Sepuluh Ribu Rupiah
Tuesday, August 21, 2007
Edit
Menjelang shalat Isya, seorang wartawan duduk kecapekan di halaman suatu masjid. Perutnya bertalu-talu lantaran keroncongan. Kepalanya clingak-clinguk mencari tukang jual makanan, tetapi tak kunjung menemukannya. Dari wajahnya, terlihat gurat-gurat kekecewaan.
Usut punya usut, si Wartawan ini tengah kecewa berat lantaran gagal berjumpa dengan seorang tokoh yang mau diwawancarai. Betapa tidak kecewa, sejak siang hari beliau sudah "mengejar-ngejar" tokoh tersebut. Siang hari, mereka perjanjian berjumpa di suatu kantor.
Beberapa di saat sebelum waktu konferensi itu berlangsung, tokoh penting ini secara tiba-tiba membatalkan janji, ada program secara tiba-tiba katanya. Militansinya selaku seorang wartawan untuk mendapatkan informasi sudah menghasilkan lelaki muda ini mengunjungi hotel wilayah si Pejabat meeting. Dua jam lamanya, beliau menunggu. Namun sial, si Pejabat itu keluar dari pintu samping hotel sehingga tidak sempat berjumpa sang Wartawan.
Tidak mau patah arang, beliau secepatnya mencari tahu di mana eksistensi pejabat itu. Dia pun mendapatkan informasi bahwa orang yang dicarinya itu sudah pulang ke rumahnya di suatu kompleks perumahan elite. Tanpa banyak berpikir, sang Wartawan tancap gas. Dengan motornya yang sudah agak butut, beliau mengunjungi perumahan tersebut. Walau mesti tanya sana-tanya sini, karenanya beliau bisa hingga ke tempat tinggal si Pejabat.
"Aduh maaf, Mas, Bapaknya barusan pergi lagi. Ada konferensi lagi katanya. Tapi, Bapak nggak bilang di mananya," kata si penghuni rumah.
Lunglailah kaki si Wartawan. Dia pun pergi. Berkali-kali beliau coba menelepon si pejabat, namun berkali-kali pula ponselnya tidak diangkat. Sudah terbayang di benaknya kalau nanti malam beliau akan ditegur atasannya lantaran tidak dapat mendapatkan berita. Perutnya yang keroncongan seakan memperbesar derita.
Saat duduk di masjid itulah, beliau menyaksikan seorang kakek yang gres saja menunaikan shalat maghrib. Dipandanginya kakek itu. Tampangnya sungguh tidak meyakinkan: tinggi, kurus, jambang putihnya tidak terurus, pakaiannya sungguh sederhana dan sudah luntur warnanya, sandal jepitnya pun sudah butut.
Kakek itu menghampiri suatu tanggungan kayu bakar. Lalu, mengambil topi dan duduk melepas letih takjauh dari wilayah si Wartawan. Kerutan parasnya yang hitam terbakar matahari seakan terlihat semakin mengerut lantaran kelelahan.
"Cep, peryogi suluh henteu? Peserlah suluh anu Bapa, ieu ti enjing-enjing teu acan pajeng!" kata Pak Tua terhadap si Wartawan. Maksudnya, beliau memamerkan kayu bakar yang dibawanya lantaran sejak dari pagi tidak laku-laku.
"Punten Bapa, abdi di Bumi teu nganggo suluh (Maaf Bapak, saya di rumah tidak menggunakan kayu bakar)," jawabnya.
"Oh muhun, teu sawios. Mangga atuh, Bapa tipayun, (Oh iya, nggak apa-apa. Kalau begitu permisi, Bapak duluan)," ujar Pak Tua pedagang kayu bakar itu.
Sebelum Pak Tua itu pergi, si Wartawan secepatnya mengambil dompet. Dilihatnya cuma ada duit sepuluh ribu, satu-satunya, plus beberapa keping duit receh. Itulah hartanya yang tersisa pada hari itu untuk makan dan berbelanja bensin. Namun, semua itu beliau abaikan. Dia berikan duit sepuluh ribu itu terhadap Pak Tua. Walau mulanya menolak, tetapi karenanya beliau mendapatkannya pula.
Sambil menahan tangis haru, Pak Tua berkata, "Hatur nuhun Kasep, tos nulungan Bapak. Mugi-mugi Gusti Alloh ngagentosan kunu langkung ageung (Terima kasih, Cakep, sudah membantu Bapak, agar Gusti Allah mengubahnya dengan yang lebih besar)." Ternyata, Bapak ini sejak pagi belum makan dan tidak mempunyai duit untuk pulang.
Selembar sepuluh ribu sudah merubah segalanya. Dia te-lah sudi memasukkan rasa senang terhadap saudaranya yang tengah kesusahan, Allah Swt. pun pribadi membalasnya dengan memasukkan rasa senang yang berlipat-lipat ke dalam hatinya.
Rasa lapar, penat, dan hati dongkol yang sebelumnya mendominasi dirinya pribadi hilang sirna berganti kelapangan dan kebahagiaan. Uang sepuluh ribu itu sungguh-sungguh mengobrol kepuasan yang sensasinya sulit terlupakan. Dia tidak dapat berkata apa-apa selain dari tetesan air mata bahagia. "Terima kasih, ya Allah, engkau sudah memberiku rezeki sehingga bisa berbagi," gumamnya.
Tak usang kemudian, datanglah karunia yang kedua. Ponselnya tiba-tiba berbunyi, dilihatnya suatu pesan dari atasannya kalau beliau tidak perlu lagi mengejar-ngejar si Pejabat lantaran ada narasumber lain yang lebih kompeten yang siap diwawancara seorang rekannya. Dia cuma memberi penugasan untuk meliput suatu program selamatan di salah satu hotel berbintang.
Karunia Allah yang ketiga pun secepatnya datang. Di sela-sela program liputan di hotel itu, sang Wartawan dipersilakan oleh panitia untuk menikmati santapan glamor yang tersedia sepuasnya. Menjelang pulang, beliau mendapatkan suatu doorprize dan beberapa buah bingkisan selaku ucapan terima kasih dari pihak penyelenggara. "Malam yang indah ...," ujarnya.
Usut punya usut, si Wartawan ini tengah kecewa berat lantaran gagal berjumpa dengan seorang tokoh yang mau diwawancarai. Betapa tidak kecewa, sejak siang hari beliau sudah "mengejar-ngejar" tokoh tersebut. Siang hari, mereka perjanjian berjumpa di suatu kantor.
Beberapa di saat sebelum waktu konferensi itu berlangsung, tokoh penting ini secara tiba-tiba membatalkan janji, ada program secara tiba-tiba katanya. Militansinya selaku seorang wartawan untuk mendapatkan informasi sudah menghasilkan lelaki muda ini mengunjungi hotel wilayah si Pejabat meeting. Dua jam lamanya, beliau menunggu. Namun sial, si Pejabat itu keluar dari pintu samping hotel sehingga tidak sempat berjumpa sang Wartawan.
Tidak mau patah arang, beliau secepatnya mencari tahu di mana eksistensi pejabat itu. Dia pun mendapatkan informasi bahwa orang yang dicarinya itu sudah pulang ke rumahnya di suatu kompleks perumahan elite. Tanpa banyak berpikir, sang Wartawan tancap gas. Dengan motornya yang sudah agak butut, beliau mengunjungi perumahan tersebut. Walau mesti tanya sana-tanya sini, karenanya beliau bisa hingga ke tempat tinggal si Pejabat.
"Aduh maaf, Mas, Bapaknya barusan pergi lagi. Ada konferensi lagi katanya. Tapi, Bapak nggak bilang di mananya," kata si penghuni rumah.
Lunglailah kaki si Wartawan. Dia pun pergi. Berkali-kali beliau coba menelepon si pejabat, namun berkali-kali pula ponselnya tidak diangkat. Sudah terbayang di benaknya kalau nanti malam beliau akan ditegur atasannya lantaran tidak dapat mendapatkan berita. Perutnya yang keroncongan seakan memperbesar derita.
Saat duduk di masjid itulah, beliau menyaksikan seorang kakek yang gres saja menunaikan shalat maghrib. Dipandanginya kakek itu. Tampangnya sungguh tidak meyakinkan: tinggi, kurus, jambang putihnya tidak terurus, pakaiannya sungguh sederhana dan sudah luntur warnanya, sandal jepitnya pun sudah butut.
Kakek itu menghampiri suatu tanggungan kayu bakar. Lalu, mengambil topi dan duduk melepas letih takjauh dari wilayah si Wartawan. Kerutan parasnya yang hitam terbakar matahari seakan terlihat semakin mengerut lantaran kelelahan.
"Cep, peryogi suluh henteu? Peserlah suluh anu Bapa, ieu ti enjing-enjing teu acan pajeng!" kata Pak Tua terhadap si Wartawan. Maksudnya, beliau memamerkan kayu bakar yang dibawanya lantaran sejak dari pagi tidak laku-laku.
"Punten Bapa, abdi di Bumi teu nganggo suluh (Maaf Bapak, saya di rumah tidak menggunakan kayu bakar)," jawabnya.
"Oh muhun, teu sawios. Mangga atuh, Bapa tipayun, (Oh iya, nggak apa-apa. Kalau begitu permisi, Bapak duluan)," ujar Pak Tua pedagang kayu bakar itu.
Sebelum Pak Tua itu pergi, si Wartawan secepatnya mengambil dompet. Dilihatnya cuma ada duit sepuluh ribu, satu-satunya, plus beberapa keping duit receh. Itulah hartanya yang tersisa pada hari itu untuk makan dan berbelanja bensin. Namun, semua itu beliau abaikan. Dia berikan duit sepuluh ribu itu terhadap Pak Tua. Walau mulanya menolak, tetapi karenanya beliau mendapatkannya pula.
Sambil menahan tangis haru, Pak Tua berkata, "Hatur nuhun Kasep, tos nulungan Bapak. Mugi-mugi Gusti Alloh ngagentosan kunu langkung ageung (Terima kasih, Cakep, sudah membantu Bapak, agar Gusti Allah mengubahnya dengan yang lebih besar)." Ternyata, Bapak ini sejak pagi belum makan dan tidak mempunyai duit untuk pulang.
Selembar sepuluh ribu sudah merubah segalanya. Dia te-lah sudi memasukkan rasa senang terhadap saudaranya yang tengah kesusahan, Allah Swt. pun pribadi membalasnya dengan memasukkan rasa senang yang berlipat-lipat ke dalam hatinya.
Rasa lapar, penat, dan hati dongkol yang sebelumnya mendominasi dirinya pribadi hilang sirna berganti kelapangan dan kebahagiaan. Uang sepuluh ribu itu sungguh-sungguh mengobrol kepuasan yang sensasinya sulit terlupakan. Dia tidak dapat berkata apa-apa selain dari tetesan air mata bahagia. "Terima kasih, ya Allah, engkau sudah memberiku rezeki sehingga bisa berbagi," gumamnya.
Tak usang kemudian, datanglah karunia yang kedua. Ponselnya tiba-tiba berbunyi, dilihatnya suatu pesan dari atasannya kalau beliau tidak perlu lagi mengejar-ngejar si Pejabat lantaran ada narasumber lain yang lebih kompeten yang siap diwawancara seorang rekannya. Dia cuma memberi penugasan untuk meliput suatu program selamatan di salah satu hotel berbintang.
Karunia Allah yang ketiga pun secepatnya datang. Di sela-sela program liputan di hotel itu, sang Wartawan dipersilakan oleh panitia untuk menikmati santapan glamor yang tersedia sepuasnya. Menjelang pulang, beliau mendapatkan suatu doorprize dan beberapa buah bingkisan selaku ucapan terima kasih dari pihak penyelenggara. "Malam yang indah ...," ujarnya.
Walau respon untuk kebaikan dan kejahatan itu dijanjikan Tuhan pada hari kebangkitan, tetap saja timbul suatu kondisi yang mewakili respon itu. Apabila insan bergembira di dalam hatinya, itu yakni respon alasannya sudah menghasilkan orang lain bahagia.
Apabila sedih, itulah respon alasannya sudah menghasilkan orang lain sedih.
Terdapat suatu bentuk respon selaku pemisah hari kebangkitan. (Jalaluddin Rumi)