Kejujuran Seorang Khalifah
Saturday, September 8, 2007
Edit
Kota Andalusia, Spanyol, dikuasai oleh seorang khalifah yang jujur dan adil berjulukan Al-Manshur bin Abi Amir Al-Hajib. Dia memiliki rencana besar untuk membangun suatu jembatan selaku penghubung dua kota yang dipisahkan suatu sungai.
Proyek itu dianggarkan empat puluh ribu dinar emas. Meskipun menelan ongkos besar, khalifah menyaksikan segi keuntungannya yang lebih besar bagi kelangsungan transportasi dan acara perekonomian masyarakatnya.
Diharapkan proyek itu sanggup terealisasi. Oleh alasannya yaitu itu, penguasa mesti berbelanja sepetak tanah milik orang renta yang miskin alasannya yaitu pada tanah itulah akan dibangun fondasi untuk jembatan tersebut. Khalifah mengutus petugas proyek untuk berbelanja tanah tersebut dengan harga 100 dinar.
Petugas proyek pun menjalankan perintah tersebut. Ia menemui si pemilik tanah dan mengajukan pertanyaan kepadanya, "Berapa akan kaujual tanahmu ini?"
Orang renta miskin itu menjawab, "Lima dinar!"
Melihat proposal orang renta miskin yang sungguh minim tersebut, petugas proyek berpikir untuk berbelanja tanah tersebut di bawah harga yang ditetapkan oleh sang khalifah. Artinya, ia sudah meminimalisir pengeluaran negara.
Akhirnya, petugas tersebut menawar tanah yang dimaksud dengan harga 10 dinar, yang mempunyai arti dua kali lipat dari harga yang diminta pemilik tanah.
Tentu saja orang renta itu senang bukan kepalang. Baginya duit sepuluh dinar sungguh besar. Ia sanggup berbelanja tanah gres dan menabung sisanya.
Sementara itu, petugas proyek merasa sudah mengakhiri tugasnya dengan baik, bahkan menilai dirinya sudah berjasa meminimalisir pengeluaran negara. Ia pun menceritakan tawar-menawar yang terjadi dan berharap sang khalifah akan memuji idenya.
Mendengar hal tersebut raut muka sang khalifah memamerkan ketidakpuasan yang mendalam terhadap petugasnya. Ia pun mengutus untuk mengundang laki-laki renta miskin itu ke hadapannya.
Perintah pun dilaksanakan. Tidak usang kemudian, laki-laki renta itu tiba menghadap dengan seribu tanda tanya di kepalanya, "Apakah khalifah akan memarahiku dikarenakan sudah memasarkan tanah dengan harga mahal?" pikirnya.
Di luar dugaan, ternyata Khalifah Manshur menyambutnya dengan muka ceria seraya berkata, "Wahai Bapak Tua, benarkah engkau rela memasarkan tanahmu dengan harga sepuluh dinar?"
"Benar, Tuan. Aku sudah nrimo menjualnya," jawab laki-laki renta itu.
Khalifah Manshur kembali berkata, "Bapak Tua, tanah itu akan digunakan untuk kepentingan dan kemaslahatan bersama. Oleh alasannya yaitu itu, saya sampaikan terima kasih kepadamu atas kesediaan memasarkan tanah dengan harga murah. Namun, sebelumnya kami sudah menegaskan untuk berbelanja tanahmu seharga seratus dinar. Jadi, terimalah sisa pembayaran yang mesti kauterima!"
Lelaki renta itu terperanjat atas keputusan sang khalifah. Sama sekali ia tidak menyangka hak-haknya akan dihargai sedemikian rupa oleh penguasa. Ia pun berdoa supaya keberkahan selalu dicurahkan terhadap pemimpin yang adil dan memprioritaskan hak-hak rakyatnya.
Proyek itu dianggarkan empat puluh ribu dinar emas. Meskipun menelan ongkos besar, khalifah menyaksikan segi keuntungannya yang lebih besar bagi kelangsungan transportasi dan acara perekonomian masyarakatnya.
Diharapkan proyek itu sanggup terealisasi. Oleh alasannya yaitu itu, penguasa mesti berbelanja sepetak tanah milik orang renta yang miskin alasannya yaitu pada tanah itulah akan dibangun fondasi untuk jembatan tersebut. Khalifah mengutus petugas proyek untuk berbelanja tanah tersebut dengan harga 100 dinar.
Petugas proyek pun menjalankan perintah tersebut. Ia menemui si pemilik tanah dan mengajukan pertanyaan kepadanya, "Berapa akan kaujual tanahmu ini?"
Orang renta miskin itu menjawab, "Lima dinar!"
Melihat proposal orang renta miskin yang sungguh minim tersebut, petugas proyek berpikir untuk berbelanja tanah tersebut di bawah harga yang ditetapkan oleh sang khalifah. Artinya, ia sudah meminimalisir pengeluaran negara.
Akhirnya, petugas tersebut menawar tanah yang dimaksud dengan harga 10 dinar, yang mempunyai arti dua kali lipat dari harga yang diminta pemilik tanah.
Tentu saja orang renta itu senang bukan kepalang. Baginya duit sepuluh dinar sungguh besar. Ia sanggup berbelanja tanah gres dan menabung sisanya.
Sementara itu, petugas proyek merasa sudah mengakhiri tugasnya dengan baik, bahkan menilai dirinya sudah berjasa meminimalisir pengeluaran negara. Ia pun menceritakan tawar-menawar yang terjadi dan berharap sang khalifah akan memuji idenya.
Mendengar hal tersebut raut muka sang khalifah memamerkan ketidakpuasan yang mendalam terhadap petugasnya. Ia pun mengutus untuk mengundang laki-laki renta miskin itu ke hadapannya.
Perintah pun dilaksanakan. Tidak usang kemudian, laki-laki renta itu tiba menghadap dengan seribu tanda tanya di kepalanya, "Apakah khalifah akan memarahiku dikarenakan sudah memasarkan tanah dengan harga mahal?" pikirnya.
Di luar dugaan, ternyata Khalifah Manshur menyambutnya dengan muka ceria seraya berkata, "Wahai Bapak Tua, benarkah engkau rela memasarkan tanahmu dengan harga sepuluh dinar?"
"Benar, Tuan. Aku sudah nrimo menjualnya," jawab laki-laki renta itu.
Khalifah Manshur kembali berkata, "Bapak Tua, tanah itu akan digunakan untuk kepentingan dan kemaslahatan bersama. Oleh alasannya yaitu itu, saya sampaikan terima kasih kepadamu atas kesediaan memasarkan tanah dengan harga murah. Namun, sebelumnya kami sudah menegaskan untuk berbelanja tanahmu seharga seratus dinar. Jadi, terimalah sisa pembayaran yang mesti kauterima!"
Lelaki renta itu terperanjat atas keputusan sang khalifah. Sama sekali ia tidak menyangka hak-haknya akan dihargai sedemikian rupa oleh penguasa. Ia pun berdoa supaya keberkahan selalu dicurahkan terhadap pemimpin yang adil dan memprioritaskan hak-hak rakyatnya.