Jamu Prabayar
Monday, August 13, 2007
Edit
Suatu malam, seorang pedagang jamu yang sudah lima tahun menjanda sebab ditinggal mati suaminya dihadiri oleh anak perempuannya yang sulung. Anak ini menyodorkan bahwa besok merupakan hari terakhir pembayaran duit bangunan dan SPP.
Jika hingga besok tunggakan duit bangunan dan duit sekolah tidak dilunasi, beliau akan dikeluarkan dari sekolah. Ibu pedagang jamu ini terkejut mendengarnya. Sesaat, seolah dunia menjadi gelap. Dia kebingungan dan tak tahu mesti berbuat apa. Ketika keterkejutan mulai mereda, beliau diempaskan lagi oleh gelombang kekagetan selanjutnya di saat si anak menyebutkan sejumlah angka selaku total tunggakannya.
Napas sang Ibu secepatnya saja menderu, keringat hambar mulai meleleh di keningnya, tangannya gemetar, dan suaranya menjadi lirih terputus-putus. Yang sanggup beliau ucapkan cuma mengulang nilai duit yang sudah disebutkan anaknya.
Tanpa sanggup menampilkan akad muluk-muluk terhadap anak-nya, perempuan pedagang jamu itu beranjak ke kawasan tidur untuk beristirahat sejenak. Akan tetapi, alih-alih sanggup neraka dunia. Rasa tertekan itu memang menghancurkan. Dia merubah warna dari semula yang kolam bianglala menjadi hegemoni tunggal hitam belaka.
Namun, dengan sisa tenaga yang ada, beliau terus mencoba, dan hasilnya pada rumah kelima, proposalnya diterima. Tepat pukul dua, beliau sudah duduk di depan meja petugas tata jerih payah sekolah anaknya. Enam lembar duit lima puluh ribuan pun berpindah tangan dan secepatnya bertukar dengan selembar kertas kuitansi. Selembar kertas kumal yang baginya terlihat seindah Pulau Bali.
Jika hingga besok tunggakan duit bangunan dan duit sekolah tidak dilunasi, beliau akan dikeluarkan dari sekolah. Ibu pedagang jamu ini terkejut mendengarnya. Sesaat, seolah dunia menjadi gelap. Dia kebingungan dan tak tahu mesti berbuat apa. Ketika keterkejutan mulai mereda, beliau diempaskan lagi oleh gelombang kekagetan selanjutnya di saat si anak menyebutkan sejumlah angka selaku total tunggakannya.
Napas sang Ibu secepatnya saja menderu, keringat hambar mulai meleleh di keningnya, tangannya gemetar, dan suaranya menjadi lirih terputus-putus. Yang sanggup beliau ucapkan cuma mengulang nilai duit yang sudah disebutkan anaknya.
Tanpa sanggup menampilkan akad muluk-muluk terhadap anak-nya, perempuan pedagang jamu itu beranjak ke kawasan tidur untuk beristirahat sejenak. Akan tetapi, alih-alih sanggup neraka dunia. Rasa tertekan itu memang menghancurkan. Dia merubah warna dari semula yang kolam bianglala menjadi hegemoni tunggal hitam belaka.
Namun, dengan sisa tenaga yang ada, beliau terus mencoba, dan hasilnya pada rumah kelima, proposalnya diterima. Tepat pukul dua, beliau sudah duduk di depan meja petugas tata jerih payah sekolah anaknya. Enam lembar duit lima puluh ribuan pun berpindah tangan dan secepatnya bertukar dengan selembar kertas kuitansi. Selembar kertas kumal yang baginya terlihat seindah Pulau Bali.
Barang siapa hatinya dihadirkan oleh Allah kala berdoa, tentu doa itu tidak akan ditolak. (Yahya bin Mu'adz Ar Razi)