pendahuluan yang mendorong umat islam untuk melaksanakannya dengan baik, tanpa sedikit kekesalan pun.
Perhatikan surat Al-Baqarah (2): 183. ia dimulai dengan panggilan mesra, "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan terhadap kau berpuasa." Di sini tidak diterangkan siapa yang mewajibkan, belum juga diterangkan berapa keharusan puasa itu, tetapi terlebih dulu dikemukakan bahwa, "sebagaimana diwajibkan terhadap umat-umat sebelum kamu." Jika demikian, maka masuk akal pula kalau umat Islam melaksanakannya, terlebih tujuan puasa tersebut merupakan untuk kepentingan yang berpuasa sendiri yakni "agar kau bertakwa (terhindar dari siksa)."
Kemudian Al-Quran dalam surat Al-Baqarah (2): 184, 185 menerangkan bahwa keharusan itu bukannya sepanjang tahun, tetapi cuma "beberapa hari tertentu," itu pun cuma diwajibkan bagi yang berada di kampung halaman kawasan tinggalnya, dan dalam kondisi sehat, sehingga "barangsiapa sakit atau dalam perjalanan," maka ia (boleh) tidak berpuasa dan menjumlah berapa hari ia tidak berpuasa untuk digantikannya pada hari-hari yang lain. "Sedang yang merasa sungguh berat berpuasa, maka (sebagai gantinya) ia mesti mengeluarkan duit fidyah, yakni memberi makan seorang miskin." Penjelasan di atas ditutup dengan pernyataan bahwa "berpuasa merupakan baik."
Setelah itu disusul dengan klarifikasi tentang spesialisasi bulan Ramadhan, dan dari sini tiba perintah-Nya untuk berpuasa pada bulan tersebut, tetapi kembali diingatkan bahwa orang yang sakit dan dalam perjalanan (boleh) tidak berpuasa dengan menyediakan penegasan mengenai peraturan berpuasa sebagaimana disebut sebelumnya. Ayat tentang keharusan puasa Ramadhan ditutup dengan "Allah mengharapkan kemudahdn untuk kau bukan kesulitan," kemudian diakhiri dengan perintah bertakbir dan bersyukur. Ayat 186 tidak mengatakan tentang puasa, tetapi tentang doa. Penempatan uraian tentang doa atau penyisipannya dalam uraian Al-Quran tentang puasa pasti mempunyai belakang layar tersendiri. Agaknya ia mengisyaratkan bahwa berdoa di bulan Ramadhan merupakan ibadah yang sungguh dianjurkan, dan alasannya merupakan itu ayat tersebut memastikan bahwa "Allah bersahabat terhadap hamba-hamba-Nya dan menemukan doa siapa yang berdoa."
Selanjutnya ayat 187 antara lain menyangkut izin melaksanakan hubungan seks di malam Ramadhan, di samping klarifikasi tentang lamanya puasa yang mesti dikerjakan, yakni dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari.
Banyak informasi dan tuntunan yang sanggup ditarik dari ayat-ayat di atas berhubungan dengan aturan maupun tujuan puasa. Berikut akan dikemukan sekelumit baik yang berhubungan dengan aturan maupun hikmahnya, dengan menggarisbawahi kata atau kalimat dari ayat-ayat puasa di atas.