Al-Khithab Al-Diniy Itu Berjulukan Ta'lim Al-Muta'allim

Ta'lim al-Muta'allim oleh . Between Hope and Reality[1]

I. Merajut Kembali Nalar Ilahi
Sebagai agama samawi, Islam mengetahui benar akan urgensi kekerabatan antara realitas dan idealitas yang dapat dianalogikan selaku suatu keterkaitan antara planning dengan kerja serta keterhubungan antara teori dan aplikasi. Islam beserta seluruh ajarannya secara terang dan konkret bisa menjalin komunikasi yang intensif, dinamis serta berkelanjutan dengan dunia fakta (das sein). Dalam bahasa yang lebih sederhana, Islam selaku suatu sisten kehidupan yang menyeluruh (a comprehensive way of life) tidak akan memaksakan idealitas atas realitas yang mau memunculkan hidup kaku dan monoton. Atau tegasnya, selaku agama samawi terakhir, Islam hadir dan berada di tengah penduduk untuk mengendalikan segala proses interaksi insan tanpa tersekat oleh dimensi ruang dan waktu.[2]

Sebagai suatu pranata, Islam pun dalam menanggapi dan mengakomodasi realitas tidak mau mengecilkan idealitas yang karenanya kehidupan bisa lebih bermakna dan kaya akan warna. Islam mengerti benar bahwa realitas tercipta dari banyak hal dan karenanya ia bersifat multidimensional yang berakibat penolakan terhadap sebagaian prinsip idealisme. Sebagaimana bisa dipahami dengan seringnya timbul friksi atau benturan-benturan antara idealisme dengan kenyataan yang berkembang.

Banyak golongan keliru dalam menatap Islam selaku suatu ideologi yang sudah mapan dan paripurna. Sama halnya mereka sering terjebak dalam menganggap Islam dari beberapa sisi dengan menafikan bagian-bagian lain. Tidak jarang mereka kurang bisa membedakan antara interpretasi yang condong sarat kepentingan dengan teks-teks suci yang notabene ialah miniatur dari aliran Islam. Berangkat dari pengertian yang keliru, mereka meyakini bahwa dalam Islam terdapat instabilitas yang terang antara idealitas dengan realitas yang meningkat ditengah penduduk beserta problematikanya yang majemuk. Secara singkat bisa dikatakan, ada fenomena kontradiktif antara realitas umat dengan nilai-nilai ideal dalam Islam.

Anggapan atau klaim tersebut timbul lebih lantaran ketidak sempurnaan mereka dalam mengetahui agama atau dalam istilahnya Fahmi Huwaydy al-fahm al-manqhush li al-diniy. Islam –menurut mereka- cuma dimaknai secara sempit pada sisi-sisi keagamaan. Ini memiliki pengertian bahwa ia(Islam) cuma menampung seperangkat aturan ritual formal yang kerap dibahasakan oleh santri pesantren dengan ibadah mahdlah. Pemaknaan ini pastinya menafikan sisi anthroposentris Islam. Melokalisasi Islam dalam sisi theosentris secara tegas ditolak oleh DR. Yusuf al-Qardhawi. Baginya, Islam yakni al-dien wa al-hayat. Membatasi Islam dalam perangkat aturan ritual formal juga ditentang oleh Imam Syaltut. Secara demonstratif ia berargumen bahwa al-Islam 'aqidatun wa syari'atun. Bahkan ada yang dengan eksplisit dan lantang menyebut al-Islam dien al-tarbiyyah wa al-ta'liim.[3]

Dalam desain al-Qardhawi , Islam akan akan diartikan selaku kumpulan aturan samawi yang mengandung dua dimensi ajaran; doktrinal dan sosial. Keduanya mesti dipahami secara utuh dan menyeluruh serta diimplementasikan dengan tepat dan proporsional tanpa ada pembedaan. Meyakini Islam cuma berkutat pada sisi theosentris pada hakikatnya memperlihatkan minimnya penguasaan atas khazanah warisan intelektual Islam (baca:turats).[4]

Keyakinan tersebut justru akan memperlihatkan ketidakmampuan dalam bikin perpaduan inovatif antara turats dan wawasan modern. Keyakinan yang meyakinkan orang lain bahwa ada keputus asaan dalam diri kita dalam mengaplikasikan turats dalam konteks kekinian. Keputus asaan yang berujung pada somasi atas relevansi turats dan nilai-nilai yang termuat didalamnya. Siapapun tidak dapat mengingkari terhadap keniscayaan adanya kritik dan perubahan.[5] Kapanpun dan dimanapun. Begitu halnya dengan turats - yang pada hakikatnya ialah hasil dari proses dialektika pribadi-pribadi yang berkompeten dan memiliki kapabilitas/ ulama beserta permasalahan yang mengemuka pada masanya dengan nash/teks nan sakral – tidak dapat terlepas dari kritikan dan gugatan. Namun, kritikan dan somasi terhadap turats terasa mubazir, tanpa guna dan menjadi kontra produktif bahkan teramat sungguh naif ketika terlahir dari proses kebijaksanaan sehat yang condong emosional dan anti pati terhadap warisan masa kemudian serta bermotifkan pembaratan yang berakibat pada ketercerabutan kita dari masa kemudian secara total.[6]

Sebagai salah satu media al-khithab al-diniy, turats bukan cuma terdiri dari sekumpulan desain yang pernah eksis dan konkret (realia) pada jamannya,[7] bukan juga hasil olah kebijaksanaan dan pendayagunaan logika semata alasannya kebijaksanaan teramat sering dipakai untuk menjustifikasi perbuatan jahat selaku mana yang dibilang oleh Leo Tolstoy dalam bukunya The Law of Love and The Law of Violence " reason is frequently the slave of sin; it strives to justify it ",[8] tetapi didalamnya ada logika Ilahi – prudential - yang membuatnya lebih dari sekedar warisan masa kemudian dan tidak lebih dari sekedar nama (nominalia).

II. Al-Khithab Al-Diniy Itu Bernama Ta'lim Al-Muta'allim

Betapapun kita tidak dapat memungkiri besarnya donasi turats dalam peranannya selaku al-khithab al-diniy.[9] Membantahnya atau bahkan menafikannya bisa mempunyai arti memotong rangkaian sejarah besar Islam dan para pemeluknya. Mencoba mengingkari turats dengan segala jenis dan variannya yakni suatu upaya melaksanakan kebohongan terhadap kesadaran rohani/ soul consciusness.

Dalam melakukan fungsinya selaku salah satu fasilitas al-khithab al-diniy, turats bisa menyuguhkan beraneka macam desain ideal bagi individu dan masyarakat. Dengan segenap kekayaan dan potensi yang dimilikinya, turats masuk dalam setiap lini kehidupan, menjelajah kesudut-sudut interaksi sesama dan menyampaikan aneka macam macam aturan bagi terciptanya tatanan yang proporsional, aplikatif dan obyektif. Dengan segala pesonanya, turats yakni penyelesaian bagi permasalahan yang mengemuka. Entah itu wilayah privat menyerupai ibadah, waris atau wilayah publik semisal transaksi perdagangan, aturan pidana/ perdata serta pendidikan. Ada suatu fenomena sejarah memukau bagaimana metode perundang-undangan Perancis ternyata terinspirasi oleh turats – dalam hal ini fiqh Mazhab Maliki - .[10] Sebuah fakta yang seharusnya meyakinkan kita perihal keagungan turats. Ada suatu komentar memukau dari Ernest Gellner dalam bukunya Muslim Society bahwa " tradisi agung Islam tetap bisa dimodernkan (modernisable) tanpa perlu banyak memberi konsesi terhadap pihak luar dan bisa ialah semata-mata kelanjutan aneka macam pembicaraan dalam umat sepanjang sejarahnya ".[11]

Adalah tidak berlebihan dan mengada-ada bila dibilang turats meliputi terhadap segala permasalahan kehidupan, kemudian masuk dan terlibat aktif didalamnya untuk berikutnya menyampaikan penyelesaian yang sepantasnya. Turats ada dalam bidang aturan sebagaimana disebutkan diatas, bergelut secara intens dalam problematika sosial kemasyarakatan semodel transaksi bisnis atau yang lainnya. Turats juga menyampaikan perhatian lebih terhadap hal-hal yang mendasar bagi terciptanya individu dan penduduk ideal yang dapat menyesuaikan diri dengan kenyataan yang bergerak dinamis serta memiliki kontinuitas dengan bijak semisal pendidikan.

Sejarah mencatat dan perjalanan waktu melihat ada demikian banyak turats-turats yang terdiri dari konsep-konsep pendidikan. Dari yang secara spesifik menggambarkan bagaimana suatu pendidikan ideal bisa terbentuk, menyampaikan kriteria-kriteria yang mesti tercukupi juga menceritakan kekerabatan antar pelaku baik aktif ataupun pasif.

Ketika membincang desain pendidikan dalam Islam dan turats-nya mau tidak mau, suka tidak senang kita mesti mebicarakan suatu buku yang sungguh fenomenal bukan saja lantaran isinya tetapi juga dari perjalanannya melalui masa demi masa. Sebuah buku yang secara tradisi dibaca dari generasi ke generasi. Buku yang menjadi bacaan wajib bagi golongan santri di Indonesia. Buku itu yakni Ta'lim Al-Muta'allim.[12] Buku yang ditulis oleh Imam Nu'man ibn Ibrahim al-Zarnuji atau lebih dipahami Imam Burhan al-Dien al-Zarnuji. Zarnuji ialah nama suatu kota ditepi sungai Oxus (Turkistan). Sampai ketika ini bisa kita ketemukan ada banyak model terjemahan Ta'lim Al-Muta'allim dalam aneka macam bahasa. Dari bahasa Indonesia, Inggris dan masih banyak lainnya. Adalah Ta'lim Al-Muta'allim yang dapat mendapatkan begitu besar dan banyak apresiasi dari penduduk luas. Tak heran bila ada yang hingga berani menyampaikan " this book should be a starting point the revival of the Islamic intellectual tradition that has always been the preamble to Islamic Renaissance ".[13]

III. Ta'lim Al-Muta'allim Dan Pengembangan Pribadi (Personal Growth)

Kesadaran akan urgensi ilmu wawasan dan pendidikan di golongan umat Islam tidak timbul secara impulsif dan mendadak, tetapi kesadaran ini ialah pengaruh dari suatu proses panjang yang dimulai pada masa permulaan Islam (masa ke-Rasul-an Muhammad).[14] Pendidikan yang ialah suatu rangkaian proses pemberdayaan insan menuju taklif (kedewasaan), baik secara akal, mental maupun moral, untuk melakukan fungsi kemanusiaan yang diemban-sebagai seorang hamba ('abd) dihadapan Khaliq-nya dan selaku 'pemelihara' (khalifah) pada semesta. Pendidikan yang dilandasi oleh kehendak untuk hidup bermakna (the will to meaning) menuju dambaan utama insan untuk menjangkau kehidupan yang bermakna (the meaningfull life) dalam setiap keadaan, tergolong dalam penderitaan sekalipun. Kehidupan ini intinya senantiasa memiliki makna biarpun tidak ada kerja keras untuk mewujudkan atau upaya membuatkan hidup yang bermakna. Pendidikan yang memiliki tujuan final membentuk eksklusif peserta didik (manusia) mudah-mudahan sesuai dengan fitrah keberadaannya. Hal ini meniscayakan adanya keleluasaan gerak bagi setiap elemen dalam dunia pendidikan -terutama peserta didik-- untuk membuatkan diri dan potensi yang dimilikinya secara maksimal.[15] Karena secara alami, insan dikaruniai tiga nilai yang ialah sumber makna hidup yang disebut; creative values (nilai-nilai kreatif), experiental values (nilai-nilai penghayatan), attitudinal values (nilai-nilai bersikap).

Sungguhpun demikian, ketiga nilai tersebut gres akan menjadi sumber daya yang berpeluang bila dimasak dan dikembangkan dengan tepat. Sumber-sumber makna hidup tadi gres bisa menciptakan individu dan penduduk yang bermutu bila disertai dengan pendididan yang ideal, yakni suatu pendidikan yang menimbang-nimbang faktor mentalitas, faktor spiritualitas dan pastinya faktor tingkat intelegensia. Ketiga faktor tadi bila dikonsep dengan baik maka akan menciptakan apa yang disebut dengan kecerdasan intelektual atau IQ (Intelligent Quotient), kecerdasan emosi atau EQ (Emotional Quotient) dan kecerdasan spiritual atau dalam ungkapan terbaru disebut dengan SQ (Spiritual Quotient). Kecerdasan intelektual terlahir ketika seseorang mau berkreasi atau ketika nilai-nilai inovatif dimanifestasikan dengan cara berkarya. Adapun kecerdasan emosi bisa didapatkan manakala seseorang bisa me-manage kadar emosinya dengan sebanding atau ketika nilai-nilai penghayatan dipraktekkan dalam kehidupan yakni dengan cara mengetahui kepribadian. Sementara itu, kecerdasan spiritual sanggup terwujud ketika nilai-nilai bersikap diimplementasikan dengan cara mendapatkan dan menyikapinya dengan bijak terhadap proses kehidupan. Bagaimanapun bentuknya.

Kalau parameter suatu pendidikan ideal yang sanggup menenteng pergeseran terhadap individu secara signifikan kearah perkembangan yakni terpenuhinya unsur-unsur menyerupai yang disebutkan diatas tadi, maka desain atau metode-metode yang termuat dalam Ta'lim al-Muta'allim kiranya sudah memadai bila dipakai selaku fasilitas pengembangan eksklusif (personal growth).

Pernyataan tersebut bukan tanpa argumen sehingga condong memunculkan pembelaan terhadap Ta'lim al-Muta'allim yang terlahir dari fanatisme buta. Bila kita menyelediki ilmu pendidikan terbaru maka seluruhnya berorientas terhadap pengembangan dan pembentukan kepribadian sehingga dapat menjadi eksklusif yang mengetahui kiprahnya selaku diri sendiri atau selaku bab dari komunitas sosial. Pribadi dengan abjad tersebut cuma sanggup ditemui bila ketiga faktor yang disebutkan diatas terkumpul.

Kembali terhadap desain sederhana perihal pendidikan yang diutarakan oleh Imam al-Zarnuji dalam Ta'lim al-Muta'allim-nya, kita bisa menjumpai bagaimana seorang al-Zarnuji sudah lebih dulu membicarakan perihal kecerdasan intelektual walau tidak disampaikan dengan vulgar. Dalam Ta'lim kita bisa mendapatkan perkataan ia mengenai kecerdasan intelektual (IQ) yang dibahasakan dengan singkat tetapi kaya akan makna yang berbunyi " wa aqwa asbaab al-hifdh al-jidd wa al-muwaadhabah wa taqliil al-ghida ..." seraya mengetengahkan dimensi praksisnya " wa laa budda li thalib al-'ilm min al-mudzakaarah wa al-munadharah wa al-mutharahah...". Pun demikian, al-Zarnuji tidak melalaikan pentingnya faktor kecerdasan emosional (EQ) dalam proses pengembangan kepribadian. Dalam bahasa yang santun dan ramah al-Zarnuji berujar " wa yanbaghi an yakuuna shahib al-'ilm musyfiqan nashihan ghayra haasidin....", kemudian diteruskan lagi dalam bab yang lain " tsumma laa budda li thalib al-'ilm min al-tawakkul fi thalab al-'ilm.....". Bahkan yang lebih mengagumkan, al-Zarnuji pun sudah menyadari bahwa dua kecerdasan tadi akan tidak bermanfaat bila tidak dimbangi dengan kecerdasan spiritual (SQ) sehingga al-Zarnuji dengan bijak berucap " wa yanbaghi an yanwiya al-muta'allim bi thalab al-'ilm ridha allah ta'ala wa al-dar al-akhirat wa izaalat al-jahl 'an nafsih wa 'an sa'ir al-juhhaal wa ihya'i al-dien.....".[16]

Pada akibatnya kita mendapatkan suatu kenyataan dan sulit bagi kita untuk mengingkarinya betapa Ta'lim al-Muta'allim dengan segala kesederhanaannya sudah menyampaikan suatu desain mengenai metode pendidikan yang cukup ideal. Ta'lim al-Muta'allim juga dengan samar sudah memperlihatkan denah dan citra perihal kewajiban adanya keterhubungan yang utuh antara kecerdasan intelektual – lebih berhubungan dengan fungsi kebijaksanaan – dengan kecerdasan emosional serta kecerdasan spiritual dimana keduanya sedikit banyak tergoda oleh faktor moralitas dan etika.[17]

IV. Ketika Ta'lim al-Muta'allim Berdialog Dengan Kenyataan

Setiap insan pasti menyadari akan kompleksitas kenyataan hidup yang kerap kali tidak dapat dibakukan dalam rumus dan bukan pula sesuatu yang sanggup dipasung dalam perencanaan. Bahkan teramat sering, kenyataan tidak dapat dinalar. Kehidupan dengan segala proses dan aktifitasnya akan menjadi konkret ketika sudah dijalani dan sedang dihadapi. Kehidupan masa mendatang beserta dinamikanya sering dibayangkan yang terwujud dalam perencanaan. Sebuah penyusunan rencana yang menjajal meng-konsep mudah-mudahan bagaimana seluruh aktifitas dan lini kehidupan generasi berikutnya bisa tertata dan selaras dengan apa yang menjadi bayangan dan angan-angan.

Konsep yang terdiri dari metode atau kiat-kiat yang ialah hasil pergulatan antara realitas sejarah dan bagaimana cara menyikapinya. Oleh karenanya desain tersebut bisa ialah donasi yang positif bagi masa sesudahnya bila didapatkan adanya kesesuaian. Namun, bisa sebaliknya bila terjadi pemaksaan meskipun sudah terlihat adanya ketimpangan. Tak jauh berlainan dengan Ta'lim al-Muta'allim. Ia terlahir dari bentuk penyikapan terhadap realitas sejarah dan bercampur dengan impian yang berlandaskan kepercayaan pada nilai-nilai luhur (baca; aliran agama).

Dengan demikian, kita bisa mengenali apa yang termuat dalam Ta'lim al-Muta'llim bisa saja menjadi suatu desain atau metode yang ideal bagi masa kini. Terlebih lagi bila dilihat dari perjalanan waktu, Ta'lim al-Muta'allim dengan konkret dan meyakinkan bisa melahirkan generasi-generasi handal yang tercermin dari eksklusif ulama-ulama. Tetapi kenyataan ini pasti tidak dapat menafikan adanya jarak yang terentang antara kapan dan dimana Ta'lim al-Muta'allim terlahir selaku suatu desain dengan masa kini. Kenyataan yang tidak dapat menutupi adanya perbedaan mutu dan kuantitas problematika penduduk diantara dua masa dan kawasan yang saling terpisahkan. Kenyataan yang seharusnya bisa mengirimkan kita pada kesadaran dimana ada nilai-nilai positif dalam Ta'lim al-Muta'allim yang mesti kita pertahankan, juga mendewasakan kita bahwa ada sedikit banyak nilai-nilai dalam Ta'lim al-Muta'allim yang perlu dikaji ulang penerapannya.

Betapapun, sudah sepatutnya kita menyampaikan apresiasi dan penghargaan terhadap Ta'lim al-Muta'allim selaku suatu desain dan metode yang dapat mencetak pribadi-pribadi muslim. Terlebih lagi kita belum bisa menyampaikan dan mendatangkan suatu desain dan metode yang dirasa ideal dan memadai bagi permasalahan yang tengah meningkat dimasa sekarang. Adalah suatu langkah-langkah bijak bila penerimaan kita terhadap Ta'lim al-Muta'allim dan turats Islam kebanyakan bukan ialah wujud fanatisme buta dan ke-taqlid-an semata. Sebagaimana kritikan kita terhadap Ta'lim al-Muta'allim juga turats Islam bukan berangkat dari niat kebencian tak berdasar. Pembacaan yang cukup umur yakni pembacaan yang proporsional, sebanding antara resistensi/ penolakan dengan penerimaan atau kecintaan dan disertai perilaku arif.

Finally, "…..Life, however long, will always be short. Too short for anything to be added…..".[18]

--------------------------------------------------------------------------------

[1] Dipresentasikan oleh Muhammad Mawhib el - Rahman dalam Diskusi Intensif Sapu Jagad PCI-NU Mesir

[2] Mahmoud Isma'il, Sosiologi al-Fikr al-Islamy (Cairo: Maktabah Madbouli, 1988), h. 48.

[3] Mohammed 'Atheah al-Abrasyi, Ruh al-Islam (Cairo: Maktabah al-Usrah, 2003), h. 20.

[4] Untuk pengertian turats secara jelas, lihat 'Ali Gom'ah, al-Madkhal ila Dirasat al-Madzaahib al-Fiqhiyyah (Cairo: Dar al-Salam Printing, Publication and Distribution, 2004), h. 7.

[5] Siapapun tidak dapat mengingkari akan keniscayaan kritikan dan perubahan, tetapi bagaimana bentuk pergeseran – pembaruan - dan hingga sejauh mana pergeseran – pembaruan - sanggup ditolerir itu yang mesti disepakati dan disikapi secara bijak. Namun yang terang kita semua bisa membedakan antara merubah - memperbaharui – dengan mengganti. Keterangan lebih lanjut baca, al-Mu'tamar al-Tsalits 'Asyar li al-Majlis al-A'la li al-Syu'un al-Islamiyah, al-Tajdid fi al-Fikr al-Islamy Abhats wa Waqai' (Cairo: al-Majlis al-A'la li al-Syu'un al-Islamiyah, 2002).

[6] Yusuf al-Qardhawi, Kaifa Nata'aamal ma'a al-Turats wa al-Tamadzhub wa al-Ikhtilaf (Cairo: Wahbah Publisher, 2004), h. 5 – 60.

[7] Bila mengharapkan klarifikasi yang bikin puas mengenai eksistensi turats , juga klarifikasi perihal luasnya bidang garapan/ cakupan turats sebaiknya lihat, Haidar Bammate, Muslim Contribution to Civilazation (Indianapolis: North American Trust Publications, 1976).

[8] M. Rusyad Nurdin, Kaderisasi Kepemimpinan Ummat/ Bangsa Menuju Masyarakat Berkeadilan (Bangil, Majalah Al-Muslimun, No. 320, Tahun 43, Nopember 1996), h. 69-76.

[9] Untuk definisi yang lengkap bagi al-khithab al-diniy beserta semua permasalahannya utamanya yang berhubungan dengan pembaruan/ tajdid al-khithab al-diniy, lihat, Nadwah Yusuf al-Qardhawi, Tajdid al-Khithab al-Diniy Limadza wa Kaifa (Uni Emirat Arab: Majalah Manar al-Islam, No. 348, Thn. 29, Februari 2004), h. 68 – 71.

[10] Sayyid 'Abdullah 'Ali Husain, al-Muqaaranaat al-Tasyri'iyyat bayna al-Qawaaniin al-Wadh'iyyah al-Madaniyyah wa al-Tasyri' al-Islamy (Cairo: Dar al-Salam Printing, Publication and Distribution, 2001), jilid I, hl. 22 – 23. Dalam buku ini disebutkan terdapat 2 argumentasi yang mendasari pernyataan adanya keterkaitan antara Undang-Undang Perancis dengan Madzhab Maliki.

[11] Nurkholis Madjid, Khazanah Intelektual Islam (Jakarta: P.T Bulan Bintang, 1994), hl. 65

[12] Dalam kosakata bahasa Arab ada beberapa kata yang artinya mendekati dengan maknanya kata ta'lim semisal kata tarbiyah dan ta'dib. Makna kata ta'lim sedikit berlainan dengan artinya kata tarbiyah yang dalam model Inggris-nya dibahasakan dengan education. Titik perbedaan diantara keduanya yakni bahwa ta'lim lebih bersifat khusus, sementara tarbiyah memperlihatkan kebalikannya yakni bersifat umum. Maksudnya , ta'lim yakni suatu hal yang didedikasikan bagi insan tidak demikian halnya dalam tarbiyah. Perbedaan diantara kedua kata ini bisa didapatkan dalam, Sayyid Muhammad Naquib al-'Attas, Mudaakhalaat Falsafiyah fi al-Islam wa al-'Almaaniyah (Yordania: Dar al-Naffas (?), 2000), hl. 169 – 171. Buku ini aslinya berjudul Islam and Secularism yang dialih bahasakan ke dalam bahasa Arab oleh Muhammad Thahir al- Misaawi.

[13] Komentar ini di sampaikan oleh Hamza Yusuf ketika menyampaikan kata pengirim bagi terjemahan Ta'lim al-Muta'allim dalam edisi Bahasa Inggris dengan penerjemah G.E. Von Grunebaum dan Theodora M. Abel yang termuat dalam situs http://onlineislamicstore.com/inofstudmeto.html

[14] Selama kurang lebih masa 13 tahun ketika menetap di Makkah, Nabi Muhammad S.A.W berdakwah serta mendidik dan kemudian diteruskan oleh para Sahabatnya. Pembahasan yang lebih mendetail mengenai proses pendidikan umat Islam yang berawal pada masa Rasulullah bisa dilihat dalam, Muhammad Syadid, Manhaj al-Qur'an fi al-Tarbiyyah (Cairo: Dar al-Tauzie' wa al-Nasyr al-Islamiyyah, Tanpa Tahun)

[15] Untuk lebih jelasnya mengenai permasalahan ini, lihat Hanna Djumhana Bastaman, Makna Hidup Bagi Manusia Modern Tinjauan Psikologis dalam buku Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam (Jakarta: Paramadina, 1996), hl. 143 - 155

[16] Teks-teks tersebut seluruhnya dikutip dari Aliy As'ad, Bimbingan Bagi Penuntut Ilmu Pengetahuan (Kudus: Menara Kudus, Tanpa Tahun). Buku ini ialah terjemahan berbahasa Indonesia. Penulis kesusahan dalam mendapatkan buku Ta'lim al-Muta'allim yang berbahasa Arab.

[17] Bagaimana kekerabatan antara faktor moralitas dan susila dengan ilmu bisa dilihat dalam David B. Resnik, The Ethics of Science An Introduction (Routledge, London and New York, ______, 1998). Buku ini dialih bahasakan kedalam bahasa Arab oleh 'Abd al-Nour 'Abd al-Mun'im dengan judul Akhlaqiyat al-'Ilm Madkhal terbitan Kuwait Juni 2005.

[18] Kalimat ini ialah bait puisi Our Ancestor's Short Lives-nya Wislawa Szymborska, dikutip dari, Nirwan Ahmad Arsuka, Kehidupan Kedua Tentang Nalar Dan Horizonnya, yang diangkut dalam situs http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/02/bentara/1592598.htm, edisi Rabu, 02 Maret 2005.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel