Filosofi Botol Kecap

Dikisahkan ada seorang usahawan kaya yang terlihat bahagia. Uang bukan problem baginya. Usahanya maju, beliau jarang rugi, nyaris semua usahanya menghadirkan laba berlipat. Seakan-akan, duit itu mengejar-ngejar dirinya.

Dia pun memiliki istri yang cantik, belum dewasa yang sehat dan lucu. Akan tetapi, di balik kesuksesannya itu ada banyak sikap buruk yang beliau lakukan. Pengusaha ini gemar melakukan maksiat.

Karena berkantong tebal, beliau dengan mudah bisa bergonta-ganti pasangan alias main perempuan, melakukan kecurangan dalam bisnis, mengonsumsi masakan dan minuman haram, dan beragam kemaksiatan lainnya.

Sampai suatu ketika, beliau mengalami suatu insiden yang merubah hidupnya. Anaknya yang berusia tiga tahun meninggal dunia lantaran kecelakaan yang disebabkan keteledoran dirinya. Peristiwa itu menjinjing pergantian dalam dirinya.

Dia bertobat dan bertekad untuk meninggalkan kebiasaan-kebiasaan buruk yang biasa beliau lakukan. Dia pun mulai menimba ilmu melakukan shalat, pergi ke masjid, melakukan puasa Ramadhan, dan sebagainya.

Di tengah upaya perbaikan diri itulah, krisis moneter yang memukul pada tahun 1998 sudah menjinjing pergantian drastis dalam bisnisnya. Perlahan, namun pasti, beliau mengalami kebangkrutan. Satu per satu perusahaan miliknya gulung tikar dan berpindah tangan.

Utangnya membesar sehingga simpanan dan depositonya di bank serta properti dan kendaraannya habis untuk menutupi utang-utangnya itu. Jika sebelumnya kata "gagal" dan "rugi" seakan menjauh darinya, kini kedua kata itu seakan lekat dengannya.

Jika sebelumnya gelimang rupiah demikian mudah beliau dapatkan, kini uang recehan pun seakan enggan mendekat kepadanya. Telah berkali-kali, beliau menjajal bangkit, merintis kembali bisnisnya, namun berkali-kali pula beliau gagal. Tumpukan emosi negatif seakan tumpah ruah di otaknya.

Dalam kesusahan hidup yang mengimpit tersebut, beliau mempertanyakan keadilan Tuhan. Saat karam dalam kemaksiatan, begitu gampangnya rezeki didapat, namun setelah meninggalkan kemaksiatan, rezeki pun ikut meninggalkan dirinya.

"Apakah ada yang salah? Ke mana doa-doa yang selama ini beliau panjatkan? Apakah Tuhan tidak mendengar atau tidak sudi mengabulkan doaku? Bukankah Tuhan itu Maha Pengasih dan Penyayang serta akan mengabulkan doa-doa dari setiap hamba-Nya?"

Begitu keluhnya. Memang, di tengah kesusahan itu, kuantitas ibadah kian berlipat-lipat. Namun, itu semua seakan belum cukup untuk mengembalikannya pada "kehidupan normal".

Berkali-kali, beliau mengunjungi ustaz dan kiai untuk meminta doa dan nasihat. Saat diberi doa atau amalan tertentu, beliau akan melaksanakannya dengan sungguh-sungguh. Namun, lagi-lagi seluruhnya rampung dengan kekecewaan. Dia pun mulai mewaspadai para kiai dan ustaz tersebut yang katanya cuma pintar berteori. Mana buktinya?

Di ambang keputusasaan, tunjangan Allah pun tiba lewat salah seorang kenalannya. Dia yakni seorang dosen agama di suatu sekolah tinggi tinggi ternama. Dosen itu tidak membawakannya uang, menampilkan kolaborasi bisnis, atau hal lain yang bersifat materi.

Namun, beliau menjinjing nasihat yang dapat merubah paradigma berpikir mantan usahawan kaya ini. Tidak banyak dalil yang beliau ungkapkan. Dia cuma mengobrol analogi dan perlambang saja.

Katanya, "Seseorang tidak dapat mengisi botol sarat kecap dengan air putih, sebelum kecapnya dibuang apalagi dahulu. Baru setelah itu, kita bisa memasukkan air putih. Itu pun masih ada sisa-sisa kecap yang belum terbuang sehingga air yang kita masukkan masih akan bercampur dan berwarna hitam. Air itu mesti dibuang lagi sehingga botol sungguh-sungguh higienis dari kecap. Baru setelah itu, air yang kita masukkan sungguh-sungguh bening lantaran tidak tercampur lagi dengan kecap. Analoginya, kecap itu yakni harta yang kita miliki dan air putih itu yakni doa dan amal ibadah yang kita lakukan. Antara maksiat dan kebaikan tidak akan mungkin bisa bersatu. Karena itu, dikala seseorang ingin menyucikan dirinya, semua kotoran yang ada dalam diri dan harta mesti dibuang dan dibersihkan. Ada banyak skenario Tuhan untuk 'membersihkan' harta seseorang sehingga harta kotor yang dimilikinya sungguh-sungguh terkuras, mungkin dibangkrutkan usahanya, kena tipu, dan sebagainya. Andaipun seluruhnya sudah terkuras, boleh jadi masih ada kotoran yang masih tersisa dalam diri dan harta. Allah Swt. akan meinbersihkannya dengan penyakit, musibah, atau lainnya, sembari beliau menahan rezeki dari orang itu. Nah, dikala beliau sudah sungguh-sungguh bersih, Allah Swt. akan membukakan jalan rezeki yang halal kepadanya. Yang jadi masalah, apakah kita sabar atau tidak dalam proses pencucian itu?"

Nasihat ini bisa menjawab pertanyaannya selama ini mengenai keadilan Tuhan, mengenai ijabah doa, mengenai makna pertobatannya. Allah Swt. mengambil sebagian besar kekaya-annya bukan lantaran Allah benci, melainkan Allah amat sayang dan cinta terhadap hamba-hamba-Nya yang bertobat.

Sebabnya, bagaimana mungkin mengisikan nasi dan sup yang enak ke dalam mangkuk yang blepotan dengan kotoran. Tentu sungguh bijak jikalau mangkuk itu dibersihkan apalagi dahulu. Begitu pula qada Allah, sebelum menuangkan limpahan rahmat dan ampunan-Nya, beliau akan membersihkan orang tersebut dari jelaga kemaksiatan yang masih hinggap dalam diri dan hartanya.

Beberapa tahun berlalu, mantan usahawan kaya ini sudah berada kembali di jalur kesuksesan bisnisnya. Walau belum sesukses dahulu, gejala ke arah itu sudah mulai terlihat di hadapannya. Ibaratnya, beliau tengah mengisi botol nasibnya dengan air putih kesuksesan setelah beliau menumpahkan hitamnya air kemaksiatan.

Rentetan kegagalan dalam bisnis sudah menjinjing pergantian nyata dalam diri usahawan ini walau sebelumnya beliau nyaris jatuh pada keputusasaan. Filosofi botol kecap yang disampaikan temannya sudah membuka sudut pandang gres terhadap makna cobaan dan makna hidup yang sebenarnya.

Dalam bahasa manajemen, usahawan ini sudah mengalami reinventing atau mendapatkan kembali tujuan hidupnya. Dalam Al Qur'an, ada suatu pertanyaan, fa aina tadzhabun? Ke mana engkau hendak pergi? Satu pertanyaan yang dilontarkan terhadap Nabi Ibrahim menyerupai tertera dalam QS At Takwir, 81: 26.

"Maka ke manakah kau akan pergi?"

Jawabannya ada dalam QS Ash Shaffat, 37: 99, "Dan beliau (Ibrahim) berkata, 'Sesungguhnya saya mesti pergi (mengha-dap) terhadap Tuhanku, beliau akan memberi isyarat kepadaku.'" Artinya, Nabi Ibrahim mendapatkan kembali Allahnya di situ.

Segera bertobat dari suatu dosa ialah fardu yang mesti secepatnya dilaksanakan dan dilarang ditunda-tunda. Barang siapa menangguhkannya, beliau sudah berbuat maksiat. Jadi, jikalau beliau bertobat dari dosa, masih ada tobat lain, yakni tobat dari menunda-nunda tobat. (Ibnul Qayyim Al Jauziyah)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel