Seni Dalam Perspektif Islam
Sunday, August 30, 2015
Edit
Seni dalam Perspektif Islam - Benarkah pergumulan Islam dengan seni mengalami kebuntuan; deadlock? Dengan tanpa ragu, banyak kelompok mengiyakannya. Hal ini pula yang menjadi kepercayaan secara biasa dikuasai umat Islam selama berabad-abad. Beberapa bidang garap seni merupakan lawan laten bagi pemikiran Islam. Wilayah seni merupakan daerah hitam yang mesti dijauhi. Ranah yang sarat dengan bujuk rayu setan. Bidang yang tidak menyediakan faedah dan maslahat apapun bagi kepentingan umat.
Untuk sekadar memberi misal, Islam digambarkan senantiasa saja mengambil jarak dengan seni musik. Islam pun kurang menyediakan apresiasi sepatutnya pada dunia seni lukis. Yang terlihat oleh kita, Islam menyeleksi dan menegaskan secara ketat dunia seni. Akibatnya, keberadaan seni Islam cuma diketahui kebesarannya dalam seni baca al-Qur'an dan seni kaligrafi. Bisa jadi, seni baca al-Qur'an merupakan ejawantah dari seni musik. Sedang seni kaligrafi mencitrakandirinya selaku manifestasi dari seni lukis.
Islam Klasik dan Dunia Seni
Bagi penulis, kepercayaan yang salah bahwa Islam dihinggapi alergi pada dunia seni banyak terpengaruh oleh kegagalan dalam merekam data sejarah secara utuh yang berhubungan dengan fenomena berkesenian para generasi salaf al-shalih. Kegagalan tersebut, selain lantaran dominasi epistema para fuqaha, juga banyak disebabkan oleh minimnya jalan masuk guna mendapat pemberitahuan berkait dengan aktifitas berkesenian para ulama klasik.
Mayoritas fuqaha memang turut bertanggungjawab atas kesalahpahaman ini. Kebanyakan dari fuqaha dalam mengharamkan seni lukis dan seni pahat misalnya, bersandar pada hadits yang menyatakan bahwa seberat-beratnya siksa bagi insan di hari final zaman merupakan siksa bagi para pelukis (al-mushawwirun). Padahal jikalau dirunut secara mendalam, hadits tersebut timbul di saat Ayyam al-Watsaniyyah. Yakni suatu periode di mana patung dan lukisan disakralkan dan dipersepsikan selaku Tuhan.
Kemudian, dalam bentangan sejarah Islam Klasik dikenali bahwa pengikut aliran Tasawuf Falsafiy merupakan satu aliran yang gemar bermusik dan bernyanyi. Mereka, dalam keadaan fana-nya, sambil diiringi musik mendendangkan syair-syair lagu yang terdiri dari konsep-konsep panteisme dan inkarnasi. Praktek ini terperinci menghasilkan para fuqaha berang dikarenakan sudah disusupi oleh pemikiran panteisme dan inkarnasi yang dihentikan oleh syariat. Imbasnya, praktek bermusik dan bernyanyi pun menjadi terlarang dan haram hukumnya lantaran dianggap turut menyuburkan kedua rancangan tadi. Sebuah sikap hati-hati yang alhasil justru terlalu melebihi batas.
Selain aspek fuqaha, kekurangan dalam mengakses pemberitahuan yang menampung fakta yang mendukung langkah-langkah kesenian juga pantas menjadi kambing hitam atas hadirnya kepercayaan yang keliru dalam masyarakat. Akibat ketidaktahuannya, penduduk meyakini hal-hal yang tidak pernah dilaksanakan oleh para ulama terdahulu merupakan sesuatu yang buruk dan menjadi masuk akal untuk diharamkan. Sebagai contoh, penduduk punya pikiran bahwa para ulama tidak ada yang pernah punya kepedulian dengan dunia seni lukis dan seni pahat. Mereka pun berprasangka, jikalau semua ulama sepakat melarang seni lukis dan seni pahat.
Padahal, fakta historis menceritakan kebalikannya. Ada banyak ulama yang punya perhatian dan kepedulian pada dunia seni lukis dan seni pahat. Makiy ibn Hamus (355-437 H), seorang pakar tafsir dari Andalus menyediakan kesaksian dalam bukunya "al-Hidayat ila Bulugh al-Nihayat" bahwa sebagian ulama mengizinkan seni lukis dengan mengacu pada al-Qur'an surat Ali ‘Imran ayat 49. Dengan berpedoman pada ayat yang sama, al-Nuhas (338 H), seorang mufassir klasik menyediakan kesaksian senada. Baginya, seni lukis tidak berlainan dengan aturan Islam.
Lebih jauh lagi, beberapa ulama klasik juga bersikap moderat dengan mengizinkan seni pahat (patung). Al-Qurthubiy, dalam tafsir klasiknya, "al-Jami' li Ahkam al-Qur'an", menyiarkan bahwa aturan menggunakan mainan boneka dalam proses pendidikan merupakan boleh. Bahkan dalam Thabaqat Ibn Sa'd diceritakan, sekalipun mainan berupa boneka tersebut dalam pelbagai bentuk. Yang paling fenomenal mungkin merupakan seorang pakar fikih berjulukan al-Qarafiy (684 H). Sebagaimana disampaikan oleh Muhammad Imarah, al-Qarafiy ternyata menekuni dunia seni lukis dan seni pahat (patung).
Sikap Umat Islam
Sedari awal, Islam memang sudah berkomitmen untuk meningkatkan dunia seni. Itu terbukti dari langkah-langkah konkret yang dijalankan oleh para ulama terdahulu. Baik dalam bentuk fatwa aturan maupun peran pribadi al-Qarafiy. Jika demikian, pergumulan antara Islam dengan dunia seni tidaklah mengalami kebuntuan. Yang terjadi merupakan kekurangtelitian dalam menggali fakta-fakta historis.
Lantas bagaimana umat Islam merespon dunia seni? Adalah memukau di sini mengingat kembali pesan Abduh terhadap muridnya, Rashid Ridha. Seperti yang terangkum dalam "al-A'mal al-Kamilah li al-Imam Muhammad Abduh" karya pemikir moderat asal Mesir, Muhammad Imarah, Abduh berujar,"..para pelukis dan pemahat sudah mempersembahkan lukisan dan patung selaku buah karya mereka. Dan keuntungannya pun sudah dirasakan. Sedang kegundahan terlahirnya sikap menuhankan patung dan lukisan tersebut tidaklah terbukti. Jika demikian, kau sanggup mengambil konklusi aturan atasnya..".
Oleh karenanya, sudah selayaknya kita menapak jejak sikap moderat para ulama terdahulu. Terlebih, berlaku proporsional dan sebanding merupakan sikap yang diusulkan al-Qur'an mudah-mudahan dipraktekkan dalam seluruh aktifitas manusia. Dalam surat al-A'raf ayat 31, Allah SWT sudah menegaskan terhadap umat insan mudah-mudahan tidak berlaku melebihi batas dalam apapun.
Walhasil, Islam menghargai benar atas karya-karya seni. Terlebih, karya-karya seni sanggup menolong kita untuk makin meyakini keagungan dan keindahan alam semesta ciptaan Allah SWT. Islam cuma berkehendak, dunia seni berkembang dan meningkat selaras dengan misi moralitas yang senantiasa diusung Islam. Bukan dunia seni yang berkembang selaku duplikasi dari khazanah seni peradaban lain. Toh, kata Nabi, "Allah al-Jamil Yuhibbu al-Jamal". Betapa, Allah memang mengasihi keindahan.
Untuk sekadar memberi misal, Islam digambarkan senantiasa saja mengambil jarak dengan seni musik. Islam pun kurang menyediakan apresiasi sepatutnya pada dunia seni lukis. Yang terlihat oleh kita, Islam menyeleksi dan menegaskan secara ketat dunia seni. Akibatnya, keberadaan seni Islam cuma diketahui kebesarannya dalam seni baca al-Qur'an dan seni kaligrafi. Bisa jadi, seni baca al-Qur'an merupakan ejawantah dari seni musik. Sedang seni kaligrafi mencitrakandirinya selaku manifestasi dari seni lukis.
Islam Klasik dan Dunia Seni
Bagi penulis, kepercayaan yang salah bahwa Islam dihinggapi alergi pada dunia seni banyak terpengaruh oleh kegagalan dalam merekam data sejarah secara utuh yang berhubungan dengan fenomena berkesenian para generasi salaf al-shalih. Kegagalan tersebut, selain lantaran dominasi epistema para fuqaha, juga banyak disebabkan oleh minimnya jalan masuk guna mendapat pemberitahuan berkait dengan aktifitas berkesenian para ulama klasik.
Mayoritas fuqaha memang turut bertanggungjawab atas kesalahpahaman ini. Kebanyakan dari fuqaha dalam mengharamkan seni lukis dan seni pahat misalnya, bersandar pada hadits yang menyatakan bahwa seberat-beratnya siksa bagi insan di hari final zaman merupakan siksa bagi para pelukis (al-mushawwirun). Padahal jikalau dirunut secara mendalam, hadits tersebut timbul di saat Ayyam al-Watsaniyyah. Yakni suatu periode di mana patung dan lukisan disakralkan dan dipersepsikan selaku Tuhan.
Kemudian, dalam bentangan sejarah Islam Klasik dikenali bahwa pengikut aliran Tasawuf Falsafiy merupakan satu aliran yang gemar bermusik dan bernyanyi. Mereka, dalam keadaan fana-nya, sambil diiringi musik mendendangkan syair-syair lagu yang terdiri dari konsep-konsep panteisme dan inkarnasi. Praktek ini terperinci menghasilkan para fuqaha berang dikarenakan sudah disusupi oleh pemikiran panteisme dan inkarnasi yang dihentikan oleh syariat. Imbasnya, praktek bermusik dan bernyanyi pun menjadi terlarang dan haram hukumnya lantaran dianggap turut menyuburkan kedua rancangan tadi. Sebuah sikap hati-hati yang alhasil justru terlalu melebihi batas.
Selain aspek fuqaha, kekurangan dalam mengakses pemberitahuan yang menampung fakta yang mendukung langkah-langkah kesenian juga pantas menjadi kambing hitam atas hadirnya kepercayaan yang keliru dalam masyarakat. Akibat ketidaktahuannya, penduduk meyakini hal-hal yang tidak pernah dilaksanakan oleh para ulama terdahulu merupakan sesuatu yang buruk dan menjadi masuk akal untuk diharamkan. Sebagai contoh, penduduk punya pikiran bahwa para ulama tidak ada yang pernah punya kepedulian dengan dunia seni lukis dan seni pahat. Mereka pun berprasangka, jikalau semua ulama sepakat melarang seni lukis dan seni pahat.
Padahal, fakta historis menceritakan kebalikannya. Ada banyak ulama yang punya perhatian dan kepedulian pada dunia seni lukis dan seni pahat. Makiy ibn Hamus (355-437 H), seorang pakar tafsir dari Andalus menyediakan kesaksian dalam bukunya "al-Hidayat ila Bulugh al-Nihayat" bahwa sebagian ulama mengizinkan seni lukis dengan mengacu pada al-Qur'an surat Ali ‘Imran ayat 49. Dengan berpedoman pada ayat yang sama, al-Nuhas (338 H), seorang mufassir klasik menyediakan kesaksian senada. Baginya, seni lukis tidak berlainan dengan aturan Islam.
Lebih jauh lagi, beberapa ulama klasik juga bersikap moderat dengan mengizinkan seni pahat (patung). Al-Qurthubiy, dalam tafsir klasiknya, "al-Jami' li Ahkam al-Qur'an", menyiarkan bahwa aturan menggunakan mainan boneka dalam proses pendidikan merupakan boleh. Bahkan dalam Thabaqat Ibn Sa'd diceritakan, sekalipun mainan berupa boneka tersebut dalam pelbagai bentuk. Yang paling fenomenal mungkin merupakan seorang pakar fikih berjulukan al-Qarafiy (684 H). Sebagaimana disampaikan oleh Muhammad Imarah, al-Qarafiy ternyata menekuni dunia seni lukis dan seni pahat (patung).
Sikap Umat Islam
Sedari awal, Islam memang sudah berkomitmen untuk meningkatkan dunia seni. Itu terbukti dari langkah-langkah konkret yang dijalankan oleh para ulama terdahulu. Baik dalam bentuk fatwa aturan maupun peran pribadi al-Qarafiy. Jika demikian, pergumulan antara Islam dengan dunia seni tidaklah mengalami kebuntuan. Yang terjadi merupakan kekurangtelitian dalam menggali fakta-fakta historis.
Lantas bagaimana umat Islam merespon dunia seni? Adalah memukau di sini mengingat kembali pesan Abduh terhadap muridnya, Rashid Ridha. Seperti yang terangkum dalam "al-A'mal al-Kamilah li al-Imam Muhammad Abduh" karya pemikir moderat asal Mesir, Muhammad Imarah, Abduh berujar,"..para pelukis dan pemahat sudah mempersembahkan lukisan dan patung selaku buah karya mereka. Dan keuntungannya pun sudah dirasakan. Sedang kegundahan terlahirnya sikap menuhankan patung dan lukisan tersebut tidaklah terbukti. Jika demikian, kau sanggup mengambil konklusi aturan atasnya..".
Oleh karenanya, sudah selayaknya kita menapak jejak sikap moderat para ulama terdahulu. Terlebih, berlaku proporsional dan sebanding merupakan sikap yang diusulkan al-Qur'an mudah-mudahan dipraktekkan dalam seluruh aktifitas manusia. Dalam surat al-A'raf ayat 31, Allah SWT sudah menegaskan terhadap umat insan mudah-mudahan tidak berlaku melebihi batas dalam apapun.
Walhasil, Islam menghargai benar atas karya-karya seni. Terlebih, karya-karya seni sanggup menolong kita untuk makin meyakini keagungan dan keindahan alam semesta ciptaan Allah SWT. Islam cuma berkehendak, dunia seni berkembang dan meningkat selaras dengan misi moralitas yang senantiasa diusung Islam. Bukan dunia seni yang berkembang selaku duplikasi dari khazanah seni peradaban lain. Toh, kata Nabi, "Allah al-Jamil Yuhibbu al-Jamal". Betapa, Allah memang mengasihi keindahan.