Pengakuan Debu Jahal
Monday, August 27, 2007
Edit
Dalam penyebaran risalah Islam, Rasulullah berbagai menemui halangan sehingga untuk menyingkir dari perilaku orang-orang Quraisy yang menentang risalah Islam, Rasulullah mengerjakan dakwah secara sembunyi-sembunyi. Hal itu ditangani Rasulullah dikarenakan belum ada isyarat dari Allah untuk mengerjakan dakwah secara terang-terangan.
Akan tetapi, di saat turun perintah untuk dakwah secara terang-terangan, Rasulullah saw pribadi keluar dari kediamannya dan mendaki bukit Shafa. Di atas sana, dia berseru dengan lantang mengundang penduduk Mekah, "Wahai kaum Quraisy!" Seruan itu memancing penduduk Mekah untuk berduyun-duyun mendekati beliau.
Setelah penduduk Mekah berkumpul di bukit Shafa, Rasulullah bersabda, "Percayakah kalian jika kukabarkan terhadap kalian bahwa seekor unta akan ketuar dari kaki gunung ini?"
Mereka menjawab, "Kami tidak pernah mendapatkan kebohongan darimu sebelumnya."
Rasulullah melanjutkan, "Ketahuilah, bekerjsama saya mengingatkan kalian akan adanya siksa yang sungguh pedih!"
Mendengar hal itu, pamannya yang berjulukan Abu Lahab bangun dan pribadi meninggalkan beliau. Ketidakpedulian Abu Lahab terhadap undangan Rasulullah saw dibarengi oleh yang lainnya. Satu per satu dari mereka pergi meninggalkan beliau. Tidak ada yang terpesona dengan ajakannya.
Tradisi jahiliah begitu menempel dalam diri kaum Quraisy Mekah sehingga nyaris tidak mungkin untuk meninggalkan kebiasaan yang turun-menurun tersebut.
Meskipun demikian, Rasulullah saw tidak berhenti begitu saja. Pada suatu kesempatan, dia berjumpa dengan pamannya, Abu Jahal, di suatu lorong kota Mekah. Pertemuan ini tidak disia-siakan oleh Rasulullah saw untuk mengajak pamannya menauhidkan Allah SWT. Beliau bersabda, "Wahai, Abu Hakam, marilah beriman terhadap Allah dan Rasul-Nya. Aku mengajakmu terhadap Allah!"
Dengan ketus Abu Jahal menjawab, "Hai, Muhammad! Tidakkah kau berhenti mencela tuhan-tuhan kami? Jika engkau mengerjakan ini agar kami bersaksi di hadapan Allah bahwa kau yakni penyampai risalah, akan kami jalankan jika kau memang benar! Karena itu, biarkanlah kami mengelola diri kami sendiri!"
Mendengar pernyataan Abu Jahal, Rasulullah saw berlalu meninggalkannya. Mughirah bin Shu'bah yang dikala itu sedang bareng Abu Jahal mengajukan pertanyaan perihal kerasulan Nabi Muhammad.
Abu Jahal menjawab, "Aku tahu bahwa dia yakni seorang nabi dan apa yang dikatakannya yakni kebenaran. Akan tetapi, kami berkompetisi dengan Bani Hasyim (keluarga Rasulullah saw) di segala sesuatu. Mereka membanggakan diri lantaran menawarkan masakan dan minuman bagi para peziarah. Jika di antara mereka ada yang menjadi nabi, mereka niscaya akan membangga-banggakannya di hadapan kami. Jika demikian, tentunya kami tidak dapat menyainginya."
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Abu Jahal pernah berkata, "Kami tidak pernah mendustakan engkau dan engkau bukanlah seorang pendusta. Namun, kami mendustakan apa yang engkau bawa."
Pengakuan Abu Jahal terhadap kerasulan Muhammad pun diungkapkan Abu Dzar Al-Ghifari. Saat itu Abu Dzar belum memeluk Islam dan ia pun menjadi sobat bersahabat Abu Jahal. Keduanya dipersatukan dalam kolaborasi jual beli yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Setiap kali Abu Dzar tiba ke kota Mekah, ia senantiasa menenteng barang-barang barang jualan yang hendak ia jual lewat perantaraan Abu Jahal.
Alkisah diceritakan bahwa terjadi sesuatu di luar kebiasaan. Suatu di saat Abu Dzar tiba ke Mekah tanpa menenteng barang barang jualan satu pun, tergolong duit perniagaan. Hal ini tentunya menghasilkan Abu Jahal heran. la pun mengajukan pertanyaan terhadap Abu Dzar, "Apakah kau menenteng barang dagangan, hai sahabatku?"
Abu Dzar menjawab, "Seperti yang kaulihat, saya tidak menenteng apa pun."
"Apakah engkau menenteng uang?" tanya Abu Jahal kembali.
"Tidak juga," jawab Abu Dzar singkat.
Melihat ada sesuatu yang tidak biasa pada sahabatnya, Abu Jahal kembali bertanya, "Ada apa denganmu? Apa yang membuatmu tiba jauh-jauh ke Mekah tanpa menenteng barang barang jualan atau uang? Adakah tujuanmu yang lain?"
Melihat kegelisahan sahabatnya, Abu Dzar menjajal menenangkannya dengan menjawab, "Sahabatku Abu Jahal, kali ini kedatanganku bukan untuk mengadu untung dalam perdagangan."
"Lantas untuk apa?" tanya Abu Jahal yang makin penasaran.
"Aku ingin berjumpa dengan kemenakanmu."
Jawaban Abu Dzar makin membingungkan Abu Jahal. Abu Jahal pun kembali bertanya, "Kemenakanku? Siapakah yang kaumaksud?"
"Muhammad," jawab Abu Dzar singkat.
"Muhammad?" ulang Abu Jahal untuk meyakinkan apa yang gres saja ia dengar.
"Ya. Kudengar dari beberapa sahabatku bahwa Muhammad, kemenakanmu itu sudah diangkat menjadi seorang rasul. Engkau mesti gembira mempunyai kemenakan semulia itu, sahabatku!" terperinci Abu Dzar panjang lebar. Ia tidak tahu bahwa sang paman tidak menggemari risalah yang dibawa kemenakannya, Muhammad.
Abu Jahal yang tak ingin Islam memengaruhi sahabatnya secepatnya menangkal Abu Dzar untuk berjumpa Rasulullah saw dan berkata, "Sahabatku, dengarkanlah saya jika kau ingin selamat, jangan kautemui dia! Sekali-kali jangan pernah kau menemui kemenakanku itu!"
"Mengapa kau berkata seumpama itu?" tanya Abu Dzar Al-Ghifari heran.
Abu Jahal menjelaskan, "Kautahu, Muhammad itu sungguh menarik. Ia sungguh memesona. Sekali berjumpa dengannya, saya jamin kaupasti akan betul-betul terpikat dengannya. Wajahnya bersih, perkataannya berisi mutiara indah dan senantiasa benar. Perilakunya sungguh lembut dan sopan membacakan wahyu. Semua kalimatnya menjamah jiwa."
Tentu saja balasan Abu Jahal sungguh bertentangan dengan sarannya untuk tidak menemui Rasulullah saw. Di satu segi ia melarang Abu Dzar untuk berjumpa kemenakannya, namun di segi lain ia menampilkan argumentasi yang baik-baik perihal Rasulullah saw.
Abu Dzar mengungkap keheranannya seraya berkata, "Aku tidak mengerti, namun apa itu bermakna kau percaya dia seorang rasul?"
Abu Jahal pribadi mengiyakan. Katanya, "Jelas. Mustahil rasanya jika ia bukan seorang rasul. Ia baik terhadap siapa saja bau tanah dan muda, begitu juga akal pekerti dan akhlaknya sungguh mulia. Satu hal lagi yang perlu kauketahui, ia sungguh tabah menghadapi apa pun yang terjadi padanya. Ia mempunyai daya tarik yang andal sekali."
"Aku tidak habis mengetahui terhadapmu, Abu Jahal sahabatku," tandas Abu Dzar, "kaubilang bahwa kauyakin kemenakanmu itu yakni seorang rasul."
"Yakin betul. Aku tidak pernah meragukannya sedikit pun," tegas Abu Jahal.
"Apakah kaupercaya bahwa ia benar?" tanya Abu Dzar kembali.
"Lebih dari sekadar percaya," Jawab Abu Jahal.
"Tapi engkau melarangku untuk menemuinya ...," tanya Abu Dzar masih dengan keheranan.
Abu Jahal menjawab "Begitulah ...."
"Lalu, apakah engkau mengikuti pemikiran agamanya?"
Abu Jahal tersentak dengan pertanyaan sang sahabat. "Ulangi sekali lagi pertanyaanmu ...," pinta Abu Jahal.
"Apakah engkau mengikuti agamanya menjadi pemeluk Islam?" Abu Dzar kembali mengulangi pertanyaannya seumpama permohonan Abu Jahal.
Tidak bisa mengelak, Abu Jahal berkilah, "Sahabatku, hingga kapan pun saya tetap Abu Jahal. Aku bukanlah orang gila. Aku masih waras. Berapa pun kaubayar aku, saya tidak akan menjadi pengikut Muhammad!"
Abu Jahal melanjutkan, "Meskipun saya percaya bahwa Muhammad itu benar, saya tetap akan melawan Muhammad hingga kapan pun. Sampai titik darah penghabisanku."
"Apa sebabnya?" tanya Abu Dzar.
"Kautahu sahabatku, jika saya menjadi pengikut kemenakanku sendiri, kedudukan dan wibawaku akan hancur. Akan kuletakan di mana mukaku di hadapan bangsa Quraisy?"
Abu Dzar menggeleng-gelengkan kepalanya seakan tidak percaya akan pemikiran sahabatnya, " Pendirianmu keliru, sahabatku."
"Aku tahu saya memang keliru," ujar Abu Jahal.
Abu Dzar mengingatkan sahabatnya, "Kelak, engkau akan dikalahkan oleh kekeliruanmu."
"Baik, biar saja saya kalah. Bahkan, saya tahu diakhirat kelak akan dimasukkan ke dalam neraka jahanam. Namun, saya tidak mau dikalahkan Muhammad di dunia meskipun di darul abadi sana saya niscaya dikalahkan," jawab Abu Jahal sambil berlalu meninggalkan Abu Dzar yang masih tidak percaya dengan apa yang gres saja didengarnya.
Abu Jahal tetap dalam pendiriannya. Ketika Perang Badar berlangsung, ia ditanya oleh Akhnas bin Syariq, "Hai, Abu Jahal! Di sini cuma kita berdua dan tidak ada orang lain, ceritakanlah perihal diri Muhammad, apakah benar dia itu orang yang jujur atau pendusta?"
"Demi Tuhan! Sesungguhnya Muhammad itu yakni orang yang benar dan tidak pernah berdusta!"
Akan tetapi, di saat turun perintah untuk dakwah secara terang-terangan, Rasulullah saw pribadi keluar dari kediamannya dan mendaki bukit Shafa. Di atas sana, dia berseru dengan lantang mengundang penduduk Mekah, "Wahai kaum Quraisy!" Seruan itu memancing penduduk Mekah untuk berduyun-duyun mendekati beliau.
Setelah penduduk Mekah berkumpul di bukit Shafa, Rasulullah bersabda, "Percayakah kalian jika kukabarkan terhadap kalian bahwa seekor unta akan ketuar dari kaki gunung ini?"
Mereka menjawab, "Kami tidak pernah mendapatkan kebohongan darimu sebelumnya."
Rasulullah melanjutkan, "Ketahuilah, bekerjsama saya mengingatkan kalian akan adanya siksa yang sungguh pedih!"
Mendengar hal itu, pamannya yang berjulukan Abu Lahab bangun dan pribadi meninggalkan beliau. Ketidakpedulian Abu Lahab terhadap undangan Rasulullah saw dibarengi oleh yang lainnya. Satu per satu dari mereka pergi meninggalkan beliau. Tidak ada yang terpesona dengan ajakannya.
Tradisi jahiliah begitu menempel dalam diri kaum Quraisy Mekah sehingga nyaris tidak mungkin untuk meninggalkan kebiasaan yang turun-menurun tersebut.
Meskipun demikian, Rasulullah saw tidak berhenti begitu saja. Pada suatu kesempatan, dia berjumpa dengan pamannya, Abu Jahal, di suatu lorong kota Mekah. Pertemuan ini tidak disia-siakan oleh Rasulullah saw untuk mengajak pamannya menauhidkan Allah SWT. Beliau bersabda, "Wahai, Abu Hakam, marilah beriman terhadap Allah dan Rasul-Nya. Aku mengajakmu terhadap Allah!"
Dengan ketus Abu Jahal menjawab, "Hai, Muhammad! Tidakkah kau berhenti mencela tuhan-tuhan kami? Jika engkau mengerjakan ini agar kami bersaksi di hadapan Allah bahwa kau yakni penyampai risalah, akan kami jalankan jika kau memang benar! Karena itu, biarkanlah kami mengelola diri kami sendiri!"
Mendengar pernyataan Abu Jahal, Rasulullah saw berlalu meninggalkannya. Mughirah bin Shu'bah yang dikala itu sedang bareng Abu Jahal mengajukan pertanyaan perihal kerasulan Nabi Muhammad.
Abu Jahal menjawab, "Aku tahu bahwa dia yakni seorang nabi dan apa yang dikatakannya yakni kebenaran. Akan tetapi, kami berkompetisi dengan Bani Hasyim (keluarga Rasulullah saw) di segala sesuatu. Mereka membanggakan diri lantaran menawarkan masakan dan minuman bagi para peziarah. Jika di antara mereka ada yang menjadi nabi, mereka niscaya akan membangga-banggakannya di hadapan kami. Jika demikian, tentunya kami tidak dapat menyainginya."
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Abu Jahal pernah berkata, "Kami tidak pernah mendustakan engkau dan engkau bukanlah seorang pendusta. Namun, kami mendustakan apa yang engkau bawa."
Pengakuan Abu Jahal terhadap kerasulan Muhammad pun diungkapkan Abu Dzar Al-Ghifari. Saat itu Abu Dzar belum memeluk Islam dan ia pun menjadi sobat bersahabat Abu Jahal. Keduanya dipersatukan dalam kolaborasi jual beli yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Setiap kali Abu Dzar tiba ke kota Mekah, ia senantiasa menenteng barang-barang barang jualan yang hendak ia jual lewat perantaraan Abu Jahal.
Alkisah diceritakan bahwa terjadi sesuatu di luar kebiasaan. Suatu di saat Abu Dzar tiba ke Mekah tanpa menenteng barang barang jualan satu pun, tergolong duit perniagaan. Hal ini tentunya menghasilkan Abu Jahal heran. la pun mengajukan pertanyaan terhadap Abu Dzar, "Apakah kau menenteng barang dagangan, hai sahabatku?"
Abu Dzar menjawab, "Seperti yang kaulihat, saya tidak menenteng apa pun."
"Apakah engkau menenteng uang?" tanya Abu Jahal kembali.
"Tidak juga," jawab Abu Dzar singkat.
Melihat ada sesuatu yang tidak biasa pada sahabatnya, Abu Jahal kembali bertanya, "Ada apa denganmu? Apa yang membuatmu tiba jauh-jauh ke Mekah tanpa menenteng barang barang jualan atau uang? Adakah tujuanmu yang lain?"
Melihat kegelisahan sahabatnya, Abu Dzar menjajal menenangkannya dengan menjawab, "Sahabatku Abu Jahal, kali ini kedatanganku bukan untuk mengadu untung dalam perdagangan."
"Lantas untuk apa?" tanya Abu Jahal yang makin penasaran.
"Aku ingin berjumpa dengan kemenakanmu."
Jawaban Abu Dzar makin membingungkan Abu Jahal. Abu Jahal pun kembali bertanya, "Kemenakanku? Siapakah yang kaumaksud?"
"Muhammad," jawab Abu Dzar singkat.
"Muhammad?" ulang Abu Jahal untuk meyakinkan apa yang gres saja ia dengar.
"Ya. Kudengar dari beberapa sahabatku bahwa Muhammad, kemenakanmu itu sudah diangkat menjadi seorang rasul. Engkau mesti gembira mempunyai kemenakan semulia itu, sahabatku!" terperinci Abu Dzar panjang lebar. Ia tidak tahu bahwa sang paman tidak menggemari risalah yang dibawa kemenakannya, Muhammad.
Abu Jahal yang tak ingin Islam memengaruhi sahabatnya secepatnya menangkal Abu Dzar untuk berjumpa Rasulullah saw dan berkata, "Sahabatku, dengarkanlah saya jika kau ingin selamat, jangan kautemui dia! Sekali-kali jangan pernah kau menemui kemenakanku itu!"
"Mengapa kau berkata seumpama itu?" tanya Abu Dzar Al-Ghifari heran.
Abu Jahal menjelaskan, "Kautahu, Muhammad itu sungguh menarik. Ia sungguh memesona. Sekali berjumpa dengannya, saya jamin kaupasti akan betul-betul terpikat dengannya. Wajahnya bersih, perkataannya berisi mutiara indah dan senantiasa benar. Perilakunya sungguh lembut dan sopan membacakan wahyu. Semua kalimatnya menjamah jiwa."
Tentu saja balasan Abu Jahal sungguh bertentangan dengan sarannya untuk tidak menemui Rasulullah saw. Di satu segi ia melarang Abu Dzar untuk berjumpa kemenakannya, namun di segi lain ia menampilkan argumentasi yang baik-baik perihal Rasulullah saw.
Abu Dzar mengungkap keheranannya seraya berkata, "Aku tidak mengerti, namun apa itu bermakna kau percaya dia seorang rasul?"
Abu Jahal pribadi mengiyakan. Katanya, "Jelas. Mustahil rasanya jika ia bukan seorang rasul. Ia baik terhadap siapa saja bau tanah dan muda, begitu juga akal pekerti dan akhlaknya sungguh mulia. Satu hal lagi yang perlu kauketahui, ia sungguh tabah menghadapi apa pun yang terjadi padanya. Ia mempunyai daya tarik yang andal sekali."
"Aku tidak habis mengetahui terhadapmu, Abu Jahal sahabatku," tandas Abu Dzar, "kaubilang bahwa kauyakin kemenakanmu itu yakni seorang rasul."
"Yakin betul. Aku tidak pernah meragukannya sedikit pun," tegas Abu Jahal.
"Apakah kaupercaya bahwa ia benar?" tanya Abu Dzar kembali.
"Lebih dari sekadar percaya," Jawab Abu Jahal.
"Tapi engkau melarangku untuk menemuinya ...," tanya Abu Dzar masih dengan keheranan.
Abu Jahal menjawab "Begitulah ...."
"Lalu, apakah engkau mengikuti pemikiran agamanya?"
Abu Jahal tersentak dengan pertanyaan sang sahabat. "Ulangi sekali lagi pertanyaanmu ...," pinta Abu Jahal.
"Apakah engkau mengikuti agamanya menjadi pemeluk Islam?" Abu Dzar kembali mengulangi pertanyaannya seumpama permohonan Abu Jahal.
Tidak bisa mengelak, Abu Jahal berkilah, "Sahabatku, hingga kapan pun saya tetap Abu Jahal. Aku bukanlah orang gila. Aku masih waras. Berapa pun kaubayar aku, saya tidak akan menjadi pengikut Muhammad!"
Abu Jahal melanjutkan, "Meskipun saya percaya bahwa Muhammad itu benar, saya tetap akan melawan Muhammad hingga kapan pun. Sampai titik darah penghabisanku."
"Apa sebabnya?" tanya Abu Dzar.
"Kautahu sahabatku, jika saya menjadi pengikut kemenakanku sendiri, kedudukan dan wibawaku akan hancur. Akan kuletakan di mana mukaku di hadapan bangsa Quraisy?"
Abu Dzar menggeleng-gelengkan kepalanya seakan tidak percaya akan pemikiran sahabatnya, " Pendirianmu keliru, sahabatku."
"Aku tahu saya memang keliru," ujar Abu Jahal.
Abu Dzar mengingatkan sahabatnya, "Kelak, engkau akan dikalahkan oleh kekeliruanmu."
"Baik, biar saja saya kalah. Bahkan, saya tahu diakhirat kelak akan dimasukkan ke dalam neraka jahanam. Namun, saya tidak mau dikalahkan Muhammad di dunia meskipun di darul abadi sana saya niscaya dikalahkan," jawab Abu Jahal sambil berlalu meninggalkan Abu Dzar yang masih tidak percaya dengan apa yang gres saja didengarnya.
Abu Jahal tetap dalam pendiriannya. Ketika Perang Badar berlangsung, ia ditanya oleh Akhnas bin Syariq, "Hai, Abu Jahal! Di sini cuma kita berdua dan tidak ada orang lain, ceritakanlah perihal diri Muhammad, apakah benar dia itu orang yang jujur atau pendusta?"
"Demi Tuhan! Sesungguhnya Muhammad itu yakni orang yang benar dan tidak pernah berdusta!"