Cinta Seorang Anak Gembala
Saturday, August 11, 2007
Edit
Pada zaman dahulu, hidup seorang gembala yang bergairah bebas. la tidak punya duit dan tidak punya kesempatan untuk memilikinya. Yang ia miliki hanyalah hati yang lembut dan sarat keikhlasan; hati yang berdetak dengan kecintaan terhadap Tuhan.
Sepanjang hari, ia menggembalakan ternaknya melalui lembah dan ladang melagukan jeritan hatinya terhadap Tuhan yang dicintainya, "Duhai Pangeran tercinta, di manakah Engkau, biar saya sanggup persembahkan seluruh hidupku kepada-Mu? Di manakah Engkau, biar saya sanggup menghambakan diriku pada-Mu? Wahai Tuhan, untuk-Mu saya hidup dan bernapas. Karena berkat-Mu saya hidup. Aku ingin mengorbankan domba-Ku ke hadapan kemuliaan-Mu."
Suatu hari, Nabi Musa melalui padang gembalaan tersebut. la memperhatikan sang Gembala yang sedang duduk di tengah ternaknya dengan kepala yang mendongak ke langit. Sang gembala menyapa Tuhan, "Ah, di manakah Engkau, biar saya sanggup menjahit baju-Mu, memperbaiki kasur-Mu, dan merencanakan ranjang-Mu? Di manakah Engkau, biar saya sanggup menyisir rambut-Mu dan mencium kaki-Mu? Di manakah Engkau, biar saya sanggup mengilapkan sepatu-Mu dan membawakan air susu untuk minuman-Mu?"
Musa mendekati hati yang lembut dan sarat keikhlasan; hati yang berdetak dengan kecintaan terhadap Tuhan.
Sepanjang hari, ia menggembalakan ternaknya melalui lembah dan ladang melagukan jeritan hatinya terhadap Tuhan yang dicintainya, "Duhai Pangeran tercinta, di manakah Engkau, biar saya sanggup persembahkan seluruh hidupku kepada-Mu? Di manakah Engkau, biar saya sanggup menghambakan diriku pada-Mu? Wahai Tuhan, untuk-Mu saya hidup dan bernapas. Karena berkat-Mu saya hidup. Aku ingin mengorbankan domba-Ku ke hadapan kemuliaan-Mu."
Suatu hari, Nabi gembala itu dan bertanya, "Dengan siapa kau berbicara?"
Gembala menjawab, "Dengan Dia yang sudah bikin kita. Dengan Dia yang menjadi Tuhan yang menguasai siang dan malam, Bumi dan langit."
Nabi Musa murka mendengar jawaban gembala itu, "Betapa beraninya kau bicara terhadap Tuhan menyerupai itu! Apa yang kau ucapkan yaitu kekafiran. Kamu mesti menyumbat mulutmu dengan kapas biar kau sanggup mengontrol lidahmu. Atau paling tidak, orang yang mendengarmu tidak menjadi marah dan tersinggung dengan kata-katamu yang sudah meracuni seluruh angkasa ini. Kau mesti berhenti bicara menyerupai itu kini juga lantaran nanti Tuhan akan menghukum seluruh penduduk bumi ini respon dosa-dosamu!"
Sang Gembala secepatnya bangun setelah mengenali bahwa yang mengajaknya bicara yaitu seorang nabi. Ia bergetar ketakutan.
Dengan air mata yang mengalir membasahi pipinya, ia menyimak Nabi Musa yang terus berkata, "Apakah Tuhan yaitu seorang insan biasa sehingga Ia mesti memakai sepatu dan ganjal kaki? Apakah Tuhan seorang anak kecil yang membutuhkan susu biar Ia berkembang besar? Tentu saja tidak. Tuhan Maha tepat di dalam diri-Nya. Tuhan tidak membutuhkan siapa pun. Dengan mengatakan terhadap Tuhan menyerupai yang sudah engkau lakukan, engkau bukan saja sudah merendahkan dirimu, tapi kau juga merendahkan seluruh ciptaan Tuhan. Kau tidak lain dari seorang penghujat agama. Ayo, pergi dan minta maaf, apabila kau masih mempunyai otak yang sehat!"
Gembala yang sederhana itu tidak memahami bahwa apa yang ia sampaikan terhadap Tuhan yaitu kata-kata yang kasar. Dia juga takmengerti mengapa nabi yang mulia sudah memanggilnya selaku seorang hati yang lembut dan sarat keikhlasan; hati yang berdetak dengan kecintaan terhadap Tuhan.
Sepanjang hari, ia menggembalakan ternaknya melalui lembah dan ladang melagukan jeritan hatinya terhadap Tuhan yang dicintainya, "Duhai Pangeran tercinta, di manakah Engkau, biar saya sanggup persembahkan seluruh hidupku kepada-Mu? Di manakah Engkau, biar saya sanggup menghambakan diriku pada-Mu? Wahai Tuhan, untuk-Mu saya hidup dan bernapas. Karena berkat-Mu saya hidup. Aku ingin mengorbankan domba-Ku ke hadapan kemuliaan-Mu."
Suatu hari, Nabi musuh, tapi ia tahu betul bahwa seorang nabi pastilah lebih mengenali dibandingkan dengan siapa pun. Ia nyaris tak sanggup menahan tangisannya.
Ia berkata terhadap Musa, "Kau sudah menyalakan api di dalam jiwaku. Sejak ini, saya berjanji akan menutup mulutku untuk selamanya." Dengan ganjalan yang panjang, ia berangkat meninggalkan ternaknya menuju padang pasir.
Dengan perasaan senang alasannya yaitu sudah meluruskan jiwa yang tersesat, Musa melanjutkan perjalanannya menuju kota. Tiba-tiba, Allah Yang Mahakuasa menegurnya, "Mengapa engkau berdiri di antara Kami dengan kekasih Kami yang setia? Mengapa engkau pisahkan pecinta dari yang dicintai-nya? Kami sudah menyuruh engkau biar engkau sanggup memadukan kekasih dengan kekasihnya, bukan memisahkan ikatan di antaranya."
Musa menyimak kata-kata langit itu dengan sarat kerendahan dan rasa takut.
Tuhan berfirman, "Kami tidak bikin dunia biar Kami menemukan laba darinya. Seluruh makhluk diciptakan untuk kepentingan makhluk itu sendiri. Kami tidak membutuhkan kebanggaan atau sanjungan. Kami tidak membutuhkan ibadah atau pengabdian. Orang-orang yang beribadah itulah yang mengambil laba dari ibadah yang mereka lakukan. Ingatlah, bahwa di dalam cinta, kata-kata hanyalah kemasan luar yang tidak mempunyai makna apa-apa. Kami tidak memperhatikan keindahan kata-kata atau komposisi kalimat. Yang Kami amati yaitu lubuk hati yang paling dalam dari orang itu. Dengan cara itulah Kami mengenali ketulusan makhluk Kami meskipun kata-kata mereka bukan kata-kata yang indah. Buat mereka yang dibakar dengan api cinta, kata-kata tidak mempunyai makna."
Suara dari langit berikutnya berkata, "Mereka yang ter-ikat dengan basa-basi bukanlah mereka yang terikat dengan cinta dan umatyang beragama bukanlah umatyang mengikuti cinta lantaran cinta tidak mempunyai agama selain kekasihnya sendiri." Tuhan lalu mengajarinya diam-diam cinta.
Setelah menemukan pelajaran itu, Nabi Musa memahami kesalahannya. Sang Nabi pun merasa menderita penyesalan yang luar biasa. Dengan segera, ia berlari mencari gembala itu untuk meminta maaf. Berhari-hari, ia berkelana di padang rumput dan gurun pasir, menanyakan orang-orang apakah mereka mengenali pengggembala yang dicarinya.
Setiap orang yang ditanyainya menunjuk arah yang berbeda. Hampir, ia kehilangan harapan, tapi alhasil Allah Swt. mempertemukannya dengan gembala itu. Ia tengah duduk di erat mata air. Pakaiannya compang-camping, rambutnya kusut masai. Ia berada di tengah tafakur yang dalam sehingga ia tidak memperhatikan Musa yang sudah menunggunya cukup lama.
Akhirnya, gembala itu mengangkat kepalanya dan menyaksikan Nabi Musa.
Musa berkata, "Aku punya pesan penting untukmu. Tuhan sudah berfirman kepadaku bahwa tidak dikehendaki kata-kata yang indah bila kita ingin mengatakan kepada-Nya. Kamu bebas mengatakan kepada-Nya dengan cara apa pun yang kau sukai, dengan kata-kata apa pun yang kau pilih. Apa yang saya duga selaku kekafiranmu ternyata yaitu ungkapan dari keimanan dan kecintaan yang menyelamatkan dunia."
Sang Gembala cuma menjawab sederhana, "Aku sudah melalui tahap kata-kata dan kalimat. Hatiku kini dipenuhi dengan kehadiran-Nya. Aku takdapat menerangkan keadaanku padamu dan kata-kata pun tak sanggup melukiskan pengalaman ruhani yang ada dalam hatiku." Kemudian, ia bangun dan meninggalkan Nabi Musa.
Utusan Allah ini memandang sang Gembala hingga ia tak terlihat lagi. Setelah itu, ia kembali berlangsung ke kota terdekat, merenungkan pelajaran bermanfaat yang didapatnya dari seorang gembala sederhana yang tidak berpendidikan.
Sepanjang hari, ia menggembalakan ternaknya melalui lembah dan ladang melagukan jeritan hatinya terhadap Tuhan yang dicintainya, "Duhai Pangeran tercinta, di manakah Engkau, biar saya sanggup persembahkan seluruh hidupku kepada-Mu? Di manakah Engkau, biar saya sanggup menghambakan diriku pada-Mu? Wahai Tuhan, untuk-Mu saya hidup dan bernapas. Karena berkat-Mu saya hidup. Aku ingin mengorbankan domba-Ku ke hadapan kemuliaan-Mu."
Suatu hari, Nabi Musa melalui padang gembalaan tersebut. la memperhatikan sang Gembala yang sedang duduk di tengah ternaknya dengan kepala yang mendongak ke langit. Sang gembala menyapa Tuhan, "Ah, di manakah Engkau, biar saya sanggup menjahit baju-Mu, memperbaiki kasur-Mu, dan merencanakan ranjang-Mu? Di manakah Engkau, biar saya sanggup menyisir rambut-Mu dan mencium kaki-Mu? Di manakah Engkau, biar saya sanggup mengilapkan sepatu-Mu dan membawakan air susu untuk minuman-Mu?"
Musa mendekati hati yang lembut dan sarat keikhlasan; hati yang berdetak dengan kecintaan terhadap Tuhan.
Sepanjang hari, ia menggembalakan ternaknya melalui lembah dan ladang melagukan jeritan hatinya terhadap Tuhan yang dicintainya, "Duhai Pangeran tercinta, di manakah Engkau, biar saya sanggup persembahkan seluruh hidupku kepada-Mu? Di manakah Engkau, biar saya sanggup menghambakan diriku pada-Mu? Wahai Tuhan, untuk-Mu saya hidup dan bernapas. Karena berkat-Mu saya hidup. Aku ingin mengorbankan domba-Ku ke hadapan kemuliaan-Mu."
Suatu hari, Nabi gembala itu dan bertanya, "Dengan siapa kau berbicara?"
Gembala menjawab, "Dengan Dia yang sudah bikin kita. Dengan Dia yang menjadi Tuhan yang menguasai siang dan malam, Bumi dan langit."
Nabi Musa murka mendengar jawaban gembala itu, "Betapa beraninya kau bicara terhadap Tuhan menyerupai itu! Apa yang kau ucapkan yaitu kekafiran. Kamu mesti menyumbat mulutmu dengan kapas biar kau sanggup mengontrol lidahmu. Atau paling tidak, orang yang mendengarmu tidak menjadi marah dan tersinggung dengan kata-katamu yang sudah meracuni seluruh angkasa ini. Kau mesti berhenti bicara menyerupai itu kini juga lantaran nanti Tuhan akan menghukum seluruh penduduk bumi ini respon dosa-dosamu!"
Sang Gembala secepatnya bangun setelah mengenali bahwa yang mengajaknya bicara yaitu seorang nabi. Ia bergetar ketakutan.
Dengan air mata yang mengalir membasahi pipinya, ia menyimak Nabi Musa yang terus berkata, "Apakah Tuhan yaitu seorang insan biasa sehingga Ia mesti memakai sepatu dan ganjal kaki? Apakah Tuhan seorang anak kecil yang membutuhkan susu biar Ia berkembang besar? Tentu saja tidak. Tuhan Maha tepat di dalam diri-Nya. Tuhan tidak membutuhkan siapa pun. Dengan mengatakan terhadap Tuhan menyerupai yang sudah engkau lakukan, engkau bukan saja sudah merendahkan dirimu, tapi kau juga merendahkan seluruh ciptaan Tuhan. Kau tidak lain dari seorang penghujat agama. Ayo, pergi dan minta maaf, apabila kau masih mempunyai otak yang sehat!"
Gembala yang sederhana itu tidak memahami bahwa apa yang ia sampaikan terhadap Tuhan yaitu kata-kata yang kasar. Dia juga takmengerti mengapa nabi yang mulia sudah memanggilnya selaku seorang hati yang lembut dan sarat keikhlasan; hati yang berdetak dengan kecintaan terhadap Tuhan.
Sepanjang hari, ia menggembalakan ternaknya melalui lembah dan ladang melagukan jeritan hatinya terhadap Tuhan yang dicintainya, "Duhai Pangeran tercinta, di manakah Engkau, biar saya sanggup persembahkan seluruh hidupku kepada-Mu? Di manakah Engkau, biar saya sanggup menghambakan diriku pada-Mu? Wahai Tuhan, untuk-Mu saya hidup dan bernapas. Karena berkat-Mu saya hidup. Aku ingin mengorbankan domba-Ku ke hadapan kemuliaan-Mu."
Suatu hari, Nabi musuh, tapi ia tahu betul bahwa seorang nabi pastilah lebih mengenali dibandingkan dengan siapa pun. Ia nyaris tak sanggup menahan tangisannya.
Ia berkata terhadap Musa, "Kau sudah menyalakan api di dalam jiwaku. Sejak ini, saya berjanji akan menutup mulutku untuk selamanya." Dengan ganjalan yang panjang, ia berangkat meninggalkan ternaknya menuju padang pasir.
Dengan perasaan senang alasannya yaitu sudah meluruskan jiwa yang tersesat, Musa melanjutkan perjalanannya menuju kota. Tiba-tiba, Allah Yang Mahakuasa menegurnya, "Mengapa engkau berdiri di antara Kami dengan kekasih Kami yang setia? Mengapa engkau pisahkan pecinta dari yang dicintai-nya? Kami sudah menyuruh engkau biar engkau sanggup memadukan kekasih dengan kekasihnya, bukan memisahkan ikatan di antaranya."
Musa menyimak kata-kata langit itu dengan sarat kerendahan dan rasa takut.
Tuhan berfirman, "Kami tidak bikin dunia biar Kami menemukan laba darinya. Seluruh makhluk diciptakan untuk kepentingan makhluk itu sendiri. Kami tidak membutuhkan kebanggaan atau sanjungan. Kami tidak membutuhkan ibadah atau pengabdian. Orang-orang yang beribadah itulah yang mengambil laba dari ibadah yang mereka lakukan. Ingatlah, bahwa di dalam cinta, kata-kata hanyalah kemasan luar yang tidak mempunyai makna apa-apa. Kami tidak memperhatikan keindahan kata-kata atau komposisi kalimat. Yang Kami amati yaitu lubuk hati yang paling dalam dari orang itu. Dengan cara itulah Kami mengenali ketulusan makhluk Kami meskipun kata-kata mereka bukan kata-kata yang indah. Buat mereka yang dibakar dengan api cinta, kata-kata tidak mempunyai makna."
Suara dari langit berikutnya berkata, "Mereka yang ter-ikat dengan basa-basi bukanlah mereka yang terikat dengan cinta dan umatyang beragama bukanlah umatyang mengikuti cinta lantaran cinta tidak mempunyai agama selain kekasihnya sendiri." Tuhan lalu mengajarinya diam-diam cinta.
Setelah menemukan pelajaran itu, Nabi Musa memahami kesalahannya. Sang Nabi pun merasa menderita penyesalan yang luar biasa. Dengan segera, ia berlari mencari gembala itu untuk meminta maaf. Berhari-hari, ia berkelana di padang rumput dan gurun pasir, menanyakan orang-orang apakah mereka mengenali pengggembala yang dicarinya.
Setiap orang yang ditanyainya menunjuk arah yang berbeda. Hampir, ia kehilangan harapan, tapi alhasil Allah Swt. mempertemukannya dengan gembala itu. Ia tengah duduk di erat mata air. Pakaiannya compang-camping, rambutnya kusut masai. Ia berada di tengah tafakur yang dalam sehingga ia tidak memperhatikan Musa yang sudah menunggunya cukup lama.
Akhirnya, gembala itu mengangkat kepalanya dan menyaksikan Nabi Musa.
Musa berkata, "Aku punya pesan penting untukmu. Tuhan sudah berfirman kepadaku bahwa tidak dikehendaki kata-kata yang indah bila kita ingin mengatakan kepada-Nya. Kamu bebas mengatakan kepada-Nya dengan cara apa pun yang kau sukai, dengan kata-kata apa pun yang kau pilih. Apa yang saya duga selaku kekafiranmu ternyata yaitu ungkapan dari keimanan dan kecintaan yang menyelamatkan dunia."
Sang Gembala cuma menjawab sederhana, "Aku sudah melalui tahap kata-kata dan kalimat. Hatiku kini dipenuhi dengan kehadiran-Nya. Aku takdapat menerangkan keadaanku padamu dan kata-kata pun tak sanggup melukiskan pengalaman ruhani yang ada dalam hatiku." Kemudian, ia bangun dan meninggalkan Nabi Musa.
Utusan Allah ini memandang sang Gembala hingga ia tak terlihat lagi. Setelah itu, ia kembali berlangsung ke kota terdekat, merenungkan pelajaran bermanfaat yang didapatnya dari seorang gembala sederhana yang tidak berpendidikan.
Doa sejati yang paling tinggi yaitu perenungan Tuhan dengan kalbu yang murni, yang terlepas dari semua kehendak keduniawian, tidak terpaku pada sikap-sikap jasmaniah, tapi dengan gerak-gerik jiwa. (Ibnu Sina)