Kemajuan Kurun Dinasti Umayyah Di Bidang Keagamaan Dan Bidang Pendidikan Dan Ilmu Pengetahuan
Friday, June 9, 2017
Edit
Kemajuan Bidang Keagamaan dan Bidang Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan di Masa Dinasti Umayyah
A. Bidang Keagamaan
Pada masa Dinasti Umayyah, terdapat beberapa gerakan pemikiran keagamaa. Hal ini ditandai pada paruh pertama kala ke-8, di Bashrah hidup seorang tokoh populer bernamaWashil bin ‘Atha (wafat tahun 748-M), seorang pendiri mazhab rasionalisme yang disebut Mu’tazilah. Orang Mu’tazilah memperoleh sebutan itu, alasannya yaitu mendakwahkan fatwa bahwa siapa pun yang melaksanakan dosa besar dianggap telah keluar dari barisan orang beriman, tapi tidak menjadikannya kafir.
Dalam hal ini, orang semacam itu berada dalam kondisi pertengahan antara kedua status itu (manzilah bainal manzilatain). Washil pernah berguru kepada Hasan al-Bashri, ia cenderung pada iman kebebasan berkehendak (free will), yang kemudian menjadi iman utama dalam sistem keyakinan orang Mu’tazilah. Doktrin tersebut pada dikala itu dianut kelompok Qadariyah (free will), yang dibedakan dari kelompok Jabariyah (fatalism). Orang Qadariyah merepresentasikan penentangan terhadap konsep takdir yang ketat dalam Islam, kekuasaan Tuhan yang sangat ditekankan dalam Al-Qur’an, dan dampak Yunani Kristen.
Di samping itu, tumbuhnya gagasan dan pemikiran filosofis Arab pada waktu itu, tidak terlepas dari dampak tradisi Nasrani dan filsafat Yunani. Salah satu biro utama yang memperkenalkan Islam dengan tradisi Nasrani dan pemikiran Yunani pada masa itu yaitu St. John (Santo Yahya) dari Damaskus (Joannes Damascenus), yang dijuluki Chrysorrhoas (lidah emas), alasannya yaitu dikala tinggal di Antokia ia dikenal dengan nama Chrysostom.
Selain Mu’tazilah, sekte keagamaan lain yang tumbuh berkembang pada masa ini yaitu kelompok Khawarij. Pada awalnya kelompok ini yaitu pendukung setia Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib, namun pada perkembangannya menjadi penentang Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib yang paling berbahaya. Ini terjadi alasannya yaitu mereka menolak hasil negosiasi antara Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah, mereka melaksanakan pemberontakan dan melaksanakan kerusakan di muka bumi. Kelompok Khawarij merupakan orang-orang yang keras kepala dan menginginkan insan hanya ada dalam dua kubu, yaitu kafir dan mukmin. Barang siapa yang sesuai dengan pandangannya, dianggap sebagai orang mukmin. Sebaliknya, barang siapa yang dianggap tidak sesuai dengan pandangannya, dianggap sebagai orang kafir.
Sekte lain yang muncul pada masa Dinasti Umayyah yaitu Murji’ah, yang mengusung iman irja’, yaitu penangguhan eksekusi terhadap orang beriman yang melaksanakan dosa, dan mereka tetap dianggap Muslim. Menurut Murji’ah, kenyataan bahwa Dinasti Umayyah yaitu orang Islam sudah cukup menjadi pembenaran bahwa mereka merupakan pemimpin umat. Secara umum, fatwa pokok Murji’ah berkisar pada toleransi.
Di antara gagasan pemikiran Murji’ah yang terpenting yaitu bahwa mukmin yang melaksanakan maksiat akan disiksa oleh Allah di alam abadi nanti, dan sehabis disiksa akan ditempatkan di surga. Kelompok lainnya yaitu Syi’ah. Kegigihan kelompok Syi’ah dengan keyakinan utamanya terhadap Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib dan putra-putranya, yang diklaim sebagai imam sejati, masih tetap menjadi karakteristik utama kelompok ini. Kelompokini lahir sehabis gagalnya negosiasi hening antara Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
Dari bencana ini pengikut setia Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib menganut suatu aliran dalam Islam yang disebut dengan Syi’ah. Kelompok ini meyakini Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib beserta para keturunannya yaitu pemimpin umat Islam sehabis wafatnya Rasulullah Saw.
B. Bidang Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan
Pada periode Dinasti Umayyah belum ada pendidikan formal. Putra-putra khalifah Dinasti Umayyah biasanya disekolahkan ke Badiyah, gurun Suriah, untuk mempelajari bahasa Arab murni, dan mendalami puisi. Ke sanalah Mu’awiyah mengirimkan putranya yang kemudian menjadi penerusnya, Yazid bin Mu’awiyah.
Masyarakat luas memandang orang yang sanggup membaca dan menulis bahasa aslinya, sanggup memakai busur dan panah, serta berilmu berenang, sebagai seorang terpelajar. Nilai-nilai utama yang ditanamkan dalam pendidikan, sebagaimana terungkap dari aneka macam literatur perihal pendidikan yaitu keberanian, daya tahan dikala tertimpa musibah, mentaati hak dan kewajiban tetangga, menjaga harga diri, kedermawanan dan keramahtamahan, penghormatan terhadap perempuan, dan pemenuhan janji. Kebanyakan nilai tersebut sangat dijunjung tinggi dalam kehidupan orang badui.
Ilmu pengetahuan yang dikenal orang Arab pada masa itu terdiri dari dua macam, yaitu ilmu agama dan ilmu badan insan (ilmu pengobatan). Pada masa penaklukan Arab di Asia Barat, ilmu pengetahuan Yunani tidak berjaya lagi. Ia lebih merupakan sebuah tradisi yang dilestarikan oleh para praktisi dan komentator goresan pena Yunani atau Suriah.
Dokter-dokter istana Dinasti Umayyah berasal dari kelompok tersebut. Tabib paling menonjol di antara mereka yaitu Ibnu Utsal, seorang dokter Mu’awiyah yang beragama Kristen, Tayazhuq, dokter al-Hajjaj dari Yunani. Seorang dokter Yahudi dari Persia, Masarjawayh yang tinggal di Bashrah pada masa awal-awal pemerintahan Marwan bin al-Hakam, menerjemahkan ke dalam bahasa Arab sebuah naskah Suriah perihal pengobatan yang awalnya ditulis dalam bahasa Yunani oleh seorang pendeta Nasrani di Iskandariyah, Ahrun, dan merupakan buku ilmiah pertama dalam bahasa Arab.
Ilmu pengetahuan di masa ini mengalami perkembangan yang pesat, bahkan ilmu pengobatan mencapai kesempurnaannya di Arab. Khalid bin Yazid memperoleh kesarjanaan dalam ilmu kimia dan kedokteran, serta menulis beberapa buku perihal bidang itu. Khalid bin Yazid (wafat tahun 704-M atau 708-M) putra khalifah Dinasti Umayyah kedua, merupakan orang Islam pertama yang menerjemahkan buku-buku berbahasa Yunani dan Koptik perihal kimia, kedokteran, dan astrologi. Meskipun terbukti legendaris, mengasosiasikan penerjemahan itu kepada Khalid bin Yazid menjadi penting, alasannya yaitu hal itu menunjukan fakta bahwa orang Arab menggali tradisi ilmiah mereka dari sumber-sumber Yunani, dan dari sanalah mereka memperoleh tenaga penggeraknya.
Naskah-naskah astrologi dan kimia yang dinisbatkan kepada Ja’far al-Shadiq (700-M-765-M), seorang keturunan Khalifah ’Ali bin Abi Thalib, dan salah satu dari 12 Imam Syi’ah, telah diragukan keasliannya oleh para sarjana modern yang kritis. Kenyataan paling tidak menyenangkan seputar kehidupan intelektual pada masa Dinasti Umayyah yaitu bahwa ia tidak mewariskan kepada kita sumber-sumber berbentuk dokumen yang sanggup dijadikan materi kajian.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan perihal kemajuan masa Dinasti Umayyah di bidang agama dan bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan. Sumber buku Siswa SKI Kelas X MA Kementerian Agama Republik Indonesia, 2014. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.
A. Bidang Keagamaan
Pada masa Dinasti Umayyah, terdapat beberapa gerakan pemikiran keagamaa. Hal ini ditandai pada paruh pertama kala ke-8, di Bashrah hidup seorang tokoh populer bernamaWashil bin ‘Atha (wafat tahun 748-M), seorang pendiri mazhab rasionalisme yang disebut Mu’tazilah. Orang Mu’tazilah memperoleh sebutan itu, alasannya yaitu mendakwahkan fatwa bahwa siapa pun yang melaksanakan dosa besar dianggap telah keluar dari barisan orang beriman, tapi tidak menjadikannya kafir.
Dalam hal ini, orang semacam itu berada dalam kondisi pertengahan antara kedua status itu (manzilah bainal manzilatain). Washil pernah berguru kepada Hasan al-Bashri, ia cenderung pada iman kebebasan berkehendak (free will), yang kemudian menjadi iman utama dalam sistem keyakinan orang Mu’tazilah. Doktrin tersebut pada dikala itu dianut kelompok Qadariyah (free will), yang dibedakan dari kelompok Jabariyah (fatalism). Orang Qadariyah merepresentasikan penentangan terhadap konsep takdir yang ketat dalam Islam, kekuasaan Tuhan yang sangat ditekankan dalam Al-Qur’an, dan dampak Yunani Kristen.
Di samping itu, tumbuhnya gagasan dan pemikiran filosofis Arab pada waktu itu, tidak terlepas dari dampak tradisi Nasrani dan filsafat Yunani. Salah satu biro utama yang memperkenalkan Islam dengan tradisi Nasrani dan pemikiran Yunani pada masa itu yaitu St. John (Santo Yahya) dari Damaskus (Joannes Damascenus), yang dijuluki Chrysorrhoas (lidah emas), alasannya yaitu dikala tinggal di Antokia ia dikenal dengan nama Chrysostom.
Selain Mu’tazilah, sekte keagamaan lain yang tumbuh berkembang pada masa ini yaitu kelompok Khawarij. Pada awalnya kelompok ini yaitu pendukung setia Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib, namun pada perkembangannya menjadi penentang Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib yang paling berbahaya. Ini terjadi alasannya yaitu mereka menolak hasil negosiasi antara Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah, mereka melaksanakan pemberontakan dan melaksanakan kerusakan di muka bumi. Kelompok Khawarij merupakan orang-orang yang keras kepala dan menginginkan insan hanya ada dalam dua kubu, yaitu kafir dan mukmin. Barang siapa yang sesuai dengan pandangannya, dianggap sebagai orang mukmin. Sebaliknya, barang siapa yang dianggap tidak sesuai dengan pandangannya, dianggap sebagai orang kafir.
Sekte lain yang muncul pada masa Dinasti Umayyah yaitu Murji’ah, yang mengusung iman irja’, yaitu penangguhan eksekusi terhadap orang beriman yang melaksanakan dosa, dan mereka tetap dianggap Muslim. Menurut Murji’ah, kenyataan bahwa Dinasti Umayyah yaitu orang Islam sudah cukup menjadi pembenaran bahwa mereka merupakan pemimpin umat. Secara umum, fatwa pokok Murji’ah berkisar pada toleransi.
Di antara gagasan pemikiran Murji’ah yang terpenting yaitu bahwa mukmin yang melaksanakan maksiat akan disiksa oleh Allah di alam abadi nanti, dan sehabis disiksa akan ditempatkan di surga. Kelompok lainnya yaitu Syi’ah. Kegigihan kelompok Syi’ah dengan keyakinan utamanya terhadap Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib dan putra-putranya, yang diklaim sebagai imam sejati, masih tetap menjadi karakteristik utama kelompok ini. Kelompokini lahir sehabis gagalnya negosiasi hening antara Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
Dari bencana ini pengikut setia Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib menganut suatu aliran dalam Islam yang disebut dengan Syi’ah. Kelompok ini meyakini Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib beserta para keturunannya yaitu pemimpin umat Islam sehabis wafatnya Rasulullah Saw.
B. Bidang Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan
Pada periode Dinasti Umayyah belum ada pendidikan formal. Putra-putra khalifah Dinasti Umayyah biasanya disekolahkan ke Badiyah, gurun Suriah, untuk mempelajari bahasa Arab murni, dan mendalami puisi. Ke sanalah Mu’awiyah mengirimkan putranya yang kemudian menjadi penerusnya, Yazid bin Mu’awiyah.
Masyarakat luas memandang orang yang sanggup membaca dan menulis bahasa aslinya, sanggup memakai busur dan panah, serta berilmu berenang, sebagai seorang terpelajar. Nilai-nilai utama yang ditanamkan dalam pendidikan, sebagaimana terungkap dari aneka macam literatur perihal pendidikan yaitu keberanian, daya tahan dikala tertimpa musibah, mentaati hak dan kewajiban tetangga, menjaga harga diri, kedermawanan dan keramahtamahan, penghormatan terhadap perempuan, dan pemenuhan janji. Kebanyakan nilai tersebut sangat dijunjung tinggi dalam kehidupan orang badui.
Ilmu pengetahuan yang dikenal orang Arab pada masa itu terdiri dari dua macam, yaitu ilmu agama dan ilmu badan insan (ilmu pengobatan). Pada masa penaklukan Arab di Asia Barat, ilmu pengetahuan Yunani tidak berjaya lagi. Ia lebih merupakan sebuah tradisi yang dilestarikan oleh para praktisi dan komentator goresan pena Yunani atau Suriah.
Dokter-dokter istana Dinasti Umayyah berasal dari kelompok tersebut. Tabib paling menonjol di antara mereka yaitu Ibnu Utsal, seorang dokter Mu’awiyah yang beragama Kristen, Tayazhuq, dokter al-Hajjaj dari Yunani. Seorang dokter Yahudi dari Persia, Masarjawayh yang tinggal di Bashrah pada masa awal-awal pemerintahan Marwan bin al-Hakam, menerjemahkan ke dalam bahasa Arab sebuah naskah Suriah perihal pengobatan yang awalnya ditulis dalam bahasa Yunani oleh seorang pendeta Nasrani di Iskandariyah, Ahrun, dan merupakan buku ilmiah pertama dalam bahasa Arab.
Ilmu pengetahuan di masa ini mengalami perkembangan yang pesat, bahkan ilmu pengobatan mencapai kesempurnaannya di Arab. Khalid bin Yazid memperoleh kesarjanaan dalam ilmu kimia dan kedokteran, serta menulis beberapa buku perihal bidang itu. Khalid bin Yazid (wafat tahun 704-M atau 708-M) putra khalifah Dinasti Umayyah kedua, merupakan orang Islam pertama yang menerjemahkan buku-buku berbahasa Yunani dan Koptik perihal kimia, kedokteran, dan astrologi. Meskipun terbukti legendaris, mengasosiasikan penerjemahan itu kepada Khalid bin Yazid menjadi penting, alasannya yaitu hal itu menunjukan fakta bahwa orang Arab menggali tradisi ilmiah mereka dari sumber-sumber Yunani, dan dari sanalah mereka memperoleh tenaga penggeraknya.
Naskah-naskah astrologi dan kimia yang dinisbatkan kepada Ja’far al-Shadiq (700-M-765-M), seorang keturunan Khalifah ’Ali bin Abi Thalib, dan salah satu dari 12 Imam Syi’ah, telah diragukan keasliannya oleh para sarjana modern yang kritis. Kenyataan paling tidak menyenangkan seputar kehidupan intelektual pada masa Dinasti Umayyah yaitu bahwa ia tidak mewariskan kepada kita sumber-sumber berbentuk dokumen yang sanggup dijadikan materi kajian.