Fungsi Hadits Kepada Al-Quran
Friday, August 28, 2015
Edit
Fungsi Hadits Terhadap Al-Quran - Al-Quran menekankan bahwa Rasul saw. berfungsi menerangkan maksud firman-firman Allah (QS 16:44). Penjelasan atau bayan tersebut dalam persepsi sekian banyak ulama beraneka ragam bentuk dan sifat serta fungsinya.
'Abdul Halim Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar, dalam bukunya Al-Sunnah fi Makanatiha wa fi Tarikhiha menulis bahwa Sunnah memiliki kegunaan yang berafiliasi dengan Al-Quran dan fungsi sehubungan dengan training aturan syara'. Dengan menunjuk terhadap saran Al-Syafi'i dalam Al-Risalah, 'Abdul Halim memastikan bahwa, dalam kaitannya dengan Al-Quran, ada dua fungsi Al-Sunnah yang tidak diperselisihkan, yakni apa yang diistilahkan oleh sementara ulama dengan bayan ta'kid dan bayan tafsir. Yang pertama sekadar menguatkan atau menggarisbawahi kembali apa yang terdapat di dalam Al-Quran, sedangkan yang kedua memperjelas, merinci, bahkan membatasi, pemahaman lahir dari ayat-ayat Al-Quran.
Persoalan yang diperselisihkan adalah, apakah hadis atau Sunnah sanggup berfungsi menentukan aturan gres yang belum ditetapkan dalam Al-Quran? Kelompok yang menyepakati mendasarkan pendapatnya pada 'ishmah (keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, utamanya dalam bidang syariat) terlebih sekian banyak ayat yang mengobrol adanya wewenang kemandirian Nabi saw. untuk ditaati. Kelompok yang menolaknya beropini bahwa sumber aturan cuma Allah, Inn al-hukm illa lillah, sehingga Rasul pun mesti merujuk terhadap Allah SWT (dalam hal ini Al-Quran), saat hendak menentukan hukum.
Kalau persoalannya cuma terbatas seumpama apa yang dikemukakan di atas, maka jalan keluarnya mungkin tidak terlampau sulit, apabila fungsi Al-Sunnah terhadap Al-Quran didefinisikan selaku bayan murad Allah (penjelasan perihal maksud Allah) sehingga apakah ia ialah klarifikasi penguat, atau rinci, pembatas dan bahkan maupun tambahan, kesemuanya bersumber dari Allah SWT. Ketika Rasul saw. melarang seorang suami memadu istrinya dengan bibi dari pihak ibu atau bapak sang istri, yang pada zhahir-nya berlainan dengan nash ayat Al-Nisa' ayat 24, maka pada hakikatnya penambahan tersebut yakni klarifikasi dari apa yang dimaksud oleh Allah SWT dalam firman tersebut.
Tentu, jalan keluar ini tidak disepakati, bahkan duduk permasalahan akan kian susah kalau Al-Quran yang bersifat qathi'iy al-wurud itu diperhadapkan dengan hadis yang berlainan atau bertentangan, sedangkan yang terakhir ini yang bersifat zhanniy al-wurud. Disini, persepsi para ahli sungguh beragam. Muhammad Al-Ghazali dalam bukunya Al-Sunnah Al-Nabawiyyah Baina Ahl Al-Fiqh wa Ahl Al-Hadits, menyatakan bahwa "Para imam fiqih menentukan hukum-hukum dengan ijtihad yang luas menurut pada Al-Quran terlebih dahulu. Sehingga, apabila mereka mendapatkan dalam tumpukan riwayat (hadits) yang sejalan dengan Al-Quran, mereka menerimanya, tetapi kalau tidak sejalan, mereka menolaknya alasannya yakni Al-Quran lebih utama untuk diikuti."
Pendapat di atas, tidak sepenuhnya dipraktekkan oleh ulama-ulama fiqih. Yang menerapkan secara utuh cuma Imam Abu Hanifah dan pengikut-pengikutnya. Menurut mereka, jangankan membatalkan kandungan satu ayat, mengecualikan sebagian kandungannya pun tidak sanggup ditangani oleh hadis. Pendapat yang demikian ketat tersebut, tidak disetujui oleh Imam Malik dan pengikut-pengikutnya. Mereka beropini bahwa al-hadits sanggup saja diamalkan, meskipun tidak sejalan dengan Al-Quran, selama terdapat indikator yang menguatkan hadis tersebut, seumpama adanya pengamalan penduduk Madinah yang sejalan dengan kandungan hadis dimaksud, atau adanya ijma' ulama menyangkut kandungannya. Karena itu, dalam persepsi mereka, hadis yang melarang memadu seorang perempuan dengan bibinya, haram hukumnya, meskipun tidak sejalan dengan lahir teks ayat Al-Nisa' ayat 24.
Imam Syafi'i, yang mendapat gelar Nashir Al-Sunnah (Pembela Al-Sunnah), bukan saja menolak persepsi Abu Hanifah yang sungguh ketat itu, tetapi juga persepsi Imam Malik yang lebih moderat. Menurutnya, Al-Sunnah, dalam banyak sekali ragamnya, boleh saja berlainan dengan Al-Quran, baik dalam bentuk pengecualian maupun penambahan terhadap kandungan Al-Quran. Bukankah Allah sendiri sudah mengharuskan umat insan untuk mengikuti perintah Nabi Muhammad SAW?
Harus digarisbawahi bahwa penolakan satu hadis yang sanadnya sahih, tidak ditangani oleh ulama kecuali dengan sungguh cermat dan setelah menganalisis dan membolak-balik segala seginya. Bila masih juga didapatkan pertentangan, maka tidak ada jalan kecuali menjaga wahyu yang diterima secara meyakinkan (Al-Quran) dan mengabaikan yang tidak meyakinkan (hadis).
'Abdul Halim Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar, dalam bukunya Al-Sunnah fi Makanatiha wa fi Tarikhiha menulis bahwa Sunnah memiliki kegunaan yang berafiliasi dengan Al-Quran dan fungsi sehubungan dengan training aturan syara'. Dengan menunjuk terhadap saran Al-Syafi'i dalam Al-Risalah, 'Abdul Halim memastikan bahwa, dalam kaitannya dengan Al-Quran, ada dua fungsi Al-Sunnah yang tidak diperselisihkan, yakni apa yang diistilahkan oleh sementara ulama dengan bayan ta'kid dan bayan tafsir. Yang pertama sekadar menguatkan atau menggarisbawahi kembali apa yang terdapat di dalam Al-Quran, sedangkan yang kedua memperjelas, merinci, bahkan membatasi, pemahaman lahir dari ayat-ayat Al-Quran.
Persoalan yang diperselisihkan adalah, apakah hadis atau Sunnah sanggup berfungsi menentukan aturan gres yang belum ditetapkan dalam Al-Quran? Kelompok yang menyepakati mendasarkan pendapatnya pada 'ishmah (keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, utamanya dalam bidang syariat) terlebih sekian banyak ayat yang mengobrol adanya wewenang kemandirian Nabi saw. untuk ditaati. Kelompok yang menolaknya beropini bahwa sumber aturan cuma Allah, Inn al-hukm illa lillah, sehingga Rasul pun mesti merujuk terhadap Allah SWT (dalam hal ini Al-Quran), saat hendak menentukan hukum.
Kalau persoalannya cuma terbatas seumpama apa yang dikemukakan di atas, maka jalan keluarnya mungkin tidak terlampau sulit, apabila fungsi Al-Sunnah terhadap Al-Quran didefinisikan selaku bayan murad Allah (penjelasan perihal maksud Allah) sehingga apakah ia ialah klarifikasi penguat, atau rinci, pembatas dan bahkan maupun tambahan, kesemuanya bersumber dari Allah SWT. Ketika Rasul saw. melarang seorang suami memadu istrinya dengan bibi dari pihak ibu atau bapak sang istri, yang pada zhahir-nya berlainan dengan nash ayat Al-Nisa' ayat 24, maka pada hakikatnya penambahan tersebut yakni klarifikasi dari apa yang dimaksud oleh Allah SWT dalam firman tersebut.
Tentu, jalan keluar ini tidak disepakati, bahkan duduk permasalahan akan kian susah kalau Al-Quran yang bersifat qathi'iy al-wurud itu diperhadapkan dengan hadis yang berlainan atau bertentangan, sedangkan yang terakhir ini yang bersifat zhanniy al-wurud. Disini, persepsi para ahli sungguh beragam. Muhammad Al-Ghazali dalam bukunya Al-Sunnah Al-Nabawiyyah Baina Ahl Al-Fiqh wa Ahl Al-Hadits, menyatakan bahwa "Para imam fiqih menentukan hukum-hukum dengan ijtihad yang luas menurut pada Al-Quran terlebih dahulu. Sehingga, apabila mereka mendapatkan dalam tumpukan riwayat (hadits) yang sejalan dengan Al-Quran, mereka menerimanya, tetapi kalau tidak sejalan, mereka menolaknya alasannya yakni Al-Quran lebih utama untuk diikuti."
Pendapat di atas, tidak sepenuhnya dipraktekkan oleh ulama-ulama fiqih. Yang menerapkan secara utuh cuma Imam Abu Hanifah dan pengikut-pengikutnya. Menurut mereka, jangankan membatalkan kandungan satu ayat, mengecualikan sebagian kandungannya pun tidak sanggup ditangani oleh hadis. Pendapat yang demikian ketat tersebut, tidak disetujui oleh Imam Malik dan pengikut-pengikutnya. Mereka beropini bahwa al-hadits sanggup saja diamalkan, meskipun tidak sejalan dengan Al-Quran, selama terdapat indikator yang menguatkan hadis tersebut, seumpama adanya pengamalan penduduk Madinah yang sejalan dengan kandungan hadis dimaksud, atau adanya ijma' ulama menyangkut kandungannya. Karena itu, dalam persepsi mereka, hadis yang melarang memadu seorang perempuan dengan bibinya, haram hukumnya, meskipun tidak sejalan dengan lahir teks ayat Al-Nisa' ayat 24.
Imam Syafi'i, yang mendapat gelar Nashir Al-Sunnah (Pembela Al-Sunnah), bukan saja menolak persepsi Abu Hanifah yang sungguh ketat itu, tetapi juga persepsi Imam Malik yang lebih moderat. Menurutnya, Al-Sunnah, dalam banyak sekali ragamnya, boleh saja berlainan dengan Al-Quran, baik dalam bentuk pengecualian maupun penambahan terhadap kandungan Al-Quran. Bukankah Allah sendiri sudah mengharuskan umat insan untuk mengikuti perintah Nabi Muhammad SAW?
Harus digarisbawahi bahwa penolakan satu hadis yang sanadnya sahih, tidak ditangani oleh ulama kecuali dengan sungguh cermat dan setelah menganalisis dan membolak-balik segala seginya. Bila masih juga didapatkan pertentangan, maka tidak ada jalan kecuali menjaga wahyu yang diterima secara meyakinkan (Al-Quran) dan mengabaikan yang tidak meyakinkan (hadis).