Pengertian Aturan Syar’I (Syari'ah), Macam-Macam Aturan Syar’I Dan Contohnya
Friday, May 1, 2020
Edit
A. Pengertian Hukum Syar’i.
Menurut lebih banyak didominasi ulama aturan syar’i adalah
“Firman (kalam) Allah yang berkaitan dengan semua perbuatan mukallaf, yang mengandung tuntutan, pilihan atau ketetapan.”
Penjelasan definisi :
Maksud dari “Khiṭab atau firman Allah”adalah Firman Allah Swt secara pribadi yaitu Al-Qur’an atau Firman-Nya tetapi melalui mediator yaitu sunnah, ijma’, dan semua dalil syar’i. Yang di maksud “iqtiḍa’”adalah tuntutan, baik tuntutan untuk melaksanakan atau meninggalkan, atau tuntutan secara niscaya maupun tidak pasti.
Sedangkan “takhyir” yaitu menentukan antara melaksanakan sesuatu atau meninggalkanya tanpa menguatkan salah satunya atau membolehkan mukallaf untuk melaksanakan dan meninggalkan. Dan di maksud “Waḍ’i” yaitu firman Allah Swt yang menjadikan sesuatu sebagai alasannya adanya yang lain atau sebagai syarat adanya yang lain atau sebagai penghalang adanya yang lain.
Sebagai referensi firman Allah Swt surat Al-Maidah : 38
"Laki-laki yang mencuri dan wanita yang mencuri potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan dari apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS. Al-Maidah:38)
Ayat di atas yaitu termasuk aturan syar’i lantaran berupa firman Allah Swt yang menjadikan pencurian sebagai alasannya adanya aturan yaitu potong tangan.
Hadits Rasululah Saw
Dari Al Aswad dari Aisyah dari Nabi Saw, ia bersabda: “Diangkat pena dari tiga orang, yaitu orang yang tidur sampai ia bangun, dari anak kecil sampai ia dewasa, dan dari orang yang abnormal sampai ia berilmu atau sadar.”(HR. An-Nasai)
Hadis di atas termasuk aturan syar’i lantaran berupa firman Allah Swt tapi yang berupa hadis yang menjadikan tidur, masih kecil, dan abnormal sebagai penghalang kedewasaan (taklif), sehingga mereka semua tidak terkena hukum.
Dari pengertian al-ḥukm berdasarkan ulama undangan di atas sanggup di ketahui dua hal :
1). Bahwa firman Allah Swt yang tidak berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf tidak di namakan ḥukm, menyerupai firman yang berkaitan dengan dzat dan sifat-Nya, sebagaimana yang difirmankan
"dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. Al-Baqarah :284)
Ayat di atas tidak termasuk al-ḥukm lantaran tidak berkaitan dengan perbuatan manusia, begitu pula Firman-Nya yang berkaitan dengan perbuatan insan tetapi tidak menghendaki tuntutan pilihan atau ketetapan juga tidak di namakan al-ḥukm, menyerupai kisah-kisah dalam Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya yang menceritakan ihwal kekalahan bangsa Romawi
“Alif laam Miim, telah dikalahkan bangsa Rumawi,di negeri yang terdekat dan mereka setelah dikalahkan itu akan menang.” (QS. Ar-Rum 1-3)
2) Yang di namakan ḥukm berdasarkan ulama ushul atau yang disebut ushūliyyun yaitu firman Allah Swt itu sendiri sedangkan berdasarkan ulama fikih atau fuqaha’ yang di namakan ḥukm yaitu kandungan firman Allah Swt. Sebagai referensi firman Allah Swt:
Menurut ulama ushul ayat di atas disebutal ḥukm sedangkan berdasarkan ulama fikih yang disebut al-ḥukm yaitu kandungan ayat tersebut yaitu haramnya zina.
B. Macam-macam Hukum Syar’i.
Menurut ulama undangan aturan syar’i terbagi menjadi dua macam yaitu aturan taklifi dan aturan wad’i.
1) Hukum Taklifi.
a. Pengertian Hukum Taklifi.
Hukum taklifi yaitu firman Allah Swt yang berafiliasi dengan perbuatan mukallaf yang menghendaki tuntutan untuk melaksanakan atau menjauhi atau untuk menciptakan pilihan. Di namakan aturan taklifi lantaran adanya pembebanan atau tuntutan kepada manusia.
Contohnya, Firman Allah Swt yang menuntut mukallaf untuk melaksanakan suatu perbuatan.
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka,dengan zakat itu kau membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka." (QS. At-Taubah:103)
b. Macam-macam Hukum Taklifi.
Mayoritas ulama ushul membagi aturan taklifi menjadi 5 :
1. Ijab : Yaitu tuntutan Allah Swt kepada mukallaf untuk melaksanakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti.
2. Nadb : yaitu tuntutan Allah Swt kepada mukallaf untuk melaksanakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak niscaya atau proposal untuk melakukan.
3. Tahrim : Yaitu tuntutan Allah Swt kepada mukallaf untuk tidak melaksanakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti.
4. Karahah : yaitu tuntutan Allah Swt kepada mukallaf untuk tidak melaksanakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak niscaya atau proposal untuk menjauhi.
5. Ibahah: yaitu Permintaan Allah Swt kepada mukallaf untuk menentukan antara melaksanakan atau meninggalkan suatu perbuatan.
Ulama Ḥanafi membagi aturan taklifi menjadi 7 cuilan dengan membagi firman Allah Swt yang menuntut melaksanakan suatu perbuatan dengan tuntutan niscaya pada dua cuilan ijab dan farḍu dan membagi karahah menjadi dua yaitu karahah at-tanzih dan karahah at-tahrim.
Dengan pembagian aturan taklifi menyerupai tersebut di atas, Ulama’ Hanafiyah membagi aturan taklifi kepada fardu,Ijab, nadb, tahrim, karahah at-tanzih, karahah at-tahrim dan Ibahah.
Tetapi pada umumnya ulama setuju membagi aturan tersebut kepada lima cuilan menyerupai telah disebut di atas. Kelima macam aturan itu menimbulkan efek terhadap perbuatan mukallaf dan efek itu oleh ulama fikih dinamakan al-aḥkām al-khamsah, yaitu,
1. Wajib.
Wajib yaitu perbuatan yang dituntut oleh Allah Swt untuk dilakukan dengan tuntutan pasti, di mana pelakunya akan menerima kebanggaan sekaligus pahala dan yang meninggalkan akan menerima celaan atau hinaan sekaligus hukuman.
Menurut lebih banyak didominasi ulama bahwa wajib yaitu sinonim dari fardu.
2. Mandub.
Mandub yaitu perbuatan yang dituntut oleh Allah Swt dengan tuntutan tidak niscaya atau dengan kata lain segala perbuatan yang diberi pahala kalau mengerjakannya dan tidak di kenai siksa apabila meninggalkannya, mandub ini disebut juga sunah atau mustahab.
3. Muharram (haram).
Muharram yaitu perbuatan yang di tuntut oleh Allah swt untuk di tinggalkan dengan tuntutan niscaya atau dengan kata lain segala perbuatan yang apabila di lakukan menerima siksa dan apabila di tinggalkan menerima pahala contohnya mencuri, membunuh dan lain sebagainya.
4. Makruh.
Makrūh yaitu perbuatan yang dituntut oleh Allah Swt untuk di tinggalkan dengan tuntutan tidak niscaya atau dengan kata lain perbuatan yang bila ditinggalkan, menerima pahala, dan kalau dilakukan tidak menerima dosa. Misalnya: memakan masakan yang menimbulkan amis yang tidak sedap, salat di sangkar unta dan lain sebagainya.
5. Mubah.
Mubah yaitu perbuatan yang dibebaskan oleh Allah Swt untuk dilakukan ataupun ditinggalkan.
2) Hukum wad’i.
a. Pengertian Hukum wad’i.
Hukum wad’i adalah firman Allah Swt yang berafiliasi dengan perbuatan mukallaf yang menjadikan sesuatu sebagai alasannya adanya yang lain, sebagai syarat adanya yang lain dan sebagai penghalang adanya yang lain.
Contoh :
“laki-laki yang mencuri dan wanita yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” ( QS. Al-Maidah : 38).
Ayat ini memutuskan bahwa pencurian menjadi alasannya diwajibkanya potong tangan.
b. Macam-macam Hukum Wad’i.
Dari pengertian di atas maka aturan wad’i terbagi menjadi sebab, syarat, dan mani’ namun sebagian ulama memasukan sah, batal, azimah dan rukhsah sebagai cuilan dari hukum wad’i.
1. Sabab.
Menurut bahasa sesuatu yang sanggup menimbulkan sesuatu yang lain. Menurut istilah yaitu khitab Allah Swt yang menjadikan sesuatu sebagai sabab ada dan tidaknya suatu hukum. Atau adanya sesuatu menimbulkan adanya aturan dan tidak adanya sesuatu menimbulkan tidak adanya hukum.
Contoh : masuknya waktu salat yaitu menimbulkan adanya pelaksanaan shalat dengan tidak adanya masuknya waktu tidak akan ada pelaksanaan shalat.
2. Syarat.
Menurut bahasa sesuatu yang menghendaki adanya sesuatu yang lain. Menurut istilah adanya sesuatu yang menimbulkan adanya hukum, dan tidak adanya sesuatu itu menimbulkan tidak ada pula hukum, namun dengan adanya sesuatu itu tidak mesti pula adanya hukum, atau sesuatu yang padanya tergantung keberadaan sesuatu yang lain dan berada di luar hakekat sesuatu yang lain itu.
Misal : Wudhu yaitu syarat sah shalat, dalam arti adanya shalat tergantung pada adanya wudhu namun wudhu itu sendiri bukanlah merupakan cuilan shalat. kalau tidak ada wudhu maka tidak akan ada sah shalat, namun dengan adanya wudhu tidak mesti ada sah shalat, lantaran sanggup jadi seseorang berwudhu tetapi tidak melaksanakan shalat.
3. Mani’ (penghalang).
Menurut bahasa mani’ yaitu penghalang. Menurut istilah yaitu sesuatu yang di memutuskan syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum. Mani’ terbagi menjadi 2 :
- Mani’ terhadap aturan yaitu sesuatu yang di memutuskan oleh syariat sebagai penghalang bagi berlakunya hukum. menyerupai ḥaiḍ dan nifas yaitu mani’atau penghalang wajibnya shalat meskipun sebabnya ada yaitu masuknya waktu. Membunuh menjadi mani’ adanya aturan yaitu mewarisi meskipun sebabnya ada yaitu kekerabatan.
- Mani’ terhadap sabab yaitu sesuatu yang di memutuskan syariat sebagai penghalang bagi berfungsinya suatu sabab, sehingga sabab itu tidak lagi memiliki akhir hukum. Seperti berhutang menjadi mani’ atau penghalang wajibnya zakat lantaran tidak terwujudnya sabab yaitu kepemilikan satu nisab.
4. Sah.
Sah yaitu suatu perbuatan yang di lakukan oleh mukallaf dengan memenuhi syarat dan rukunnya, referensi di dalam ibadah pelaksanaan shalat, zakat, puasa, haji yang syarat dan rukunya terpenuhi.
Contoh dalam muamalah menyerupai nikah, jual beli, wakaf dsb apabila di lakukan sesuai dngan syarat dan rukunya.
5. Batal.
Batal yaitu suatu perbuatan yang di lakukan oleh mukallaf yang syarat dan rukunnya tidak terpenuhi, menyerupai shalat yang syarat maupun rukunya tidak terpenuhi.
6. Rukhsah.
Rukhsah yaitu sesuatu yang dalam kondisi tertentu di syariatkan dalam rangka menunjukkan dispensasi terhadap mukallaf .
7. Azimah.
Azimah yaitu aturan syara’ yang pokok dan berlaku untuk seluruh mukallaf dan dalam semua keadaan dan waktu, contohnya : shalat farḍu lima waktu sehari semalam, dan puasa pada bulan ramadhan
Menurut lebih banyak didominasi ulama aturan syar’i adalah
“Firman (kalam) Allah yang berkaitan dengan semua perbuatan mukallaf, yang mengandung tuntutan, pilihan atau ketetapan.”
Penjelasan definisi :
Maksud dari “Khiṭab atau firman Allah”adalah Firman Allah Swt secara pribadi yaitu Al-Qur’an atau Firman-Nya tetapi melalui mediator yaitu sunnah, ijma’, dan semua dalil syar’i. Yang di maksud “iqtiḍa’”adalah tuntutan, baik tuntutan untuk melaksanakan atau meninggalkan, atau tuntutan secara niscaya maupun tidak pasti.
Sedangkan “takhyir” yaitu menentukan antara melaksanakan sesuatu atau meninggalkanya tanpa menguatkan salah satunya atau membolehkan mukallaf untuk melaksanakan dan meninggalkan. Dan di maksud “Waḍ’i” yaitu firman Allah Swt yang menjadikan sesuatu sebagai alasannya adanya yang lain atau sebagai syarat adanya yang lain atau sebagai penghalang adanya yang lain.
Sebagai referensi firman Allah Swt surat Al-Maidah : 38
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
"Laki-laki yang mencuri dan wanita yang mencuri potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan dari apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS. Al-Maidah:38)
Ayat di atas yaitu termasuk aturan syar’i lantaran berupa firman Allah Swt yang menjadikan pencurian sebagai alasannya adanya aturan yaitu potong tangan.
Hadits Rasululah Saw
Dari Al Aswad dari Aisyah dari Nabi Saw, ia bersabda: “Diangkat pena dari tiga orang, yaitu orang yang tidur sampai ia bangun, dari anak kecil sampai ia dewasa, dan dari orang yang abnormal sampai ia berilmu atau sadar.”(HR. An-Nasai)
Hadis di atas termasuk aturan syar’i lantaran berupa firman Allah Swt tapi yang berupa hadis yang menjadikan tidur, masih kecil, dan abnormal sebagai penghalang kedewasaan (taklif), sehingga mereka semua tidak terkena hukum.
Dari pengertian al-ḥukm berdasarkan ulama undangan di atas sanggup di ketahui dua hal :
1). Bahwa firman Allah Swt yang tidak berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf tidak di namakan ḥukm, menyerupai firman yang berkaitan dengan dzat dan sifat-Nya, sebagaimana yang difirmankan
وَاللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
"dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. Al-Baqarah :284)
Ayat di atas tidak termasuk al-ḥukm lantaran tidak berkaitan dengan perbuatan manusia, begitu pula Firman-Nya yang berkaitan dengan perbuatan insan tetapi tidak menghendaki tuntutan pilihan atau ketetapan juga tidak di namakan al-ḥukm, menyerupai kisah-kisah dalam Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya yang menceritakan ihwal kekalahan bangsa Romawi
الم . غُلِبَتِ الرُّومُ . فِي أَدْنَى الْأَرْضِ وَهُمْ مِنْ بَعْدِ غَلَبِهِمْ سَيَغْلِبُونَ
“Alif laam Miim, telah dikalahkan bangsa Rumawi,di negeri yang terdekat dan mereka setelah dikalahkan itu akan menang.” (QS. Ar-Rum 1-3)
2) Yang di namakan ḥukm berdasarkan ulama ushul atau yang disebut ushūliyyun yaitu firman Allah Swt itu sendiri sedangkan berdasarkan ulama fikih atau fuqaha’ yang di namakan ḥukm yaitu kandungan firman Allah Swt. Sebagai referensi firman Allah Swt:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا
Menurut ulama ushul ayat di atas disebutal ḥukm sedangkan berdasarkan ulama fikih yang disebut al-ḥukm yaitu kandungan ayat tersebut yaitu haramnya zina.
B. Macam-macam Hukum Syar’i.
Menurut ulama undangan aturan syar’i terbagi menjadi dua macam yaitu aturan taklifi dan aturan wad’i.
1) Hukum Taklifi.
a. Pengertian Hukum Taklifi.
Hukum taklifi yaitu firman Allah Swt yang berafiliasi dengan perbuatan mukallaf yang menghendaki tuntutan untuk melaksanakan atau menjauhi atau untuk menciptakan pilihan. Di namakan aturan taklifi lantaran adanya pembebanan atau tuntutan kepada manusia.
Contohnya, Firman Allah Swt yang menuntut mukallaf untuk melaksanakan suatu perbuatan.
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka,dengan zakat itu kau membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka." (QS. At-Taubah:103)
b. Macam-macam Hukum Taklifi.
Mayoritas ulama ushul membagi aturan taklifi menjadi 5 :
1. Ijab : Yaitu tuntutan Allah Swt kepada mukallaf untuk melaksanakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti.
2. Nadb : yaitu tuntutan Allah Swt kepada mukallaf untuk melaksanakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak niscaya atau proposal untuk melakukan.
3. Tahrim : Yaitu tuntutan Allah Swt kepada mukallaf untuk tidak melaksanakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti.
4. Karahah : yaitu tuntutan Allah Swt kepada mukallaf untuk tidak melaksanakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak niscaya atau proposal untuk menjauhi.
5. Ibahah: yaitu Permintaan Allah Swt kepada mukallaf untuk menentukan antara melaksanakan atau meninggalkan suatu perbuatan.
Ulama Ḥanafi membagi aturan taklifi menjadi 7 cuilan dengan membagi firman Allah Swt yang menuntut melaksanakan suatu perbuatan dengan tuntutan niscaya pada dua cuilan ijab dan farḍu dan membagi karahah menjadi dua yaitu karahah at-tanzih dan karahah at-tahrim.
Dengan pembagian aturan taklifi menyerupai tersebut di atas, Ulama’ Hanafiyah membagi aturan taklifi kepada fardu,Ijab, nadb, tahrim, karahah at-tanzih, karahah at-tahrim dan Ibahah.
Tetapi pada umumnya ulama setuju membagi aturan tersebut kepada lima cuilan menyerupai telah disebut di atas. Kelima macam aturan itu menimbulkan efek terhadap perbuatan mukallaf dan efek itu oleh ulama fikih dinamakan al-aḥkām al-khamsah, yaitu,
1. Wajib.
Wajib yaitu perbuatan yang dituntut oleh Allah Swt untuk dilakukan dengan tuntutan pasti, di mana pelakunya akan menerima kebanggaan sekaligus pahala dan yang meninggalkan akan menerima celaan atau hinaan sekaligus hukuman.
Menurut lebih banyak didominasi ulama bahwa wajib yaitu sinonim dari fardu.
2. Mandub.
Mandub yaitu perbuatan yang dituntut oleh Allah Swt dengan tuntutan tidak niscaya atau dengan kata lain segala perbuatan yang diberi pahala kalau mengerjakannya dan tidak di kenai siksa apabila meninggalkannya, mandub ini disebut juga sunah atau mustahab.
3. Muharram (haram).
Muharram yaitu perbuatan yang di tuntut oleh Allah swt untuk di tinggalkan dengan tuntutan niscaya atau dengan kata lain segala perbuatan yang apabila di lakukan menerima siksa dan apabila di tinggalkan menerima pahala contohnya mencuri, membunuh dan lain sebagainya.
4. Makruh.
Makrūh yaitu perbuatan yang dituntut oleh Allah Swt untuk di tinggalkan dengan tuntutan tidak niscaya atau dengan kata lain perbuatan yang bila ditinggalkan, menerima pahala, dan kalau dilakukan tidak menerima dosa. Misalnya: memakan masakan yang menimbulkan amis yang tidak sedap, salat di sangkar unta dan lain sebagainya.
5. Mubah.
Mubah yaitu perbuatan yang dibebaskan oleh Allah Swt untuk dilakukan ataupun ditinggalkan.
2) Hukum wad’i.
a. Pengertian Hukum wad’i.
Hukum wad’i adalah firman Allah Swt yang berafiliasi dengan perbuatan mukallaf yang menjadikan sesuatu sebagai alasannya adanya yang lain, sebagai syarat adanya yang lain dan sebagai penghalang adanya yang lain.
Contoh :
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“laki-laki yang mencuri dan wanita yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” ( QS. Al-Maidah : 38).
Ayat ini memutuskan bahwa pencurian menjadi alasannya diwajibkanya potong tangan.
b. Macam-macam Hukum Wad’i.
Dari pengertian di atas maka aturan wad’i terbagi menjadi sebab, syarat, dan mani’ namun sebagian ulama memasukan sah, batal, azimah dan rukhsah sebagai cuilan dari hukum wad’i.
1. Sabab.
Menurut bahasa sesuatu yang sanggup menimbulkan sesuatu yang lain. Menurut istilah yaitu khitab Allah Swt yang menjadikan sesuatu sebagai sabab ada dan tidaknya suatu hukum. Atau adanya sesuatu menimbulkan adanya aturan dan tidak adanya sesuatu menimbulkan tidak adanya hukum.
Contoh : masuknya waktu salat yaitu menimbulkan adanya pelaksanaan shalat dengan tidak adanya masuknya waktu tidak akan ada pelaksanaan shalat.
2. Syarat.
Menurut bahasa sesuatu yang menghendaki adanya sesuatu yang lain. Menurut istilah adanya sesuatu yang menimbulkan adanya hukum, dan tidak adanya sesuatu itu menimbulkan tidak ada pula hukum, namun dengan adanya sesuatu itu tidak mesti pula adanya hukum, atau sesuatu yang padanya tergantung keberadaan sesuatu yang lain dan berada di luar hakekat sesuatu yang lain itu.
Misal : Wudhu yaitu syarat sah shalat, dalam arti adanya shalat tergantung pada adanya wudhu namun wudhu itu sendiri bukanlah merupakan cuilan shalat. kalau tidak ada wudhu maka tidak akan ada sah shalat, namun dengan adanya wudhu tidak mesti ada sah shalat, lantaran sanggup jadi seseorang berwudhu tetapi tidak melaksanakan shalat.
3. Mani’ (penghalang).
Menurut bahasa mani’ yaitu penghalang. Menurut istilah yaitu sesuatu yang di memutuskan syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum. Mani’ terbagi menjadi 2 :
- Mani’ terhadap aturan yaitu sesuatu yang di memutuskan oleh syariat sebagai penghalang bagi berlakunya hukum. menyerupai ḥaiḍ dan nifas yaitu mani’atau penghalang wajibnya shalat meskipun sebabnya ada yaitu masuknya waktu. Membunuh menjadi mani’ adanya aturan yaitu mewarisi meskipun sebabnya ada yaitu kekerabatan.
- Mani’ terhadap sabab yaitu sesuatu yang di memutuskan syariat sebagai penghalang bagi berfungsinya suatu sabab, sehingga sabab itu tidak lagi memiliki akhir hukum. Seperti berhutang menjadi mani’ atau penghalang wajibnya zakat lantaran tidak terwujudnya sabab yaitu kepemilikan satu nisab.
4. Sah.
Sah yaitu suatu perbuatan yang di lakukan oleh mukallaf dengan memenuhi syarat dan rukunnya, referensi di dalam ibadah pelaksanaan shalat, zakat, puasa, haji yang syarat dan rukunya terpenuhi.
Contoh dalam muamalah menyerupai nikah, jual beli, wakaf dsb apabila di lakukan sesuai dngan syarat dan rukunya.
5. Batal.
Batal yaitu suatu perbuatan yang di lakukan oleh mukallaf yang syarat dan rukunnya tidak terpenuhi, menyerupai shalat yang syarat maupun rukunya tidak terpenuhi.
6. Rukhsah.
Rukhsah yaitu sesuatu yang dalam kondisi tertentu di syariatkan dalam rangka menunjukkan dispensasi terhadap mukallaf .
7. Azimah.
Azimah yaitu aturan syara’ yang pokok dan berlaku untuk seluruh mukallaf dan dalam semua keadaan dan waktu, contohnya : shalat farḍu lima waktu sehari semalam, dan puasa pada bulan ramadhan
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan ihwal pengertian aturan syar’i (syari'ah) dan macam-macam aturan syar’i. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.