Nahwa Fiqh Jadîd: Dirâsat Fi Fiqh Maqâshid Al-Syarî'at Bayn Al-Maqâshid Al-Kuliyyat Wa Al-Nushûsh Al-Juz'iyyat
Sunday, August 30, 2015
Edit
Nahwa Fiqh Jadîd: Dirâsat fi Fiqh Maqâshid al-Syarî'at bayn al-Maqâshid al-Kuliyyat wa al-Nushûsh al-Juz'iyyat
Pengantar
Jika menengok sejarah, selepas gegap-gempitanya bunyi pembaharuan yang disulut Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh, pembaharuan di dunia Arab-Islam secara garis besar, terbelah menjadi tiga kutub. Kutub pertama diasumsikan selaku sayap pembaharuan dengan akselerasi cepat (liberal) dengan tokohnya menyerupai Ali Abdur Raziq hingga yang terkini merupakan Hasan Hanafi, Abid al-Jabiri dan Muhammad Arkoun. Di kutub yang mengambil posisi bertentangan merupakan sayap pembaharuan dengan gerak yang lambat. Sayap pembaharuan model ini dianggap selaku prototype pembaharuan yang moderat. Dalam kelompok ini terdapat nama besar semisal Rasyid Ridha dan berlanjut hingga kala Wahbah Zuhayli, al-Qardhawi dan al-Bouthi.
Pada kutub ketiga terdapat sayap puritan-radikal dengan jargon usangnya proyek purifikasi Islam dan ajarannya. Dalam proyek pembaharuannya, kelompok pertama begitu terbuka dengan pihak luar (Barat) dan berani mengerjakan otokritik atas khazanah turats. Sementara kelompok kedua meyakini idealitas turats dan bersikap "hati-hati" terhadap the others. Dalam banyak hal, kedua sayap tersebut banyak mengalami friksi dengan sayap puritan-radikal yang menjerumuskan pada sikap takfir satu sama yang lain selaku respon dari perbedaan dalam menatap suatu diskursus, info dan wacana keagamaan yang tengah berkembang.
Menariknya, dampak dua kecenderungan pembaharuan di atas juga marak digandrungi dalam dinamika intelektual bangsa Indonesia. Beberapa golongan yang mengimani sayap liberal membuat figur-figur tenar semodel Ali Abdur Raziq, Mustafa Abdur Raziq, Hasan Hanafi, Nashr Hamid Abu Zayd, Abid al-Jabiri dan Mohamad Arkoun selaku patron. Sedang pihak yang memedomani sayap kedua membuat Rasyid Ridha, Zuhayli, al-Bouthi dan al-Qardhawi selaku imam mereka. Yang paling menonjol ketokohannya dan punya banyak dampak dalam pergumulan wacana keagamaan bangsa Indonesia dari kelompok yang kedua ini, tampaknya merupakan Yusuf al-Qardhawi. Sedang kelompok ketiga banyak menginspirasikan fenomena radikalisme di Tanah Air.
Selain dimengerti selaku penulis prolifik, al-Qardhawi dipandang selaku sedikit sarjana muslim kekinian yang dapat menyuguhkan fikih dalam frame work yang serupa sekali berlainan dari fikih klasik. Lihat saja gayanya. Alih-alih mengemas kajian fikih dengan mengekor para fuqaha' klasik, al-Qardhawi memperlihatkan kajian fikih dalam nomenklatur yang menggelitik. Mulai dari Fiqh al-Zakat hingga Fiqh al-Awlawiyat. Ini yng membuat kajian fikih di tangan al-Qardhawi terlihat compatible dan kontekstual bagi jaman modern.
Salah satu karya teraktual al-Qardhawi merupakan suatu buku berskala sedang berjudul "Dirasât fi Fiqh Maqâshid al-Syarî'at bayn al-Maqâshid al-Kuliyyat wa al-Nushûsh al-Juz'iyyat". Buku setebal 287 halaman ini dicetak pertama kali tahun 2006 dan mengalami cetak ulang untuk yang kedua kalinya tahun 2007. Selain bermula dari suatu pelatihan yang bertemakan maqâshid al-syarî'at yang diselenggarakan di London tahun 2004, tampaknya buku ini juga dimaksudkan selaku respon positif al-Qardhawi (untuk tidak mengatakannya selaku bentuk kelatahan) atas kajian maqâshid al-syarî'at yang kembali mulai marak di dunia Arab Islam pada tahun 2000-an.
Guna mengenali sejauhmana perhatian dan pandangan-pandangan al-Qardhawi atas rancangan maqâshid al-syarî'at, penulis menjajal membuat buku "Dirâsat fi Fiqh Maqâshid al-Syarî'at bayn al-Maqâshid al-Kuliyyat wa al-Nushûsh al-Juz'iyyat" selaku pijakan utama dalam mengerjakan proses analisa. Penulis juga akan menjajal mengerjakan komparasi antara konsepsi-konsepsi al-Qardhawi dalam buku tersebut dengan studi atas maqâshid al-syarî'at yang ditangani sarjana muslim yang lain biar posisi al-Qardhawi menjadi terang benderang.
Maqâshid al-Syarî'at dalam Lintas Paradigma
Dalam pergumulan wacana keagamaan kontemporer, info maqâshid al-syarî'at, di mata sebagian penduduk awam, banyak dihembuskan oleh golongan liberal selaku suatu simbol perlawanan atas makin teguhnya keberpihakan pada dominasi fikih klasik yang dalam banyak hal sudah gagal melebihi jamannya. Kalangan progresif itu kerap menyebut al-Syathibi selaku bapak maqâshid al-syarî'at. Menurut mereka, jikalau orientasi fikih kekinian banyak mengadopsi muatan-muatan maqâshid al-syarî'at, bisa ditentukan bahwa tampang fikih akan menjadi ramah dan peka terhadap problematika terkini masyarakat.
Asumsi di atas secara faktual sanggup dengan mudah terbantahkan. Adalah tidak benar bahwa info maqâshid al-syarî'at cuma menjadi concern dan menjadi monopoli sayap liberal. Ada banyak sarjana dari sayap moderat yang juga mempunyai perhatian serius pada info maqâshid al-syarî'at. Dan al-Qardhawi pun mengafirmasinya. Dalam pengakuannya, al-Qardhawi menyatakan, jikalau sedari permulaan beliau sudah mempunyai perhatian pada info maqâshid al-syarî'at. Sikap itu timbul selain selaku buah dari pergulatannya dengan ayat-ayat al-Qur'an, juga disebabkan atas analisanya pada beberapa produk aturan Islam, dan pembacaannya terhadap buku-buku karangan ulama klasik yang peka dengan info maqâshid al-syarî'at sebagaimana terekam dalam karya Ibn Taymiyyah, Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah, al-Syathibi, dan al-Dahlawiy. Perhatiannya pada maqâshid al-syarî'at menjadi makin terasah lantaran pergaulan intelektualnya dengan para sarjana muslim kekinian yang mengimani maqâshid al-syarî'at semisal Abdul Wahhab al-Khallâf dan Mustafa al-Zarqa. Untuk memperteguh klaimnya, al-Qardhawi memperlihatkan kesaksian bahwa aroma maqâshid al-syarî'at sanggup didapatkan dalam karya-karya yang lain menyerupai al-Madkhal li Dirasat al-Syari'at al-Islamiyyah dan lainnya. [Yusuf al-Qardhawi, (2007), Dirâsat fi Fiqh Maqâshid al-Syarî'at bayn al-Maqâshid al-Kuliyyat wa al-Nushûsh al-Juz'iyyat, Cet. II, Cairo: Dar al-Shourouk, hal. 11-13].
Selepas mengetengahkan argumentasi ketertarikannya dengan kajian maqâshid al-syarî'at, al-Qardhawi memperlihatkan kesaksian obyektif akan potensi positif fikih maqâshid al-syarî'at selaku induk dan asas bagi kajian fikih lainnya. Lebih jauh lagi, al-Qardhawi meyakini bahwa fikih maqâshid al-syarî'at sungguh mungkin menjadi suatu genre fikih gres yang peka atas realitas kekinian.
Al-Qardhawi dalam proyek maqâshid al-syarî'at sebagaimana terangkum dalam buku yang sedang kita kaji ini menjajal mengawalinya dengan mendedahkan definisi terma fikih maqâshid al-syarî'at. Dalam konteks kekinian, beliau mengerti syari'at dalam dua kerangka. Pertama, idiom syari'at tak lebih dari agama beserta seluruh ajarannya. Sedangkan kerangka yang kedua mengandaikan syari'at selaku dimensi legal formal agama. Pemaknaan yang kedua ini tak lain mengunci syari'at dan menyamakannya dengan fikih. Bagi penulis, klarifikasi al-Qardhawi atas makna syari'at tidaklah menenteng hal yang baru.
Al-Qardhawi pun tak luput untuk menguraikan definisi frase maqâshid al-syarî'at. Dalam benak al-Qardhawi, maqâshid al-syarî'at dipahami selaku tujuan yang mau diraih oleh tek-teks liturgis keagamaan yang termanifestasikan oleh hukum-hukum yang bersifat parsial dalam kehidupan bermasyarakat. Dia menilai bahwa maqâshid al-syarî'at identik dengan hikmah di balik proses legislasi. Bukan selaku ratio legis dari suatu hukum. Sikap simplikatif al-Qardhawi di sini terlihat berseberangan dengan Thaha Abdurrahman. Jika simplikasi dan dogmatisasi ditempuh al-Qardhawi, maka langkah sofistikasi diambil Thaha Abdurrahman.
Menurut Thaha Abdurrahman ada tiga langkah yang hendaknya ditangani dalam mengerjakan studi atas maqâshid al-syarî'at. Pertama, reposisi terhadap maqâshid al-syarî'at. Idealnya, bagi Thaha Abdurrahman, maqâshid al-syarî'at ditaruh selaku sub kajian dari diskursus filsafat. Tidak berada dalam kerangkeng kajian fikih dan ushul fikih. Asumsi tersebut berdasar pada anggapannya bahwa maqâshid al-syarî'at merupakan satu disiplin ilmu etikal yang bermaksud bikin kemaslahatan manusia. Kedua, pengertian integral atas terma maqâshid al-syarî'at. Secara semantik, terma ini menyiratkan adanya tiga hal urgen yang tak sanggup terlepas dari maqâshid al-syarî'at. Ketiga hal tersebut merupakan faktor praksis, faktor niat (ketulusan) dan moralitas. Ketiga, telaah ulang atas rancangan pembagian nilai menjadi primer, sekunder dan tersier. Thaha Abdurrahman menilai adanya ambiguitas dan ketidaktegasan dalam pembagian nilai-nilai maslahat. Tuduhan Thaha Abdurrahman ini dipicu oleh fakta logis bahwa setiap pembagian atau pembagian terorganisir mengenai (taqsim)apapun mensyaratkan adanya keberlainan (tabayun). Jika pembagian terorganisir mengenai model sarjana klasik itu memang komitmen dengan prasyarat di atas, maka tak akan terjadi ketumpangtindihan antara nilai-nilai elementer dengan nilai-nilai sekunder dan komplamenter. Namun realita menyampaikan sebaliknya.[Thaha Abdurrahman, (2002), Masyru' Tajdid ‘Ilmiyyli Mabhats Maqashid al-Syari'at, Vol. 103, Cairo: Jurnal al-Muslim al-Mu'ashir, hal. 41-62].
Dari pembacaan di atas, sanggup dimengerti bahwa langkah maju yang signifikan justru lebih banyak ditangani oleh Thaha Abdurrahman. Fakta ini bukan bermakna menegasikan bahwa al-Qardhawi sama sekali tak mengambil langkah maju. Salah satu langkah maju yang coba dipersiapkan al-Qardhawi merupakan dengan mengkritisi pembagian terorganisir mengenai nilai-nilai elementer dengan cuma mencukupkan menjadi lima pecahan (al-Kuliyyat al-Khams). Al-Qardhawi menatap konsepsi al-Kuliyyat al-Khams yang digagas al-Ghazali dalam al-Mustashfa-nya, bila ditarik dalam ranah modern, tidaklah memadai dalam merespon dinamika peradaban penduduk yang makin kompleks. Dia beropini ada nilai-nilai elementer lain yang mesti disertakan menyerupai kesetaraan, keleluasaan dan hak-hak asasi insan guna melengkapi teori al-Kuliyyat al-Khams. [Yusuf al-Qardhawi, op-cit, hal. 27-29].
Mungkin, menjadi menawan di sini untuk memperlihatkan suatu pernyataan al-Qardhawi yang dikutip oleh Jamaluddin Atheyyah. Ujar al-Qardhawi:
"Saya meyakini bahwa selain al-Kuliyyat al-Khams, terdapat juga jenis-jenis maqashid lain yang belum memperoleh apresiasi sepantasnya. Maqashid-maqashid itu justru banyak terkait dengan realitas masyarakat. Jika selama ini dominan nilai-nilai maqashid (al-Kuliyyat al-Khams) lebih banyak berpihak pada individu, lantas bagaimana dengan keleluasaan (al-huriyyat), kesetaraan (egaliterianisme) dan keadilan? Seperti apakah signifikansi dan urgensinya? Tak pelak, fakta ini mendorong perlu adanya telaah ulang.."
Nyatanya, pertimbangan al-Qardhawi itu juga banyak disampaikan oleh para pengkaji maqâshid al-syarî'at yang lain semisal al-Raysuni dan yang lain. [Jamaluddin Atheyyah, (2003), Nahwa Taf'il Maqâshid al-Syarî'at, Cairo: Dar al-Fikr, hal. 100-103].
Upaya mengerjakan penambahan atas rancangan klasik al-Kuliyyat al-Khams yang masak di tangan al-Amidiy itu tidak melulu berkutat pada isu-isu hak asasi insan dan demokrasi. Sebagian akademisi mengajukan info lingkungan hidup biar menjadi salah satu pecahan nilai elementer (al-Dharuriyyat). Kalangan ini menilai bahwa hifdh al-kawn tak kalah penting dengan rancangan hifdh al-dîn dan juga isu-isu penegakan hak asasi insan dan pelaksanaan politik demokrasi.
Gagasan al-Qardhawi untuk mengerjakan penyempurnaan atas teori al-Kuliyyat al-Khams juga diamini oleh pemikir-pemikir progresif menyerupai Hasan Hanafi. Lebih jauh lagi, selain mengerjakan pembaharuan atas teori al-Kuliyyat al-Khams konvensional sebagaimana diusulkan al-Qardhawi, Hasan Hanafi menilai perlu adanya upaya mengerjakan ekspansi makna atas rancangan al-Kuliyyat al-Khams klasik. Sebagai contoh, "al-din" (dalam frase hifdh al-dîn) dalam perspektif Hasan Hanafi yang liberal mesti dimaknai selaku jaminan atas keleluasaan beragama secara utuh. Sedang idiom hifdh al-mâl mengalami pergantian makna menjadi suatu jaminan atas aset dan harta milik penduduk dan negara juga. Dimensi al-mâl jangan hingga dikebiri dengan cuma menjadi justifikasi bagi terjaminnya aset pribadi atau golongan semata. [Hasan Hanafi, (2002), Maqashid al-Syari'at wa Ahdaf al-Ummat; Qira`at fi al-Muwafaqat li al-Syathibi, Vol. 103, Cairo: Jurnal al-Muslim al-Mu'ashir, hal. 65-102].
Korelasi Maqashid al-Syari'at dengan Mazhab dan Ideologi Sarjana Muslim
Melihat pola pembaharuan atas rancangan maqâshid al-syarî'at di atas, sanggup kita lihat terdapat perbedaan signifikan antara rancangan pembaharuan Thaha Abdurrahman dan Hasan Hanafi dengan al-Qardhawi. Perbedaan dalam menatap rancangan maqâshid al-syarî'at tidak cuma terjadi antara tiga tokoh di atas. Bahkan, para sarjana muslim klasik juga mengalami perbedaan satu sama lainnya. Sebagai misal, al-Ghazali berlainan dengan al-Syathibi dalam menyeleksi prioritas al-Kuliyyat al-Khams. Al-Baydhawi tak sepakat dengan al-Subki dan al-Zarkasyi. Sebagian mendahulukan hifdh al-dîn, yang yang lain lebih mengutamakan hifdh al-nafs.
Yang menawan untuk ditelisik, perbedaan dalam menatap maqâshid al-syarî'at, apakah punya hubungan yang erat dengan perbedaan dalam ranah teologis-ideologis dan mazhab? Dan ternyata, al-Qardhawi mempunyai jawaban atas pertanyaan tersebut. Dalam sub pecahan berikutnya yang berjudul "Bayn al-Maqâshid al-Kuliyyat wa al-Nushûs al-Juz`iyyat Tsalâts Madâris", al-Qardhawi menjajal mengecek sejauhmana perbedaan rancangan maqâshid al-syarî'at saat terdapat perbedaan teologis-ideologis dan mazhab atau aliran. Sub pecahan ini terdiri atas tiga tema besar yang menyinari seputar keberadaan tiga mazhab besar yang dianggap mewakili keberadaan teologi-ideologi dan mazhab dalam khazanah pemikiran Islam Klasik. Ketiga tema besar itu merupakan mazhab al-Dhahiriyyah al-Judud (Neo Skripturalisme-Literalisme), mazhab al-Mu'aththilat al-Judud (Neo Liberalisme) dan mazhab al-Wasathiyyat (Moderatisme). Untuk memperjelas dampak persepsi teologis atas rancangan maqâshid al-syarî'at, penulis menjajal mengurai klarifikasi al-Qardhawi secara runtut dengan tetap mengkomparasikannya dengan tesa-tesa lainnya.
Apakah yang diinginkan oleh al-Qardhawi dengan mazhab Neo Skripturalisme-Literalisme (al-Dhâhiriyyat al-Judud)? Mazhab ini merupakan suatu mazhab yang lebih mengedepankan pengertian literalistik atas teks-teks parsial dibandingkan dengan memedomani maqâshid al-syarî'at. Dalam benak al-Qardhawi, mazhab ini terdiri atas banyak kelompok tetapi sanggup dipetakan menjadi dua aliran besar. Aliran pertama merupakan kelompok yang berkutat dalam ranah teologis. Dan al-Qardhawi membuat gerakan Salafisme (Salafiyyah) selaku sample-nya. Aliran kedua merupakan golongan yang mengambil wilayah politik selaku basis gerakan dan prioritasnya. Aliran kedua ini, menurut al-Qardhawi nampak dalam golongan Hizbut Tahrir.
Secara geneologis, penyokong mazhab ini sanggup dikatakan selaku pewaris mazhab al-Dhahiriyyah dan pengikut Ibn Hazm yang terkenal literalistik itu. Kedua kelompok ini dalam kajian fikih klasik dimengerti selaku kelompok yang melandaskan mazhabnya pada al-Qur'an, Sunnah dan Konsensus Shahabat (Ijma'). Dalam banyak hal, keduanya mempunyai banyak persamaan. Namun ada satu hal fundamental yang membedakan keduanya. Al-Dhahiriyyah cuma mengenal penggunaan al-qiyas al-jaliy dan menolak al-qiyas al-khafiy. Sedang Ibn Hazm menolak penggunaan silogisme (al-qiyas) secara mutlak. [Ahmad Bakir Mahmud, (1990), al-Madrasat al-Dhahiriyyat bi al-Masyriq wa al-Maghrib, Cet. I, Beirut: Dar al-Qutaybah, hal. 41].
Al-Qardhawi secara mendalam juga mengelaborasi beberapa abjad yang dianggap menonjol dari mazhab Neo Skripturalisme-Literalisme. Antara lain: pengertian terhadap teks yang terlalu literalistik. Karakter ini membuat teks yang berada di tangan mereka statis dan beku. Mereka menutup kemungkinan adanya penafsiran-penafsiran lain yang condong utilitarinistik. Karakter yang kedua merupakan pola keberfikihannya yang condong pada sikap kaku, memberatkan dan radikal. Akibatnya mereka mendaku kebenaran cuma berada di pihaknya. Tidak di luar mazhab mereka. Yang terakhir dari abjad mereka merupakan sikap mencela terhadap pihak-pihak di luar mazhab mereka dan mengantarkannya pada sikap takfir.
Beberapa abjad di atas pastinya paralel dengan paradigma yang mereka anut. Efek dari penolakan atas silogisme mengirimkan mereka pada penolakan atas keberadaan ratio legis (ilal al-ahkam). Mereka meyakini bahwa pengertian literalistik atas teks merupakan suatu hal yang alami. Dalam beling mata mereka, penafsiran utilitiarinistik yang inheren dengan sikap terbuka pada silogisme malah cuma akan mengakibatkan perbedaan di antara umat. Mereka pun menafikan al-istihsan, al-mashalih al-mursalah dan ‘amal ahl al-madinat dari posisinya selaku sumber hukum. Seakan mewarisi sekte Ghulat Hanabilah yang melecehkan tugas filsafat selaku perabotan dalam mengerti agama, kelompok ini juga beropini bahwa nalar dan kebijaksanaan tak punya kawasan dalam proses mengerti teks. Sebuah sikap yang sejatinya juga memukul para fuqaha dari golongan ahl al-ra'y.
Ekses yang paling buruk dari mazhab ini merupakan seramnya produk fikih yang mereka hasilkan. Fikih di tangan mereka menjadi terasa demikian mengambil jarak dari realitas, berpihak pada teks dan abai atas dinamika peradaban. Al-Qardhawi mencontohkan beberapa keputusan fikih yang mereka ambil memang jauh dari semangat maqâshid al-syarî'at. Sebagai misal, fatwa yang mengharamkan hasil dari proses dokumentasi yang menggunakan kamera dan video kamera. Mereka mendasarkan fatwa ini pada hadits ‘Aisyah yang masyhur itu. Sikap ini, selain tidak sejalur dengan pertimbangan mainstream, juga merefleksikan bahwa kelompok ini gagal dalam mengerti khazanah turats yang demikian kaya. Pendukung mazhab ini seakan tak tahu langkah fenomenal yang ditangani oleh seorang pakar fikih berjulukan al-Qarafiy (684 H). Sebagaimana disampaikan oleh Muhammad Imarah, al-Qarafiy ternyata menekuni dunia seni lukis dan seni pahat (patung). Sejatinya, jikalau dicermati hadits tersebut timbul dalam masa Ayyam al-Watsaniyyah. Yakni suatu periode di mana patung dan lukisan disakralkan dan dipersepsikan selaku Tuhan.
Mazhab kedua yang menjadi sorotan al-Qardhawi merupakan mazhab Neo Liberalisme. Oleh al-Qardhawi, mazhab ini diberi label selaku suatu mazhab yang kerap menganaktirikan teks-teks parsial dengan lebih mendewakan nilai-nilai universal dan kebajikan publik. Secara historis, rancangan mazhab ini boleh dikatakan banyak terilhami oleh gerakan rasionalitas Mu'tazilah dalam ranah teologi dan fuqaha ahl al-ra`y dalam wilayah fikih. Dalam menerangkan aliran ini, al-Qardhawi dengan tegas menunjuk pemikir progresif garda depan asal Aljazair, Mohamad Arkoun selaku sosok penting bagi mazhab Neo Liberalisme. Al-Qardhawi dengan sengit menuduh Arkoun dan para sarjana muslim dari golongan liberal dengan proyek pembaharuannya hendak membuang keberadaan hukum-hukum agama (syari'at). Tudingan al-Qardhawi di sini perlu dipertanyakan lebih lanjut. Benarkah Arkoun dan para sarjana yang sepaham dengannya bermaksud demikian?
Sesungguhnya, dalam amatan penulis, apa yang ditangani Arkoun tak lain suatu upaya memperlihatkan fikih (agama dalam skala yang lebih umum) dalam tampang yang ramah dan humanis. Tak heran, dalam proyek pembaharuannya yang bertajuk "Naqd al-‘Aql al-Islamiy", Arkoun memulainya dengan mengerjakan pemetaan atas nalar dengan membaginya menjadi dua tipe. Nalar pertama disebutnya selaku al-‘Aql al-‘Arabiy, sedang nalar jenis kedua dinamakan selaku al-‘Aql al-Islamiy. Bagi Arkoun, kedua nalar itu mesti dipisahkan lantaran masing-masing menenteng implikasi yang berbeda-beda. Langkah permulaan Arkoun tersebut bekerjsama merupakan titik tolak dalam bisnisnya membebaskan nalar kritis dari jerat-jerat epistema yang dikonstruksi oleh nalar dogmatis. Pembebasan nalar kritis menjadi penting dan signifikan lantaran terkadang wilayah-wilayah yang sejatinya terbuka (ijtihadiy) menjadi tertutup dan sakral lantaran hegemoni nalar dogmatis. Realitas yang menjadi keprihatinan Arkoun nyatanya banyak terjadi dalam bentangan sejarah peradaban Islam. Dan juga Eropa. [Mohamad Arkoun, (t.t), Qadhaya Naqd al-‘Aqliy al-Diniy; Kayf Nafham al-Islam al-Yawm, Beirut: Dar al-Thali'at, hal. 5-10].
Untuk memperjelas pola dan gerakan sayap progresif ini, al-Qardhawi memperlihatkan gambaran patokan dasar bagi kelompok ini. Menurut estimasi al-Qardhawi, golongan progresif ini terdiri atas orang-orang yang awam disiplin ilmu keagamaan, kerap menilai pihak lain tak mempunyai kapabilitas keilmuan dan western oriented atau mengekor pihak Barat. Dalam poin "al-taba'iyyah li al-gharb", penulis tak sepakat dengan al-Qardhawi. Memang benar bahwa beberapa dari sarjana muslim progresif banyak yang menggunakan perabotan dan pisau analisa yang masak di Barat. Misalnya, al-Jabiri yang begitu mengakrabi mazhab strukturalisme, Hasan Hanafi yang mahir menerapkan sistem fenomenologi dan Arkoun yang meminjam banyak metodologi yang meningkat subur dalam naungan mazhab post strukturalisme. Namun seluruhnya itu merupakan hal yang lumrah dalam diskursus intelektual. Toh, dulu, sarjana Barat banyak yang meminjam metodologi yang digagas oleh sarjana muslim klasik. Dan nyatanya, kesimpulan yang dihasilkan oleh sarjana progresif dengan para ulama klasik kerap tak berlainan sekalipun menggunakan sistem yang berbeda. Fakta ini terungkap dengan adanya kesamaan kesimpulan dalam kendala al-Jabiri yang menggunakan perabotan "alam bawah sadar politik-nya Regis Debray dengan analisa Ibn Khaldun. [, Beyond Defeatism; Sebuah Pembacaan Hermeneutis Atas Kejatuhan Baghdad, dipresentasikan Kamis, 13 September 2007 dalam kajian pribadi Lakpesdam di sek. PCI NU Mesir].
Dalam deskripsi lanjutannya atas kelompok progresif ini, al-Qardhawi menyebutkan beberapa hal yang menjadi fokus golongan ini. Mereka, ujar al-Qardhawi, terlalu menomorsatukan rasionalitas ketimbang memedomani hal-hal yang sudah digariskan oleh wahyu. Tragisnya, dalam amatan al-Qardhawi, kelompok ini kerap salah dalam memaknai tindakan-tindakan fikih yang diambil oleh Umar Ibn Khaththab dan Najmuddin al-Thufiy. Yang lekang dalam alam pikir kaum ini, bahwa kebajikan publik (maslahat), sejatinya merupakan manifestasi dari hukum-hukum Tuhan. Jika ditelisik lebih dalam, analisa al-Qardhawi atas mereka tak sepenuhnya benar. Beberapa golongan dari sayap progresif memang mengapresiasi sikap keberfikihan yang ditangani oleh kedua tokoh di atas. Mereka memandang, spirit ala Umar dan al-Thufiy sanggup senantiasa terjamin kontinuitasnya jikalau diskursus wacana al-tsawabit dan al-mutaghayyirat dikembangkan secara serius.
Beberapa pemikiran fenomenal dan kontroversial dari kelompok progresif ini membuat mereka dianggap keluar dari hal-hal yang permanen. Kalangan progresif juga dituding dengan teledor sudah memporak-porandakan kemapanan rancangan al-tsawabit dan al-mutaghayyirat sebagaimana yang dituliskan al-Qardhawi. Hemat penulis, di sinilah letak perbedaannya. Kalangan progresif senantiasa ingin mendinamisasikan rancangan al-tsawabit dan al-mutaghayyirat, sedang al-Qardhawi dan yang sepaham dengannya menilai diskusi wacana keduanya sudah final dan paripurna. Di sini, penulis sepakat dengan apa yang disampaikan Hasan Hanafi. Menurutnya, sudah masanya al-tsawabit tidak lagi berpihak pada teks, tetapi lebih berpihak pada kebajikan publik (al-maslahat). [, Rethinking of Maqashid al-Syari'ah; Sebuah Jawaban Bagi Pergulatan Nilai Humanisme dengan Teks Agama dalam buku Mengetuk Pintu Syari'ah; Sebuah Telaah Diskursus Maqashid Sayari'ah, (2006), Cairo: KSW Press, hal. 193-212].
Mazhab ketiga yang ditampilkan oleh al-Qardhawi merupakan mazhab al-Wasathiyyat (Moderatisme). Bagi al-Qardhawi, mazhab ini merupakan mazhab yang ideal. Oleh karenanya, beliau menyebutnya selaku "Madrasat al-Shirath al-Mustaqim". Apa bekerjsama yang mendorong al-Qardhawi menyatakan mazhab ketiga ini selaku mazhab yang ideal? Jika mazhab pertama terjebak dalam kungkungan teks-teks parsial dan mendorongnya dalam penafsiran literalistik serta menyebabkan sikap radikal; mazhab kedua terlalu teledor dengan mengabaikan teks-teks parsial dan membawanya dalam sikap permisifisme selaku buah dari pendewaannya atas nilai-nilai universal, maka mazhab terakhir ini berupaya menjembatani antara dua kutub yang berlawanan. Mazhab ini hendak mempersandingkan teks-teks parsial dengan nilai-nilai universal. Oleh golongan dari mazhab Moderatisme, hukum-hukum agama akan senantiasa inheren dengan ratio legis dengan tetap berlandaskan pada urgensitas kebajikan publik.
Untuk mempertegas idealitas aliran ketiga, al-Qardhawi memberikan beberapa atribut yang cuma berhak disandang oleh mereka. Atribut-atribut itu antara lain: upayanya menyaksikan teks agama selaku bangunan utuh, mengimani satu fakta bahwa aturan tuhan dilegislasikan guna keberpihakannya pada maslahat umum, berpandangan moderat, mendialogkan teks-teks agama dengan realitas empirik, serta terbuka dan dialogis. Hanya saja, atribut yang demikian mulia itu apakah cuma sekadar eksis dalam alam imaji (klaim) ataukah terwujud dalam ranah praksis? Sebab, pada kenyataannya, atribut-atribut yang cocok ini justru menimbulkan tudingan miring pada kelompok yang mengklaim dirinya selaku golongan moderat. Mazhab Literalisme menilai pihak al-Wasathiyyat selaku pelaku bid'ah yang risikonya masuk akal untuk dikecam. Pada segi lain, sayap progresif memandangnya selaku sekumpulan orang yang gamang; terjerat oleh glorifikasi tradisi. Problem ini yang mesti secepatnya dijawab oleh golongan moderat.
Sikap mazhab Moderatisme yang mengadopsi kutub literalistik dan utilitarianistik mendorong mereka memikirkan faktor sosio-historis suatu teks dalam proses ijtihad. Pertimbangan seperti ini sanggup dilihat dalam produk-produk fikihnya yang relatif lebih segar dibandingkan dengan fikih klasik. Al-Qardhawi menuliskan beberapa model ketetapan aturan gres yang dihasilkan selepas adanya pembacaan ulang atas dalil-dalil berupa teks agama. Dalam permasalahan kepemimpinan (imamah), penduduk muslim, selama beberapa dasawarsa, disodori suatu prasyarat suksesi kepemimpinan yang dalam konteks kekinian terasa menggelikan dan absurd. Prasyarat itu merupakan keharusan berlatar belakang Quraisy. Namun, dengan mengadopsi rancangan "ashabiyyat" Ibn Khaldun, prasyarat yang mengharuskan bersuku Quraisy dalam konteks nashb al-imamah (suksesi kepemimpinan) sanggup ditinjau ulang dengan tanpa melukai aspek-aspek religiusitas manapun.
Dalam menentukan keputusan fikih, mazhab Moderatisme, sebagaimana dinyatakan al-Qardhawi juga memikirkan tujuan dari suatu teks. Sikap ini akan mengirimkan insan dalam menyaksikan dengan jernih setiap ratio legis yang dipunyai oleh suatu teks. Ini bermakna bahwa penetapan aturan dalam konstelasi keberfikihan manapun mesti senantiasa memikirkan kaidah "al-hukm yaduru ma'a ‘illatihi wujudan wa ‘adaman". Jika demikian, bukan tak mustahil, hukum-hukum yang sudah ditetapkan sanggup ditinjau ulang. Contohnya merupakan permasalahan proposal memotong kumis dan memelihara jenggot. Yang menggembirakan, kecenderungan untuk memikirkan tjuan teks dan menilai penting keberadaan ratio legis akan sanggup meminimalkan perkelahian dalam ranah-ranah yang bersifat ijtihadiy sebagaimana perbedaan dalam menetukan permulaan Ramadhan dan simpulan Ramadhan.
Penutup
Dari klarifikasi terperinci sederhana di atas, buku yang sedang kita kaji ini tetap mempunyai kekurangan. Misalnya, selaku seorang yang concern dalam kajian fikih, al-Qardhawi memang gagal memperlihatkan gagasan-gagasan genialnya yang berkenaan dengan maqâshid al-syarî'at. Tak jarang, al-Qardhawi terjebak dalam pembelaan yang mempunyai pengaruh atas apa yang disebut Arkoun selaku nalar dogmatis. Nada ketaksetujuannya disampaikan dalam gaya polemis yang gagal mengesankan dirinya selaku pecahan kaum moderat.
Biarpun demikian, kelemahan tersebut tak sanggup menutup-nutupi, betapa ada hal-hal positif yang sanggup diambil. Dia dengan obyektif menjajal memperlihatkan tampang fikih kekinian yang independen yang bercitarasakan humanis. Bagi penulis, dengan bukunya ini, al-Qardhawi nampak hendak mencitrakan bahwa tradisi fikih klasik tetap sanggup bertahan selepas adanya pembacaan ulang atas argumen-argumen yang melandasinya. Dan nyatanya, tradisi Islam memang tak miskin-miskin amat. Demikian.
Pengantar
Jika menengok sejarah, selepas gegap-gempitanya bunyi pembaharuan yang disulut Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh, pembaharuan di dunia Arab-Islam secara garis besar, terbelah menjadi tiga kutub. Kutub pertama diasumsikan selaku sayap pembaharuan dengan akselerasi cepat (liberal) dengan tokohnya menyerupai Ali Abdur Raziq hingga yang terkini merupakan Hasan Hanafi, Abid al-Jabiri dan Muhammad Arkoun. Di kutub yang mengambil posisi bertentangan merupakan sayap pembaharuan dengan gerak yang lambat. Sayap pembaharuan model ini dianggap selaku prototype pembaharuan yang moderat. Dalam kelompok ini terdapat nama besar semisal Rasyid Ridha dan berlanjut hingga kala Wahbah Zuhayli, al-Qardhawi dan al-Bouthi.
Pada kutub ketiga terdapat sayap puritan-radikal dengan jargon usangnya proyek purifikasi Islam dan ajarannya. Dalam proyek pembaharuannya, kelompok pertama begitu terbuka dengan pihak luar (Barat) dan berani mengerjakan otokritik atas khazanah turats. Sementara kelompok kedua meyakini idealitas turats dan bersikap "hati-hati" terhadap the others. Dalam banyak hal, kedua sayap tersebut banyak mengalami friksi dengan sayap puritan-radikal yang menjerumuskan pada sikap takfir satu sama yang lain selaku respon dari perbedaan dalam menatap suatu diskursus, info dan wacana keagamaan yang tengah berkembang.
Menariknya, dampak dua kecenderungan pembaharuan di atas juga marak digandrungi dalam dinamika intelektual bangsa Indonesia. Beberapa golongan yang mengimani sayap liberal membuat figur-figur tenar semodel Ali Abdur Raziq, Mustafa Abdur Raziq, Hasan Hanafi, Nashr Hamid Abu Zayd, Abid al-Jabiri dan Mohamad Arkoun selaku patron. Sedang pihak yang memedomani sayap kedua membuat Rasyid Ridha, Zuhayli, al-Bouthi dan al-Qardhawi selaku imam mereka. Yang paling menonjol ketokohannya dan punya banyak dampak dalam pergumulan wacana keagamaan bangsa Indonesia dari kelompok yang kedua ini, tampaknya merupakan Yusuf al-Qardhawi. Sedang kelompok ketiga banyak menginspirasikan fenomena radikalisme di Tanah Air.
Selain dimengerti selaku penulis prolifik, al-Qardhawi dipandang selaku sedikit sarjana muslim kekinian yang dapat menyuguhkan fikih dalam frame work yang serupa sekali berlainan dari fikih klasik. Lihat saja gayanya. Alih-alih mengemas kajian fikih dengan mengekor para fuqaha' klasik, al-Qardhawi memperlihatkan kajian fikih dalam nomenklatur yang menggelitik. Mulai dari Fiqh al-Zakat hingga Fiqh al-Awlawiyat. Ini yng membuat kajian fikih di tangan al-Qardhawi terlihat compatible dan kontekstual bagi jaman modern.
Salah satu karya teraktual al-Qardhawi merupakan suatu buku berskala sedang berjudul "Dirasât fi Fiqh Maqâshid al-Syarî'at bayn al-Maqâshid al-Kuliyyat wa al-Nushûsh al-Juz'iyyat". Buku setebal 287 halaman ini dicetak pertama kali tahun 2006 dan mengalami cetak ulang untuk yang kedua kalinya tahun 2007. Selain bermula dari suatu pelatihan yang bertemakan maqâshid al-syarî'at yang diselenggarakan di London tahun 2004, tampaknya buku ini juga dimaksudkan selaku respon positif al-Qardhawi (untuk tidak mengatakannya selaku bentuk kelatahan) atas kajian maqâshid al-syarî'at yang kembali mulai marak di dunia Arab Islam pada tahun 2000-an.
Guna mengenali sejauhmana perhatian dan pandangan-pandangan al-Qardhawi atas rancangan maqâshid al-syarî'at, penulis menjajal membuat buku "Dirâsat fi Fiqh Maqâshid al-Syarî'at bayn al-Maqâshid al-Kuliyyat wa al-Nushûsh al-Juz'iyyat" selaku pijakan utama dalam mengerjakan proses analisa. Penulis juga akan menjajal mengerjakan komparasi antara konsepsi-konsepsi al-Qardhawi dalam buku tersebut dengan studi atas maqâshid al-syarî'at yang ditangani sarjana muslim yang lain biar posisi al-Qardhawi menjadi terang benderang.
Maqâshid al-Syarî'at dalam Lintas Paradigma
Dalam pergumulan wacana keagamaan kontemporer, info maqâshid al-syarî'at, di mata sebagian penduduk awam, banyak dihembuskan oleh golongan liberal selaku suatu simbol perlawanan atas makin teguhnya keberpihakan pada dominasi fikih klasik yang dalam banyak hal sudah gagal melebihi jamannya. Kalangan progresif itu kerap menyebut al-Syathibi selaku bapak maqâshid al-syarî'at. Menurut mereka, jikalau orientasi fikih kekinian banyak mengadopsi muatan-muatan maqâshid al-syarî'at, bisa ditentukan bahwa tampang fikih akan menjadi ramah dan peka terhadap problematika terkini masyarakat.
Asumsi di atas secara faktual sanggup dengan mudah terbantahkan. Adalah tidak benar bahwa info maqâshid al-syarî'at cuma menjadi concern dan menjadi monopoli sayap liberal. Ada banyak sarjana dari sayap moderat yang juga mempunyai perhatian serius pada info maqâshid al-syarî'at. Dan al-Qardhawi pun mengafirmasinya. Dalam pengakuannya, al-Qardhawi menyatakan, jikalau sedari permulaan beliau sudah mempunyai perhatian pada info maqâshid al-syarî'at. Sikap itu timbul selain selaku buah dari pergulatannya dengan ayat-ayat al-Qur'an, juga disebabkan atas analisanya pada beberapa produk aturan Islam, dan pembacaannya terhadap buku-buku karangan ulama klasik yang peka dengan info maqâshid al-syarî'at sebagaimana terekam dalam karya Ibn Taymiyyah, Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah, al-Syathibi, dan al-Dahlawiy. Perhatiannya pada maqâshid al-syarî'at menjadi makin terasah lantaran pergaulan intelektualnya dengan para sarjana muslim kekinian yang mengimani maqâshid al-syarî'at semisal Abdul Wahhab al-Khallâf dan Mustafa al-Zarqa. Untuk memperteguh klaimnya, al-Qardhawi memperlihatkan kesaksian bahwa aroma maqâshid al-syarî'at sanggup didapatkan dalam karya-karya yang lain menyerupai al-Madkhal li Dirasat al-Syari'at al-Islamiyyah dan lainnya. [Yusuf al-Qardhawi, (2007), Dirâsat fi Fiqh Maqâshid al-Syarî'at bayn al-Maqâshid al-Kuliyyat wa al-Nushûsh al-Juz'iyyat, Cet. II, Cairo: Dar al-Shourouk, hal. 11-13].
Selepas mengetengahkan argumentasi ketertarikannya dengan kajian maqâshid al-syarî'at, al-Qardhawi memperlihatkan kesaksian obyektif akan potensi positif fikih maqâshid al-syarî'at selaku induk dan asas bagi kajian fikih lainnya. Lebih jauh lagi, al-Qardhawi meyakini bahwa fikih maqâshid al-syarî'at sungguh mungkin menjadi suatu genre fikih gres yang peka atas realitas kekinian.
Al-Qardhawi dalam proyek maqâshid al-syarî'at sebagaimana terangkum dalam buku yang sedang kita kaji ini menjajal mengawalinya dengan mendedahkan definisi terma fikih maqâshid al-syarî'at. Dalam konteks kekinian, beliau mengerti syari'at dalam dua kerangka. Pertama, idiom syari'at tak lebih dari agama beserta seluruh ajarannya. Sedangkan kerangka yang kedua mengandaikan syari'at selaku dimensi legal formal agama. Pemaknaan yang kedua ini tak lain mengunci syari'at dan menyamakannya dengan fikih. Bagi penulis, klarifikasi al-Qardhawi atas makna syari'at tidaklah menenteng hal yang baru.
Al-Qardhawi pun tak luput untuk menguraikan definisi frase maqâshid al-syarî'at. Dalam benak al-Qardhawi, maqâshid al-syarî'at dipahami selaku tujuan yang mau diraih oleh tek-teks liturgis keagamaan yang termanifestasikan oleh hukum-hukum yang bersifat parsial dalam kehidupan bermasyarakat. Dia menilai bahwa maqâshid al-syarî'at identik dengan hikmah di balik proses legislasi. Bukan selaku ratio legis dari suatu hukum. Sikap simplikatif al-Qardhawi di sini terlihat berseberangan dengan Thaha Abdurrahman. Jika simplikasi dan dogmatisasi ditempuh al-Qardhawi, maka langkah sofistikasi diambil Thaha Abdurrahman.
Menurut Thaha Abdurrahman ada tiga langkah yang hendaknya ditangani dalam mengerjakan studi atas maqâshid al-syarî'at. Pertama, reposisi terhadap maqâshid al-syarî'at. Idealnya, bagi Thaha Abdurrahman, maqâshid al-syarî'at ditaruh selaku sub kajian dari diskursus filsafat. Tidak berada dalam kerangkeng kajian fikih dan ushul fikih. Asumsi tersebut berdasar pada anggapannya bahwa maqâshid al-syarî'at merupakan satu disiplin ilmu etikal yang bermaksud bikin kemaslahatan manusia. Kedua, pengertian integral atas terma maqâshid al-syarî'at. Secara semantik, terma ini menyiratkan adanya tiga hal urgen yang tak sanggup terlepas dari maqâshid al-syarî'at. Ketiga hal tersebut merupakan faktor praksis, faktor niat (ketulusan) dan moralitas. Ketiga, telaah ulang atas rancangan pembagian nilai menjadi primer, sekunder dan tersier. Thaha Abdurrahman menilai adanya ambiguitas dan ketidaktegasan dalam pembagian nilai-nilai maslahat. Tuduhan Thaha Abdurrahman ini dipicu oleh fakta logis bahwa setiap pembagian atau pembagian terorganisir mengenai (taqsim)apapun mensyaratkan adanya keberlainan (tabayun). Jika pembagian terorganisir mengenai model sarjana klasik itu memang komitmen dengan prasyarat di atas, maka tak akan terjadi ketumpangtindihan antara nilai-nilai elementer dengan nilai-nilai sekunder dan komplamenter. Namun realita menyampaikan sebaliknya.[Thaha Abdurrahman, (2002), Masyru' Tajdid ‘Ilmiyyli Mabhats Maqashid al-Syari'at, Vol. 103, Cairo: Jurnal al-Muslim al-Mu'ashir, hal. 41-62].
Dari pembacaan di atas, sanggup dimengerti bahwa langkah maju yang signifikan justru lebih banyak ditangani oleh Thaha Abdurrahman. Fakta ini bukan bermakna menegasikan bahwa al-Qardhawi sama sekali tak mengambil langkah maju. Salah satu langkah maju yang coba dipersiapkan al-Qardhawi merupakan dengan mengkritisi pembagian terorganisir mengenai nilai-nilai elementer dengan cuma mencukupkan menjadi lima pecahan (al-Kuliyyat al-Khams). Al-Qardhawi menatap konsepsi al-Kuliyyat al-Khams yang digagas al-Ghazali dalam al-Mustashfa-nya, bila ditarik dalam ranah modern, tidaklah memadai dalam merespon dinamika peradaban penduduk yang makin kompleks. Dia beropini ada nilai-nilai elementer lain yang mesti disertakan menyerupai kesetaraan, keleluasaan dan hak-hak asasi insan guna melengkapi teori al-Kuliyyat al-Khams. [Yusuf al-Qardhawi, op-cit, hal. 27-29].
Mungkin, menjadi menawan di sini untuk memperlihatkan suatu pernyataan al-Qardhawi yang dikutip oleh Jamaluddin Atheyyah. Ujar al-Qardhawi:
"Saya meyakini bahwa selain al-Kuliyyat al-Khams, terdapat juga jenis-jenis maqashid lain yang belum memperoleh apresiasi sepantasnya. Maqashid-maqashid itu justru banyak terkait dengan realitas masyarakat. Jika selama ini dominan nilai-nilai maqashid (al-Kuliyyat al-Khams) lebih banyak berpihak pada individu, lantas bagaimana dengan keleluasaan (al-huriyyat), kesetaraan (egaliterianisme) dan keadilan? Seperti apakah signifikansi dan urgensinya? Tak pelak, fakta ini mendorong perlu adanya telaah ulang.."
Nyatanya, pertimbangan al-Qardhawi itu juga banyak disampaikan oleh para pengkaji maqâshid al-syarî'at yang lain semisal al-Raysuni dan yang lain. [Jamaluddin Atheyyah, (2003), Nahwa Taf'il Maqâshid al-Syarî'at, Cairo: Dar al-Fikr, hal. 100-103].
Upaya mengerjakan penambahan atas rancangan klasik al-Kuliyyat al-Khams yang masak di tangan al-Amidiy itu tidak melulu berkutat pada isu-isu hak asasi insan dan demokrasi. Sebagian akademisi mengajukan info lingkungan hidup biar menjadi salah satu pecahan nilai elementer (al-Dharuriyyat). Kalangan ini menilai bahwa hifdh al-kawn tak kalah penting dengan rancangan hifdh al-dîn dan juga isu-isu penegakan hak asasi insan dan pelaksanaan politik demokrasi.
Gagasan al-Qardhawi untuk mengerjakan penyempurnaan atas teori al-Kuliyyat al-Khams juga diamini oleh pemikir-pemikir progresif menyerupai Hasan Hanafi. Lebih jauh lagi, selain mengerjakan pembaharuan atas teori al-Kuliyyat al-Khams konvensional sebagaimana diusulkan al-Qardhawi, Hasan Hanafi menilai perlu adanya upaya mengerjakan ekspansi makna atas rancangan al-Kuliyyat al-Khams klasik. Sebagai contoh, "al-din" (dalam frase hifdh al-dîn) dalam perspektif Hasan Hanafi yang liberal mesti dimaknai selaku jaminan atas keleluasaan beragama secara utuh. Sedang idiom hifdh al-mâl mengalami pergantian makna menjadi suatu jaminan atas aset dan harta milik penduduk dan negara juga. Dimensi al-mâl jangan hingga dikebiri dengan cuma menjadi justifikasi bagi terjaminnya aset pribadi atau golongan semata. [Hasan Hanafi, (2002), Maqashid al-Syari'at wa Ahdaf al-Ummat; Qira`at fi al-Muwafaqat li al-Syathibi, Vol. 103, Cairo: Jurnal al-Muslim al-Mu'ashir, hal. 65-102].
Korelasi Maqashid al-Syari'at dengan Mazhab dan Ideologi Sarjana Muslim
Melihat pola pembaharuan atas rancangan maqâshid al-syarî'at di atas, sanggup kita lihat terdapat perbedaan signifikan antara rancangan pembaharuan Thaha Abdurrahman dan Hasan Hanafi dengan al-Qardhawi. Perbedaan dalam menatap rancangan maqâshid al-syarî'at tidak cuma terjadi antara tiga tokoh di atas. Bahkan, para sarjana muslim klasik juga mengalami perbedaan satu sama lainnya. Sebagai misal, al-Ghazali berlainan dengan al-Syathibi dalam menyeleksi prioritas al-Kuliyyat al-Khams. Al-Baydhawi tak sepakat dengan al-Subki dan al-Zarkasyi. Sebagian mendahulukan hifdh al-dîn, yang yang lain lebih mengutamakan hifdh al-nafs.
Yang menawan untuk ditelisik, perbedaan dalam menatap maqâshid al-syarî'at, apakah punya hubungan yang erat dengan perbedaan dalam ranah teologis-ideologis dan mazhab? Dan ternyata, al-Qardhawi mempunyai jawaban atas pertanyaan tersebut. Dalam sub pecahan berikutnya yang berjudul "Bayn al-Maqâshid al-Kuliyyat wa al-Nushûs al-Juz`iyyat Tsalâts Madâris", al-Qardhawi menjajal mengecek sejauhmana perbedaan rancangan maqâshid al-syarî'at saat terdapat perbedaan teologis-ideologis dan mazhab atau aliran. Sub pecahan ini terdiri atas tiga tema besar yang menyinari seputar keberadaan tiga mazhab besar yang dianggap mewakili keberadaan teologi-ideologi dan mazhab dalam khazanah pemikiran Islam Klasik. Ketiga tema besar itu merupakan mazhab al-Dhahiriyyah al-Judud (Neo Skripturalisme-Literalisme), mazhab al-Mu'aththilat al-Judud (Neo Liberalisme) dan mazhab al-Wasathiyyat (Moderatisme). Untuk memperjelas dampak persepsi teologis atas rancangan maqâshid al-syarî'at, penulis menjajal mengurai klarifikasi al-Qardhawi secara runtut dengan tetap mengkomparasikannya dengan tesa-tesa lainnya.
Apakah yang diinginkan oleh al-Qardhawi dengan mazhab Neo Skripturalisme-Literalisme (al-Dhâhiriyyat al-Judud)? Mazhab ini merupakan suatu mazhab yang lebih mengedepankan pengertian literalistik atas teks-teks parsial dibandingkan dengan memedomani maqâshid al-syarî'at. Dalam benak al-Qardhawi, mazhab ini terdiri atas banyak kelompok tetapi sanggup dipetakan menjadi dua aliran besar. Aliran pertama merupakan kelompok yang berkutat dalam ranah teologis. Dan al-Qardhawi membuat gerakan Salafisme (Salafiyyah) selaku sample-nya. Aliran kedua merupakan golongan yang mengambil wilayah politik selaku basis gerakan dan prioritasnya. Aliran kedua ini, menurut al-Qardhawi nampak dalam golongan Hizbut Tahrir.
Secara geneologis, penyokong mazhab ini sanggup dikatakan selaku pewaris mazhab al-Dhahiriyyah dan pengikut Ibn Hazm yang terkenal literalistik itu. Kedua kelompok ini dalam kajian fikih klasik dimengerti selaku kelompok yang melandaskan mazhabnya pada al-Qur'an, Sunnah dan Konsensus Shahabat (Ijma'). Dalam banyak hal, keduanya mempunyai banyak persamaan. Namun ada satu hal fundamental yang membedakan keduanya. Al-Dhahiriyyah cuma mengenal penggunaan al-qiyas al-jaliy dan menolak al-qiyas al-khafiy. Sedang Ibn Hazm menolak penggunaan silogisme (al-qiyas) secara mutlak. [Ahmad Bakir Mahmud, (1990), al-Madrasat al-Dhahiriyyat bi al-Masyriq wa al-Maghrib, Cet. I, Beirut: Dar al-Qutaybah, hal. 41].
Al-Qardhawi secara mendalam juga mengelaborasi beberapa abjad yang dianggap menonjol dari mazhab Neo Skripturalisme-Literalisme. Antara lain: pengertian terhadap teks yang terlalu literalistik. Karakter ini membuat teks yang berada di tangan mereka statis dan beku. Mereka menutup kemungkinan adanya penafsiran-penafsiran lain yang condong utilitarinistik. Karakter yang kedua merupakan pola keberfikihannya yang condong pada sikap kaku, memberatkan dan radikal. Akibatnya mereka mendaku kebenaran cuma berada di pihaknya. Tidak di luar mazhab mereka. Yang terakhir dari abjad mereka merupakan sikap mencela terhadap pihak-pihak di luar mazhab mereka dan mengantarkannya pada sikap takfir.
Beberapa abjad di atas pastinya paralel dengan paradigma yang mereka anut. Efek dari penolakan atas silogisme mengirimkan mereka pada penolakan atas keberadaan ratio legis (ilal al-ahkam). Mereka meyakini bahwa pengertian literalistik atas teks merupakan suatu hal yang alami. Dalam beling mata mereka, penafsiran utilitiarinistik yang inheren dengan sikap terbuka pada silogisme malah cuma akan mengakibatkan perbedaan di antara umat. Mereka pun menafikan al-istihsan, al-mashalih al-mursalah dan ‘amal ahl al-madinat dari posisinya selaku sumber hukum. Seakan mewarisi sekte Ghulat Hanabilah yang melecehkan tugas filsafat selaku perabotan dalam mengerti agama, kelompok ini juga beropini bahwa nalar dan kebijaksanaan tak punya kawasan dalam proses mengerti teks. Sebuah sikap yang sejatinya juga memukul para fuqaha dari golongan ahl al-ra'y.
Ekses yang paling buruk dari mazhab ini merupakan seramnya produk fikih yang mereka hasilkan. Fikih di tangan mereka menjadi terasa demikian mengambil jarak dari realitas, berpihak pada teks dan abai atas dinamika peradaban. Al-Qardhawi mencontohkan beberapa keputusan fikih yang mereka ambil memang jauh dari semangat maqâshid al-syarî'at. Sebagai misal, fatwa yang mengharamkan hasil dari proses dokumentasi yang menggunakan kamera dan video kamera. Mereka mendasarkan fatwa ini pada hadits ‘Aisyah yang masyhur itu. Sikap ini, selain tidak sejalur dengan pertimbangan mainstream, juga merefleksikan bahwa kelompok ini gagal dalam mengerti khazanah turats yang demikian kaya. Pendukung mazhab ini seakan tak tahu langkah fenomenal yang ditangani oleh seorang pakar fikih berjulukan al-Qarafiy (684 H). Sebagaimana disampaikan oleh Muhammad Imarah, al-Qarafiy ternyata menekuni dunia seni lukis dan seni pahat (patung). Sejatinya, jikalau dicermati hadits tersebut timbul dalam masa Ayyam al-Watsaniyyah. Yakni suatu periode di mana patung dan lukisan disakralkan dan dipersepsikan selaku Tuhan.
Mazhab kedua yang menjadi sorotan al-Qardhawi merupakan mazhab Neo Liberalisme. Oleh al-Qardhawi, mazhab ini diberi label selaku suatu mazhab yang kerap menganaktirikan teks-teks parsial dengan lebih mendewakan nilai-nilai universal dan kebajikan publik. Secara historis, rancangan mazhab ini boleh dikatakan banyak terilhami oleh gerakan rasionalitas Mu'tazilah dalam ranah teologi dan fuqaha ahl al-ra`y dalam wilayah fikih. Dalam menerangkan aliran ini, al-Qardhawi dengan tegas menunjuk pemikir progresif garda depan asal Aljazair, Mohamad Arkoun selaku sosok penting bagi mazhab Neo Liberalisme. Al-Qardhawi dengan sengit menuduh Arkoun dan para sarjana muslim dari golongan liberal dengan proyek pembaharuannya hendak membuang keberadaan hukum-hukum agama (syari'at). Tudingan al-Qardhawi di sini perlu dipertanyakan lebih lanjut. Benarkah Arkoun dan para sarjana yang sepaham dengannya bermaksud demikian?
Sesungguhnya, dalam amatan penulis, apa yang ditangani Arkoun tak lain suatu upaya memperlihatkan fikih (agama dalam skala yang lebih umum) dalam tampang yang ramah dan humanis. Tak heran, dalam proyek pembaharuannya yang bertajuk "Naqd al-‘Aql al-Islamiy", Arkoun memulainya dengan mengerjakan pemetaan atas nalar dengan membaginya menjadi dua tipe. Nalar pertama disebutnya selaku al-‘Aql al-‘Arabiy, sedang nalar jenis kedua dinamakan selaku al-‘Aql al-Islamiy. Bagi Arkoun, kedua nalar itu mesti dipisahkan lantaran masing-masing menenteng implikasi yang berbeda-beda. Langkah permulaan Arkoun tersebut bekerjsama merupakan titik tolak dalam bisnisnya membebaskan nalar kritis dari jerat-jerat epistema yang dikonstruksi oleh nalar dogmatis. Pembebasan nalar kritis menjadi penting dan signifikan lantaran terkadang wilayah-wilayah yang sejatinya terbuka (ijtihadiy) menjadi tertutup dan sakral lantaran hegemoni nalar dogmatis. Realitas yang menjadi keprihatinan Arkoun nyatanya banyak terjadi dalam bentangan sejarah peradaban Islam. Dan juga Eropa. [Mohamad Arkoun, (t.t), Qadhaya Naqd al-‘Aqliy al-Diniy; Kayf Nafham al-Islam al-Yawm, Beirut: Dar al-Thali'at, hal. 5-10].
Untuk memperjelas pola dan gerakan sayap progresif ini, al-Qardhawi memperlihatkan gambaran patokan dasar bagi kelompok ini. Menurut estimasi al-Qardhawi, golongan progresif ini terdiri atas orang-orang yang awam disiplin ilmu keagamaan, kerap menilai pihak lain tak mempunyai kapabilitas keilmuan dan western oriented atau mengekor pihak Barat. Dalam poin "al-taba'iyyah li al-gharb", penulis tak sepakat dengan al-Qardhawi. Memang benar bahwa beberapa dari sarjana muslim progresif banyak yang menggunakan perabotan dan pisau analisa yang masak di Barat. Misalnya, al-Jabiri yang begitu mengakrabi mazhab strukturalisme, Hasan Hanafi yang mahir menerapkan sistem fenomenologi dan Arkoun yang meminjam banyak metodologi yang meningkat subur dalam naungan mazhab post strukturalisme. Namun seluruhnya itu merupakan hal yang lumrah dalam diskursus intelektual. Toh, dulu, sarjana Barat banyak yang meminjam metodologi yang digagas oleh sarjana muslim klasik. Dan nyatanya, kesimpulan yang dihasilkan oleh sarjana progresif dengan para ulama klasik kerap tak berlainan sekalipun menggunakan sistem yang berbeda. Fakta ini terungkap dengan adanya kesamaan kesimpulan dalam kendala al-Jabiri yang menggunakan perabotan "alam bawah sadar politik-nya Regis Debray dengan analisa Ibn Khaldun. [, Beyond Defeatism; Sebuah Pembacaan Hermeneutis Atas Kejatuhan Baghdad, dipresentasikan Kamis, 13 September 2007 dalam kajian pribadi Lakpesdam di sek. PCI NU Mesir].
Dalam deskripsi lanjutannya atas kelompok progresif ini, al-Qardhawi menyebutkan beberapa hal yang menjadi fokus golongan ini. Mereka, ujar al-Qardhawi, terlalu menomorsatukan rasionalitas ketimbang memedomani hal-hal yang sudah digariskan oleh wahyu. Tragisnya, dalam amatan al-Qardhawi, kelompok ini kerap salah dalam memaknai tindakan-tindakan fikih yang diambil oleh Umar Ibn Khaththab dan Najmuddin al-Thufiy. Yang lekang dalam alam pikir kaum ini, bahwa kebajikan publik (maslahat), sejatinya merupakan manifestasi dari hukum-hukum Tuhan. Jika ditelisik lebih dalam, analisa al-Qardhawi atas mereka tak sepenuhnya benar. Beberapa golongan dari sayap progresif memang mengapresiasi sikap keberfikihan yang ditangani oleh kedua tokoh di atas. Mereka memandang, spirit ala Umar dan al-Thufiy sanggup senantiasa terjamin kontinuitasnya jikalau diskursus wacana al-tsawabit dan al-mutaghayyirat dikembangkan secara serius.
Beberapa pemikiran fenomenal dan kontroversial dari kelompok progresif ini membuat mereka dianggap keluar dari hal-hal yang permanen. Kalangan progresif juga dituding dengan teledor sudah memporak-porandakan kemapanan rancangan al-tsawabit dan al-mutaghayyirat sebagaimana yang dituliskan al-Qardhawi. Hemat penulis, di sinilah letak perbedaannya. Kalangan progresif senantiasa ingin mendinamisasikan rancangan al-tsawabit dan al-mutaghayyirat, sedang al-Qardhawi dan yang sepaham dengannya menilai diskusi wacana keduanya sudah final dan paripurna. Di sini, penulis sepakat dengan apa yang disampaikan Hasan Hanafi. Menurutnya, sudah masanya al-tsawabit tidak lagi berpihak pada teks, tetapi lebih berpihak pada kebajikan publik (al-maslahat). [, Rethinking of Maqashid al-Syari'ah; Sebuah Jawaban Bagi Pergulatan Nilai Humanisme dengan Teks Agama dalam buku Mengetuk Pintu Syari'ah; Sebuah Telaah Diskursus Maqashid Sayari'ah, (2006), Cairo: KSW Press, hal. 193-212].
Mazhab ketiga yang ditampilkan oleh al-Qardhawi merupakan mazhab al-Wasathiyyat (Moderatisme). Bagi al-Qardhawi, mazhab ini merupakan mazhab yang ideal. Oleh karenanya, beliau menyebutnya selaku "Madrasat al-Shirath al-Mustaqim". Apa bekerjsama yang mendorong al-Qardhawi menyatakan mazhab ketiga ini selaku mazhab yang ideal? Jika mazhab pertama terjebak dalam kungkungan teks-teks parsial dan mendorongnya dalam penafsiran literalistik serta menyebabkan sikap radikal; mazhab kedua terlalu teledor dengan mengabaikan teks-teks parsial dan membawanya dalam sikap permisifisme selaku buah dari pendewaannya atas nilai-nilai universal, maka mazhab terakhir ini berupaya menjembatani antara dua kutub yang berlawanan. Mazhab ini hendak mempersandingkan teks-teks parsial dengan nilai-nilai universal. Oleh golongan dari mazhab Moderatisme, hukum-hukum agama akan senantiasa inheren dengan ratio legis dengan tetap berlandaskan pada urgensitas kebajikan publik.
Untuk mempertegas idealitas aliran ketiga, al-Qardhawi memberikan beberapa atribut yang cuma berhak disandang oleh mereka. Atribut-atribut itu antara lain: upayanya menyaksikan teks agama selaku bangunan utuh, mengimani satu fakta bahwa aturan tuhan dilegislasikan guna keberpihakannya pada maslahat umum, berpandangan moderat, mendialogkan teks-teks agama dengan realitas empirik, serta terbuka dan dialogis. Hanya saja, atribut yang demikian mulia itu apakah cuma sekadar eksis dalam alam imaji (klaim) ataukah terwujud dalam ranah praksis? Sebab, pada kenyataannya, atribut-atribut yang cocok ini justru menimbulkan tudingan miring pada kelompok yang mengklaim dirinya selaku golongan moderat. Mazhab Literalisme menilai pihak al-Wasathiyyat selaku pelaku bid'ah yang risikonya masuk akal untuk dikecam. Pada segi lain, sayap progresif memandangnya selaku sekumpulan orang yang gamang; terjerat oleh glorifikasi tradisi. Problem ini yang mesti secepatnya dijawab oleh golongan moderat.
Sikap mazhab Moderatisme yang mengadopsi kutub literalistik dan utilitarianistik mendorong mereka memikirkan faktor sosio-historis suatu teks dalam proses ijtihad. Pertimbangan seperti ini sanggup dilihat dalam produk-produk fikihnya yang relatif lebih segar dibandingkan dengan fikih klasik. Al-Qardhawi menuliskan beberapa model ketetapan aturan gres yang dihasilkan selepas adanya pembacaan ulang atas dalil-dalil berupa teks agama. Dalam permasalahan kepemimpinan (imamah), penduduk muslim, selama beberapa dasawarsa, disodori suatu prasyarat suksesi kepemimpinan yang dalam konteks kekinian terasa menggelikan dan absurd. Prasyarat itu merupakan keharusan berlatar belakang Quraisy. Namun, dengan mengadopsi rancangan "ashabiyyat" Ibn Khaldun, prasyarat yang mengharuskan bersuku Quraisy dalam konteks nashb al-imamah (suksesi kepemimpinan) sanggup ditinjau ulang dengan tanpa melukai aspek-aspek religiusitas manapun.
Dalam menentukan keputusan fikih, mazhab Moderatisme, sebagaimana dinyatakan al-Qardhawi juga memikirkan tujuan dari suatu teks. Sikap ini akan mengirimkan insan dalam menyaksikan dengan jernih setiap ratio legis yang dipunyai oleh suatu teks. Ini bermakna bahwa penetapan aturan dalam konstelasi keberfikihan manapun mesti senantiasa memikirkan kaidah "al-hukm yaduru ma'a ‘illatihi wujudan wa ‘adaman". Jika demikian, bukan tak mustahil, hukum-hukum yang sudah ditetapkan sanggup ditinjau ulang. Contohnya merupakan permasalahan proposal memotong kumis dan memelihara jenggot. Yang menggembirakan, kecenderungan untuk memikirkan tjuan teks dan menilai penting keberadaan ratio legis akan sanggup meminimalkan perkelahian dalam ranah-ranah yang bersifat ijtihadiy sebagaimana perbedaan dalam menetukan permulaan Ramadhan dan simpulan Ramadhan.
Penutup
Dari klarifikasi terperinci sederhana di atas, buku yang sedang kita kaji ini tetap mempunyai kekurangan. Misalnya, selaku seorang yang concern dalam kajian fikih, al-Qardhawi memang gagal memperlihatkan gagasan-gagasan genialnya yang berkenaan dengan maqâshid al-syarî'at. Tak jarang, al-Qardhawi terjebak dalam pembelaan yang mempunyai pengaruh atas apa yang disebut Arkoun selaku nalar dogmatis. Nada ketaksetujuannya disampaikan dalam gaya polemis yang gagal mengesankan dirinya selaku pecahan kaum moderat.
Biarpun demikian, kelemahan tersebut tak sanggup menutup-nutupi, betapa ada hal-hal positif yang sanggup diambil. Dia dengan obyektif menjajal memperlihatkan tampang fikih kekinian yang independen yang bercitarasakan humanis. Bagi penulis, dengan bukunya ini, al-Qardhawi nampak hendak mencitrakan bahwa tradisi fikih klasik tetap sanggup bertahan selepas adanya pembacaan ulang atas argumen-argumen yang melandasinya. Dan nyatanya, tradisi Islam memang tak miskin-miskin amat. Demikian.