Andai Lebih Panjang Lagi
Wednesday, August 22, 2007
Edit
Hari itu ada seseorang yang meninggal dunia. Seperti biasanya, kalau ada sobat meninggal dunia, Rasulullah niscaya meluangkan diri mengirimkan jenazahnya hingga ke kuburan.
Tidak cukup hingga di situ, pada dikala pulangnya, Rasulullah meluangkan diri singgah untuk menghibur dan menenangkan keluarga yang ditinggalkan agar tetap bersabar dan tawakal menerima musbah itu. Begitupun terhadap keluarga sobat yang satu ini.
Sesampai di rumah duka, Rasulullah mengajukan pertanyaan terhadap istri almarhum, “Tidakkah almarhum suamimu mengucapkan wasiat ataulah sesuatu sebelum ia wafat?”
Sang istri yang masih diliputi kesedihan cuma tertunduk. Isak tangis masih sesekali terdengar dari dirinya. “Aku mendengar ia menyampaikan sesuatu di antara dengkur nafasnya yang tersengal. Ketika itu ia tengah menjelang ajal, ya Rasulullah.”
Rasulullah tertanya, “Apa yang dikatakannya?”
“Aku tidak tahu, ya Rasulullah. Maksudku, saya tidak memahami apakah ucapannya itu sekadar rintihan sebelum mati, ataukah pekikan pedih alasannya dahsyatnya sakaratul maut. Cuma, ucapannya memang sukar diketahui karena ialah kalimat yang terpotong-potong.”
“Bagaimana bunyinya?” tanya Rasulullah lagi.
Istri yang setia itu menjawab, “Suamiku menyampaikan ‘Andaikata lebih panjang lagi..., Andaikata yang masih gres ..., Andaikata seluruhnya ...’. Hanya itulah yang tertangkap sehingga saya dan keluargaku galau dibuatnya. Apakah perkataan-perkataan itu cuma igauan dalam kondisi tidak sadar, ataukah pesan-pesan yang tidak selesai”
Rasulullah tersenyum. Senyum Rasulullah itu menghasilkan istri almarhum sobat menjadi keheranan. Kemudian, terdengar Rasulullah berbicara, “Sungguh, apa yang diucapkan suamimu itu tidak keliru.” Beliau membisu sejenak. “Jika kalian semua mau tahu, biarlah saya ceritakan terhadap kalian mudah-mudahan tak lagi heran dan bingung.”
Sekarang, bukan cuma istri almarhum saja yang menghadapi Rasulullah. Semua keluarga almarhum mengerubungi Rasul kiamat itu. Ingin mendengar apa gerangan bekerjsama yang terjadi.
“Kisahnya begini,” Rasulullah memulai.
“Pada suatu hari, ia sedang bergegas akan ke masjid untuk mengerjakan shalat Jumat. Di tengah jalan ia berjumpa dengan dengan orang buta yang berniat sama—hendak pergi ke masjid pula. Si buta itu sendirian tersaruk-saruk alasannya tidak ada yang menuntunnya. Maka, dengan sabar dan telatennya, suamimu yang membimbingnya hingga tiba di masjid. Tatkala hendak menghembuskan nafas yang penghabisan, ia menyaksikan pahala amal shalihnya itu. Lalu ia pun berkata, ‘Andaikata lebih panjang lagi.’ Maksudnya yakni andaikata jalan ke masjid itu lebih panjang lagi, niscaya pahalanya akan jauh lebih besar pula.”
Semua anggota keluarga itu kini mengangguk-angguk kepalanya. Mulai memahami sebagian duduk perkara. “Terus, ucapan yang lainnya, ya Rasulullah?” tanya sang istri yang kian ingin tau saja.
Nabi menjawab, “Adapun ucapannya yang kedua dikatakannya tatkala ia menyaksikan hasil perbuatannya yang lain. Sebab pada hari berikutnya, waktu ia pergi ke masjid pagi-pagi sekali untuk shalat Subuh, cuaca hambar sekali. Di tepi jalan ia menyaksikan seorang laki-laki bau tanah yang tengah duduk menggigil, nyaris mati kedinginan. Kebetulan suaminya menenteng suatu mantel baru, selain yang dipakainya. Maka ia pun mencopot mantelnya yang usang yang tengah dikenakannya dan diberikan terhadap si laki-laki bau tanah itu. Menjelang momentum terakhirnya, suamimu menyaksikan jawaban amal kebajikannya itu sehingga ia pun menyesal dan berkata, ‘Coba, andaikata yang masih gres yang kuberikan kepadanya, dan bukannya mantelku yang usang yang kuberikan kepadanya, niscaya pahalaku jauh lebih besar lagi.’ Itulah yang dibilang suami selengkapnya.”
“Kemudian, ucapan yang ketiga, apa tujuannya ya Rasulullah?” tanya sang istri lagi.
Dengan sarat kesabaran, Rasulullah menjelaskan, “Ingkatkah engkau di saat pada suatu waktu suamimu tiba dalam kondisi sungguh lapar dan meminta ditawarkan makanan? Ketika itu engkau secepatnya menyajikan sepotong roti yang sudah diaduk daging dan mentega. Namun, tatkala hendak dimakannya, tiba-tiba seorang musafir mengetuk pintu dan meminta makanan. Suamimu lantas membagi rotinya menjadi dua potong. Yang sebelah diberikannya terhadap musafir itu. Dengan demikian, pada waktu suamimu akan nazak, ia menyaksikan betapa besarnya pahala dari amalnya itu. Karenanya, ia pun menyesal dan berkata, ‘Kalau saya tahu begini hasilnya, musafir itu tidak akan kuberi cuma separuh. Sebab, andaikata seluruhnya kuberikan kepadanya, sudah niscaya pahalaku akan berlipat ganda pula.’”
Sekarang, semua anggota keluarga mengerti. Mereka tak lagi risau dengan apa yang sudah terjadi terhadap suami dan ayah mereka di saat akan menjelang wafatnya. Kelapangan sudah ia temukan alasannya ia tidak sungkan untuk membantu dan memberi.
Tidak cukup hingga di situ, pada dikala pulangnya, Rasulullah meluangkan diri singgah untuk menghibur dan menenangkan keluarga yang ditinggalkan agar tetap bersabar dan tawakal menerima musbah itu. Begitupun terhadap keluarga sobat yang satu ini.
Sesampai di rumah duka, Rasulullah mengajukan pertanyaan terhadap istri almarhum, “Tidakkah almarhum suamimu mengucapkan wasiat ataulah sesuatu sebelum ia wafat?”
Sang istri yang masih diliputi kesedihan cuma tertunduk. Isak tangis masih sesekali terdengar dari dirinya. “Aku mendengar ia menyampaikan sesuatu di antara dengkur nafasnya yang tersengal. Ketika itu ia tengah menjelang ajal, ya Rasulullah.”
Rasulullah tertanya, “Apa yang dikatakannya?”
“Aku tidak tahu, ya Rasulullah. Maksudku, saya tidak memahami apakah ucapannya itu sekadar rintihan sebelum mati, ataukah pekikan pedih alasannya dahsyatnya sakaratul maut. Cuma, ucapannya memang sukar diketahui karena ialah kalimat yang terpotong-potong.”
“Bagaimana bunyinya?” tanya Rasulullah lagi.
Istri yang setia itu menjawab, “Suamiku menyampaikan ‘Andaikata lebih panjang lagi..., Andaikata yang masih gres ..., Andaikata seluruhnya ...’. Hanya itulah yang tertangkap sehingga saya dan keluargaku galau dibuatnya. Apakah perkataan-perkataan itu cuma igauan dalam kondisi tidak sadar, ataukah pesan-pesan yang tidak selesai”
Rasulullah tersenyum. Senyum Rasulullah itu menghasilkan istri almarhum sobat menjadi keheranan. Kemudian, terdengar Rasulullah berbicara, “Sungguh, apa yang diucapkan suamimu itu tidak keliru.” Beliau membisu sejenak. “Jika kalian semua mau tahu, biarlah saya ceritakan terhadap kalian mudah-mudahan tak lagi heran dan bingung.”
Sekarang, bukan cuma istri almarhum saja yang menghadapi Rasulullah. Semua keluarga almarhum mengerubungi Rasul kiamat itu. Ingin mendengar apa gerangan bekerjsama yang terjadi.
“Kisahnya begini,” Rasulullah memulai.
“Pada suatu hari, ia sedang bergegas akan ke masjid untuk mengerjakan shalat Jumat. Di tengah jalan ia berjumpa dengan dengan orang buta yang berniat sama—hendak pergi ke masjid pula. Si buta itu sendirian tersaruk-saruk alasannya tidak ada yang menuntunnya. Maka, dengan sabar dan telatennya, suamimu yang membimbingnya hingga tiba di masjid. Tatkala hendak menghembuskan nafas yang penghabisan, ia menyaksikan pahala amal shalihnya itu. Lalu ia pun berkata, ‘Andaikata lebih panjang lagi.’ Maksudnya yakni andaikata jalan ke masjid itu lebih panjang lagi, niscaya pahalanya akan jauh lebih besar pula.”
Semua anggota keluarga itu kini mengangguk-angguk kepalanya. Mulai memahami sebagian duduk perkara. “Terus, ucapan yang lainnya, ya Rasulullah?” tanya sang istri yang kian ingin tau saja.
Nabi menjawab, “Adapun ucapannya yang kedua dikatakannya tatkala ia menyaksikan hasil perbuatannya yang lain. Sebab pada hari berikutnya, waktu ia pergi ke masjid pagi-pagi sekali untuk shalat Subuh, cuaca hambar sekali. Di tepi jalan ia menyaksikan seorang laki-laki bau tanah yang tengah duduk menggigil, nyaris mati kedinginan. Kebetulan suaminya menenteng suatu mantel baru, selain yang dipakainya. Maka ia pun mencopot mantelnya yang usang yang tengah dikenakannya dan diberikan terhadap si laki-laki bau tanah itu. Menjelang momentum terakhirnya, suamimu menyaksikan jawaban amal kebajikannya itu sehingga ia pun menyesal dan berkata, ‘Coba, andaikata yang masih gres yang kuberikan kepadanya, dan bukannya mantelku yang usang yang kuberikan kepadanya, niscaya pahalaku jauh lebih besar lagi.’ Itulah yang dibilang suami selengkapnya.”
“Kemudian, ucapan yang ketiga, apa tujuannya ya Rasulullah?” tanya sang istri lagi.
Dengan sarat kesabaran, Rasulullah menjelaskan, “Ingkatkah engkau di saat pada suatu waktu suamimu tiba dalam kondisi sungguh lapar dan meminta ditawarkan makanan? Ketika itu engkau secepatnya menyajikan sepotong roti yang sudah diaduk daging dan mentega. Namun, tatkala hendak dimakannya, tiba-tiba seorang musafir mengetuk pintu dan meminta makanan. Suamimu lantas membagi rotinya menjadi dua potong. Yang sebelah diberikannya terhadap musafir itu. Dengan demikian, pada waktu suamimu akan nazak, ia menyaksikan betapa besarnya pahala dari amalnya itu. Karenanya, ia pun menyesal dan berkata, ‘Kalau saya tahu begini hasilnya, musafir itu tidak akan kuberi cuma separuh. Sebab, andaikata seluruhnya kuberikan kepadanya, sudah niscaya pahalaku akan berlipat ganda pula.’”
Sekarang, semua anggota keluarga mengerti. Mereka tak lagi risau dengan apa yang sudah terjadi terhadap suami dan ayah mereka di saat akan menjelang wafatnya. Kelapangan sudah ia temukan alasannya ia tidak sungkan untuk membantu dan memberi.