Bukanlah Suatu Kegagalan

Bukanlah Sebuah Kegagalan oleh . Kalau seorang Aristoteles [322-384] mengandaikan dan meyakini insan – selain selaku mahluk rasional - selaku zoon politicon, maka ini dengan sendirinya meniscayakan adanya interaksi antar sesama. Premis ini memperlihatkan satu makna bahwa insan secara kodrati dituntut untuk senantiasa hidup dalam ikatan kelompoknya yakni masyarakatnya dengan melakukan pekerjaan sama demi menyanggupi keperluan hidupnya dan kelangsungan eksistensinya.

Ada banyak cara bagaimana insan sanggup melakukan kiprahnya selaku mahluk sosial. Mungkin salah satu fasilitas pembelajaran yang paling dekat dengan kita yakni dengan terjun dalam suatu organisasi [aktifitas sosial kemasyarakatan]. Dengan berorganisasi, kita sanggup menaikkan fungsi zoon politicon dalam pribadi masing-masing selaku salah satu rangkaian jerih payah menuju pengembangan pribadi yang utuh dengan memperhatikan faktor lahiriah dan faktor rohani.

Namun, pada ketika kita menerima pengandaian semacam ini, secara tidak pribadi kita mesti bisa menyeimbangkan antara kerasionalan dan kesosialan. Karena, betapapun dominannya segi zoon politicon tentu dihentikan mengalahkan segi rasionalitas dalam diri kita. Demikian juga sebaliknya. Manusia ketika diketahui selaku mahluk rasional akan menuntut adanya proses pembelajaran yang berkesinambungan. Sementara insan ketika ditempatkan selaku mahluk sosial akan memaksa adanya ikatan emosional yang menurut empati. Sebuah opsi yang dilematis memang dalam rangka mengarah terhadap kesuksesan yang dicita-citakan.

Keberhasilan bagi sebagian orang boleh jadi diukur dengan sungguh rigid dan terjebak pada formalitas yang condong mengarahkan pada sikap menatap sebelah mata. Artinya, parameter utama bagi suatu kesuksesan yakni pendidikan semata beserta atribut akademik. Selain itu tidak. Pada hal, kalau mau jujur, pendidikan belum tentu berkorelasi positif dengan keberhasilan. Terlebih bila mengingat belum ada desain pendidikan yang sudah mapan dan paripurna. Asumsi atau pemaknaan seperti ini tentunya mengaburkan tugas insan selaku zoon politicon dengan cuma memperlihatkan wajah mahluk rasional dari manusia.

Sementara meyakini bahwa kesuksesan tidak membutuhkan uluran tangan pendidikan yakni suatu pernyataan yang boleh dikatakan terlalu jumawa. Klaim ini seumpama ingin memastikan keterpisahan dari dua premis yang sudah diandaikan oleh Aristoteles yakni insan selaku mahluk rasional dan mahluk sosial. Klaim yang menghendaki aktifitas sosial selaku satu-satunya tolak ukur kesuksesan yang diidamkan.

Idealnya, suatu parameter kesuksesan yakni terpenuhinya 2 peran/ fungsi manusia. Hal ini bermakna bahwa suatu kesuksesan yakni keberanian untuk mempertemukan atau menyeimbangkan sekaligus menaikkan potensi intelektual selaku perwujudan dari tugas mahluk rasional dengan aktifitas sosial kemasyarakatan selaku implementasi dari tugas mahluk sosial. Namun, dalam tataran praksis, parameter ideal ini sungguh sukar untuk diterapkan walau tidak tidak mungkin untuk sanggup diwujudkan.

Mahasiswa Indonesia di Mesir selaku suatu cuilan dari komunitas penduduk tentu dituntut bisa melaksanakan optimalisasi terhadap kiprahnya selaku mahluk rasional dan mahluk sosial. Bila mengingat hasrat dan beban yang diamanatkan orang bau tanah serta mendasarkannya pada orientasi kekinian, maka yakni ialah suatu kewajaran – dalam perspektif keakuan - bagi kita untuk lebih menseriusi potensi intelektual dengan menomor duakan aktifitas sosial. Sebuah sikap yang bermakna menjajal untuk menutup diri dan menjauh dari kodratnya yang dituntut untuk senantiasa hidup dalam ikatan kelompoknya yakni masyarakatnya. Satu sikap yang sanggup diketahui selaku cuilan dari senantiasa menatap penting terhadap segala atribut dan predikat akademis.

Buah dari kesungguhan terhadap potensi intelektual ini akan melahirkan paradigma bahwa kesuksesan dan kesuksesan cuma bisa dilihat dengan kacamata kelangsungan studi atau proses berguru mengajar. Pola pikir ini, pada karenanya akan berujung pada fikiran bahwa aktifitas sosial ialah penghambat bagi suatu proses menuju keberhasilan. Singkatnya, aktifitas sosial yang identik dengan organisasi yakni antitesis bagi studi. Sungguh suatu sikap yang teramat naif dan mengada-ada.

Penilaian di atas dapat menjadi tidak mungkin untuk terbantahkan bila Tuhan tidak memunculkan [keberhasilan] masa depan selaku suatu misteri. Namun, ketika [keberhasilan] masa depan masih dan akan tetap ialah misteri maka penyeimbangan terhadap tugas rasional dan sosial insan haruslah tetap diupayakan selaku wujud jerih payah memecahkan misteri [keberhasilan] masa depan. Hal ini akan meniscayakan adanya administrasi waktu yang proporsional sekaligus profesional. Sikap proporsional mungkin lebih menekankan terhadap bagaimana kita bisa bersikap adil terhadap aktifitas sosial dan aktifitas intelektual dengan tidak menilai ada yang lebih urgen di antara keduanya. Sementara sikap profesional lebih memperhatikan pada implementasi dari sikap proporsional tersebut. Adakah sepenuh hati dalam melakukan dua aktifitas tadi atau malah timbul kegamangan dalam menjalaninya.

Keraguan untuk sanggup menyandingkan dengan mesra antara aktifitas intelektual [sebagai pengejawantahan mahluk rasional] dan aktifitas sosial [sebagai perwujudan mahluk sosial] pada hakikatnya bukan sebab aktifitas intelektual dan aktifitas sosial ialah dua hal yang paradoksal, melainkan lebih terhadap ke-belum mampu-an dalam menaikkan segala potensi diri.

Bila demikian, maka berhasil dalam beraktifitas intelektual [baca;studi] dan beraktifitas sosial [baca;organisasi] yakni suatu probabilitas atau justru suatu kewajiban ketika kita menyadari bahwa kegagalan memecahkan misteri kesuksesan masa depan bukanlah sesuatu yang inheren dengan semua aktifitas sosial kita.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel