Mengalahkan Perampok Dengan Kejujuran
Sunday, September 23, 2007
Edit
Abdul Qadir Al-Jaelani yang memiliki nama lengkap Abu Muhammad Abdul Qadir bin Abi Shalih Al-Hasani Al-Husaini merupakan seorang ulama besar yang sederhana dan rendah hati. Ia dimengerti selaku pendiri Tarekat Qadariyah. Namanya juga dimengerti dalam lingkungan tasawuf.
Sebuah dongeng menggambarkan mengenai dirinya. Kala itu beliau hendak berangkat dari kota Mekah menuju Baghdad untuk menuntut ilmu. Ibunya memberinya perbekalan duit sejumlah empat puluh dinar dan berpesan mudah-mudahan selama perjalanan tidak berkata bohong.
Di tengah perjalanan, beliau dihadang oleh gerombolan perampok, tepatnya di tempat Hamadah. Mereka merampas harta dan perbekalan kafilah yang kebetulan melalui jalan itu juga. Salah seorang perampok yang beringas menghampiri Abdul Qadir dan menodongnya, "Apa yang kaubawa?!"
Tanpa berbohong, sesuai amanah sang ibu, beliau menjawab, "Empat puluh dinar."
Digeledahlah busana dan tas bawaan Abdul Qadir. Karena tidak menemukannya, perampok itu menghardiknya, "Di mana kamu letakkan duit itu?!"
Abdul Qadir pun menjawabnya dengan jujur, "Di kantong sebelah sini," tunjuknya.
Benar juga, perampok itu menerima duit yang dibawa Abdul Qadir ditempat yang beliau katakan. Jumlahnya pun sempurna empat puluh dinar. Sebenarnya ada rasa heran dalam diri perampok tersebut, gres kali ini beliau menerima korban yang dengan bahagia hati menampilkan hartanya terhadap perampok.
Keheranannya itu beliau laporkan terhadap pimpinannya. Setelah mendapatkan gunjingan mengagetkan dari anak buahnya, pimpinan perampok itu mengajukan pertanyaan terhadap Abdul Qadir, "Apa yang mendorongmu untuk berkata jujur terhadap kami?"
Abdul Qadir menjawab, "Sebelum berangkat, ibu saya berpesan mudah-mudahan tidak berbohong dalam keadaan apa pun. Saya cuma melaksanakan pesannya."
Pimpinan perampok terhenyak mendengar klarifikasi dari korbannya. Lalu, beliau berkata, "Engkau takut melanggar pesan ibumu, sedangkan kami tidak takut melanggar perintah Allah. Betapa zalimnya kami!"
Mereka pun meratapi perbuatannya dan bertobat.
Sebuah dongeng menggambarkan mengenai dirinya. Kala itu beliau hendak berangkat dari kota Mekah menuju Baghdad untuk menuntut ilmu. Ibunya memberinya perbekalan duit sejumlah empat puluh dinar dan berpesan mudah-mudahan selama perjalanan tidak berkata bohong.
Di tengah perjalanan, beliau dihadang oleh gerombolan perampok, tepatnya di tempat Hamadah. Mereka merampas harta dan perbekalan kafilah yang kebetulan melalui jalan itu juga. Salah seorang perampok yang beringas menghampiri Abdul Qadir dan menodongnya, "Apa yang kaubawa?!"
Tanpa berbohong, sesuai amanah sang ibu, beliau menjawab, "Empat puluh dinar."
Digeledahlah busana dan tas bawaan Abdul Qadir. Karena tidak menemukannya, perampok itu menghardiknya, "Di mana kamu letakkan duit itu?!"
Abdul Qadir pun menjawabnya dengan jujur, "Di kantong sebelah sini," tunjuknya.
Benar juga, perampok itu menerima duit yang dibawa Abdul Qadir ditempat yang beliau katakan. Jumlahnya pun sempurna empat puluh dinar. Sebenarnya ada rasa heran dalam diri perampok tersebut, gres kali ini beliau menerima korban yang dengan bahagia hati menampilkan hartanya terhadap perampok.
Keheranannya itu beliau laporkan terhadap pimpinannya. Setelah mendapatkan gunjingan mengagetkan dari anak buahnya, pimpinan perampok itu mengajukan pertanyaan terhadap Abdul Qadir, "Apa yang mendorongmu untuk berkata jujur terhadap kami?"
Abdul Qadir menjawab, "Sebelum berangkat, ibu saya berpesan mudah-mudahan tidak berbohong dalam keadaan apa pun. Saya cuma melaksanakan pesannya."
Pimpinan perampok terhenyak mendengar klarifikasi dari korbannya. Lalu, beliau berkata, "Engkau takut melanggar pesan ibumu, sedangkan kami tidak takut melanggar perintah Allah. Betapa zalimnya kami!"
Mereka pun meratapi perbuatannya dan bertobat.