Pusat Dan Aspek-Aspek Peradaban Islam Modern Dan Kontemporer
Friday, May 8, 2020
Edit
Banyak aspek pendukung bagi perkembangan peradaban Islam modern dan kontemporer di tempat Timur Tengah dan tempat Timur, di antaranya ialah aspek budaya, aspek sosial, aspek ekonomi, dan aspek politik. Di antara negara-negara yang mengalami perkembangan peradaban dalam kategori modern dan kontemporer ialah Turki, India, Iran dan tempat sekitarnya.
1. Baghdad.
Kota Baghdad didirikan oleh khalifah Abbasiah kedua, al-Manshur (754-755 M), pada tahun 762 M. Setelah mencari-cari daerah yang strategis untuk dijadikan sebagaiibu kota, pilihan jatuh pada daerah yang dinamakan Baghdad yang terletak tak jauh dari di sungai Tigris. Ia menugaskan beberapa orang hebat untuk meneliti dan mempelajari lokasi. Setelah penelitian seksama dilakukan, daerah ini kesannya ditetapkan sebagai ibu kota dan pembangunan pun di mulai.
Dalam membangun kota ini, khalifah memperkerjakan banyak hebat bangunan yang terdiri dari arsitektur, tukang batu, tukang kayu, hebat lukis, dan lain-lain. Mereka didatangkan dari Syiria, Mosul, Bashrah, dan Kufah yang berjumlah sekitar 100 ribu orang. Kota ini berbentuk bundar. Di sekelilingnya dibangun dinding tembok yang besar dan tinggi, di sebelah luar dinding tembok digali parit besar yang berfungsi sebagai saluran air sekaligus sebagai benteng. Ada empat buah pintu gerbang di seputar kota ini, yang disediakan untuk setiap orang yang ingin memasuki kota. Keempat pintu gerbang itu ialah bab al-kuffah, bab al-syam, bab al-bashrah, bab al-khurasan.
Di tengah-tengah kota terletak istana khalifah dengan seni arsitektur Persia. Istana ini populer dengan nama al-qashr al-dzahabi, yang berarti istana emas. Istana ini dilengkapi bangunan masjid, tempat pengawal istana, polisi, dan tempat tinggal putra-putri dan keluarga khalifah. Di sekitar istana dibangun pasar tempat perbelanjaan dan jalan raya yang menghubungkan empat pintu gerbang.
Sejak awal berdirinya, kota ini sudah menjadi sentra peradaban dan kebangkitan ilmu pengetahuan. Itulah sebabnya, Philip K. Hitti menyebutnya sebagai Kota Intelektual. Setelah masa al-Manshur, kota Baghdad menjadi semakin masyhur lantaran kiprahnya sebagai sentra perkembangan peradaban dan kebudayaan Islam. Banyak ilmuwan dari banyak sekali daerah tiba ke kota ini untuk mendalami ilmu pengetahuan. Masa keemasan kota Baghdad terjadi pada zaman pemerintahan khalifah Harun al-Rasyid (786-809) dan anaknya al-Makmun (813-833 M).
Dari kota inilah memancar sinar kebudayaan dan peradaban Islam ke seluruh dunia. Prestise politik, supremasi ekonomi, dan aktifitas intelektual merupakan tiga keistemewaan kota ini. Kebesarannya tidak terbatas pada negeri Arab, tetapi mencakup seluruh negeri Islam. Baghdad ketika itu menjadi sentra peradaban Islam dan kebudayaan yang tertinggi di dunia. Ilmu pengetahuan dan sastra berkembang sangat pesat. Banyak buku filsafat yang sebelumnya dipandang sudah “mati” dihidupkan kembali dengan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Khalifah al-Ma’mun sendiri mempunyai perpustakaan yang dipenuhi dengan ribuan buku ilmu pengetahuan. Perpustakaan itu berjulukan Bait al-Hikmah.
Populasi penduduk Baghdad berada pada kisaran 300.000 hingga 500.000 pada masa ke-9 M. Pertumbuhan pesat Baghdad di masa-masa awal mulai melambat jawaban problem kekhalifahan, termasuk pemindahan ibu kota ke Samarra (antara 808–819 dan 836–892), hilangnya provinsi-provinsi paling barat dan paling timur, dan masa dominasi politik oleh para Buwayhid Iran (945–1055) dan bangsa Turki Seljuk (1055–1135). Panen yang rusak dan perselisihan intern menciptakan Baghdad runtuh. Meski begitu, kota ini tetap merupakan satu dari sekian banyak sentra kebudayaan dan perdagangan dunia Islam hingga pada 10 Februari 1258 ia dihancurkan oleh bangsa Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan.
Bangsa Mongol membunuh tak kurang dari 800.000 penduduk kota, termasuk Khalifah Abbasiyah al-Musta’sim, dan merusak sebagian besar kota. Kanal dan tanggul-tanggul yang membentuk sistem irigasi kota juga turut hancur. Perebutan Baghdad mengakhiri era kekhalifahan Abbasiyah, sebuah pukulan keras yang tak pernah sanggup dipulihkan dalam peradaban Arab.
Baghdad pun kemudian dipimpin oleh Khanid, penguasa Iran berkebangsaan Mongol. Pada tahun 1401, Baghdad dirusak kembali oleh bangsa Mongol di bawah pimpinan Timur Lenk (“Tamerlane”). Ia menjadi ibu kota provinsi yang dipimpin dinasti-dinasti Jalayirid (1400–1411), Qara Quyunlu (1411–1469), Aq Quyunlu (1469–1508), dan Safavid (1508–1534).
Pada 1534, Baghdad direbut oleh bangsa Turki Ottoman. Di bawah kekuasaan mereka, Baghdad mengalami masa-masa suram, di antaranya lantaran perselisihan antara penguasanya dengan Persia. Sebelumnya, Baghdad merupakan kota terbesar di Timur Tengah sebelum posisinya diambil alih Konstantinopel pada masa ke-16.
Baghdad dikuasai oleh Kerajaan Ottoman hingga terbentuknya kerajaan Irak di bawah kekuasaan Britania Raya pada 1921, yang kemudian dilanjutkan dengan kemerdekaan resmi pada 1932 dan kemerdekaan penuh pada 1946. Pengaruh Eropa ini juga mengubah wajah kota. Pada tahun 1920, Baghdad yang tumbuh dari lokasi tertutup seluas 254 mil persegi (657 km²) menjadi ibu kota negara gres Irak.
Populasi penduduk kota Baghdad tumbuh dari sekitar 145.000 pada 1900 menjadi 580.000 pada 1950. Pada tahun 1970-an, Baghdad sempat mengalami masa kemakmuran dan pertumbuhan lantaran tajamnya kenaikan harga minyak, ekspor utama Irak. Infrastruktur gres dibangun pada ketika itu termasuk saluran pembuangan modern, air, dan jalan tol.
Dalam bidang sastra, kota Baghdad populer dengan hasil karya yang indah dan digemari orang. Di antara karya sastra yang populer ialah Alfu Lailah wa Lailah, atau dongeng seribu satu malam. Di kota Baghdad ini lahir dan muncul para saintis, ulama, filosof, dan sastrawan Islam yang terkenal, menyerupai al-Khawarizm (ahli astronomi dan matematika, penemu teori al-jabar), al-Kindi (filosof Arab pertama), al-Razi (filosof, hebat fisika dan kedokteran), al-Farabi (filosof besar yang dijuluki dengan al-mu’allim al-tsani, guru kedua setelah Aristoteles).
Dalam bidang ekonomi, perkembangannya berjalan seiring dengan perkembangan politik. Pada zaman Harun al-Rasyid dan al-Makmun, perdagangan dan industri berkembang pesat. Kehidupan ekonomi kota ini didukung oleh tiga buah pelabuhan yang ramai dikunjungi para kafilah dari dunia internasional (China, India, Asia Tengah, Syiria, Persia, Mesir, dan negeri Afrika lainnya), dua di Bashrah dan Sirat di teluk Persia.
2. Kairo (Mesir).
Kota Kairo dibangun pada tanggal 17 Sya’ban 358 H/969 M oleh panglima perang dinasti Fathimiah, Jawhar al-Siqili, atas perintah khalifah Fathimiah, al-Mu’izz li Dienillah (953-975 M), sebagai ibu kota kerajaan dinasti tersebut. Wilayah kekuasaan dinasti Fathimiah mencakup Afrika Utara, Sicilia, dan Syiria. Berdirinya kota Kairo sebagai ibu kota kerajaan dinasti ini menciptakan Baghdad menerima saingan.
Setelah pembangunan kota Kairo selesai lengkap dengan istananya, al-Siqili mendirikan masjid al-Azhar pada 17 Ramadhan 359 H (970 M). Masjid ini bermetamorfosis sebuah universitas besar yang hingga kini masih berdiri megah. Nama al-Azhar diambil dari al-Zahra’, julukan Fathimah, puteri Nabi Muhammad Saw yang menjadi istri Ali ibn Abi Thalib.
Kota yang terletak di tepi sungai Nil ini mengalami tiga kali masa kejayaan, yaitu pada masa Dinasti Fathimiah, masa Shalahuddin al-Ayyubi, dan masa di bawah kepemimpinan Baybars dan al-Nasyir pada masa dinasti Mamalik. Periode Fathimiah ini dimulai dengan al-Mu’izz dan puncaknya terjadi pada masa pemerintahan anaknya, al-Aziz.
Al–Mu’izz melaksanakan tiga kebijakan besar, yaitu pembaharuan dalam bidang administrasi, pembangunan ekonomi, dan toleransi beragama. Dalam bidang administrasi, ia mengangkat seorang wazir (menteri) untuk melaksanakan tugas-tugas kenegaraan. Dalam bidang ekonomi, ia member honor khusus kepada tentara, personalia istana, dan pejabat pemerintahan lainnya. Dalam bidang agama, di Mesir diadakan empat forum peradilan, dua untuk madzhab Syi’ah dan dua untuk madzhab Sunni. Al-Azis kemudian mengadakan agenda gres dengan mendirikan masjid-masjid, istana, jembatan, dan kanal-kanal baru.
Dinasti Fathimiah ditumbangkan oleh dinasti Ayyubiah yang didirikan oleh Shalahuddin, seorang pendekar Islam populer dalam Perang Salib. Ia tetap mempertahankan lembaga-lembaga ilmiah yang didirikan oleh dinasti Fathimiyyah. Ia juga mendirikan lembaga-lembaga ilmiah baru, terutama masjid yang dilengkpi dengan tempat berguru teologi dan hukum. Karya-karya ilmiah yang muncul pada masanya dan sesudahnya ialah kamus-kamus biografi, compendium sejarah, manual hukum, dan komentar-komentar teologi. Ilmu kedokteran diajarkan di rumah-rumah sakit. Prestasinya yang lain ialah didirikannya sebuah rumah sakit bagi orang cacat pikiran.
3. Ishfahan (Persia).
Ishfahan ialah kota populer di Persia, pernah menjadi ibu kota kerajaan Syafawiyah. Persia mempunyai ciri-ciri kebudayaan menyerupai arsitektur dan kesenian yang sangat khas sehingga bisa dipakai sebagai alat dalam penyebaran serta pengembangan agama Islam pada periode Islam modern dan kontemporer. Pengelompokkan keagamaan di Persia banyak menerima perhatian dari pihak Arab lantaran sistematika pengelompokannya sangat baik dan simpel dengan memakai dua corak kehidupan, Syiah dan Sunni.
Ketika raja dinasti Syafawi, Abbas 1, menimbulkan Ishfahan sebagai ibu kota kerajaan, kota ini menjadi kota yang luas dan ramai dengan penduduk. Kota ini terletak di atas sungai Zandah. Di atas sungai ini terbentang tiga buah jembatan yang megah dan indah, satu diantaranya terletak di tengah kota. Sementara dua lainnya di pinggiran kota. Kota ini, ketika berada di bawah kekuasaan kerajaan Syafawi, dikelilingi oleh tembok yang terbuat dari tanah dengan delapan buah pintu.
Di dalam kota banyak berdiri bangunan, menyerupai istana-istana, sekolah-sekolah, masjid-masjid, menara-menara, pasar, dan rumah-rumah yang indah, terukir rapi dengan warna-warna yang menarik. Masjid Syah yang masih ada hingga kini yang didirikan oleh Abbas 1, merupakan salah satu masjid terindah di dunia. Pintunya dilapisi dengan perak. Di samping itu, juga ada lapangan dan tumbuhan yang terawat baik dan menawan.
4. Turki.
Pada tahun 2000 muncul cendikiawan muslim yang berjulukan Harun Yahya yang bisa melaksanakan perlawanan terhadap sekularisme melalui beberapa pemikiran dan dalam bidang yang lain. Ini merupakan fenomena gres bagi penduduk Turki dalam masa modern dan kontemporer.
Dalam aspek budaya dan sosial, tempat Turki banyak dihuni oleh suku Kurdi yang sering melaksanakan pemberontakan terhadap kebijakan publik lantaran perbedaan pemahaman dalam bidang agama. Dalam aspek agama, masyarakat Turki bisa berkembang dan menyebarkan pedoman Islam lantaran mempunyai dua madzhab dalam memahami pedoman Islam, yaitu madzhab Sunni dan Syi’ah. Masing masing dari madzhab tersebut mempunyai pemimpin dan bergerak dalam bidangnya masing-masing tanpa mengganggu acara di antara keduanya. Hal ini dikarenakan adanya kebijakan dari kaisar Turki yang membagi daerah penyebaran masing-masing.
Dalam hal arsitektur, masjid-masjid yang dibangun di sana menerangkan kemajuannya. Masjid memang merupakan suatu ciri dari sebuah kota Islam, tempat kaum muslimin menerima kemudahan lengkap untuk menjalankan kewajiban agamanya. Masjid-masjid yang mempunyai arsitektur indah ialah Masjid Agung Al-Muhammadi atau Masjid Agung Sultan Muhammad Al-Fatih, Masjid Abu Ayyub Al-Anshari (tempat peresmian para sultan usmani), Masjid Bayazid dengan gaya Persia, dan Masjid Sulaiman al-Qanuni.
1. Baghdad.
Kota Baghdad didirikan oleh khalifah Abbasiah kedua, al-Manshur (754-755 M), pada tahun 762 M. Setelah mencari-cari daerah yang strategis untuk dijadikan sebagaiibu kota, pilihan jatuh pada daerah yang dinamakan Baghdad yang terletak tak jauh dari di sungai Tigris. Ia menugaskan beberapa orang hebat untuk meneliti dan mempelajari lokasi. Setelah penelitian seksama dilakukan, daerah ini kesannya ditetapkan sebagai ibu kota dan pembangunan pun di mulai.
Dalam membangun kota ini, khalifah memperkerjakan banyak hebat bangunan yang terdiri dari arsitektur, tukang batu, tukang kayu, hebat lukis, dan lain-lain. Mereka didatangkan dari Syiria, Mosul, Bashrah, dan Kufah yang berjumlah sekitar 100 ribu orang. Kota ini berbentuk bundar. Di sekelilingnya dibangun dinding tembok yang besar dan tinggi, di sebelah luar dinding tembok digali parit besar yang berfungsi sebagai saluran air sekaligus sebagai benteng. Ada empat buah pintu gerbang di seputar kota ini, yang disediakan untuk setiap orang yang ingin memasuki kota. Keempat pintu gerbang itu ialah bab al-kuffah, bab al-syam, bab al-bashrah, bab al-khurasan.
Di tengah-tengah kota terletak istana khalifah dengan seni arsitektur Persia. Istana ini populer dengan nama al-qashr al-dzahabi, yang berarti istana emas. Istana ini dilengkapi bangunan masjid, tempat pengawal istana, polisi, dan tempat tinggal putra-putri dan keluarga khalifah. Di sekitar istana dibangun pasar tempat perbelanjaan dan jalan raya yang menghubungkan empat pintu gerbang.
Sejak awal berdirinya, kota ini sudah menjadi sentra peradaban dan kebangkitan ilmu pengetahuan. Itulah sebabnya, Philip K. Hitti menyebutnya sebagai Kota Intelektual. Setelah masa al-Manshur, kota Baghdad menjadi semakin masyhur lantaran kiprahnya sebagai sentra perkembangan peradaban dan kebudayaan Islam. Banyak ilmuwan dari banyak sekali daerah tiba ke kota ini untuk mendalami ilmu pengetahuan. Masa keemasan kota Baghdad terjadi pada zaman pemerintahan khalifah Harun al-Rasyid (786-809) dan anaknya al-Makmun (813-833 M).
Dari kota inilah memancar sinar kebudayaan dan peradaban Islam ke seluruh dunia. Prestise politik, supremasi ekonomi, dan aktifitas intelektual merupakan tiga keistemewaan kota ini. Kebesarannya tidak terbatas pada negeri Arab, tetapi mencakup seluruh negeri Islam. Baghdad ketika itu menjadi sentra peradaban Islam dan kebudayaan yang tertinggi di dunia. Ilmu pengetahuan dan sastra berkembang sangat pesat. Banyak buku filsafat yang sebelumnya dipandang sudah “mati” dihidupkan kembali dengan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Khalifah al-Ma’mun sendiri mempunyai perpustakaan yang dipenuhi dengan ribuan buku ilmu pengetahuan. Perpustakaan itu berjulukan Bait al-Hikmah.
Populasi penduduk Baghdad berada pada kisaran 300.000 hingga 500.000 pada masa ke-9 M. Pertumbuhan pesat Baghdad di masa-masa awal mulai melambat jawaban problem kekhalifahan, termasuk pemindahan ibu kota ke Samarra (antara 808–819 dan 836–892), hilangnya provinsi-provinsi paling barat dan paling timur, dan masa dominasi politik oleh para Buwayhid Iran (945–1055) dan bangsa Turki Seljuk (1055–1135). Panen yang rusak dan perselisihan intern menciptakan Baghdad runtuh. Meski begitu, kota ini tetap merupakan satu dari sekian banyak sentra kebudayaan dan perdagangan dunia Islam hingga pada 10 Februari 1258 ia dihancurkan oleh bangsa Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan.
Bangsa Mongol membunuh tak kurang dari 800.000 penduduk kota, termasuk Khalifah Abbasiyah al-Musta’sim, dan merusak sebagian besar kota. Kanal dan tanggul-tanggul yang membentuk sistem irigasi kota juga turut hancur. Perebutan Baghdad mengakhiri era kekhalifahan Abbasiyah, sebuah pukulan keras yang tak pernah sanggup dipulihkan dalam peradaban Arab.
Baghdad pun kemudian dipimpin oleh Khanid, penguasa Iran berkebangsaan Mongol. Pada tahun 1401, Baghdad dirusak kembali oleh bangsa Mongol di bawah pimpinan Timur Lenk (“Tamerlane”). Ia menjadi ibu kota provinsi yang dipimpin dinasti-dinasti Jalayirid (1400–1411), Qara Quyunlu (1411–1469), Aq Quyunlu (1469–1508), dan Safavid (1508–1534).
Pada 1534, Baghdad direbut oleh bangsa Turki Ottoman. Di bawah kekuasaan mereka, Baghdad mengalami masa-masa suram, di antaranya lantaran perselisihan antara penguasanya dengan Persia. Sebelumnya, Baghdad merupakan kota terbesar di Timur Tengah sebelum posisinya diambil alih Konstantinopel pada masa ke-16.
Baghdad dikuasai oleh Kerajaan Ottoman hingga terbentuknya kerajaan Irak di bawah kekuasaan Britania Raya pada 1921, yang kemudian dilanjutkan dengan kemerdekaan resmi pada 1932 dan kemerdekaan penuh pada 1946. Pengaruh Eropa ini juga mengubah wajah kota. Pada tahun 1920, Baghdad yang tumbuh dari lokasi tertutup seluas 254 mil persegi (657 km²) menjadi ibu kota negara gres Irak.
Populasi penduduk kota Baghdad tumbuh dari sekitar 145.000 pada 1900 menjadi 580.000 pada 1950. Pada tahun 1970-an, Baghdad sempat mengalami masa kemakmuran dan pertumbuhan lantaran tajamnya kenaikan harga minyak, ekspor utama Irak. Infrastruktur gres dibangun pada ketika itu termasuk saluran pembuangan modern, air, dan jalan tol.
Dalam bidang sastra, kota Baghdad populer dengan hasil karya yang indah dan digemari orang. Di antara karya sastra yang populer ialah Alfu Lailah wa Lailah, atau dongeng seribu satu malam. Di kota Baghdad ini lahir dan muncul para saintis, ulama, filosof, dan sastrawan Islam yang terkenal, menyerupai al-Khawarizm (ahli astronomi dan matematika, penemu teori al-jabar), al-Kindi (filosof Arab pertama), al-Razi (filosof, hebat fisika dan kedokteran), al-Farabi (filosof besar yang dijuluki dengan al-mu’allim al-tsani, guru kedua setelah Aristoteles).
Dalam bidang ekonomi, perkembangannya berjalan seiring dengan perkembangan politik. Pada zaman Harun al-Rasyid dan al-Makmun, perdagangan dan industri berkembang pesat. Kehidupan ekonomi kota ini didukung oleh tiga buah pelabuhan yang ramai dikunjungi para kafilah dari dunia internasional (China, India, Asia Tengah, Syiria, Persia, Mesir, dan negeri Afrika lainnya), dua di Bashrah dan Sirat di teluk Persia.
2. Kairo (Mesir).
Kota Kairo dibangun pada tanggal 17 Sya’ban 358 H/969 M oleh panglima perang dinasti Fathimiah, Jawhar al-Siqili, atas perintah khalifah Fathimiah, al-Mu’izz li Dienillah (953-975 M), sebagai ibu kota kerajaan dinasti tersebut. Wilayah kekuasaan dinasti Fathimiah mencakup Afrika Utara, Sicilia, dan Syiria. Berdirinya kota Kairo sebagai ibu kota kerajaan dinasti ini menciptakan Baghdad menerima saingan.
Setelah pembangunan kota Kairo selesai lengkap dengan istananya, al-Siqili mendirikan masjid al-Azhar pada 17 Ramadhan 359 H (970 M). Masjid ini bermetamorfosis sebuah universitas besar yang hingga kini masih berdiri megah. Nama al-Azhar diambil dari al-Zahra’, julukan Fathimah, puteri Nabi Muhammad Saw yang menjadi istri Ali ibn Abi Thalib.
Kota yang terletak di tepi sungai Nil ini mengalami tiga kali masa kejayaan, yaitu pada masa Dinasti Fathimiah, masa Shalahuddin al-Ayyubi, dan masa di bawah kepemimpinan Baybars dan al-Nasyir pada masa dinasti Mamalik. Periode Fathimiah ini dimulai dengan al-Mu’izz dan puncaknya terjadi pada masa pemerintahan anaknya, al-Aziz.
Al–Mu’izz melaksanakan tiga kebijakan besar, yaitu pembaharuan dalam bidang administrasi, pembangunan ekonomi, dan toleransi beragama. Dalam bidang administrasi, ia mengangkat seorang wazir (menteri) untuk melaksanakan tugas-tugas kenegaraan. Dalam bidang ekonomi, ia member honor khusus kepada tentara, personalia istana, dan pejabat pemerintahan lainnya. Dalam bidang agama, di Mesir diadakan empat forum peradilan, dua untuk madzhab Syi’ah dan dua untuk madzhab Sunni. Al-Azis kemudian mengadakan agenda gres dengan mendirikan masjid-masjid, istana, jembatan, dan kanal-kanal baru.
Dinasti Fathimiah ditumbangkan oleh dinasti Ayyubiah yang didirikan oleh Shalahuddin, seorang pendekar Islam populer dalam Perang Salib. Ia tetap mempertahankan lembaga-lembaga ilmiah yang didirikan oleh dinasti Fathimiyyah. Ia juga mendirikan lembaga-lembaga ilmiah baru, terutama masjid yang dilengkpi dengan tempat berguru teologi dan hukum. Karya-karya ilmiah yang muncul pada masanya dan sesudahnya ialah kamus-kamus biografi, compendium sejarah, manual hukum, dan komentar-komentar teologi. Ilmu kedokteran diajarkan di rumah-rumah sakit. Prestasinya yang lain ialah didirikannya sebuah rumah sakit bagi orang cacat pikiran.
3. Ishfahan (Persia).
Ishfahan ialah kota populer di Persia, pernah menjadi ibu kota kerajaan Syafawiyah. Persia mempunyai ciri-ciri kebudayaan menyerupai arsitektur dan kesenian yang sangat khas sehingga bisa dipakai sebagai alat dalam penyebaran serta pengembangan agama Islam pada periode Islam modern dan kontemporer. Pengelompokkan keagamaan di Persia banyak menerima perhatian dari pihak Arab lantaran sistematika pengelompokannya sangat baik dan simpel dengan memakai dua corak kehidupan, Syiah dan Sunni.
Ketika raja dinasti Syafawi, Abbas 1, menimbulkan Ishfahan sebagai ibu kota kerajaan, kota ini menjadi kota yang luas dan ramai dengan penduduk. Kota ini terletak di atas sungai Zandah. Di atas sungai ini terbentang tiga buah jembatan yang megah dan indah, satu diantaranya terletak di tengah kota. Sementara dua lainnya di pinggiran kota. Kota ini, ketika berada di bawah kekuasaan kerajaan Syafawi, dikelilingi oleh tembok yang terbuat dari tanah dengan delapan buah pintu.
Di dalam kota banyak berdiri bangunan, menyerupai istana-istana, sekolah-sekolah, masjid-masjid, menara-menara, pasar, dan rumah-rumah yang indah, terukir rapi dengan warna-warna yang menarik. Masjid Syah yang masih ada hingga kini yang didirikan oleh Abbas 1, merupakan salah satu masjid terindah di dunia. Pintunya dilapisi dengan perak. Di samping itu, juga ada lapangan dan tumbuhan yang terawat baik dan menawan.
4. Turki.
Pada tahun 2000 muncul cendikiawan muslim yang berjulukan Harun Yahya yang bisa melaksanakan perlawanan terhadap sekularisme melalui beberapa pemikiran dan dalam bidang yang lain. Ini merupakan fenomena gres bagi penduduk Turki dalam masa modern dan kontemporer.
Dalam aspek budaya dan sosial, tempat Turki banyak dihuni oleh suku Kurdi yang sering melaksanakan pemberontakan terhadap kebijakan publik lantaran perbedaan pemahaman dalam bidang agama. Dalam aspek agama, masyarakat Turki bisa berkembang dan menyebarkan pedoman Islam lantaran mempunyai dua madzhab dalam memahami pedoman Islam, yaitu madzhab Sunni dan Syi’ah. Masing masing dari madzhab tersebut mempunyai pemimpin dan bergerak dalam bidangnya masing-masing tanpa mengganggu acara di antara keduanya. Hal ini dikarenakan adanya kebijakan dari kaisar Turki yang membagi daerah penyebaran masing-masing.
Dalam hal arsitektur, masjid-masjid yang dibangun di sana menerangkan kemajuannya. Masjid memang merupakan suatu ciri dari sebuah kota Islam, tempat kaum muslimin menerima kemudahan lengkap untuk menjalankan kewajiban agamanya. Masjid-masjid yang mempunyai arsitektur indah ialah Masjid Agung Al-Muhammadi atau Masjid Agung Sultan Muhammad Al-Fatih, Masjid Abu Ayyub Al-Anshari (tempat peresmian para sultan usmani), Masjid Bayazid dengan gaya Persia, dan Masjid Sulaiman al-Qanuni.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan perihal sentra dan aspek-aspek peradaban Islam modern dan kontemporer. Sumber Buku SKI Kelas XII MA Hal 188-194 Kementerian Agama Republik Indonesia, 2016. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.