Kisah Pencuri Saleh
Friday, September 7, 2007
Edit
Seorang cowok lugu menuntut ilmu terhadap seorang guru fara'idh (ilmu hitung harta waris). Kehidupan ekonomi sang guru sungguh pas-pasan. Dalam suatu kesempatan, sang guru berkata terhadap murid-muridnya, "Kalian dihentikan menjadi beban orang lain. Sesungguhnya orang alim yang menengadahkan tangannya terhadap orang-orang yang berharta tidak ada kebaikan pada dirinya. Pergilah kalian semua dan bekerjalah menyerupai pekerjaan ayah kalian masing-masing. Bawalah senantiasa kejujuran dan ketakwaan terhadap Allah dalam menjalankan pekerjaan tersebut!"
Pemuda itu tidak tahu tentang pekerjaan ayahnya yang sudah meninggal. Ia pun secepatnya pulang ke rumah untuk menanyakan hal tersebut terhadap sang ibu.
Setibanya di rumah, cowok itu menemui ibunya, kemudian berkata, "Bu, tolong beri tahu kepadaku apa pekerjaan sepeninggal ayah dahulu?"
Sang ibu heran dengan pertanyaan anaknya yang tiba-tiba itu. Ia pun balik bertanya, "Apa urusanmu hingga ingin mengenali pekerjaan ayahmu?" Ungkapan sang ibu itu berbincang bahwa ia enggan menjawab pertanyaan anaknya.
Pemuda itu terus-menerus memaksa ibunya mudah-mudahan mengungkapkan pekerjaan ayahnya. Lama-kelamaan sang ibu tidak tahan merespon desakan anaknya. Dengan nada tinggi, sang ibu berkata, "Ketahuilah bahwa ayahmu dahulu yakni seorang pencuri!"
Bukan kecewa yang dicicipi cowok itu di saat mengenali ayahnya yakni pencuri, melainkan keinginan yang menggebu-gebu untuk mengikuti jejak ayahnya sesuai dengan tawaran yang disampaikan oleh gurunya.
Pemuda itu menerangkan terhadap ibunya, "Aku ditugaskan oleh guruku untuk melakukan pekerjaan menyerupai pekerjaan ayahku tanpa meninggalkan kejujuran dan ketakwaan terhadap Allah dalam bekerja."
"Hai, Anakku! Apakah dalam mencuri ada ketakwaan?" sela ibunya.
Anaknya menjawab dengan keluguannya, "Ya, begitulah kata guruku."
Ia pun berguru bagaimana menjalankan profesi selaku pencuri. Ketika ilmu teknik mencuri yang didalaminya sudah cukup. Ia pun menentukan untuk beraksi melaksanakan perintah sang guru.
Seusai shalat Isya' dan siapa saja tertidur lelap, ia pun keluar rumah untuk menjalankan agresi perdananya. Ia senantiasa ingat pesan gurunya untuk menenteng kejujuran dan ketakwaan dikala bekerja.
Rumah yang diincar pertama kali yakni yang terdekat dengan rumahnya, yakni rumah tetangganya sendiri. Namun, ia ingat bahwa mengusik tetangga bukanlah pekerjaan takwa. Kemudian ia urungkan niatnya untuk mencuri di rumah tetangganya.
Begitu pula, di saat hendak mencuri di rumah anak yatim, ia berpikir, "Allah memperingatkan untuk tidak mengkonsumsi harta anak yatim." Ia pun pergi mencari rumah berikutnya.
Sambil berjalan, ia merenung, ternyata tidak gampang untuk menjadi pencuri yang bertakwa. Bagaimana pun juga mengambil harta orang lain tidak diperbolehkan agama. Akan tetapi, perintah sang guru mesti dilaksanakan. Tidak boleh berputus asa!
Langkahnya terhenti di suatu rumah besar nan megah. Konon pemilik rumah itu tenar memiliki harta berlimpah melampaui kebutuhannya. Dengan kekurangan ilmunya, ia berasumsi bahwa tidak mengapa kalau mengambil zakat dari kekayaan orang tersebut. Toh, bab zakat itu bukan hak si empunya kekayaan, namun hak orang miskin.
Tekad yang lingkaran mendorongnya untuk masuk ke dalam rumah besar yang tidak berpenjaga tersebut. Satu per satu kamar ia selidiki untuk mendapatkan daerah penyimpanan harta.
Akhirnya, ia hingga di suatu kamar besar dan didapatinya suatu kotak besar berisi emas, perak, dan duit tunai. Ia kumpulkan buku-buku catatan yang berisi pembukuan keuangan si pedagang kaya tersebut. Dengan lentera kecil yang dibawanya, ia mulai menjumlah zakat yang mesti dikeluarkan oleh orang kaya itu.
Keahlian dalam hal keuangan, pembukuan, dan pembagian harta ia kerahkan di sana. Dikarenakan begitu banyaknya perkiraan yang mesti diselesaikan, ia pun lupa waktu. Fajar sudah menyingsing membuktikan tiba waktu shalat Subuh.
Sang tuan rumah pun sudah berdiri dari lelapnya untuk melaksanakan shalat Subuh. Alangkah terkejutnya di saat kamar daerah penyimpanan hartanya sudah terbuka. Apalagi ia mendapati seseorang tengah asyik dengan buku-buku catatannya di bawah cahaya lentera kecil.
Dengan lantang, si tuan rumah menghardik cowok tersebut, "Hai! Siapa kau!"
Sang cowok terkesiap mendengar teguran tersebut. Saat disadarinya hari sudah nyaris terang, ia bergegas untuk melaksanakan shalat. Ia berkata terhadap si pemilik rumah, "Maaf, akan saya jelaskan nanti. Tapi, izinkan saya untuk shalat Subuh apalagi dahulu."
Akhirnya, mereka berdua pun shalat Subuh berjemaah dengan si tuan rumah selaku imamnya. Usai shalat, cowok itu mengaku terhadap tuan rumah, "Saya pencuri."
Si tuan rumah kian bertambah keheranannya, "Lantas apa yang kamu kerjakan dengan buku-buku catatanku?" tanya tuan rumah.
"Aku sedang menjumlah zakat yang belum kamu keluarkan selama enam tahun. Ini hasilnya," jawab cowok itu sambil memberikan hasil perhitungannya.
Ia pun menasihati si tuan rumah tentang kelebihan zakat. Tiada kemarahan terlihat di paras si tuan rumah. Ia malah terkagum-kagum akan kejujuran serta kepandaian dan ketepatan si pencuri dalam berhitung. Selain itu, ia jadi mengenali tentang pentingnya mengeluarkan zakat.
Akhirnya, si tuan rumah mengangkatnya menjadi sekretaris dan juru hitung pribadinya. Ia pun menikahkan sang cowok dengan putrinya. Ibu si cowok tinggal bareng mereka. Berkat kejujuran dan ketakwaan yang dibawa sang cowok dalam perbuatannya, kebahagiaan mengunjungi dirinya dan orang lain.
Pemuda itu tidak tahu tentang pekerjaan ayahnya yang sudah meninggal. Ia pun secepatnya pulang ke rumah untuk menanyakan hal tersebut terhadap sang ibu.
Setibanya di rumah, cowok itu menemui ibunya, kemudian berkata, "Bu, tolong beri tahu kepadaku apa pekerjaan sepeninggal ayah dahulu?"
Sang ibu heran dengan pertanyaan anaknya yang tiba-tiba itu. Ia pun balik bertanya, "Apa urusanmu hingga ingin mengenali pekerjaan ayahmu?" Ungkapan sang ibu itu berbincang bahwa ia enggan menjawab pertanyaan anaknya.
Pemuda itu terus-menerus memaksa ibunya mudah-mudahan mengungkapkan pekerjaan ayahnya. Lama-kelamaan sang ibu tidak tahan merespon desakan anaknya. Dengan nada tinggi, sang ibu berkata, "Ketahuilah bahwa ayahmu dahulu yakni seorang pencuri!"
Bukan kecewa yang dicicipi cowok itu di saat mengenali ayahnya yakni pencuri, melainkan keinginan yang menggebu-gebu untuk mengikuti jejak ayahnya sesuai dengan tawaran yang disampaikan oleh gurunya.
Pemuda itu menerangkan terhadap ibunya, "Aku ditugaskan oleh guruku untuk melakukan pekerjaan menyerupai pekerjaan ayahku tanpa meninggalkan kejujuran dan ketakwaan terhadap Allah dalam bekerja."
"Hai, Anakku! Apakah dalam mencuri ada ketakwaan?" sela ibunya.
Anaknya menjawab dengan keluguannya, "Ya, begitulah kata guruku."
Ia pun berguru bagaimana menjalankan profesi selaku pencuri. Ketika ilmu teknik mencuri yang didalaminya sudah cukup. Ia pun menentukan untuk beraksi melaksanakan perintah sang guru.
Seusai shalat Isya' dan siapa saja tertidur lelap, ia pun keluar rumah untuk menjalankan agresi perdananya. Ia senantiasa ingat pesan gurunya untuk menenteng kejujuran dan ketakwaan dikala bekerja.
Rumah yang diincar pertama kali yakni yang terdekat dengan rumahnya, yakni rumah tetangganya sendiri. Namun, ia ingat bahwa mengusik tetangga bukanlah pekerjaan takwa. Kemudian ia urungkan niatnya untuk mencuri di rumah tetangganya.
Begitu pula, di saat hendak mencuri di rumah anak yatim, ia berpikir, "Allah memperingatkan untuk tidak mengkonsumsi harta anak yatim." Ia pun pergi mencari rumah berikutnya.
Sambil berjalan, ia merenung, ternyata tidak gampang untuk menjadi pencuri yang bertakwa. Bagaimana pun juga mengambil harta orang lain tidak diperbolehkan agama. Akan tetapi, perintah sang guru mesti dilaksanakan. Tidak boleh berputus asa!
Langkahnya terhenti di suatu rumah besar nan megah. Konon pemilik rumah itu tenar memiliki harta berlimpah melampaui kebutuhannya. Dengan kekurangan ilmunya, ia berasumsi bahwa tidak mengapa kalau mengambil zakat dari kekayaan orang tersebut. Toh, bab zakat itu bukan hak si empunya kekayaan, namun hak orang miskin.
Tekad yang lingkaran mendorongnya untuk masuk ke dalam rumah besar yang tidak berpenjaga tersebut. Satu per satu kamar ia selidiki untuk mendapatkan daerah penyimpanan harta.
Akhirnya, ia hingga di suatu kamar besar dan didapatinya suatu kotak besar berisi emas, perak, dan duit tunai. Ia kumpulkan buku-buku catatan yang berisi pembukuan keuangan si pedagang kaya tersebut. Dengan lentera kecil yang dibawanya, ia mulai menjumlah zakat yang mesti dikeluarkan oleh orang kaya itu.
Keahlian dalam hal keuangan, pembukuan, dan pembagian harta ia kerahkan di sana. Dikarenakan begitu banyaknya perkiraan yang mesti diselesaikan, ia pun lupa waktu. Fajar sudah menyingsing membuktikan tiba waktu shalat Subuh.
Sang tuan rumah pun sudah berdiri dari lelapnya untuk melaksanakan shalat Subuh. Alangkah terkejutnya di saat kamar daerah penyimpanan hartanya sudah terbuka. Apalagi ia mendapati seseorang tengah asyik dengan buku-buku catatannya di bawah cahaya lentera kecil.
Dengan lantang, si tuan rumah menghardik cowok tersebut, "Hai! Siapa kau!"
Sang cowok terkesiap mendengar teguran tersebut. Saat disadarinya hari sudah nyaris terang, ia bergegas untuk melaksanakan shalat. Ia berkata terhadap si pemilik rumah, "Maaf, akan saya jelaskan nanti. Tapi, izinkan saya untuk shalat Subuh apalagi dahulu."
Akhirnya, mereka berdua pun shalat Subuh berjemaah dengan si tuan rumah selaku imamnya. Usai shalat, cowok itu mengaku terhadap tuan rumah, "Saya pencuri."
Si tuan rumah kian bertambah keheranannya, "Lantas apa yang kamu kerjakan dengan buku-buku catatanku?" tanya tuan rumah.
"Aku sedang menjumlah zakat yang belum kamu keluarkan selama enam tahun. Ini hasilnya," jawab cowok itu sambil memberikan hasil perhitungannya.
Ia pun menasihati si tuan rumah tentang kelebihan zakat. Tiada kemarahan terlihat di paras si tuan rumah. Ia malah terkagum-kagum akan kejujuran serta kepandaian dan ketepatan si pencuri dalam berhitung. Selain itu, ia jadi mengenali tentang pentingnya mengeluarkan zakat.
Akhirnya, si tuan rumah mengangkatnya menjadi sekretaris dan juru hitung pribadinya. Ia pun menikahkan sang cowok dengan putrinya. Ibu si cowok tinggal bareng mereka. Berkat kejujuran dan ketakwaan yang dibawa sang cowok dalam perbuatannya, kebahagiaan mengunjungi dirinya dan orang lain.