Tokoh Islam: Shafiyah Binti Abdul Mutthalib
Thursday, August 27, 2015
Edit
Muslimah pertama dalam Islam yang menewaskan orang musyrik dengan tangannya, dalam pertempuran menegakkan agama Allah. [kata ahli-ahli sejarah]
Dia perempuan ningrat yang berpikiran murni dan memiliki huruf tinggi. Orang-orang cerdas menilainya dengan seribu macam penilaian. Sebagai perempuan teman dekat yang gagah berani, tercatat dalam sejarah Islam. Dia muslimah pertama yang menewaskan orang musyrik dengan tangannya dalam perang menegakkan agama Allah. Dia perempuan pertama yang timbul menunggang kuda dan mengacungkan pedang dalam perang fi sabilillah.
Siapa bahu-membahu srikandi muslimah ini?
Dia yakni SHAFIYAH BINTI ABDUL MUTTHALIB AL HASYIMIYAH AL QURASYIYAH, bibi Muhammad bin Abdul Mutthalib, Rasulullah SAW. Kemuliaan yakni melengkupi Shafiyah dari banyak sekali pihak. Ayahnya Abdul Mutthalib bin Hasyim, kakek Nabi SAW, seorang pemimpin Quraisy yang dipatuhi. Ibunya Halah binti Wahab, saudaranya Aminah binti Wahab ibunda Rasulullah SAW. Suaminya yang pertama Al Harits bin Harb, kerabat Abu Sufyan bin Harb, pemimpin Bani Umayyah.
Kemuliaan turunan yang bagaimanakah lagi yang akan dicapai orang sehabis itu selain kemuliaan Iman? Suaminya kedua meninggalkan seorang putera baginya. Anak itu ditinggal wafat oleh bapaknya dikala kecil dan diberinya nama “Zubair”. Zubair dibesarkan Shafiyah dengan pendidikan yang keras. Dia mengajar anaknya kepintaran berkuda dan berperang. Permainannya kontes memanah dan memperbaiki busur. Shafiyah biasa meninggalkan anaknya di tempat-tempat angker, dan membawanya ke tempat-tempat berbahaya. Bila dilihatnya Zubair mundur maju atau ragu-ragu, dipukulnya. Sehingga pada sebuah dikala Shafiyah ditegur oleh pamannya.
Kata paman, “Engkau menghantam dengan pukulan kebencian, bukan dengan pukulan seorang ibu….”
Shafiyah menjawab dengan bersajak.
image“Siapa menyampaikan saya menghantam benci, sangat dusta,
Aku menghantam agar pintar,
Tangguh menghadapi musuh,
Pulang dengan kemenangan.”
Kemudian Allah mendelegasikan Nabi-Nya menenteng agama yang hak, memberi kabar takut dan kabar gembira. Allah menyuruh Nabi agar mengawali dakwah dalam keluarga terdekat. Maka dikumpulkannya segenap bani Abdul Mutthalib, pria, wanita, orang bau tanah dan anak-anak.
Nabi berpidato di hadapan mereka :
“Hai, Fatimah binti Muhammad….!
“Hai, Shafiyah binti Abdul Mutthalib…!
Hai, Bani Abdul Mutthalib….!
“Aku tidak dibekali Allah untuk kalian, kecuali mengajak kalian dogma terhadap Allah dan mempercayai kerasulanku…”
Setelah simpulan berpidato, ada di antara mereka yang secepatnya mendapatkan dakwah (ajakan) beliau, ada yang ragu-ragu, dan ada pula yang menolak mentah-mentah. Shafiyah tergolong golongan pertama yang mendapatkan dan percaya.
Karena itu lengkaplah sudah terkumpul pada langsung Shafiyah seluruh unsur kemuliaan, yakni unsur-unsur keturunan selaku ningrat tinggi, disempurnakan dengan unsur ketinggian Islam.
Sejak itu Shafiyah dan puteranya membaur ke dalam golongan cahaya yang terperinci benderang. Dia turut berjuang mati-matian, dan bersusah payah bersamaan kaum muslimin golongan pertama menegakkan panji-panji dakwah menghadapi tantatangan kaum Quraisy, baik berupa agitasi, intimidasi, dan segala jenis teror yang dilancarkan Quraisy.
Ketika Allah mengijinkan Nabi-Nya dan orang-orang mukminin hijrah ke Madinah, Shafiyah yang ningrat Bani Hasyim ini pun turut pula berhijrah. Dengan nrimo ditinggalkannya kota Makkah dengan kenangan-kenangan indah, kebangsawanan, kemegahan dan kebanggaan. Dihadapkannya mukanya ke Madinah selaku muhajirin, pindah dari agama sesat nenek moyang ke agama Allah dan Rasul-Nya.
Kini Sayyidah (nyonya) yang agung ini memasuki usia keenam puluh dalam hidupnya yang panjang dan sarat tantangan selaku srikandi. Dia sudah turut berperan di banyak sekali medan jihad menyerupai yang senantiasa disebut-sebut oleh sejarah selaku kisah yang menabjubkan dan sarat sanjungan.
Di halaman yang terbatas ini cukuplah kiranya kami ketengahkan peranan dia yang tidak saja memperlihatkannya selaku pahlawan gagah, tetapi juga muslimah yang sabar, berhati teguh dan beriman kuat, yakni dalam perang Uhud .
Dalam perang Uhud, Shafiyah turut berperang bersamaan serdadu muslimin, bergabung dalam pasukan para wanita. Tugasnya mengangkat air, menawarkan anak panah, dan memperbaiki busur. Di samping itu Shafiyah memiliki tujuan atau argumentasi khusus. Dia ingin merekam seluruh jalannya pertempuran ke dalam ingatannya yang kuat.
Memang tak aneh jikalau dia memiliki impian langsung menyerupai itu. Mengapa tidak? Karena di medan tempur terdapat anak saudaranya, Muhammad Rasulullah, terdapat saudaranya Hamzah bin Abdul Mutthalib, yang dijuluki “Asadullah” (singa Allah), dan ada pula anak kandungnya Zubair bin Awwam, yang berpredikat “Hawary Nabiyallah” (pembantu khusus Nabi Allah). Dan yang lebih fundamental ketimbang itu semua bahwa yang diikutinya itu menyeleksi perjalanan agama Islam, yang dianuti dengan benar-benar oleh Shafiyah.
Ketika memperhatikan jalannya pertempuran, Shafiyah menyaksikan kaum muslimin terdesak sampai terpencar-pencar jauh dari Rasulullah. Hanya sedikit jumlah mereka yang tinggal bertahan bareng beliau. Sementara itu kaum musyrikin menyerbu dengan pesatnya, sehingga nyaris datang erat Rasulullah dan mereka nyaris membunuh beliau. Secepat kilat Shafiyah melemparkan wilayah air yang dibawanya, kemudian dengan tangkas dia melompat bagaikan singa betina sedang melatih anaknya. Direbutnya pedang seorang muslim yang lari ketakutan. Kemudian ia maju menyerang barisan musuh dengan pedang terhunus dan menebas setiap musuh yang berada di hadapannya. Dia berteriak terhadap kaum muslimin, “Pengecut kalian! Mengapa kalian lewati Rasulullah?” katanya.
Ketika Nabi menyaksikan Shafiyah maju ke tengah medan, dia kuatir jikalau Shafiyah tak punya efek menahan murung mendapatkan mayit saudaranya Hamzah bin Abdul Mutthalib yang tewas di tengah medan pertempuran. Lalu dia memberi kode terhadap Zubair. “Cegah ibumu, Zubair….! Cegah ibumu…! Kata dia menyuruh Zubair menyuruh ibunya kembali.
Zubair secepatnya berpacu memburu ibunya. “Ibu..! Kembali..! Ibu…Kembali!” teriak Zubair mengundang ibunya.
“Pergi kau..! Tidak ada ibu-ibuan..!” jawab Shafiyah.
“Rasulullah menyuruh ibu kembali..! kata Zubair pula.
Mengapa? Aku mendengar mayit saudaraku dirusak binasakan mereka. Padahal saudaraku tewas fi sabilillah…! Kata Shafiyah.
“Biarkan ibumu, hain Zubair!” kata Rasulullah.
Zubair membiarkanya ibunya pergi.
Ketika pertempuran sudah usai, Shafiyah bangun erat mayit saudaranya. Didapatinya perut Hamzah terbelah. Jantungnya diambil orang. Hidung dan kupingnya sudah dipotong. Mukanya rusak tak sanggup dikenali.
Menyaksikan panorama yang menakutkan itu, Shafiyah memohon ampun bagi Hamzah. Kemudian berkata : “Dia tewas fi sabilillah, Aku ridha dengan keputusan Allah atasnya, Demi Allah! Aku akan tetap sabar, dan menyerahkan semua ini terhadap Allah, serta memohonkan pahala untuknya…”
Itulah tugas Shafiyah binti Abdul Mutthalib dalam perang Uhud. Semoga Allah meridhai Shafiyah binti Abdul Mutthalib. Dia ialah rujukan tunggal bagi perempuan muslimah. Dia menyebarkan kepribadian sendiri, kemudian diperkuatnya kepribadian itu. Dia tidak luput dari banyak sekali macam kesulitan, tetapi senantiasa mengatasinya dengan cara yang paling baik, yakni meneguhkan hati (sabar) serta dogma yang kokoh
Dia perempuan ningrat yang berpikiran murni dan memiliki huruf tinggi. Orang-orang cerdas menilainya dengan seribu macam penilaian. Sebagai perempuan teman dekat yang gagah berani, tercatat dalam sejarah Islam. Dia muslimah pertama yang menewaskan orang musyrik dengan tangannya dalam perang menegakkan agama Allah. Dia perempuan pertama yang timbul menunggang kuda dan mengacungkan pedang dalam perang fi sabilillah.
Siapa bahu-membahu srikandi muslimah ini?
Dia yakni SHAFIYAH BINTI ABDUL MUTTHALIB AL HASYIMIYAH AL QURASYIYAH, bibi Muhammad bin Abdul Mutthalib, Rasulullah SAW. Kemuliaan yakni melengkupi Shafiyah dari banyak sekali pihak. Ayahnya Abdul Mutthalib bin Hasyim, kakek Nabi SAW, seorang pemimpin Quraisy yang dipatuhi. Ibunya Halah binti Wahab, saudaranya Aminah binti Wahab ibunda Rasulullah SAW. Suaminya yang pertama Al Harits bin Harb, kerabat Abu Sufyan bin Harb, pemimpin Bani Umayyah.
Al Harits wafat dikala Shafiyah masih menjadi isterinya. Suaminya yang kedua Al Awwam bin Khuwailid, kerabat lelaki Khadijah binti Khuwailid, pemimpin perempuan Arab pada masa jahiliyah, dan Ummul Mu'minin pertama dalam Islam. Puteranya Zubair bin Awwam, pembantu khusus (Hawariy) Rasulullah SAW.
Kemuliaan turunan yang bagaimanakah lagi yang akan dicapai orang sehabis itu selain kemuliaan Iman? Suaminya kedua meninggalkan seorang putera baginya. Anak itu ditinggal wafat oleh bapaknya dikala kecil dan diberinya nama “Zubair”. Zubair dibesarkan Shafiyah dengan pendidikan yang keras. Dia mengajar anaknya kepintaran berkuda dan berperang. Permainannya kontes memanah dan memperbaiki busur. Shafiyah biasa meninggalkan anaknya di tempat-tempat angker, dan membawanya ke tempat-tempat berbahaya. Bila dilihatnya Zubair mundur maju atau ragu-ragu, dipukulnya. Sehingga pada sebuah dikala Shafiyah ditegur oleh pamannya.
Kata paman, “Engkau menghantam dengan pukulan kebencian, bukan dengan pukulan seorang ibu….”
Shafiyah menjawab dengan bersajak.
image“Siapa menyampaikan saya menghantam benci, sangat dusta,
Aku menghantam agar pintar,
Tangguh menghadapi musuh,
Pulang dengan kemenangan.”
Kemudian Allah mendelegasikan Nabi-Nya menenteng agama yang hak, memberi kabar takut dan kabar gembira. Allah menyuruh Nabi agar mengawali dakwah dalam keluarga terdekat. Maka dikumpulkannya segenap bani Abdul Mutthalib, pria, wanita, orang bau tanah dan anak-anak.
Nabi berpidato di hadapan mereka :
“Hai, Fatimah binti Muhammad….!
“Hai, Shafiyah binti Abdul Mutthalib…!
Hai, Bani Abdul Mutthalib….!
“Aku tidak dibekali Allah untuk kalian, kecuali mengajak kalian dogma terhadap Allah dan mempercayai kerasulanku…”
Setelah simpulan berpidato, ada di antara mereka yang secepatnya mendapatkan dakwah (ajakan) beliau, ada yang ragu-ragu, dan ada pula yang menolak mentah-mentah. Shafiyah tergolong golongan pertama yang mendapatkan dan percaya.
Karena itu lengkaplah sudah terkumpul pada langsung Shafiyah seluruh unsur kemuliaan, yakni unsur-unsur keturunan selaku ningrat tinggi, disempurnakan dengan unsur ketinggian Islam.
Sejak itu Shafiyah dan puteranya membaur ke dalam golongan cahaya yang terperinci benderang. Dia turut berjuang mati-matian, dan bersusah payah bersamaan kaum muslimin golongan pertama menegakkan panji-panji dakwah menghadapi tantatangan kaum Quraisy, baik berupa agitasi, intimidasi, dan segala jenis teror yang dilancarkan Quraisy.
Ketika Allah mengijinkan Nabi-Nya dan orang-orang mukminin hijrah ke Madinah, Shafiyah yang ningrat Bani Hasyim ini pun turut pula berhijrah. Dengan nrimo ditinggalkannya kota Makkah dengan kenangan-kenangan indah, kebangsawanan, kemegahan dan kebanggaan. Dihadapkannya mukanya ke Madinah selaku muhajirin, pindah dari agama sesat nenek moyang ke agama Allah dan Rasul-Nya.
Kini Sayyidah (nyonya) yang agung ini memasuki usia keenam puluh dalam hidupnya yang panjang dan sarat tantangan selaku srikandi. Dia sudah turut berperan di banyak sekali medan jihad menyerupai yang senantiasa disebut-sebut oleh sejarah selaku kisah yang menabjubkan dan sarat sanjungan.
Di halaman yang terbatas ini cukuplah kiranya kami ketengahkan peranan dia yang tidak saja memperlihatkannya selaku pahlawan gagah, tetapi juga muslimah yang sabar, berhati teguh dan beriman kuat, yakni dalam perang Uhud .
Dalam perang Uhud, Shafiyah turut berperang bersamaan serdadu muslimin, bergabung dalam pasukan para wanita. Tugasnya mengangkat air, menawarkan anak panah, dan memperbaiki busur. Di samping itu Shafiyah memiliki tujuan atau argumentasi khusus. Dia ingin merekam seluruh jalannya pertempuran ke dalam ingatannya yang kuat.
Memang tak aneh jikalau dia memiliki impian langsung menyerupai itu. Mengapa tidak? Karena di medan tempur terdapat anak saudaranya, Muhammad Rasulullah, terdapat saudaranya Hamzah bin Abdul Mutthalib, yang dijuluki “Asadullah” (singa Allah), dan ada pula anak kandungnya Zubair bin Awwam, yang berpredikat “Hawary Nabiyallah” (pembantu khusus Nabi Allah). Dan yang lebih fundamental ketimbang itu semua bahwa yang diikutinya itu menyeleksi perjalanan agama Islam, yang dianuti dengan benar-benar oleh Shafiyah.
Ketika memperhatikan jalannya pertempuran, Shafiyah menyaksikan kaum muslimin terdesak sampai terpencar-pencar jauh dari Rasulullah. Hanya sedikit jumlah mereka yang tinggal bertahan bareng beliau. Sementara itu kaum musyrikin menyerbu dengan pesatnya, sehingga nyaris datang erat Rasulullah dan mereka nyaris membunuh beliau. Secepat kilat Shafiyah melemparkan wilayah air yang dibawanya, kemudian dengan tangkas dia melompat bagaikan singa betina sedang melatih anaknya. Direbutnya pedang seorang muslim yang lari ketakutan. Kemudian ia maju menyerang barisan musuh dengan pedang terhunus dan menebas setiap musuh yang berada di hadapannya. Dia berteriak terhadap kaum muslimin, “Pengecut kalian! Mengapa kalian lewati Rasulullah?” katanya.
Ketika Nabi menyaksikan Shafiyah maju ke tengah medan, dia kuatir jikalau Shafiyah tak punya efek menahan murung mendapatkan mayit saudaranya Hamzah bin Abdul Mutthalib yang tewas di tengah medan pertempuran. Lalu dia memberi kode terhadap Zubair. “Cegah ibumu, Zubair….! Cegah ibumu…! Kata dia menyuruh Zubair menyuruh ibunya kembali.
Zubair secepatnya berpacu memburu ibunya. “Ibu..! Kembali..! Ibu…Kembali!” teriak Zubair mengundang ibunya.
“Pergi kau..! Tidak ada ibu-ibuan..!” jawab Shafiyah.
“Rasulullah menyuruh ibu kembali..! kata Zubair pula.
Mengapa? Aku mendengar mayit saudaraku dirusak binasakan mereka. Padahal saudaraku tewas fi sabilillah…! Kata Shafiyah.
“Biarkan ibumu, hain Zubair!” kata Rasulullah.
Zubair membiarkanya ibunya pergi.
Ketika pertempuran sudah usai, Shafiyah bangun erat mayit saudaranya. Didapatinya perut Hamzah terbelah. Jantungnya diambil orang. Hidung dan kupingnya sudah dipotong. Mukanya rusak tak sanggup dikenali.
Menyaksikan panorama yang menakutkan itu, Shafiyah memohon ampun bagi Hamzah. Kemudian berkata : “Dia tewas fi sabilillah, Aku ridha dengan keputusan Allah atasnya, Demi Allah! Aku akan tetap sabar, dan menyerahkan semua ini terhadap Allah, serta memohonkan pahala untuknya…”
Itulah tugas Shafiyah binti Abdul Mutthalib dalam perang Uhud. Semoga Allah meridhai Shafiyah binti Abdul Mutthalib. Dia ialah rujukan tunggal bagi perempuan muslimah. Dia menyebarkan kepribadian sendiri, kemudian diperkuatnya kepribadian itu. Dia tidak luput dari banyak sekali macam kesulitan, tetapi senantiasa mengatasinya dengan cara yang paling baik, yakni meneguhkan hati (sabar) serta dogma yang kokoh