Dibalik Daun-Daun Yang Berserakan
Saturday, August 18, 2007
Edit
Dahulu, di suatu kota di Madura, ada seorang nenek pedagang bunga cempaka. Ia memasarkan bunganya di pasar sehabis berlangsung kaki cukup jauh. Usai berjualan, Ia pergi ke Masjid Agung di kota itu. Ia berwudu, masuk masjid, dan shalat Dhuhur.
Setelah membaca wirid dan doa sekadarnya, nenek tersebut keluar masjid, kemudian membungkuk-bungkuk di halaman. Ia menghimpun dedaunan yang berceceraan. Selembar demi selembar dikaisnya, tidak satu lembar pun ia lewatkan.
Tentu saja butuh waktu usang untuk membersihkan halaman masjid dari dedaunan yang jatuh dari pohon dengan cara menyerupai itu. Padahal, bila tengah hari, sengatan matahari di Madura sangat menyengat. Keringat pun mengucur dari badan yang kurus dan mulai ringkih itu.
Banyak hadirin masjid yang merasa iba kepadanya. Hingga suatu hari, takmir masjid tentukan untuk membersihkan dedaunan itu sebelum si nenek datang. Pada hari itu, ia tiba dan pribadi masuk masjid. Usai menunaikan shalat, saat hendak mengerjakan pekerjaan rutinnya, ia terkejut.
Tidak ada satu pun daun terserak di situ. Ia kembali lagi ke masjid dan kemudian menangis. Ia mempertanyakan mengapa daun-daun itu sudah disapukan sebelum kedatangannya. Orang-orang pun menerangkan bahwa mereka kasihan kepadanya. "Jika kalian kasihan kepadaku," kata nenek itu, "berikan saya peluang untuk membersihkannya."
Singkat cerita, nenek itu dibiarkan menghimpun daun-daun yang awut-awutan menyerupai biasa. Seorang kiai yang terhormat diminta untuk menanyakan terhadap wanita bau tanah itu mengapa ia begitu bergairah membersihkan daun-daun di halaman masjid.
Ia pun mau menerangkan sebabnya dengan dua syarat; pertama, cuma Pak Kiai yang menyimak rahasianya; kedua, diam-diam itu dihentikan disebarkan saat ia masih hidup. Sekarang, ia sudah meninggal, dan kita bisa menyimak diam-diam itu.
"Saya ini wanita bodoh, Pak Kiai," tuturnya. "Saya tahu amal-amal saya yang kecil itu mungkin juga tidak benar saya jalankan. Saya tidak mungkin selamat pada hari simpulan zaman tanpa syafaat Kanjeng Rasulullah.
Setiap kali saya mengambil selembar daun, saya ucapkan satu shalawat terhadap Rasulullah. Kelak bila saya mati, saya ingin Kanjeng Nabi menjemput saya. Biarlah semua daun itu bersaksi bahwa saya sudah membacakan shalawat kepadanya."
Begitulah, saat seseorang menyayangi Nabinya, ia akan mencari seribu satu cara biar bisa menyalurkan rasa cinta itu. Nenek renta ini bukanlah seorang ulama terkenal, ia hanyalah seorang pedagang bunga cempaka.
Tidak banyak kata dalam kamus kehidupannya untuk mengungkapkan kerinduannya terhadap Rasulullah. Namun, dengan kesederhanaan yang begitu jernih dan berbalut keikhlasan, ia sudah bisa menginspirasi banyak orang untuk mempertanyakan sejauh mana kecintaannya terhadap Al Musthafa, Rasulullah saw.
Setelah membaca wirid dan doa sekadarnya, nenek tersebut keluar masjid, kemudian membungkuk-bungkuk di halaman. Ia menghimpun dedaunan yang berceceraan. Selembar demi selembar dikaisnya, tidak satu lembar pun ia lewatkan.
Tentu saja butuh waktu usang untuk membersihkan halaman masjid dari dedaunan yang jatuh dari pohon dengan cara menyerupai itu. Padahal, bila tengah hari, sengatan matahari di Madura sangat menyengat. Keringat pun mengucur dari badan yang kurus dan mulai ringkih itu.
Banyak hadirin masjid yang merasa iba kepadanya. Hingga suatu hari, takmir masjid tentukan untuk membersihkan dedaunan itu sebelum si nenek datang. Pada hari itu, ia tiba dan pribadi masuk masjid. Usai menunaikan shalat, saat hendak mengerjakan pekerjaan rutinnya, ia terkejut.
Tidak ada satu pun daun terserak di situ. Ia kembali lagi ke masjid dan kemudian menangis. Ia mempertanyakan mengapa daun-daun itu sudah disapukan sebelum kedatangannya. Orang-orang pun menerangkan bahwa mereka kasihan kepadanya. "Jika kalian kasihan kepadaku," kata nenek itu, "berikan saya peluang untuk membersihkannya."
Singkat cerita, nenek itu dibiarkan menghimpun daun-daun yang awut-awutan menyerupai biasa. Seorang kiai yang terhormat diminta untuk menanyakan terhadap wanita bau tanah itu mengapa ia begitu bergairah membersihkan daun-daun di halaman masjid.
Ia pun mau menerangkan sebabnya dengan dua syarat; pertama, cuma Pak Kiai yang menyimak rahasianya; kedua, diam-diam itu dihentikan disebarkan saat ia masih hidup. Sekarang, ia sudah meninggal, dan kita bisa menyimak diam-diam itu.
"Saya ini wanita bodoh, Pak Kiai," tuturnya. "Saya tahu amal-amal saya yang kecil itu mungkin juga tidak benar saya jalankan. Saya tidak mungkin selamat pada hari simpulan zaman tanpa syafaat Kanjeng Rasulullah.
Setiap kali saya mengambil selembar daun, saya ucapkan satu shalawat terhadap Rasulullah. Kelak bila saya mati, saya ingin Kanjeng Nabi menjemput saya. Biarlah semua daun itu bersaksi bahwa saya sudah membacakan shalawat kepadanya."
Begitulah, saat seseorang menyayangi Nabinya, ia akan mencari seribu satu cara biar bisa menyalurkan rasa cinta itu. Nenek renta ini bukanlah seorang ulama terkenal, ia hanyalah seorang pedagang bunga cempaka.
Tidak banyak kata dalam kamus kehidupannya untuk mengungkapkan kerinduannya terhadap Rasulullah. Namun, dengan kesederhanaan yang begitu jernih dan berbalut keikhlasan, ia sudah bisa menginspirasi banyak orang untuk mempertanyakan sejauh mana kecintaannya terhadap Al Musthafa, Rasulullah saw.