Membincang Kurun Depan Agama Quo Vadis Tuhan

Quo Vadis Tuhan (Membincang Masa Depan Agama). Ketika membaca esai "Is There a God?"-nya Bertrand Russel, yang juga menulis buku berjudul "Our Knowledge of the External World", saya menyerupai disuguhi suatu pengertian religius yang relatif gres dan sungguh-sungguh mencengangkan. Sebagai seorang penganut Islam (yang belum taat), di saat membaca goresan pena tersebut, dengan spontan, saya ber-husn al-zhan bahwa ada kesalahan elementer dalam sikap keberagamaan yang selama ini saya jalani. Kesalahan elementer tersebut saya maksudkan selaku sebentuk totalitas penghambaan yang tidak terbangun atas kesadaran rasional. Ketiadaan akan kesadaran rasional menyebabkan sikap keberagamaan saya condong monoton, dan tragisnya, sendi-sendi keimanan yang saya anut kerap dengan mudah goyah dan runtuh.

Dengan argumentatif, ia memberikan pernyataan yang mesti saya apresiasi. Baginya, "Monotheism, which at the beginning of the Antiochan persecution had been the creed of only part of one very small nation, was adopted by Christianity and later by Islam". Ya, desain monoteisme (tauhid) yang selama ini terdoktrinkan selaku desain sakral, nyatanya, dalam tinjauan historis cuma sekedar desain politik yang kemudian dimanfaatkan untuk melanggengkan agama. Agama yang pada permulaan kemunculannya lebih selaku kesadaran religius individual, pasca-pelibatan desain monoteisme, dipaksa dan distigmakan selaku suatu kesadaran religius komunal-formal.

Kalau boleh saya berasumsi, tesa yang diajukan oleh Bertrand Russel tersebut —dalam tataran yang paling radikal —sebenarnya bermaksud mengirimkan kita terhadap sebentuk keimanan gres berjulukan pluralisme agama. Sebuah keimanan gres yang dapat meleburkan ego dan menepikan sikap fanatisme kita dalam beragama. Artinya, selaku agama Semitik, masing-masing dari Islam, Katolik dan Yahudi mempunyai kesamaan mendasar yang kemudian mengalami perbedaan alasannya yakni ketidaksamaan sosio-kultur yang melingkupinya. Pun ada kesamaan dengan Hindu yang oleh banyak pihak "disalahprasangkai" selaku agama yang enggan mendapatkan desain monoteisme. Sebagai agama yang percaya terhadap Yang Maha Kuasa (The Supreme Being), Hindu mengimani banyak tuhan yang diyakini selaku manifestasi dari The Supreme Being.

Sementara dalam tataran yang relatif "sopan", postulat yang diajukan oleh Bertrand Russel, bisa jadi dimaksudkan untuk menggerus budaya taklid dalam beragama. Hal inilah yang menghasilkan saya mesti mengamini, untuk tidak membahasakannya, mengimani tesa-tesanya. Dengan judul yang tidak mengecewakan provokatif, "Is There a God?" dan sederet postulat di dalam tulisannya, ia menghidangkan parade argumentasi, betapa versi atau gaya beragama yang didominasi sikap taklid yakni versi yang jauh dari ideal dan tidak lebih dari suatu sikap beragama bercorak keterpaksaan.

Sesungguhnya, upaya mulia yang dijalankan Bertrand Russel; penyadaran terhadap sikap keberagamaan, juga diteriakkan oleh sarjana Barat lainnya. Yang jamak dijalankan oleh mereka pertama kali yakni menelaah wacana ketuhanan yang notabene ialah kepingan pokok agama. Dalam suatu tulisannya yang berjudul "The God of The Gaps", Adrian Barnett dengan berani dan lantang menyediakan statement, "If you say that proof of your God can be shown by a particular unexplained phenomenon, you’re going to be in trouble when science gets round to examining and explaining that phenomenon. Does your God vanish or die, or just scuttle over to the next Gap, like some giant cockroach when the light is switched on?."

Lain Adrian Barnett, lain pula Sigmund Freud. Dalam perspektifnya, inspirasi wacana Tuhan dipersonifikasikan selaku pengejawantahan gambaran ayah. Yang menarik, masih menurut Sigmund Freud, keyakinan religi seseorang ditempatkan selaku sifat kekanak-kanakan, childish dan neurotik. Dalam poin ini, saya pikir, estimasi Freud agak kelewatan tetapi bukan mempunyai arti kehilangan momentum. Harus jujur diakui, sikap keberagamaan yang kita anut kadang-kadang malah tanpa disadari menjebak kita dalam sikap kekanak-kanakan. Hal ini terpotret dalam sikap keberagamaan yang kaku, formalistik dan senantiasa mengklaim agama yang dianutnya yakni agama yang paling benar. Bahkan, Freud mensinyalir bahwa keotoriteran agama ialah sebentuk disfungsi dan bisa memunculkan pemeluknya teralienasi; tidak memedulikan kepribadiannya. Oleh alasannya yakni realitas tersebut, dengan segenap penghormatan terhadap peran intelektual Freud, saya mesti mengimani hipotesanya selaku suatu "pencerahan" yang berkelas nan brilian.

Sikap keras, vulgar dan konfrontatif ala Freud dengan "mencampakkan" agama beserta ritus dan simbolnya terlihat diperlunak oleh sarjana Barat lainnya. Sebagai misal, Carl Jung, seorang psikoanalis berkebangsaan Swiss, mengambil sikap yang relatif akrab terhadap agama beserta ritus dan simbolnya. Baginya, diskusus seputar ketuhanan sanggup bermetamorfosis selaku suatu diskursus yang tak terjawab; tak terbantahkan (unanswerable). Akibatnya, suka atau tidak, diskursus ini akan menjebak kita pada budaya agnostik yang sedari permulaan hendak dijauhi.

Sedikit mundur ke belakang, sebelum kajian keagamaan provokatif semodel Freud atau yang sedikit simpatik ala Jung muncul, perbincangan seputar agama di dunia Barat sesungguhnya sudah mendapatkan momentumnya di saat sarjana Barat kenamaan, William James, mengeluarkan buku kanonikalnya, "The Varietes of Religious Experience". Bagi khalayak lazim yang berhasrat terhadap kajian psikologi agama pasti tidak sanggup membantah pengaruh besar William James terhadap sarjana-sarjana Barat lainnya. Bahkan mereka bisa saja bersepakat bahwa buku "The Varietes of Religious Experience" ialah salah satu buku yang otoritatif dalam kajian psikologi dan agama. Satu buku yang sanggup secara holistik me-review seluruh aliran brilian William James.

Dalam bukunya tersebut, William James secara jelas dan lugas menjajal menyediakan penyadaran terhadap publik bahwa ada perbedaan yang sungguh signifikan antara sikap beragama secara institusional dan sikap beragama secara individual. Poin yang pertama diandaikan menunjuk terhadap sikap beragama yang diatur dan mempunyai pekerjaan besar dalam konstruksi sosial kultur suatu komunitas. Sementara poin yang kedua ingin memastikan adanya impian William James untuk menjauhkan akidah dan indoktrinasi apapun dari daerah agama.

Pertanyaannya sekarang, di saat kajian kritis terhadap diskursus ketuhanan menjadi demikian terbuka dan menepikan budaya pakewuh, apakah secara otomatis, paradigma beragama insan akan berlangsung dinamis menuju sikap beragama yang rasional? Dengan menyaksikan realitas kekinian, proses beragama secara rasional kelihatannya cuma akan terjadi di Barat, bukan di Timur (Islam). Finally, selaku pribadi, penulis senantiasa berkhayal menjadi seorang Muslim sejati, bukan Muslim artifisial. Di sini, enggan menjadi Muslim palsu mempunyai arti menolak Islam menjadi apa yang dibahasakan oleh Henri Bergson dalam "The Two Sources of Morality and Religion" selaku agama statis, tetapi berharap Islam selaku agama dinamis.

*Sekertaris Lakpesdam, Peneliti di Afkar Institute for Aufklarung dan Philoschool

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel