Kebijakan Dan Taktik Khalifah Ali Bin Abi Thalib
Friday, May 8, 2020
Edit
Ali bin Abu Thalib lahir pada hari Jum’at tanggal 13 Rajab di Kota Mekkah sekitar tahun 600 M. Ia lahir dari pasangan Abu Thalib bin Abdull Muthalib dan Fatimah binti Asad. Ketika lahir ibunya memberi nama haidar yang artinya singah. Namun sang ayah lebih suka menamainya Ali artinya tinggi dan luhur. Abu Thalib ialah abang Abdullah ayah Nabi Muhammad Saw. Kaprikornus Ali dan Muhammad Saw ialah saudara sepupu.
Selama masa kepemimpinannya, khalifah Ali sibuk mengurusi mereka yang tidak mau membaiat dirinya tersebut. Sama ibarat pendahulunya yaitu Rasulullah, Abu Bakar dan Umar, Usman, khalifah Ali juga hidup sederhana dan zuhud. Ia tidak bahagia dengan kemewahan hidup. Ia bahkan menentang mereka yang hidup bermewah mewahan.
Adapun Kebijakan dan Strategi Khalifah Ali bin Abi Thalib
a. Penggantian pejabat usang dengan yang baru.
Khalifah Ali bin Abu Thalib memerintah hanya enam tahun. Selama masa pemerintahannya, ia menghadapi banyak sekali pergolakan. Tidak ada masa sedikitpun dalam pemerintahannya yang sanggup dikatakan stabil. Setelah menduduki jabatan khalifah, Ali memecat para gubernur yang diangkat oleh Usman. Dia yakin bahwa pemberontakan-pemberontakan terjadi dikarenakan keteledoran mereka.
b. Penarikan Kembali Tanah Hadiah.
Ali juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan Usman kepada penduduk dengan menyerahkan hasl pendapatannya kepada negara., dan menggunakan kembali sistem distribusi pajak tahunan di antara orang-orang Islam sebagaimana pernah diterapkan oleh Umar bin Khatab.
c. Mengadapi Para Pemberontak.
Setelah kebijakan tersebut diterapkan, Ali bin Abu Thalib menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair dan Aisyah. Alasan mereka, Ali tidak mau menghukum para pembunuh Usman, dan mereka menuntut bela terhadap darah Usman yang telah ditumpahkan secara zalim. Ali gotong royong ingin sekali menghindari perang. Dia mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair semoga keduanya mau berunding untuk menuntaskan masalah tersebut secara damai. Namun seruan tersebut ditolak.
Akhirnya, pertempuran yang dahsyat pun terjadi. Perang ini dikenal dengan nama Perang Jamal (Perang Unta), alasannya ialah Aisyah dalam pertempuran ini menunggang unta. Ali berhasil mengalahkan lawannya. Zubair dan Thalhah terbunuh saat hendak melarikan diri, sedangkan Aisyah ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.
Bersamaan dengan itu, kebijaksanaan-kebijasanaan Ali juga menimbulkan timbulnya perlawanan dari gubernur di Damaskus yaitu Muawiyah, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan. Setelah berhasil memadamkan pemberontakan Zubair, Thalhah dan Aisyah, Ali bergerak dari Kufah menuju Damaskus dengan sejumlah besar tentara. Pasukannya bertemu dengan pasukan Muawiyah di Siffin.
Pertempuran tersebut dikenal dengan nama perang Siffin. Perang ini diakhiri dengan tahkim (arbitrase), tetapi tahkim ternyata tidak menuntaskan masalah, bahkan menimbulkan timbulnya golongan ketiga yaitu al Khawarij, artinya orang-orang yang keluar dari barisan Ali. Akibatnya di ujung masa pemerintahan Ali bin Abu Thalib umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik, yaitu Muawiyah, Syi’ah (pengikut) Ali dan al Khawarij atau orang-orang yang keluar dari barisan Ali. Keadaan Iini tidak menguntungkan Ali. Munculnya kelompok Khawarij menimbulkan tentaranya semakin melemah, sementara posisi Muawiyah semakin kuat. Pada tanggal 20 Ramadhan 40 H (660 M), Ali terbunuh oleh salah satu anggota kelompok Khawarij yakni Ibnu Muljam.
Kedudukan Ali sebagai khalifah kemudian dijabat oleh putranya yang berjulukan Hasan bin Ali selama beberapa bulan. Namun alasannya ialah Hasan ternyata lemah, sementara Muawiyah kuat, maka Hasan menciptakan perjanjian damai. Perjajian ini sanggup mempersatukan umat Islam kembali dalam satu kepemimpinan politik, di bawah Muawiyah bin Abu Sufyan.
Di sisi lain, perjanjian itu juga menimbulkan Muawiyah menjadi penguasa otoriter dalam Islam. Tahun 41 H (661 M), tahun persatuan ini dikenal dalam sejarah sebagai tahun Amul Jamaah. Dengan demikian berakhirlah apa yang disebut dengan Khulafaur Rasyidin dan dimulailah kekuasaan Bani Umayyah dalam sejarah politik Islam.
Selama masa kepemimpinannya, khalifah Ali sibuk mengurusi mereka yang tidak mau membaiat dirinya tersebut. Sama ibarat pendahulunya yaitu Rasulullah, Abu Bakar dan Umar, Usman, khalifah Ali juga hidup sederhana dan zuhud. Ia tidak bahagia dengan kemewahan hidup. Ia bahkan menentang mereka yang hidup bermewah mewahan.
Adapun Kebijakan dan Strategi Khalifah Ali bin Abi Thalib
a. Penggantian pejabat usang dengan yang baru.
Khalifah Ali bin Abu Thalib memerintah hanya enam tahun. Selama masa pemerintahannya, ia menghadapi banyak sekali pergolakan. Tidak ada masa sedikitpun dalam pemerintahannya yang sanggup dikatakan stabil. Setelah menduduki jabatan khalifah, Ali memecat para gubernur yang diangkat oleh Usman. Dia yakin bahwa pemberontakan-pemberontakan terjadi dikarenakan keteledoran mereka.
b. Penarikan Kembali Tanah Hadiah.
Ali juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan Usman kepada penduduk dengan menyerahkan hasl pendapatannya kepada negara., dan menggunakan kembali sistem distribusi pajak tahunan di antara orang-orang Islam sebagaimana pernah diterapkan oleh Umar bin Khatab.
c. Mengadapi Para Pemberontak.
Setelah kebijakan tersebut diterapkan, Ali bin Abu Thalib menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair dan Aisyah. Alasan mereka, Ali tidak mau menghukum para pembunuh Usman, dan mereka menuntut bela terhadap darah Usman yang telah ditumpahkan secara zalim. Ali gotong royong ingin sekali menghindari perang. Dia mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair semoga keduanya mau berunding untuk menuntaskan masalah tersebut secara damai. Namun seruan tersebut ditolak.
Akhirnya, pertempuran yang dahsyat pun terjadi. Perang ini dikenal dengan nama Perang Jamal (Perang Unta), alasannya ialah Aisyah dalam pertempuran ini menunggang unta. Ali berhasil mengalahkan lawannya. Zubair dan Thalhah terbunuh saat hendak melarikan diri, sedangkan Aisyah ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.
Bersamaan dengan itu, kebijaksanaan-kebijasanaan Ali juga menimbulkan timbulnya perlawanan dari gubernur di Damaskus yaitu Muawiyah, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan. Setelah berhasil memadamkan pemberontakan Zubair, Thalhah dan Aisyah, Ali bergerak dari Kufah menuju Damaskus dengan sejumlah besar tentara. Pasukannya bertemu dengan pasukan Muawiyah di Siffin.
Pertempuran tersebut dikenal dengan nama perang Siffin. Perang ini diakhiri dengan tahkim (arbitrase), tetapi tahkim ternyata tidak menuntaskan masalah, bahkan menimbulkan timbulnya golongan ketiga yaitu al Khawarij, artinya orang-orang yang keluar dari barisan Ali. Akibatnya di ujung masa pemerintahan Ali bin Abu Thalib umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik, yaitu Muawiyah, Syi’ah (pengikut) Ali dan al Khawarij atau orang-orang yang keluar dari barisan Ali. Keadaan Iini tidak menguntungkan Ali. Munculnya kelompok Khawarij menimbulkan tentaranya semakin melemah, sementara posisi Muawiyah semakin kuat. Pada tanggal 20 Ramadhan 40 H (660 M), Ali terbunuh oleh salah satu anggota kelompok Khawarij yakni Ibnu Muljam.
Kedudukan Ali sebagai khalifah kemudian dijabat oleh putranya yang berjulukan Hasan bin Ali selama beberapa bulan. Namun alasannya ialah Hasan ternyata lemah, sementara Muawiyah kuat, maka Hasan menciptakan perjanjian damai. Perjajian ini sanggup mempersatukan umat Islam kembali dalam satu kepemimpinan politik, di bawah Muawiyah bin Abu Sufyan.
Di sisi lain, perjanjian itu juga menimbulkan Muawiyah menjadi penguasa otoriter dalam Islam. Tahun 41 H (661 M), tahun persatuan ini dikenal dalam sejarah sebagai tahun Amul Jamaah. Dengan demikian berakhirlah apa yang disebut dengan Khulafaur Rasyidin dan dimulailah kekuasaan Bani Umayyah dalam sejarah politik Islam.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan perihal kebijakan dan taktik Khalifah Ali bin Abi Thalib semasa menjadi khalifah. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.