Sejarah Latar Belakang Dan Proses Berdirinya Bani Umayyah Di Damaskus
Monday, June 12, 2017
Edit
Bani Umayyah atau kekhalifahan Umayyah yakni kekhalifahan Islam pertama sesudah masa Khulafaur Rasyidin yang memerintah dari 661-750 M di Jazirah Arab yang berpusat di Damaskus, Syiria, serta dari 756-1031 di Cordoba- Andalusia, Spanyol. Nama dinasti ini diambil dari nama tokoh Umayyah bin Abd Asy Syams. Masa kukuasaan Daulah Bani Umayyah hanya berumur 90 tahun yaitu dimulai pada masa kekuasaan Muawiyah bin Abi Sufyan, di mana pemerintahan yang bersifat Islamiyyah menjelma kerajaan turun temurun (dinasti) sesudah Hasan bin Ali bin Abi Thalib menyerahkan jabatan kekhalifahan kepada Mu’awiyah bin Abu Sufyan dalam rangka mendamaikan kaum Muslimin.
Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika Muawiyah bin Abu Sufyan mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid bin Muawiyah. Muawiyah bin Abu Sufyan bermaksud mencontoh sistem dinasti diPersia dan Bizantium. Dia memang tetap memakai istilah khalifah , namun ia menyampaikan interprestasi gres dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia menyebutnya “khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa” yang diangkat oleh Allah SWT.
Dinasti Umayah berasal dari keturunan Umayah bin Abdul Syams bin Abdul Manaf, pemimpin suku Quraisy terpandang. Mu'awiyah merupakan keturunan Bani Umayah dari keluarga Harb. Ayahnya berjulukan Abu Sufyan bin Harb, seorang pembenci Nabi Muhammad Saw, yang pada karenanya masuk Islam dengan terpaksa, yang kemudian diikuti istrinya Hindun binti Utbah. Sedangkan ibunya yakni Hindun binti Utbah, seorang pemakan jantung paman Nabi Muhammad Saw, Hamzah Bin Abdul Mutholib, alasannya saking bencinya dengan Islam dan Nabi Muhammad saw. Muawiyah masuk Islam pada masa Penaklukkan Makkah (Fathu Makkah) pada tahun 8 H atau 630 Masehi bersama ayahnya, Abu Sufyan bin Harb dan ibunya Hindun binti Utbah. Namun riwayat lain menyebutkan, Muawiyah masuk Islam pada insiden Umrah Qadha‟, akan tetapi menyembunyikan keislamannya hingga peritistiwa Fathu Makkah.
Muawiyah termasuk salah seorang sobat nabi yang cerdas, terbukti semasa nabi mendapatkan wahyu selama 20 tahun lebih, Muawiyah tercatat sebagai penulis wahyu hingga nabi wafat tahun 11 H. Pada masa Abu Bakar, Muawiyah ikut berperang melawan nabi palsu, yakni Musailamah al-Kazzab, yang kemudian dikenal dengan Perang Yamamah, pada tahun 632 M. Pada masa Umar bin Khatab, Muawiyah ditugaskan dan berhasil membebaskan kota Qaisariyah, sebuah kota memilliki benteng pertahanan dan pasukan yang sangat berpengaruh yang terletak di bersahabat Tel Aviv, Israel. Atas usul Yazid bin Abu Sufyan, gubernur Damaskus, Muawiyah membebaskan pesisir Syam yang dikuasi oleh Romawi. Selain itu, Muawiyah pernah diangkat menjadi gubernur Yordania pada 17 H, dan gubernur Damaskus pada 18 H menggantikan saudaranya Yazid bin Abu Sufyan yang meninggal dunia alasannya terjangkit wabah Tha’un (Pes).
Muawiyah dikenal sebagai negarawan dan politikus ulung. Ungkapannya perihal hal ini dicatat sejarah, “Aku tidak akan memakai pedangku selagi cambukku sudah cukup. Aku tidak akan memakai cambukku selagi lisanku masih bisa mengatasinya. Jika ada rambut yang membentang antara diriku dan penentangku, maka rambut itu tidak akan putus selamanya. Jika mereka mengulurkannya, maka saya akan menariknya. Jika mereka menariknya, maka saya akan mengulurnya.” Ia mempunyai kemampuan diplomasi yang sangat tinggi, sehingga Nicholsan dalam bukunya Literaty History of The Arabs menulis, “Muawiyah yakni seorang diplomat yang cakap dibanding dengan Richelieu, politikus Prancis yang populer itu.”
Para pakar sejarah mensinyalir bahwa berdirinya Dinasti Umayyah merupakan bentuk sabotase dari pemerintahan yang sah yang pimpin Ali bin Abi Thalib, yakni pemerintahan terakhir Khulafaurrasyidin. Bermula dari rasa tidak puas dan tidak terimanya Muawiyah terhadap pengangkatan Ali bin Abi Thalib oleh lebih banyak didominasi masyarakat Islam sebagai pengganti khalifah Utsman bin Affan yang meninggal terbunuh. Berbagai cara dilakukan oleh Muawiyah untuk melengserkan Ali bin Abi Thalib dari pemerintahannya. Salah satu yang dilakukan oleh Muawiyah dan kelompoknya yakni memfitnah Ali dengan mengembangkan isu bahwa Ali-lah yang berada di balik terbunuhnya Usman bin Affan. Beberapa pembesar umat Islam dikala itu, menyerupai Siti Aisyah, Zubair bin Awwam dan Thalhah bin Ubaidillah tergoda oleh isu ini dan mengumumkan perang terhadap Ali bin Abi Thalib. Keyakinan mereka terhadap isu bahwa Ali bin Abi Thalib sebagai pihak yang paling bertanggung jawab terhadap maut Utsman bin Affan diperkuat oleh ketegasan Ali bin Abi Thalib yang menyampaikan bahwa Dia tidak tahu menahu perihal maut Utsman bin Affan. Mereka kemudian mengangkat perang terhadap Ali bin Abi Thalib dengan tujuan memaksa Ali untuk mengakui perbuatannya. Perang terjadi di Basra, Irak pada tahun 656 M. Perang tersebut kemudian dikenal dengan sebutan perang Jamal, alasannya Siti Aisyah mengendarai unta pada dikala memimpin perang. Kemenangan perang berada di pihak Ali bin Abi Thalib alasannya pinjaman lebih banyak didominasi masyarakat Islam.
Kemenangan kelompok Ali bin Abi Thalib dalam perang Jamal tidak menciptakan surut nyali Muawiyah untuk menggulingkannya. Kelompok Muawiyah kemudian menciptakan propaganda untuk menghancurkan pemerintahan Ali dengan cara menghimpun kekuatan yang lebih besar lagi dengan tujuan menyerang Ali bin Abi Thalib. Tantangan Muawiyah dijawab oleh Ali dengan mempersiapkan pasukan. Perang berkecamuk tak terhindarkan danmenelan banyak korban di antara kedua belah pihak yang bertikai. Perang tersebut dalam sejarah dikenal dengan nama perang Shiffin, alasannya bentrokan terjadi di wilayah Siffin, kawasan Raqqa (kini masuk wilayah Suriah), pada tahun 37 H atau 657 M. Kemenangan lagilagi berada di pihak Ali bin Abi Thalib alasannya pinjaman lebih banyak didominasi masyarakat Islam.
Kekalahan pada perang Siffin, lagi-lagi tidak menciptakan hati Muawiyah surut untuk mengalahkan Ali bin Abi Thalib. Muawiyah tidak mendapatkan kemenangan khalifah Ali bin Abi Thalib. Sikap tidak mau mendapatkan kekalahan itu di wujudkan dengan mengajak tenang khalifah Ali bin Abi Thalib. Ajakan berdamai Muawiyah itu diajukan kepada Ali bin Abi Thalib hingga tiga kali dengan cara membujuk dan merobek-robek al-Qur’an. Pada karenanya Ali bin Abi Thalib bersedia berdamai sesudah melihat al-Qur’an dirobek-robek oleh Muawiyah.
Skenario perdamaian pun diatur oleh Muawiyah atas pandangan gres dan gagasan Amru bin Ash. Kubu Muawiyah dan kubu Ali bin Abi Thalib setuju bertemu untuk melaksanakan negosiasi tenang (tahkim) di Kota Dumatul-Jandal, yang secara geografis terletak di antara Madinah dan Damaskus (kini masuk wilayah Arab Saudi). Delegasi Muawiyah berjumlah 400 orang, sebagian di antaranya para sobat Nabi, dipimpin oleh Amru bin Ash; delegasi Ali bin Abi Thalib berjumlah 400 orang, sebagian di antaranya para sobat Nabi, dipimpin oleh Abu Musa al-Asy’ari.
Sebelum puncak negosiasi tenang itu, terjadi obrolan antara Abu Musa Al-Asy'ari dan Amru bin Ash, sebagai berikut.
Abu Musa Al-Asy'ari sempat memperlihatkan untuk mengangkat Abdullah bin Umar. Tapi Amru bin Ash menjawab dengan pertanyaan: “Kenapa bukan anak saya saja, yang Anda mengenalnya?”
Abu Musa Al-Asy'ari menjawab: “Dia (putra Amru bin Ash) yakni orang jujur, tapi Anda sudah mencocokinya dan merusaknya dengan fitnah”.
Amru bin Ash menimpali: “Kekhalifaan ini hanya untuk lelaki yang mempunyai geraham untuk makan (kuat), dan ia (Abdullah bin Umar) mempunyai cacat”.
Kemudian Abu Musa Al-Asy'ari berkata, “Wahai Amru bin Ash, bangsa Arab mengandalkan Anda sesudah terjadi pertempuran dengan pedang, dan janganlah Anda mendorong umat untuk kembali ke fitnah/pertempuran”.
Amru bin Ash menjawab: “Lantas bagaimana pendapat Anda, wahai Abu Musa AlAsy’ari?”
Abu Musa Al-Asy'ari berkata, “Saya beropini bahwa kita berdua (lebih dulu harus) mencopot dua khalifah itu (Ali Abu Thalib dan Muawiyah) dari jabatan khalifah, kemudian kita serahkan kepada umat untuk menentukan khalifah yang mereka yang inginkan”.
Amru bin Ash menjawab: “Saya baiklah dengan pandangan/usulan Anda”.
Lalu keduanya berjalan ke tengah para hadirin, yang sedang menunggu hasil negosiasi tenang (Tahkim) tersebut. Dan Amru bin Ash sudah semenjak awal meminta dan mendorong Abu Musa Al-Asy'ari untuk berbicara lebih dulu di depan hadirin, dengan alasanlebih dulu masuk Islam dan faktor usia yang lebih tua, dan berkata: “Wahai Abu Musa, silahkan memberitahu kepada hadirin perihal janji kita”.
Lalu Abu Musa mengumumkan, “Kami berdua mencapai suatu kesepakatan, dan berdoa agar Allah menjadikannya sebagai janji yang mendamaikan umat”.
Saat itu, Ibnu Abbas dari kubu Ali bin Abu Thalib, mencoba menasehati Abu Musa Al-Asy'ari dengan mengatakan, “Amru bin Ash telah menipumu, jangan mau bicara duluan di depan hadirin. Biarkan Amru bin Ash yang bicara duluan!” Namun Abu Musa Al-Asy'ari menolak usul Ibnu Abbas.
Kemudian di depan hadirin dari dua kubu yang berjumlah sekitar 800 orang, Abu Musa Al-Asy'ari mengumumkan, “Kami berdua telah mencapai kesepakatan, yang kami nilai sebagai janji yang terbaik untuk umat, yaitu masing-masing dari kami berdua lebih dulu akan mencopot Ali bin Abu Thalib dan Muawiyah dari jabatan khalifah. Setelah itu, menyerahkan kepada umat Islam untuk menentukan khalifah yang mereka sukai. Dengan ini, saya nyatakan telah mencopot Ali bin Abu Thalib sebagai khalifah”.
Dan menyerupai yang diduga Ibnu Abbas, begitu datang giliran Amru Ash berbicara, di depan semua hadirin, ia berkata, “Kalian telah mendengarkan sendiri, Abu Musa Al-Asy’ari telah mencopot Ali bin Abu Thalib, dan saya sendiri juga ikut mencopotnya menyerupai yang dilakukan Abu Musa Al-Asy’ari. Dengan demikian, dan mulai dikala ini juga, saya nyatakan bahwa Muawiyah yakni khalifah, pemimpin umat. Muawiyah yakni pelanjut kekuasaan Usman bin Affan dan lebih berhak menggantikannya”.
Mendengar pernyataan Amru bin Ash tersebut, Ibnu Abbas pribadi membentak Abu Musa Al-Asy‟ari, yang kemudian ia menjawab: “Saya mau bilang apa lagi, tidak ada yang bisa saya lakukan, Amru bin Ash telah menipuku", dan kemudian ia mulai mencaci dengan mengatakan, “Wahai Amru bin Ash, celaka kamu, kau telah menipu dan berbuat jahat”.
Dua orang dari kubu Ali bin Thalib, yaitu Syarih dan Ibnu Umar sempat memukul Amru bin Ash dengan pedang, tapi kemudian dilerai oleh para hadirin. Dapat dibayangkan betapa kacau dan gaduhnya pertemuan Tahkim tersebut. Seluruh jajaran kubu Ali bin Abu Thalib tentu akan kecewa. Sebaliknya, kubu Muawiyah akan bahagia bersuka ria.
Setelah insiden gila dan kacau itu, Abu Musa Al-Asy'ari meninggalkan kota Dumatul-Jandal menuju Makkah. Sementara Amru bin Ash dan anggota delegasinya meninggalkan Dumatul-Jandal untuk menemui dan memberitahu Muawiyah perihal hasil pertemuan Tahkim dan sekaligus mengucapkan selamat kepada Muawiyah sebagai khalifah. Dan inilah awal kekuasaan Dinasti Umawiyah di Damaskus.
Sementara Ibnu Abbas dan Syarih menemui Ali bin Abu Thalib untuk memberitahu hasil pertemuan Tahkim. Dan semenjak itu, setiap menunaikan shalat subuh, Ali bin Abu Thalib melaksanakan qunut dengan doa yang berbunyi: “Ya Allah, jatuhkan laknat-Mu kepadaMuawiyah, Amru bin Ash, Habib, Abdurrahman bin Mukhlad, Ad-Dhahhak bin Qayyis, AlWalid, dan Abu Al-A’war”.
Setelah mendengar kabar perihal doa qunut Ali bin Abu Thalib, karenanya Muawiyah juga melaksanakan qunut dengan doa yang berbunyi “Ya Allah, jatuhkan laknat-Mu kepada Ali bin Abu Thalib, Ibnu Abbas, Hasan, Husain, dan Asytar”
Sikap tenang Ali bin Abi Thalib ternyata tidak memberi perdamaian yang sesungguhnya, justru menambah sejarah panjang pertikaian Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah. Kelompok Ali bin Abi Thalib justru kemudian pecah menjadi tiga kelompok, yaitu:
a. Kelompok Khawarij, pengikut-pengikut Ali bin Abi Thalib yang tidak baiklah dengan perilaku Ali bin Abi Thalib dalam mendapatkan perdamaian (arbitrase) sebagai jalan untuk menuntaskan persengketaan perihal khilafah dengan Muawiyah bin Abi Sufyan. Kelompok ini tinggal di bersahabat kota Kuffah, Irak. Mereka dipimpin oleh Abdullah Ibn Wahab Al-Rasidi;
b. Kelompok Syiah, pengikut-pengikut Ali bin Abi Thalib yang baiklah dan membela perilaku Ali bin Abi Thalib mendapatkan perdamaian (arbitrase); dan
c. Kelompok Murji'ah, pengikut-pengikut Ali bin Abi Thalib yang mengambil jalan tengah dengan perilaku diam, tidak mau turut campur dalam kontradiksi yang terjadi antara Khawarij dan Syiah, dan mengambil perilaku menyerahkan penentuan hokum kafir atau tidak kafirnya orang yang bertentangan itu kepada Tuhan.
Situasi ini dimanfaatkan oleh Muawiyah dengan cara memfungsikan kelompok keras Khawarij untuk membunuh khalifah Ali bin Abi Thalib. Sampai karenanya diketahui seorang pengikut garis keras Khawarij berjulukan Abdur Rahman bin Muljam pada suatu pagi sesudah sholat Subuh menusuk khalifah Ali bin Abi Thalib hingga wafat. Berita wafatnya Ali bin Abi Thalib disambut dengan suka cita oleh pihak Muawiyah, alasannya dengan demikian Bani Umayyah yang telah diproklamirkan pada tahun 40 H akan menjadi eksis dan menjadi satu-satunya pemerintahan yang sah dalam Islam.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan perihal latar belakang dan proses berdirinya bani Umayyah di Damaskus. Sumber Modul 4 Perkembangan Islam Sesudah Masa Khulafaur Rasyidin, Pendidikan Profesi Guru dalam Jabatan Kementerian Agama Republik Indonesia 2018. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.
Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika Muawiyah bin Abu Sufyan mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid bin Muawiyah. Muawiyah bin Abu Sufyan bermaksud mencontoh sistem dinasti diPersia dan Bizantium. Dia memang tetap memakai istilah khalifah , namun ia menyampaikan interprestasi gres dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia menyebutnya “khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa” yang diangkat oleh Allah SWT.
Dinasti Umayah berasal dari keturunan Umayah bin Abdul Syams bin Abdul Manaf, pemimpin suku Quraisy terpandang. Mu'awiyah merupakan keturunan Bani Umayah dari keluarga Harb. Ayahnya berjulukan Abu Sufyan bin Harb, seorang pembenci Nabi Muhammad Saw, yang pada karenanya masuk Islam dengan terpaksa, yang kemudian diikuti istrinya Hindun binti Utbah. Sedangkan ibunya yakni Hindun binti Utbah, seorang pemakan jantung paman Nabi Muhammad Saw, Hamzah Bin Abdul Mutholib, alasannya saking bencinya dengan Islam dan Nabi Muhammad saw. Muawiyah masuk Islam pada masa Penaklukkan Makkah (Fathu Makkah) pada tahun 8 H atau 630 Masehi bersama ayahnya, Abu Sufyan bin Harb dan ibunya Hindun binti Utbah. Namun riwayat lain menyebutkan, Muawiyah masuk Islam pada insiden Umrah Qadha‟, akan tetapi menyembunyikan keislamannya hingga peritistiwa Fathu Makkah.
Muawiyah termasuk salah seorang sobat nabi yang cerdas, terbukti semasa nabi mendapatkan wahyu selama 20 tahun lebih, Muawiyah tercatat sebagai penulis wahyu hingga nabi wafat tahun 11 H. Pada masa Abu Bakar, Muawiyah ikut berperang melawan nabi palsu, yakni Musailamah al-Kazzab, yang kemudian dikenal dengan Perang Yamamah, pada tahun 632 M. Pada masa Umar bin Khatab, Muawiyah ditugaskan dan berhasil membebaskan kota Qaisariyah, sebuah kota memilliki benteng pertahanan dan pasukan yang sangat berpengaruh yang terletak di bersahabat Tel Aviv, Israel. Atas usul Yazid bin Abu Sufyan, gubernur Damaskus, Muawiyah membebaskan pesisir Syam yang dikuasi oleh Romawi. Selain itu, Muawiyah pernah diangkat menjadi gubernur Yordania pada 17 H, dan gubernur Damaskus pada 18 H menggantikan saudaranya Yazid bin Abu Sufyan yang meninggal dunia alasannya terjangkit wabah Tha’un (Pes).
Muawiyah dikenal sebagai negarawan dan politikus ulung. Ungkapannya perihal hal ini dicatat sejarah, “Aku tidak akan memakai pedangku selagi cambukku sudah cukup. Aku tidak akan memakai cambukku selagi lisanku masih bisa mengatasinya. Jika ada rambut yang membentang antara diriku dan penentangku, maka rambut itu tidak akan putus selamanya. Jika mereka mengulurkannya, maka saya akan menariknya. Jika mereka menariknya, maka saya akan mengulurnya.” Ia mempunyai kemampuan diplomasi yang sangat tinggi, sehingga Nicholsan dalam bukunya Literaty History of The Arabs menulis, “Muawiyah yakni seorang diplomat yang cakap dibanding dengan Richelieu, politikus Prancis yang populer itu.”
Para pakar sejarah mensinyalir bahwa berdirinya Dinasti Umayyah merupakan bentuk sabotase dari pemerintahan yang sah yang pimpin Ali bin Abi Thalib, yakni pemerintahan terakhir Khulafaurrasyidin. Bermula dari rasa tidak puas dan tidak terimanya Muawiyah terhadap pengangkatan Ali bin Abi Thalib oleh lebih banyak didominasi masyarakat Islam sebagai pengganti khalifah Utsman bin Affan yang meninggal terbunuh. Berbagai cara dilakukan oleh Muawiyah untuk melengserkan Ali bin Abi Thalib dari pemerintahannya. Salah satu yang dilakukan oleh Muawiyah dan kelompoknya yakni memfitnah Ali dengan mengembangkan isu bahwa Ali-lah yang berada di balik terbunuhnya Usman bin Affan. Beberapa pembesar umat Islam dikala itu, menyerupai Siti Aisyah, Zubair bin Awwam dan Thalhah bin Ubaidillah tergoda oleh isu ini dan mengumumkan perang terhadap Ali bin Abi Thalib. Keyakinan mereka terhadap isu bahwa Ali bin Abi Thalib sebagai pihak yang paling bertanggung jawab terhadap maut Utsman bin Affan diperkuat oleh ketegasan Ali bin Abi Thalib yang menyampaikan bahwa Dia tidak tahu menahu perihal maut Utsman bin Affan. Mereka kemudian mengangkat perang terhadap Ali bin Abi Thalib dengan tujuan memaksa Ali untuk mengakui perbuatannya. Perang terjadi di Basra, Irak pada tahun 656 M. Perang tersebut kemudian dikenal dengan sebutan perang Jamal, alasannya Siti Aisyah mengendarai unta pada dikala memimpin perang. Kemenangan perang berada di pihak Ali bin Abi Thalib alasannya pinjaman lebih banyak didominasi masyarakat Islam.
Kemenangan kelompok Ali bin Abi Thalib dalam perang Jamal tidak menciptakan surut nyali Muawiyah untuk menggulingkannya. Kelompok Muawiyah kemudian menciptakan propaganda untuk menghancurkan pemerintahan Ali dengan cara menghimpun kekuatan yang lebih besar lagi dengan tujuan menyerang Ali bin Abi Thalib. Tantangan Muawiyah dijawab oleh Ali dengan mempersiapkan pasukan. Perang berkecamuk tak terhindarkan danmenelan banyak korban di antara kedua belah pihak yang bertikai. Perang tersebut dalam sejarah dikenal dengan nama perang Shiffin, alasannya bentrokan terjadi di wilayah Siffin, kawasan Raqqa (kini masuk wilayah Suriah), pada tahun 37 H atau 657 M. Kemenangan lagilagi berada di pihak Ali bin Abi Thalib alasannya pinjaman lebih banyak didominasi masyarakat Islam.
Kekalahan pada perang Siffin, lagi-lagi tidak menciptakan hati Muawiyah surut untuk mengalahkan Ali bin Abi Thalib. Muawiyah tidak mendapatkan kemenangan khalifah Ali bin Abi Thalib. Sikap tidak mau mendapatkan kekalahan itu di wujudkan dengan mengajak tenang khalifah Ali bin Abi Thalib. Ajakan berdamai Muawiyah itu diajukan kepada Ali bin Abi Thalib hingga tiga kali dengan cara membujuk dan merobek-robek al-Qur’an. Pada karenanya Ali bin Abi Thalib bersedia berdamai sesudah melihat al-Qur’an dirobek-robek oleh Muawiyah.
Skenario perdamaian pun diatur oleh Muawiyah atas pandangan gres dan gagasan Amru bin Ash. Kubu Muawiyah dan kubu Ali bin Abi Thalib setuju bertemu untuk melaksanakan negosiasi tenang (tahkim) di Kota Dumatul-Jandal, yang secara geografis terletak di antara Madinah dan Damaskus (kini masuk wilayah Arab Saudi). Delegasi Muawiyah berjumlah 400 orang, sebagian di antaranya para sobat Nabi, dipimpin oleh Amru bin Ash; delegasi Ali bin Abi Thalib berjumlah 400 orang, sebagian di antaranya para sobat Nabi, dipimpin oleh Abu Musa al-Asy’ari.
Sebelum puncak negosiasi tenang itu, terjadi obrolan antara Abu Musa Al-Asy'ari dan Amru bin Ash, sebagai berikut.
Abu Musa Al-Asy'ari sempat memperlihatkan untuk mengangkat Abdullah bin Umar. Tapi Amru bin Ash menjawab dengan pertanyaan: “Kenapa bukan anak saya saja, yang Anda mengenalnya?”
Abu Musa Al-Asy'ari menjawab: “Dia (putra Amru bin Ash) yakni orang jujur, tapi Anda sudah mencocokinya dan merusaknya dengan fitnah”.
Amru bin Ash menimpali: “Kekhalifaan ini hanya untuk lelaki yang mempunyai geraham untuk makan (kuat), dan ia (Abdullah bin Umar) mempunyai cacat”.
Kemudian Abu Musa Al-Asy'ari berkata, “Wahai Amru bin Ash, bangsa Arab mengandalkan Anda sesudah terjadi pertempuran dengan pedang, dan janganlah Anda mendorong umat untuk kembali ke fitnah/pertempuran”.
Amru bin Ash menjawab: “Lantas bagaimana pendapat Anda, wahai Abu Musa AlAsy’ari?”
Abu Musa Al-Asy'ari berkata, “Saya beropini bahwa kita berdua (lebih dulu harus) mencopot dua khalifah itu (Ali Abu Thalib dan Muawiyah) dari jabatan khalifah, kemudian kita serahkan kepada umat untuk menentukan khalifah yang mereka yang inginkan”.
Amru bin Ash menjawab: “Saya baiklah dengan pandangan/usulan Anda”.
Lalu keduanya berjalan ke tengah para hadirin, yang sedang menunggu hasil negosiasi tenang (Tahkim) tersebut. Dan Amru bin Ash sudah semenjak awal meminta dan mendorong Abu Musa Al-Asy'ari untuk berbicara lebih dulu di depan hadirin, dengan alasanlebih dulu masuk Islam dan faktor usia yang lebih tua, dan berkata: “Wahai Abu Musa, silahkan memberitahu kepada hadirin perihal janji kita”.
Lalu Abu Musa mengumumkan, “Kami berdua mencapai suatu kesepakatan, dan berdoa agar Allah menjadikannya sebagai janji yang mendamaikan umat”.
Saat itu, Ibnu Abbas dari kubu Ali bin Abu Thalib, mencoba menasehati Abu Musa Al-Asy'ari dengan mengatakan, “Amru bin Ash telah menipumu, jangan mau bicara duluan di depan hadirin. Biarkan Amru bin Ash yang bicara duluan!” Namun Abu Musa Al-Asy'ari menolak usul Ibnu Abbas.
Kemudian di depan hadirin dari dua kubu yang berjumlah sekitar 800 orang, Abu Musa Al-Asy'ari mengumumkan, “Kami berdua telah mencapai kesepakatan, yang kami nilai sebagai janji yang terbaik untuk umat, yaitu masing-masing dari kami berdua lebih dulu akan mencopot Ali bin Abu Thalib dan Muawiyah dari jabatan khalifah. Setelah itu, menyerahkan kepada umat Islam untuk menentukan khalifah yang mereka sukai. Dengan ini, saya nyatakan telah mencopot Ali bin Abu Thalib sebagai khalifah”.
Dan menyerupai yang diduga Ibnu Abbas, begitu datang giliran Amru Ash berbicara, di depan semua hadirin, ia berkata, “Kalian telah mendengarkan sendiri, Abu Musa Al-Asy’ari telah mencopot Ali bin Abu Thalib, dan saya sendiri juga ikut mencopotnya menyerupai yang dilakukan Abu Musa Al-Asy’ari. Dengan demikian, dan mulai dikala ini juga, saya nyatakan bahwa Muawiyah yakni khalifah, pemimpin umat. Muawiyah yakni pelanjut kekuasaan Usman bin Affan dan lebih berhak menggantikannya”.
Mendengar pernyataan Amru bin Ash tersebut, Ibnu Abbas pribadi membentak Abu Musa Al-Asy‟ari, yang kemudian ia menjawab: “Saya mau bilang apa lagi, tidak ada yang bisa saya lakukan, Amru bin Ash telah menipuku", dan kemudian ia mulai mencaci dengan mengatakan, “Wahai Amru bin Ash, celaka kamu, kau telah menipu dan berbuat jahat”.
Dua orang dari kubu Ali bin Thalib, yaitu Syarih dan Ibnu Umar sempat memukul Amru bin Ash dengan pedang, tapi kemudian dilerai oleh para hadirin. Dapat dibayangkan betapa kacau dan gaduhnya pertemuan Tahkim tersebut. Seluruh jajaran kubu Ali bin Abu Thalib tentu akan kecewa. Sebaliknya, kubu Muawiyah akan bahagia bersuka ria.
Setelah insiden gila dan kacau itu, Abu Musa Al-Asy'ari meninggalkan kota Dumatul-Jandal menuju Makkah. Sementara Amru bin Ash dan anggota delegasinya meninggalkan Dumatul-Jandal untuk menemui dan memberitahu Muawiyah perihal hasil pertemuan Tahkim dan sekaligus mengucapkan selamat kepada Muawiyah sebagai khalifah. Dan inilah awal kekuasaan Dinasti Umawiyah di Damaskus.
Sementara Ibnu Abbas dan Syarih menemui Ali bin Abu Thalib untuk memberitahu hasil pertemuan Tahkim. Dan semenjak itu, setiap menunaikan shalat subuh, Ali bin Abu Thalib melaksanakan qunut dengan doa yang berbunyi: “Ya Allah, jatuhkan laknat-Mu kepadaMuawiyah, Amru bin Ash, Habib, Abdurrahman bin Mukhlad, Ad-Dhahhak bin Qayyis, AlWalid, dan Abu Al-A’war”.
Setelah mendengar kabar perihal doa qunut Ali bin Abu Thalib, karenanya Muawiyah juga melaksanakan qunut dengan doa yang berbunyi “Ya Allah, jatuhkan laknat-Mu kepada Ali bin Abu Thalib, Ibnu Abbas, Hasan, Husain, dan Asytar”
Sikap tenang Ali bin Abi Thalib ternyata tidak memberi perdamaian yang sesungguhnya, justru menambah sejarah panjang pertikaian Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah. Kelompok Ali bin Abi Thalib justru kemudian pecah menjadi tiga kelompok, yaitu:
a. Kelompok Khawarij, pengikut-pengikut Ali bin Abi Thalib yang tidak baiklah dengan perilaku Ali bin Abi Thalib dalam mendapatkan perdamaian (arbitrase) sebagai jalan untuk menuntaskan persengketaan perihal khilafah dengan Muawiyah bin Abi Sufyan. Kelompok ini tinggal di bersahabat kota Kuffah, Irak. Mereka dipimpin oleh Abdullah Ibn Wahab Al-Rasidi;
b. Kelompok Syiah, pengikut-pengikut Ali bin Abi Thalib yang baiklah dan membela perilaku Ali bin Abi Thalib mendapatkan perdamaian (arbitrase); dan
c. Kelompok Murji'ah, pengikut-pengikut Ali bin Abi Thalib yang mengambil jalan tengah dengan perilaku diam, tidak mau turut campur dalam kontradiksi yang terjadi antara Khawarij dan Syiah, dan mengambil perilaku menyerahkan penentuan hokum kafir atau tidak kafirnya orang yang bertentangan itu kepada Tuhan.
Situasi ini dimanfaatkan oleh Muawiyah dengan cara memfungsikan kelompok keras Khawarij untuk membunuh khalifah Ali bin Abi Thalib. Sampai karenanya diketahui seorang pengikut garis keras Khawarij berjulukan Abdur Rahman bin Muljam pada suatu pagi sesudah sholat Subuh menusuk khalifah Ali bin Abi Thalib hingga wafat. Berita wafatnya Ali bin Abi Thalib disambut dengan suka cita oleh pihak Muawiyah, alasannya dengan demikian Bani Umayyah yang telah diproklamirkan pada tahun 40 H akan menjadi eksis dan menjadi satu-satunya pemerintahan yang sah dalam Islam.