Berhaji Sebab Menangguhkan Haji
Tuesday, August 21, 2007
Edit
Setelah sekian usang menabung, menghimpun lembar demi lembar rupiah dari hasil berjualan, terkumpullah dalam simpanan Pak Ahmad sejumlah duit yang cukup untuk mengeluarkan duit ongkos naik haji (ONH). Impian sejak muda untuk menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci dalam waktu dekat akan terwujud. Doa-doa yang selalu terucap selepas shalat taklama lagi akan menjadi kenyataan.
Pak Ahmad bukanlah orang kaya. Dia hanyalah pedagang es yang mesti melakukan pekerjaan ekstrakeras mudah-mudahan bisa menyisakan sebagian uangnya untuk berhaji. Kuatnya kesempatan Pak Ahmad untuk berhaji mengakibatkan ia bisa berdisiplin menyisakan sebagian uangnya untuk ditabungkan.
Sebenarnya, ada sedikit rasa "tidak enak" dalam hati Pak Ahmad. Uang yang dikumpulkannya itu cuma cukup untuk melunasi ONH untuk dirinya sendiri, tidak untuk istrinya. Padahal, duit itu terkumpul alasannya merupakan derma istrinya juga.
"Tidak apalah, mudah-mudahan Allah menampilkan rezeki sehingga istrinya bisa kebagian jatah haji pada tahun-tahun berikutnya," begitu asumsi Pak Ahmad.
Satu hari menjelang pendaftaran, salah seorang tetang-ganya tiba ke tempat tinggal untuk meminjam sejumlah duit untuk mengeluarkan duit ongkos rumah sakit. Tetangga Pak Ahmad ini terbilang orang susah, untuk makan sehari-hari saja, ia kelimpungan.
Kesulitannya kian bertambah dikala suaminya terkena sakit parah dan mau tidak mau ia mesti menyelamatkan nyawanya dengan memasukkannya ke tempat tinggal sakit. Itu pun di kelas III yang nyaris semua penghuninya kaum duafa. Setelah berupaya ke sana-kemari meminjam uang, hasilnya nihil, kemudian ibu ini memberanikan diri tiba ke tempat tinggal Pak Ahmad untuk meminjam uang.
Pak Ahmad pun dihadapkan pada opsi sulit: meminjamkan duit dan cita-citanya untuk berhaji akan kandas di tengah jalan atau tidak meminjamkan duit dan menghasilkan penderitaan tetangganya bertambah panjang. Setelah berdiskusi dengan istrinya, Pak Ahmad memutuskan jalan ketiga.
Dia tidak meminjamkan duit dan tidak pula menahannya, namun menampilkan seluruh duit hajinya untuk mengeluarkan duit ongkos rumah sakit tetangganya. Sebuah opsi yang sungguh berat dan berani serta tidak masuk kebijaksanaan dalam persepsi kaum materialis.
Bayangkan saja, beberapa tahun menabung, peras keringat banting tulang menghimpun uang, dikala duit sudah terkumpul, ia memberikannya begitu saja terhadap orang lain. Namun, amal kebaikan sering sekali tak bisa diukur dengan kebijaksanaan pada biasanya orang.
Sebagaimana tak masuk logikanya Nabi Ibrahim yang akan menyembelih anaknya atau "keanehan" perilaku para kawan dekat yang rela meninggalkan tanah kelahirannya, sanak saudara, dan harta kekayaannya demi berhijrah ke Madinah walau mesti lewat perjalanan yang sungguh berat. Itulah buah keimanan yang teramat tinggi nilainya yang menyibukkan dicerna oleh orang-orang yang matanya sudah silau dengan dunia.
Pak Ahmad dan istrinya sungguh percaya bahwa Allah tidak akan pernah menyia-nyiakan amal kebaikan hamba-hamba-Nya. Bukankah Allah dan Rasul-Nya sudah berjanji, "Barang siapa yang merenggangkan beban saudaranya di dunia, tentu Allah akan merenggangkan bebannya di akhirat."
Kemampuan memutuskan prioritas amal yang diikuti kepercayaan yang mantap terhadap akad Allah sudah menguatkan hati Pak Ahmad untuk menampilkan hartanya yang paling berharga.
Disertai derai air mata murung campur bahagia, tetangga Pak Ahmad menerima duit itu. Dia seakan tengah bermimpi, ternyata pada zaman kini masih ada orang yang berhati mulia menyerupai Pak Ahmad dan istrinya. Dia tak bisa berkata apa-apa selain ucapan terima kasih dan doa mudah-mudahan Allah mengubah duit tersebut dengan sesuatu yang lebih baik.
Kisah pun berlanjut. Seorang dokter yang mengatasi operasi Pak Fulan, tetangga Pak Ahmad, sedikit kaget. Kok bisa pasien menyerupai Pak Fulan bisa mengeluarkan duit ongkos operasi yang tergolong mahal, bahkan sungguh muaaahal bagi sebagian orang. Padahal, dokter itu sudah bisa menebak latar belakang Pak Fulan. Iseng-iseng ia mengajukan pertanyaan dari mana Pak Fulan menerima uang, apakah ia memasarkan warisan, memasarkan ramah, meminjam, atau apa?
"Sama sekali bukan Dok, kami ini orang miskin, tidak mempunyai apa-apa. Jangankan mengeluarkan duit ongkos rumah sakit yang puluhan juta, untuk makan sehari-hari pun mesti gali lobang tutup lobang," jawab Pak Fulan.
"Lho, jikalau begitu dari mana?"
"Alhamdulillah, ada seseorang yang membayarkan ongkos operasi kami."
Dokter itu makin penasaran, "Wah andal benar orang itu. Pastilah ia orang kaya yang sungguh dermawan."
"Oh.... Tidak Dok, ia orang biasa-biasa," Pak Fulan kemudi-an menceritakan kisah Pak Ahmad yang rela menangguhkan ibadah haji demi merenggangkan beban penderitaan dirinya yang sekadar seorang tetangga.
Selesai Pak Fulan bercerita, Dokter itu eksklusif meminta izin untuk diperkenalkan dengan Pak Ahmad. Dia ingin tahu lebih jauh mengenai siapa Pak Ahmad itu sebenarnya. Allah pun mempertemukan mereka.
Kepada Pak Ahmad dan istrinya, Dokter ini berkata, "Saya ingin berguru nrimo menyerupai yang Ibu-Bapak lakukan. Akan tetapi, bukan di sini, saya ingin belajarnya di Tanah Suci. Jadi, saya dan keluarga akan mengajak serta Ibu dan Bapak pergi ke sana tahun ini."
Mata Pak Ahmad terlihat berkaca-kaca. Sejenak, ia tidak dapat berkata-apa. Dia seakan tidak percaya dengan kata-kata yang didengarnya. Hingga akhirnya, ucapan hamdalah terucap dari bibirnya.
Begitulah, sebelum membalas kebaikannya di akhirat, Allah Swt. sudah menampilkan DP-nya apalagi dulu di dunia. Harapan Pak Ahmad untuk berhaji dengan istrinya jadinya terealisasi dalam kondisi yang sarat bahagia.
Pak Ahmad bukanlah orang kaya. Dia hanyalah pedagang es yang mesti melakukan pekerjaan ekstrakeras mudah-mudahan bisa menyisakan sebagian uangnya untuk berhaji. Kuatnya kesempatan Pak Ahmad untuk berhaji mengakibatkan ia bisa berdisiplin menyisakan sebagian uangnya untuk ditabungkan.
Sebenarnya, ada sedikit rasa "tidak enak" dalam hati Pak Ahmad. Uang yang dikumpulkannya itu cuma cukup untuk melunasi ONH untuk dirinya sendiri, tidak untuk istrinya. Padahal, duit itu terkumpul alasannya merupakan derma istrinya juga.
"Tidak apalah, mudah-mudahan Allah menampilkan rezeki sehingga istrinya bisa kebagian jatah haji pada tahun-tahun berikutnya," begitu asumsi Pak Ahmad.
Satu hari menjelang pendaftaran, salah seorang tetang-ganya tiba ke tempat tinggal untuk meminjam sejumlah duit untuk mengeluarkan duit ongkos rumah sakit. Tetangga Pak Ahmad ini terbilang orang susah, untuk makan sehari-hari saja, ia kelimpungan.
Kesulitannya kian bertambah dikala suaminya terkena sakit parah dan mau tidak mau ia mesti menyelamatkan nyawanya dengan memasukkannya ke tempat tinggal sakit. Itu pun di kelas III yang nyaris semua penghuninya kaum duafa. Setelah berupaya ke sana-kemari meminjam uang, hasilnya nihil, kemudian ibu ini memberanikan diri tiba ke tempat tinggal Pak Ahmad untuk meminjam uang.
Pak Ahmad pun dihadapkan pada opsi sulit: meminjamkan duit dan cita-citanya untuk berhaji akan kandas di tengah jalan atau tidak meminjamkan duit dan menghasilkan penderitaan tetangganya bertambah panjang. Setelah berdiskusi dengan istrinya, Pak Ahmad memutuskan jalan ketiga.
Dia tidak meminjamkan duit dan tidak pula menahannya, namun menampilkan seluruh duit hajinya untuk mengeluarkan duit ongkos rumah sakit tetangganya. Sebuah opsi yang sungguh berat dan berani serta tidak masuk kebijaksanaan dalam persepsi kaum materialis.
Bayangkan saja, beberapa tahun menabung, peras keringat banting tulang menghimpun uang, dikala duit sudah terkumpul, ia memberikannya begitu saja terhadap orang lain. Namun, amal kebaikan sering sekali tak bisa diukur dengan kebijaksanaan pada biasanya orang.
Sebagaimana tak masuk logikanya Nabi Ibrahim yang akan menyembelih anaknya atau "keanehan" perilaku para kawan dekat yang rela meninggalkan tanah kelahirannya, sanak saudara, dan harta kekayaannya demi berhijrah ke Madinah walau mesti lewat perjalanan yang sungguh berat. Itulah buah keimanan yang teramat tinggi nilainya yang menyibukkan dicerna oleh orang-orang yang matanya sudah silau dengan dunia.
Pak Ahmad dan istrinya sungguh percaya bahwa Allah tidak akan pernah menyia-nyiakan amal kebaikan hamba-hamba-Nya. Bukankah Allah dan Rasul-Nya sudah berjanji, "Barang siapa yang merenggangkan beban saudaranya di dunia, tentu Allah akan merenggangkan bebannya di akhirat."
Kemampuan memutuskan prioritas amal yang diikuti kepercayaan yang mantap terhadap akad Allah sudah menguatkan hati Pak Ahmad untuk menampilkan hartanya yang paling berharga.
Disertai derai air mata murung campur bahagia, tetangga Pak Ahmad menerima duit itu. Dia seakan tengah bermimpi, ternyata pada zaman kini masih ada orang yang berhati mulia menyerupai Pak Ahmad dan istrinya. Dia tak bisa berkata apa-apa selain ucapan terima kasih dan doa mudah-mudahan Allah mengubah duit tersebut dengan sesuatu yang lebih baik.
Kisah pun berlanjut. Seorang dokter yang mengatasi operasi Pak Fulan, tetangga Pak Ahmad, sedikit kaget. Kok bisa pasien menyerupai Pak Fulan bisa mengeluarkan duit ongkos operasi yang tergolong mahal, bahkan sungguh muaaahal bagi sebagian orang. Padahal, dokter itu sudah bisa menebak latar belakang Pak Fulan. Iseng-iseng ia mengajukan pertanyaan dari mana Pak Fulan menerima uang, apakah ia memasarkan warisan, memasarkan ramah, meminjam, atau apa?
"Sama sekali bukan Dok, kami ini orang miskin, tidak mempunyai apa-apa. Jangankan mengeluarkan duit ongkos rumah sakit yang puluhan juta, untuk makan sehari-hari pun mesti gali lobang tutup lobang," jawab Pak Fulan.
"Lho, jikalau begitu dari mana?"
"Alhamdulillah, ada seseorang yang membayarkan ongkos operasi kami."
Dokter itu makin penasaran, "Wah andal benar orang itu. Pastilah ia orang kaya yang sungguh dermawan."
"Oh.... Tidak Dok, ia orang biasa-biasa," Pak Fulan kemudi-an menceritakan kisah Pak Ahmad yang rela menangguhkan ibadah haji demi merenggangkan beban penderitaan dirinya yang sekadar seorang tetangga.
Selesai Pak Fulan bercerita, Dokter itu eksklusif meminta izin untuk diperkenalkan dengan Pak Ahmad. Dia ingin tahu lebih jauh mengenai siapa Pak Ahmad itu sebenarnya. Allah pun mempertemukan mereka.
Kepada Pak Ahmad dan istrinya, Dokter ini berkata, "Saya ingin berguru nrimo menyerupai yang Ibu-Bapak lakukan. Akan tetapi, bukan di sini, saya ingin belajarnya di Tanah Suci. Jadi, saya dan keluarga akan mengajak serta Ibu dan Bapak pergi ke sana tahun ini."
Mata Pak Ahmad terlihat berkaca-kaca. Sejenak, ia tidak dapat berkata-apa. Dia seakan tidak percaya dengan kata-kata yang didengarnya. Hingga akhirnya, ucapan hamdalah terucap dari bibirnya.
Begitulah, sebelum membalas kebaikannya di akhirat, Allah Swt. sudah menampilkan DP-nya apalagi dulu di dunia. Harapan Pak Ahmad untuk berhaji dengan istrinya jadinya terealisasi dalam kondisi yang sarat bahagia.
Jadikanlah dirimu selaku persyaratan dari selainmu. Berbuatlah sesuatu yang menggembirakan orang lain sebagaimana yang engkau harapkan mereka berbuat untukmu.
Janganlah berbuat sesuatu yang engkau tak mau orang lain berbuat hal itu kepadamu.
Janganlah berbuat aniaya sebagaimana engkau membenci dianiaya.
Berbuat oke terhadap selainmu sebagaimana engkau ingin orang lain berbuat baik kepadamu. Cegahlah dirimu dari perbuatan mungkar sebagaimana engkau tak mau orang lain berbuat itu kepadamu.
Berbuatlah sesuatu yang mengasyikkan orang lain mudah-mudahan ia juga berbuat sesuatu yang mengasyikkan dirimu. (Rasulullah saw.)