Kisah Penjaga Kebun Buah-Buahan
Wednesday, September 5, 2007
Edit
Alkisah ada seorang penjaga kebun buah-buahan berjulukan Mubarok. Dia yaitu orang jujur dan amanah. Sudah beberapa tahun ia melakukan pekerjaan di kebun tersebut.
Suatu hari majikannya, sang pemiliki kebun, tiba mendatangi kebunnya. Ia sedang mengalami problem yang pelik dan sukar untuk dicarikan jalan keluarnya. Putrinya yang telah beranjak remaja berkembang menjadi seorang gadis yang anggun dan banyak lelaki yang ingin mempersuntingnya.
Yang menjadi permasalahan baginya yaitu semua lelaki yang ingin mempersunting putrinya yaitu saudara dan kawan dekat dekatnya. Ia mesti memutuskan salah satu dari mereka, tapi ia khawatir kalau menyinggung bagi saudara yang tidak terpilih.
Sambil beristirahat dan menenangkan pikiran, ia menjajal merasakan hasil kebunnya. Dipanggillah Mubarok, penjaga kebun itu.
"Hai Mubarok, kemarilah! Tolong ambilkan saya buah yang manis!" perintahnya.
Dengan gesit Mubarok secepatnya memetik buah-buahan yang diminta, lalu diberikan terhadap majikannya.
Ketika buah tersebut disantap sang majikan, ternyata rasanya masam sekali. Majikan Mubarok berkata, "Wahai Mubarok! Buah ini masam sekali! Berikan saya buah yang manis!" pinta sang majikan lagi.
Untuk kedua kalinya, buah yang diberikan Mubarok masih terasa masam. Sang majikan terheran-heran, telah sekian usang ia memberdayakan Mubarok, tapi mengapa si penjaga kebun ini tidak dapat membedakan antara buah masam dan manis? Ah, mungkin ia lupa, pikir sang majikan. Dimintanya Mubarok untuk memetikkan kembali buah yang manis. Hasilnya sama saja, buah ketiga masih terasa masam.
Rasa ingin tau muncul dari sang majikan. Dipanggillah Mubarok, "Bukankah kau telah usang melakukan pekerjaan di sini? Mengapa kau tidak tahu buah yang manis dan masam?" tanya sang majikan.
Mubarok menjawab, "Maaf Tuan, saya tidak tahu bagaimana rasa buah-buahan yang berkembang di kebun ini alasannya yaitu saya tidak pernah mencicipinya!"
"Aneh, bukankah amat mudah bagimu untuk memetik buah-buahan di sini, mengapa tidak ada satu pun yang kaumakan?" tanya majikannya.
"Saya tidak akan menyantap sesuatu yang belum terang kehalalannya bagiku. Buah-buahan itu bukan milikku, jadi saya tidak berhak untuk memakannya sebelum menemukan izin dari pemiliknya," terang Mubarok.
Sang majikan terkejut dengan klarifikasi penjaga kebunnya tersebut. Dia tidak lagi menatap Mubarok sebatas tukang kebun, melainkan selaku seseorang yang jujur dan tinggi kedudukannya di mata Allah SWT. Ia berpikir mungkin Mubarok bisa mencarikan jalan keluar atas permasalahan rumit yang tengah dihadapinya.
Mulailah sang majikan bercerita wacana lamaran saudara dan teman-teman dekatnya terhadap putrinya. Ia menyelesaikan ceritanya dengan mengajukan pertanyaan terhadap Mubarok, "Menurutmu, siapakah yang layak menjadi pendamping putriku?"
Mubarok menjawab, "Dulu orang-orang jahiliah mencarikan kandidat suami untuk putri-putri mereka menurut keturunan. Orang Yahudi menikahkan putrinya menurut harta, sementara orang Kristen menikahkan putrinya menurut keayuan fisik semata. Namun, Rasulullah mengajarkan sebaik mungkin umat yaitu yang menikahkan alasannya yaitu agamanya."
Sang majikan eksklusif terjaga akan kekhilafannya. Mubarok benar, mengapa tidak terpikirkan untuk kembali pada Al-Qur'an dan As-Sunnah. Islamlah penyelesaian atas semua problematika umat manusia.
Ia pulang dan menyiarkan seluruh tragedi tadi terhadap istrinya. "Menurutku Mobaroklah yang layak menjadi pendamping putri kita," usulnya terhadap sang istri. Tanpa perdebatan panjang, sang istri eksklusif menyetujuinya.
Pernikahan senang dilangsungkan. Dari keduanya lahirlah seorang anak berjulukan Abdullah bin Mubarok. Ia yaitu seorang ulama, piawai hadis, dan mujahid. Ya, ijab kabul yang dirahmati Allah SWT dari dua insan yang taat beribadah, insya Allah, akan diberi keturunan yang mulia.
Suatu hari majikannya, sang pemiliki kebun, tiba mendatangi kebunnya. Ia sedang mengalami problem yang pelik dan sukar untuk dicarikan jalan keluarnya. Putrinya yang telah beranjak remaja berkembang menjadi seorang gadis yang anggun dan banyak lelaki yang ingin mempersuntingnya.
Yang menjadi permasalahan baginya yaitu semua lelaki yang ingin mempersunting putrinya yaitu saudara dan kawan dekat dekatnya. Ia mesti memutuskan salah satu dari mereka, tapi ia khawatir kalau menyinggung bagi saudara yang tidak terpilih.
Sambil beristirahat dan menenangkan pikiran, ia menjajal merasakan hasil kebunnya. Dipanggillah Mubarok, penjaga kebun itu.
"Hai Mubarok, kemarilah! Tolong ambilkan saya buah yang manis!" perintahnya.
Dengan gesit Mubarok secepatnya memetik buah-buahan yang diminta, lalu diberikan terhadap majikannya.
Ketika buah tersebut disantap sang majikan, ternyata rasanya masam sekali. Majikan Mubarok berkata, "Wahai Mubarok! Buah ini masam sekali! Berikan saya buah yang manis!" pinta sang majikan lagi.
Untuk kedua kalinya, buah yang diberikan Mubarok masih terasa masam. Sang majikan terheran-heran, telah sekian usang ia memberdayakan Mubarok, tapi mengapa si penjaga kebun ini tidak dapat membedakan antara buah masam dan manis? Ah, mungkin ia lupa, pikir sang majikan. Dimintanya Mubarok untuk memetikkan kembali buah yang manis. Hasilnya sama saja, buah ketiga masih terasa masam.
Rasa ingin tau muncul dari sang majikan. Dipanggillah Mubarok, "Bukankah kau telah usang melakukan pekerjaan di sini? Mengapa kau tidak tahu buah yang manis dan masam?" tanya sang majikan.
Mubarok menjawab, "Maaf Tuan, saya tidak tahu bagaimana rasa buah-buahan yang berkembang di kebun ini alasannya yaitu saya tidak pernah mencicipinya!"
"Aneh, bukankah amat mudah bagimu untuk memetik buah-buahan di sini, mengapa tidak ada satu pun yang kaumakan?" tanya majikannya.
"Saya tidak akan menyantap sesuatu yang belum terang kehalalannya bagiku. Buah-buahan itu bukan milikku, jadi saya tidak berhak untuk memakannya sebelum menemukan izin dari pemiliknya," terang Mubarok.
Sang majikan terkejut dengan klarifikasi penjaga kebunnya tersebut. Dia tidak lagi menatap Mubarok sebatas tukang kebun, melainkan selaku seseorang yang jujur dan tinggi kedudukannya di mata Allah SWT. Ia berpikir mungkin Mubarok bisa mencarikan jalan keluar atas permasalahan rumit yang tengah dihadapinya.
Mulailah sang majikan bercerita wacana lamaran saudara dan teman-teman dekatnya terhadap putrinya. Ia menyelesaikan ceritanya dengan mengajukan pertanyaan terhadap Mubarok, "Menurutmu, siapakah yang layak menjadi pendamping putriku?"
Mubarok menjawab, "Dulu orang-orang jahiliah mencarikan kandidat suami untuk putri-putri mereka menurut keturunan. Orang Yahudi menikahkan putrinya menurut harta, sementara orang Kristen menikahkan putrinya menurut keayuan fisik semata. Namun, Rasulullah mengajarkan sebaik mungkin umat yaitu yang menikahkan alasannya yaitu agamanya."
Sang majikan eksklusif terjaga akan kekhilafannya. Mubarok benar, mengapa tidak terpikirkan untuk kembali pada Al-Qur'an dan As-Sunnah. Islamlah penyelesaian atas semua problematika umat manusia.
Ia pulang dan menyiarkan seluruh tragedi tadi terhadap istrinya. "Menurutku Mobaroklah yang layak menjadi pendamping putri kita," usulnya terhadap sang istri. Tanpa perdebatan panjang, sang istri eksklusif menyetujuinya.
Pernikahan senang dilangsungkan. Dari keduanya lahirlah seorang anak berjulukan Abdullah bin Mubarok. Ia yaitu seorang ulama, piawai hadis, dan mujahid. Ya, ijab kabul yang dirahmati Allah SWT dari dua insan yang taat beribadah, insya Allah, akan diberi keturunan yang mulia.