Hijrah Ke Thaif Dan Lantaran Hijrahnya Nabi Muhammad Saw Ke Thaif

Thaif. Wilayah yang berjarak sekitar 80 kilometer dari Tanah Suci Makkah itu merupakan salah satu daerah yang bersejarah dalam perkembangan agama Islam.

Pada tahun kesepuluh kenabian dikenal dengan tahun murung bagi Nabi Muhammad Saw. alasannya ialah dua orang yang sangat dicintainya telah meninggal dunia, yaitu Siti Khadijah dan Abu Thalib. Kedua orang ini ialah pembela dan pelindung yang sangat tabah, kuat, dan disegani masyarakat Mekkah. Dengan meninggalnya Siti Khadijah dan Abu Thalib, orang-orang kafir Quraisy semakin berani mengganggu dan menyakiti Nabi Muhammad Saw.

Sepeninggal Abu Thalib dan Siti Khadijah, puncak dari perilaku permusuhan kaum Quraisy semakin keras. Dalam kondisi ini timbul keinginan dari Nabi Muhammad Saw. untuk berlindung ke Thaif negeri yang populer berhawa sejuk dan keramahan penduduknya terhadap tamu yang datang. Dengan keinginan masyarakat Thaif berkenan mendengar dakwah Islam.

Perjalanan ke Thaif ini bekerjsama tidaklah mudah, mengingat sulitnya medan yang dilalui disebabkan gunung-gunung yang tinggi yang mengelilinginya. Akhirnya, Beliau hingga di Thaif bersama Zaid bin Tsabit. Akan tetapi, setiap kesulitan itu menjadi gampang jikalau berada di jalan Allah Swt. Selama sepuluh hari tinggal di Thaif Nabi Saw memberikan seruan tauhid meskipun ada yang mau mendapatkan dakwah Islam, akan tetapi penduduk Thaif justru banyak yang menolak ia dengan penolakan yang lebih buruk.

Mereka menyuruh belum dewasa kecil untuk melempari ia dengan batu, sehingga kedua tumit ia berdarah. Akhirnya, ia kembali melalui jalan semula menuju Mekkah dalam keadaan sedih dan susah.

Peristiwa penolakan Bani Tsaqif dikala hijrah ke Thaif itu merupakan salah satu kejadian yang dianggap sebagai salah satu kejadian paling menyulitkan bagi Rasulullah Saw. Hal itu pernah diungkapkan Rasulullah Saw ketika Aisyah bertanya kepada Nabi Saw.

“Apakah pernah tiba kepadamu (Anda pernah mengalami) satu hari yang lebih berat dibandingkan dengan dikala perang Uhud?”

Beliau Saw menjawab : “Aku telah mengalami penderitaan dari kaummu. Penderitaan paling berat yang saya rasakan, yaitu dikala ‘Aqabah, dikala saya memberikan diri kepada Ibnu ‘Abdi Yalîl bin Abdi Kulal, tetapi ia tidak memenuhi permintaanku. Aku pun pergi dengan wajah bersedih. Aku tidak menyadari diri kecuali ketika di Qarnust-Tsa’alib, kemudian saya angkat kepalaku. Tiba-tiba saya berada di bawah awan yang sedang menaungiku. Aku perhatikan awan itu, ternyata ada Malaikat Jibril, kemudian ia memanggilku dan berseru: ‘Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah mendengar perkataan kaummu kepadamu dan penolakan mereka terhadapmu. Dan Allah Azza wa Jalla telah mengirimkan malaikat penjaga gunung untuk engkau perintahkan melaksanakan apa saja yang engkau mau atas mereka’. Malaikat (penjaga) gunung memanggilku, mengucapkan salam kemudian berkata: ‘Wahai Muhammad! Jika engkau mau, saya bisa menimpakan Akhsabain’(dua gunung yang mengelilingi Mekkah).”


Lalu Rasulullah Saw menjawab: “(Tidak) namun saya berharap supaya Allah Azza wa Jalla melahirkan dari anak keturunan mereka orang yang beribadah kepada Allah semata, tidak mempersekutukan-Nya dengan apapun jua”. (HR Imam al-Bukhari dan Imam Muslim)

Di antara beberapa debat yang dilancarkan kaum musyrikin terhadap Rasulullah Saw ialah mereka menuntut beberapa mukjizat tertentu darinya dengan tujuan menundukkan beliau, dan hal ini terjadi berulang kali. Pernah suatu kali, mereka meminta semoga ia sanggup membelah bulan menjadi dua, kemudian ia memohon kepada Allah Swt, untuk kemudian menunjukkan kepada mereka. Kaum Quraisy menyaksikan mukjizat ini untuk waktu yang lama, tapi mereka tetap saja tidak beriman. Bahkan, mereka mengatakan: “Muhammad telah bermain sihir di hadapan kami”. Lalu seseorang berkata:

“Kalaupun toh Muhammad bisa menyihir kalian, namun ia tidak akan bisa menyihir semua orang. Oleh lantaran itu, mari kita tunggu orang-orang yang sedang bepergian”.

Tidak usang kemudian, orang-orang yang sedang bepergian itu tiba dan kaum Quraisy menanyai mereka. Lalu mereka pun menjawab: “Benar kami telah melihatnya”. 

Namun demikian kaum Quraisy tetap saja pada kekafiran mereka. Peristiwa terbelahnya bulan ini, seolah-olah sebagai pembuka bagi sesuatu yang lebih besar darinya, yaitu kejadian Isra’ Mi’raj.

Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan ihwal hijrah ke Thaif dan alasannya ialah hijrahnya Nabi Muhammad Saw ke Thaif. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel