Hadits Perihal Jujur (Kejujuran)
Friday, May 8, 2020
Edit
Sebelum mendalami hadits perihal kejujuran, ada baiknya dikaji terlebih dahulu perihal lafaz sidqu dan kizbu sebagai lawan katanya. Dalam Alquran, kata sidq diulang sebanyak 14 kali (‘Abd al-Baqi’: tth., 513-516), tidak termasuk turunannya. Berikut salah satu ayat yang mengajarkan pentingnya kejujuran yang dikaitkan dengan akidah dan takwa, yaitu: QS. at-Taubah: 119,
artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan jadilah kau bersama orang-orang yang jujur. (QS. at-Taubah: 119)
Sidq berasal dari kata sadaqa–yasduqu–sadqan aw sidqan yang berarti diddu kazib, lawan kata berbohong. (Ma’luf: 2005, 419-420). Menurut al-Manawi, sidq ialah alikhbar ‘ala wafqi al-waqi‘ (menyatakan sesuatu sesuai dengan kenyataan). (al-Manawi: 2006, 2/456).
Sidq sanggup disebut sebagai kebenaran dan kejujuran, yaitu: keadaan yang menawarkan keselarasan antara pernyataan dan kenyataan. Dalam istilah lain, jujur ialah bersatunya kata dan perbuatan. Tidak ada kebohongan, pemalsuan, pengkhianatan, dan sebagainya dalam mengungkapkan sesuatu. Dengan demikian, perilaku jujur senantiasa berlawanan dari perilaku dusta atau tindakan menipu.
Sementara kazib (berdusta), (al-Manawi: 2006, 2/457), ialah menyatakan sesuatu berlawanan dengan kenyataan (al-ikhbar bi khilafi al-waqi‘). Karenanya, antara kejujuran dan kebohongan sangatlah jauh berbeda. Kejujuran melahirkan kebaikan dan bermuara kepada surga. Sedangkan kebohongan melahirkan yang kebohongan lebih besar dan menyeret pada tindakan kejahatan serta akan menjerumuskan pelakunya ke dalam neraka.
Lebih dari itu, setiap kebohongan akan selalu melahirkan kebohongan yang lebih besar untuk menutupi kebohongan sebelumnya. Kemudian kebohongan kedua itupun akan diteruskan dengan kebohongan selanjutnya. Sebagai gambaran, seorang pegawai pengadaan barang menggelembungkan biaya belanja kantor dari Rp1 juta menjadi Rp1,5 juta. Pada tahap selanjutnya, ia akan melaksanakan hal yang sama atau bahkan menambah jumlah mark up tersebut. Karenanya, ia akan tetap mempertahankan kebiasaan bohong itu, sebelum tertangkap dan diberi eksekusi setimpal. (Nur Achmad: 2007, 225-226).
Kejujuran ialah kemuliaan. Siapa yang menjaganya, berarti menjaga kemuliaan diri dan agamanya. Sebaliknya, siapa yang mengkhianatinya, berarti telah mengganti wajah kemuliaan dengan kehinaan. Hal ini berlaku pula bagi forum atau institusi, swasta maupun pemerintah. Shidiq ialah salah satu sifat dasar para Nabi dan Rasul Allah Swt. Karenanya, kejujuran menjadi tolak ukur untuk membedakan antara insan mukmin dan munafik. Dalam hadis yang sangat terkenal dinyatakan:
Artinya: Dari Abi Hurairah, dari Nabi Saw. bersabda: "Tanda orang munafik ada tiga; Jika berbicara, berdusta; Jika berjanji, ingkar; Dan jikalau dipercaya, berkhianat." (HR. Bukhari dan Muslim).
Islam sangat menjunjung tinggi prinsip kejujuran. Betapa pentingnya, hingga seseorang yang tidak jujur dinilai tegas sebagai orang munafik yang tercela, baik berdasarkan Al-Quran maupun hadits. Orang munafik diibaratkan sering berganti-ganti wajah atau topeng luar. Nabi Muhammad Saw. mengistilahkannya dengan zu al-wajhain, (pemilik dua muka) dan dicap sebagai salah satu syarr al-nas (manusia yang buruk). (HR. Abu Dawud: 4872).
Orang yang demikian suatu saat bertopeng “saleh” dan dermawan, namun di kala lain bertingkah laris curang. Begitu pula di satu sisi, ia rajin beribadah, di sisi lain gemar korupsi, bahkan hasilnya dipakai sebagai modal dalam beribadah. Ia tidak peduli apakah ibadah tersebut diterima atau bernilai di mata Allah swt. atau hanya sia-sia. (Nur Achmad: 2007, 226).
Hadits Rasulullah Saw Tentang Kejujuran.
Artinya: Muhammad bin ‘Abdillah bin Numair telah memberikan hadis kepada kami, Abu Mu’awiyah dan Waki’ telah memberikan hadis kepada kami, keduanya berkata al-A’masy telah memberikan hadis kepada kami. Tahwil (perpindahan jalur sanad). Dan Abu Kuraib telah memberikan hadis kepada kami, Abu Mu’awiyah telah memberikan hadis kepada kami, al-A’masy telah memberikan hadis kepada kami, dari Syaqiq, dari ‘Abdillah (bin Mas’ud) RA. berkata: Rasulullah SAW. bersabda: “Tetaplah kalian bertindak jujur. Sungguh kejujuran membimbing kepada kebajikan dan sungguh kebajikan membimbing ke surga. Seseorang (yang jujur) senantiasa bertindak jujur dan menuntut untuk jujur hingga ditetapkan di sisi Allah sebagai shiddiq (ahli jujur). Dan berhati-hatilah kalian dari kebohongan sebab sungguh kebohongan membimbing kepada kejahatan dan sungguh kejahatan membimbing ke neraka. Dan seseorang (yang berbohong) senantiasa berbohong dan menuntut untuk berbohong hingga ditetapkan di sisi Allah SWT. sebagai kazzab (tukang bohong)”. (HR. Muslim).
Hadis yang menjadi fokus kajian di atas menawarkan beberapa pesan penting, antara lain:
Pertama, betapa indahnya Islam yang secara tegas membedakan kejujuran dan kebohongan, kebaikan dan kejahatan, dan antara nirwana dan neraka. Di dalam hadis sangat tampak terperinci bedanya (sidqu dan kizbu), terperinci cara meraihnya (birru dan fujuru), dan terperinci pula hasil alhasil (jannah dan nar). Secara tidak pribadi Nabi Muhammad Saw. mengajarkan bahwa output yang baik (surga), sangat ditentukan oleh input yang baik (jujur, sidqu) dan proses yang baik pula (kebajikan, birru). Begitu pula sebaliknya.
Kedua, konsistensi dalam hidup. Jika insan bertujuan meraih kebahagiaan dalam hidup yang disimbulkan dengan surga, maka ia harus konsisten dengan perilaku hidup jujur dan senang kebajikan. Sebaliknya, jikalau insan hendak masuk surga, namun tidak menempuh jalan kejujuran dan kabajikan maka tidak akan hingga ke surga, bahkan akan hingga ke neraka.
Ketiga, penyesuaian diri dalam kejujuran dan kebaikan. Semua hal ada latihannya. Semua prestasi diperoleh sesudah melalui latihan dan berguru yang panjang. Seseorang menjadi baik dan shalih pun tidak mendadak. Begitu pula sebaliknya, semua keburukan dan kejahatan tidak terjadi pada seseorang secara tiba-tiba. Semua didahului oleh pembiasaan. Orang yang bersikap jujur akan terus memelihara kejujuran dan menuntut diri untuk jujur serta berjuang supaya terus sanggup hidup dalam kejujuran hingga Allah Swt. menetapkannya menjadi hebat kejujuran (shiddiq).
Sebaliknya, orang yang bersikap dusta/berbohong atas kebenaran akan terus berusaha dusta, mencoba-coba diri untuk dusta, serta terbiasa bergaul dengan orang yang senang berdusta hingga alhasil ditetapkan oleh Allah Swt. sebagai pendusta/pembohong. Seringkali orang yang berbohong akan berusaha menutupi kebohongannya dengan kebohongan baru, dan demikian seterusnya.
Para pencuri kekayaan negara/rakyat, semula mereka mencuri kecil-kecilan, lama-kelamaan semakin besar dan semakin besar lagi. Hingga alhasil ditangkap oleh pihak berwenang dengan hasil curian yang sangat besar. Na’uzu billahi min zalik. Seorang suami/istri yang kemudian berlaku khianat kepada pasangannya, semula melakukannya secara kecil-kecilan, lama-kelamaan bertambah dan alhasil tertangkap sudah sangat jauh dari prinsip setia pada keluarga.
Keempat, al-jannah (surga) dan al-nar (neraka) dinyatakan sebagai muara dari kehidupan dan penantian panjang umat manusia. Dunia yang sementara ini akan berakhir dan dilanjutklan dengan alam barzakh/kubur yang tidak usang kemudian akan berlanjut lagi ke kehidupan darul abadi yang abadi. Pada alhasil insan akan menuai apa yang selama hidup di dunia ditanamnya. Kejujuran dan kebaikan akan berujung ke kehidupan senang dunia darul abadi dan sebaliknya, kedustaan dan kejahatan akan berakhir dalam kehidupan yang mengenaskan di dunia dan akhirat.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan jadilah kau bersama orang-orang yang jujur. (QS. at-Taubah: 119)
Sidq berasal dari kata sadaqa–yasduqu–sadqan aw sidqan yang berarti diddu kazib, lawan kata berbohong. (Ma’luf: 2005, 419-420). Menurut al-Manawi, sidq ialah alikhbar ‘ala wafqi al-waqi‘ (menyatakan sesuatu sesuai dengan kenyataan). (al-Manawi: 2006, 2/456).
Sidq sanggup disebut sebagai kebenaran dan kejujuran, yaitu: keadaan yang menawarkan keselarasan antara pernyataan dan kenyataan. Dalam istilah lain, jujur ialah bersatunya kata dan perbuatan. Tidak ada kebohongan, pemalsuan, pengkhianatan, dan sebagainya dalam mengungkapkan sesuatu. Dengan demikian, perilaku jujur senantiasa berlawanan dari perilaku dusta atau tindakan menipu.
Sementara kazib (berdusta), (al-Manawi: 2006, 2/457), ialah menyatakan sesuatu berlawanan dengan kenyataan (al-ikhbar bi khilafi al-waqi‘). Karenanya, antara kejujuran dan kebohongan sangatlah jauh berbeda. Kejujuran melahirkan kebaikan dan bermuara kepada surga. Sedangkan kebohongan melahirkan yang kebohongan lebih besar dan menyeret pada tindakan kejahatan serta akan menjerumuskan pelakunya ke dalam neraka.
Lebih dari itu, setiap kebohongan akan selalu melahirkan kebohongan yang lebih besar untuk menutupi kebohongan sebelumnya. Kemudian kebohongan kedua itupun akan diteruskan dengan kebohongan selanjutnya. Sebagai gambaran, seorang pegawai pengadaan barang menggelembungkan biaya belanja kantor dari Rp1 juta menjadi Rp1,5 juta. Pada tahap selanjutnya, ia akan melaksanakan hal yang sama atau bahkan menambah jumlah mark up tersebut. Karenanya, ia akan tetap mempertahankan kebiasaan bohong itu, sebelum tertangkap dan diberi eksekusi setimpal. (Nur Achmad: 2007, 225-226).
Kejujuran ialah kemuliaan. Siapa yang menjaganya, berarti menjaga kemuliaan diri dan agamanya. Sebaliknya, siapa yang mengkhianatinya, berarti telah mengganti wajah kemuliaan dengan kehinaan. Hal ini berlaku pula bagi forum atau institusi, swasta maupun pemerintah. Shidiq ialah salah satu sifat dasar para Nabi dan Rasul Allah Swt. Karenanya, kejujuran menjadi tolak ukur untuk membedakan antara insan mukmin dan munafik. Dalam hadis yang sangat terkenal dinyatakan:
Artinya: Dari Abi Hurairah, dari Nabi Saw. bersabda: "Tanda orang munafik ada tiga; Jika berbicara, berdusta; Jika berjanji, ingkar; Dan jikalau dipercaya, berkhianat." (HR. Bukhari dan Muslim).
Islam sangat menjunjung tinggi prinsip kejujuran. Betapa pentingnya, hingga seseorang yang tidak jujur dinilai tegas sebagai orang munafik yang tercela, baik berdasarkan Al-Quran maupun hadits. Orang munafik diibaratkan sering berganti-ganti wajah atau topeng luar. Nabi Muhammad Saw. mengistilahkannya dengan zu al-wajhain, (pemilik dua muka) dan dicap sebagai salah satu syarr al-nas (manusia yang buruk). (HR. Abu Dawud: 4872).
Orang yang demikian suatu saat bertopeng “saleh” dan dermawan, namun di kala lain bertingkah laris curang. Begitu pula di satu sisi, ia rajin beribadah, di sisi lain gemar korupsi, bahkan hasilnya dipakai sebagai modal dalam beribadah. Ia tidak peduli apakah ibadah tersebut diterima atau bernilai di mata Allah swt. atau hanya sia-sia. (Nur Achmad: 2007, 226).
Hadits Rasulullah Saw Tentang Kejujuran.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ وَوَكِيعٌ قَالَا حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ ح و حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ شَقِيقٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا
Artinya: Muhammad bin ‘Abdillah bin Numair telah memberikan hadis kepada kami, Abu Mu’awiyah dan Waki’ telah memberikan hadis kepada kami, keduanya berkata al-A’masy telah memberikan hadis kepada kami. Tahwil (perpindahan jalur sanad). Dan Abu Kuraib telah memberikan hadis kepada kami, Abu Mu’awiyah telah memberikan hadis kepada kami, al-A’masy telah memberikan hadis kepada kami, dari Syaqiq, dari ‘Abdillah (bin Mas’ud) RA. berkata: Rasulullah SAW. bersabda: “Tetaplah kalian bertindak jujur. Sungguh kejujuran membimbing kepada kebajikan dan sungguh kebajikan membimbing ke surga. Seseorang (yang jujur) senantiasa bertindak jujur dan menuntut untuk jujur hingga ditetapkan di sisi Allah sebagai shiddiq (ahli jujur). Dan berhati-hatilah kalian dari kebohongan sebab sungguh kebohongan membimbing kepada kejahatan dan sungguh kejahatan membimbing ke neraka. Dan seseorang (yang berbohong) senantiasa berbohong dan menuntut untuk berbohong hingga ditetapkan di sisi Allah SWT. sebagai kazzab (tukang bohong)”. (HR. Muslim).
Hadis yang menjadi fokus kajian di atas menawarkan beberapa pesan penting, antara lain:
Pertama, betapa indahnya Islam yang secara tegas membedakan kejujuran dan kebohongan, kebaikan dan kejahatan, dan antara nirwana dan neraka. Di dalam hadis sangat tampak terperinci bedanya (sidqu dan kizbu), terperinci cara meraihnya (birru dan fujuru), dan terperinci pula hasil alhasil (jannah dan nar). Secara tidak pribadi Nabi Muhammad Saw. mengajarkan bahwa output yang baik (surga), sangat ditentukan oleh input yang baik (jujur, sidqu) dan proses yang baik pula (kebajikan, birru). Begitu pula sebaliknya.
Kedua, konsistensi dalam hidup. Jika insan bertujuan meraih kebahagiaan dalam hidup yang disimbulkan dengan surga, maka ia harus konsisten dengan perilaku hidup jujur dan senang kebajikan. Sebaliknya, jikalau insan hendak masuk surga, namun tidak menempuh jalan kejujuran dan kabajikan maka tidak akan hingga ke surga, bahkan akan hingga ke neraka.
Ketiga, penyesuaian diri dalam kejujuran dan kebaikan. Semua hal ada latihannya. Semua prestasi diperoleh sesudah melalui latihan dan berguru yang panjang. Seseorang menjadi baik dan shalih pun tidak mendadak. Begitu pula sebaliknya, semua keburukan dan kejahatan tidak terjadi pada seseorang secara tiba-tiba. Semua didahului oleh pembiasaan. Orang yang bersikap jujur akan terus memelihara kejujuran dan menuntut diri untuk jujur serta berjuang supaya terus sanggup hidup dalam kejujuran hingga Allah Swt. menetapkannya menjadi hebat kejujuran (shiddiq).
Sebaliknya, orang yang bersikap dusta/berbohong atas kebenaran akan terus berusaha dusta, mencoba-coba diri untuk dusta, serta terbiasa bergaul dengan orang yang senang berdusta hingga alhasil ditetapkan oleh Allah Swt. sebagai pendusta/pembohong. Seringkali orang yang berbohong akan berusaha menutupi kebohongannya dengan kebohongan baru, dan demikian seterusnya.
Para pencuri kekayaan negara/rakyat, semula mereka mencuri kecil-kecilan, lama-kelamaan semakin besar dan semakin besar lagi. Hingga alhasil ditangkap oleh pihak berwenang dengan hasil curian yang sangat besar. Na’uzu billahi min zalik. Seorang suami/istri yang kemudian berlaku khianat kepada pasangannya, semula melakukannya secara kecil-kecilan, lama-kelamaan bertambah dan alhasil tertangkap sudah sangat jauh dari prinsip setia pada keluarga.
Keempat, al-jannah (surga) dan al-nar (neraka) dinyatakan sebagai muara dari kehidupan dan penantian panjang umat manusia. Dunia yang sementara ini akan berakhir dan dilanjutklan dengan alam barzakh/kubur yang tidak usang kemudian akan berlanjut lagi ke kehidupan darul abadi yang abadi. Pada alhasil insan akan menuai apa yang selama hidup di dunia ditanamnya. Kejujuran dan kebaikan akan berujung ke kehidupan senang dunia darul abadi dan sebaliknya, kedustaan dan kejahatan akan berakhir dalam kehidupan yang mengenaskan di dunia dan akhirat.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan perihal pengertian jujur dan hadits perihal jujur (Kejujuran). Sumber buku Siswa Kelas XII Sekolah Menengah kejuruan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2016. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.