Buah Doa Dan Kesungguhan
Monday, August 20, 2007
Edit
Seorang santri yang sungguh bersungguh-sungguh mengaji di suatu surau di Ranah Minang sana memiliki satu mimpi dan mimpi itu terus saja menyambanginya, hampir saban hari ia ingin berhaji! Dalam benak dan nalar sehatnya, rancangan bisa bukan memiliki arti finansial atau keuangan semata, tapi juga bisa dalam hal potensi.
Dia potensial dan sudah berupaya menuntut ilmu agar ilmu itu sanggup membimbingnya dalam beribadah, ter-masuk berhaji. Dia pun sungguh percaya bahwa Allah akan menolong hamba-Nya yang berdoa dan bersungguh-sungguh kepada-Nya. Dia pun dengan tekun mempelajari banyak sekali ragam bahasa.
Dia pelajari pula banyak sekali kemampuan hidup, menyerupai mengolah makanan dan mengenal etika istiadat banyak sekali bangsa. Tak luput, pula ia pelajari ilmu berniaga dan berwirausaha. Akhirnya, pada usia yang kedua puluh tahun, waktu yang dinantinya pun tiba: ia akan mengawali perjalanan hajinya.
Banyak orang mencibir, bahkan pihak keluarga pun turut mempertanyakan tekadnya itu. Maklum, mereka menyadari bahwa mereka bukanlah keluarga yang berkecukupan. Apakah dengan bekal yang seadanya itu ia akan sanggup meraih Tanah Suci sesuai dengan yang diharapkan?
Diiringi keraguan kaum kerabat, ninik mamak, dan handai taulan, berangkatlah ia menuju Malaka, suatu negeri di Semenanjung Malaysia. Dia menghabiskan waktu dua tahun untuk melakukan pekerjaan dan berwirausaha. Lalu, negeri India dijelajahinya, kemudian Pakistan, Afghanistan, dan jadinya tibalah ia di Teheran, ibu kota Iran. Seorang gadis Parsi dinikahinya dan bersama, mereka mencari peruntungan di Isfahan. Pada tahun kelima, setelah keberangkatannya dari terminal Batu Sangkar, tibalah ia di gerbang Kota Mekah.
Bagi siapa yang meyakini Allah akan membantunya, tidak ada hal di dunia ini yang tidak mungkin. Syaratnya mudah saja, lillahi ta'ala, berdoa, dan berusaha.
Dia potensial dan sudah berupaya menuntut ilmu agar ilmu itu sanggup membimbingnya dalam beribadah, ter-masuk berhaji. Dia pun sungguh percaya bahwa Allah akan menolong hamba-Nya yang berdoa dan bersungguh-sungguh kepada-Nya. Dia pun dengan tekun mempelajari banyak sekali ragam bahasa.
Dia pelajari pula banyak sekali kemampuan hidup, menyerupai mengolah makanan dan mengenal etika istiadat banyak sekali bangsa. Tak luput, pula ia pelajari ilmu berniaga dan berwirausaha. Akhirnya, pada usia yang kedua puluh tahun, waktu yang dinantinya pun tiba: ia akan mengawali perjalanan hajinya.
Banyak orang mencibir, bahkan pihak keluarga pun turut mempertanyakan tekadnya itu. Maklum, mereka menyadari bahwa mereka bukanlah keluarga yang berkecukupan. Apakah dengan bekal yang seadanya itu ia akan sanggup meraih Tanah Suci sesuai dengan yang diharapkan?
Diiringi keraguan kaum kerabat, ninik mamak, dan handai taulan, berangkatlah ia menuju Malaka, suatu negeri di Semenanjung Malaysia. Dia menghabiskan waktu dua tahun untuk melakukan pekerjaan dan berwirausaha. Lalu, negeri India dijelajahinya, kemudian Pakistan, Afghanistan, dan jadinya tibalah ia di Teheran, ibu kota Iran. Seorang gadis Parsi dinikahinya dan bersama, mereka mencari peruntungan di Isfahan. Pada tahun kelima, setelah keberangkatannya dari terminal Batu Sangkar, tibalah ia di gerbang Kota Mekah.
Bagi siapa yang meyakini Allah akan membantunya, tidak ada hal di dunia ini yang tidak mungkin. Syaratnya mudah saja, lillahi ta'ala, berdoa, dan berusaha.
Siapa mengarahkan diripada sesuatu, ia akan memperhatikannya.
Siapa memperhatikannya, ia akan bersungguh-sungguh untuk mengetahuinya.
Siapa bersungguh-sungguh, ia akan mencurahkan tenaga untuk menjangkau manfaatnya. Dan siapa menjangkau manfaatnya, ia akan senantiasa bersamanya.
(Luqman Al Hakim)