Kisah Tsabit Bin Ibrahim
Thursday, September 20, 2007
Edit
Tersebutlah seorang laki-laki saleh berjulukan Tsabit bin Ibrahim. Ketika itu ia sedang melakukan perjalanan di pinggiran kota Kufah. Matahari bersinar sungguh terik. Cuaca panas menghasilkan kerongkongan kering sehingga haus pun menyerang.
Tanpa sengaja ia menyaksikan suatu apel ranum berwarna merah menyala tergeletak di hadapannya. Tanpa pikir panjang, ia secepatnya mengambil dan menikmati buah merah tersebut untuk mengusir dahaganya.
Belum habis buah itu di tangannya, ia secepatnya terjaga bahwa apel itu bukan miliknya, "Astasfirullah, saya menyantap yang bukan hakku. Siapakah pemilik apel ini?" gumam Tsabit.
Perasaan gusar menghantuinya. Dicarinya pohon apel yang berkembang di sekitar. Ia sungguh berharap biar si pemilik apel mau merelakan apel yang ada di tangannya itu untuk dimakan.
Setelah menelusuri jalanan itu, hasilnya tidak jauh dari tempatnya sederet pohon apel dengan buahnya yang merekah kukuh bangun di suatu kebun yang luas. Tsabit menyaksikan seorang laki-laki di dalam kebun tersebut, "Mungkin dia pemilik apel ini," pikir Tsabit.
Ia pun menghampirinya dan mengucapkan salam, kemudian bertanya, "Apakah engkau pemilik kebun ini? Saya sudah menyantap apel Anda, untuk itu saya mohon maaf. Sudilah kiranya engkau merelakan apel ini biar halal untuk kumakan," pinta Tsabit.
Lelaki tersebut berkata, "Aku bukan pemilik apel itu. Saya hanyalah seorang penjaga kebun di sini."
"Baiklah, kalau demikian di manakah rumah majikanmu?"
"Butuh waktu sehari semalam tiba di sana. Perjalanannya pun tidak mudah. Mengapa tidak kaumakan saja apel itu? Toh, ia tidak akan memedulikan suatu apel itu alasannya yakni hasil kebunnya begitu melimpah ruah!" undangan si penjaga kebun.
"Sejauh apa pun rumahnya, saya mesti tiba di sana walaupun mesti lewat banyak sekali rintangan. Sebagian apel ini sudah saya telan, artinya di dalam badan ini terdapat masakan yang tidak halal bagiku alasannya yakni belum meminta izin pemiliknya. Bukankah Rasulullah saw. bersabda, 'Setiap daging yang berkembang dari masakan haram maka api nerakalah yang pantas baginya' " tukas Tsabit tegas.
Melihat ketabahan hati Tsabit, si penjaga kebun hasilnya menginformasikan arah perjalanan menuju rumah majikannya. Tsabit berterima kasih atas kesediaan penjaga kebun menginformasikan alamat majikannya. Tanpa buang waktu, Tsabit secepatnya beranjak menuju rumah pemilik apel.
Perjalanan mendaki dan berbatu ia lalui, sungai pun ia seberangi biar ia sanggup berjumpa dengan pemilik apel. Begitu risaunya ia akan perayaan dari Rasulullah saw.
Setelah menempuh perjalanan berliku, tibalah ia di depan rumah pemilik apel. Ia mengetuk pintu rumah sambil mengucapkan salam. Seorang laki-laki bau tanah membukakan pintu untuknya.
"Wa'aiaikum salam warahmatullahi wabarakatuh, ada apa anak muda?" tanyanya. Rupanya dialah pemilik kebun itu.
"Wahai Tuan, kedatangan saya ke sini untuk meminta keikhlasanmu atas buah apel yang kadung saya makan. Semoga engkau memaafkanku," Tsabit menerangkan apa yang merisaukannya terhadap si pemilik kebun.
Pemilik kebun menyimak dengan saksama. Lalu ia berkata, "Aku tidak akan menghalalkannya kecuali dengan satu syarat!"
"Apakah itu, Tuan?"
"Kamu mesti menikahi putriku dan saya akan menghalalkan apel itu untukmu."
Tentu saja Tsabit terkejut dengan syarat itu. Haruskah ia menebus kesalahannya dengan pernikahan? Belum habis keterkejutan Tsabit, laki-laki bau tanah pemilik apel itu melanjutkan, "Putriku bisu, tuli, buta, dan lumpuh. Bagaimana? Apakah kau menyanggupinya?"
Tsabit makin terkejut. Ia mesti menikahi perempuan cacat yang mau mendampinginya seumur hidup. Namun, ia tak punya opsi lain. Jika jalan ini sanggup membuka pintu ampunan Allah SWT, ia mesti menjalaninya dengan ikhlas. Tsabit pun menyanggupinya.
Pernikahan pun diselenggarakan. Mempelai perempuan menunggu di dalam rumah ketika ijab kabul berlangsung. Selesai ditangani kontrak nikah, Tsabit dipersilakan oleh sang mertua untuk menemui putrinya yang sekarang sudah sah menjadi istri Tsabit.
Ia mengetuk kamar yang ditunjuk sambil mengucapkan salam. Ketika Tsabit hendak membuka pintu kamar, terdengar bunyi perempuan menjawab salamnya. Ia urung masuk ke dalam kamar itu alasannya yakni yang ia tahu istrinya bisu, tuli, dan buta, "Oh, maaf, saya salah kamar!" ujar Tsabit.
"Kau tidak salah. Aku istrimu yang sah!" kata perempuan di dalam kamar itu, "silakan masuk, wahai suamiku!"
Tsabit sungguh-sungguh dibentuk galau dengan semua musibah yang akhir-akhir ini ia hadapi. Rasanya tidak mungkin kalau sang pemilik kebun berdusta wacana putrinya. Apa untungnya bagi dia?
Ketika Tsabit masih bangun terpana di depan kamar, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Yang membuka yakni seorang perempuan bagus yang sehat wal afiat tanpa cacat menyerupai yang dibilang mertuanya. Ia makin percaya bahwa ini bukanlah istrinya.
Tsabit mengajukan pertanyaan terhadap perempuan yang bangun di hadapannya itu, "Jika kau benar istriku, ayahmu berkata bahwa kau buta. Tetapi, mengapa kau sanggup melihat?"
"Ayahku benar, mataku buta alasannya yakni tidak pernah menyaksikan apa-apa yang diharamkan Allah," jawab putri pemilik kebun buah itu.
"Lalu, mengapa ayahmu menyampaikan kau tuli? Padahal, kau sanggup mendengar salamku!" tanya Tsabit kembali.
"Itu juga benar, dia tahu bahwa saya tidak pernah mau mendengar isu atau dongeng yang tidak diridai Allah SWT," terang sang istri.
"Kau pun tidak bisu menyerupai yang dibilang ayahmu? Apa artinya?"
"Aku bisu alasannya yakni tidak pernah menyampaikan dusta dan segala sesuatu yang tercela. Aku banyak menggunakan lidahku untuk menyebut asma Allah."
"Terakhir, apa maksud ayahmu menyampaikan kau lumpuh?" tanya Tsabit lagi.
"Itu alasannya yakni saya tidak pernah pergi ke tempat-tempat yang dibenci Allah."
Betapa bahagianya Tsabit bahwa yang ia nikahi yakni sosok perempuan salehah yang cocok fisiknya dan bagus kolam purnama di kegelapan malam. Dari hasil pernikahan mereka lahirlah ulama yang menjadi imam paling besar bagi umat Islam, yakni Imam Abu Hanifah An-Nu'man bin Tsabit.
Dalam hal ini, Rasulullah saw pernah berpesan dalam sabdanya, "Berjanjilah kepadaku enam hal dan saya akan prospektif engkau surga. Bicaralah jujur (benar), tepati janjimu, penuhi kepercayaanmu, jaga kesucianmu, jangan menyaksikan yang haram, dan hindarilah apa yang dilarang." (HR Bukhari, Muslim, dan Abu Daud)
Tanpa sengaja ia menyaksikan suatu apel ranum berwarna merah menyala tergeletak di hadapannya. Tanpa pikir panjang, ia secepatnya mengambil dan menikmati buah merah tersebut untuk mengusir dahaganya.
Belum habis buah itu di tangannya, ia secepatnya terjaga bahwa apel itu bukan miliknya, "Astasfirullah, saya menyantap yang bukan hakku. Siapakah pemilik apel ini?" gumam Tsabit.
Perasaan gusar menghantuinya. Dicarinya pohon apel yang berkembang di sekitar. Ia sungguh berharap biar si pemilik apel mau merelakan apel yang ada di tangannya itu untuk dimakan.
Setelah menelusuri jalanan itu, hasilnya tidak jauh dari tempatnya sederet pohon apel dengan buahnya yang merekah kukuh bangun di suatu kebun yang luas. Tsabit menyaksikan seorang laki-laki di dalam kebun tersebut, "Mungkin dia pemilik apel ini," pikir Tsabit.
Ia pun menghampirinya dan mengucapkan salam, kemudian bertanya, "Apakah engkau pemilik kebun ini? Saya sudah menyantap apel Anda, untuk itu saya mohon maaf. Sudilah kiranya engkau merelakan apel ini biar halal untuk kumakan," pinta Tsabit.
Lelaki tersebut berkata, "Aku bukan pemilik apel itu. Saya hanyalah seorang penjaga kebun di sini."
"Baiklah, kalau demikian di manakah rumah majikanmu?"
"Butuh waktu sehari semalam tiba di sana. Perjalanannya pun tidak mudah. Mengapa tidak kaumakan saja apel itu? Toh, ia tidak akan memedulikan suatu apel itu alasannya yakni hasil kebunnya begitu melimpah ruah!" undangan si penjaga kebun.
"Sejauh apa pun rumahnya, saya mesti tiba di sana walaupun mesti lewat banyak sekali rintangan. Sebagian apel ini sudah saya telan, artinya di dalam badan ini terdapat masakan yang tidak halal bagiku alasannya yakni belum meminta izin pemiliknya. Bukankah Rasulullah saw. bersabda, 'Setiap daging yang berkembang dari masakan haram maka api nerakalah yang pantas baginya' " tukas Tsabit tegas.
Melihat ketabahan hati Tsabit, si penjaga kebun hasilnya menginformasikan arah perjalanan menuju rumah majikannya. Tsabit berterima kasih atas kesediaan penjaga kebun menginformasikan alamat majikannya. Tanpa buang waktu, Tsabit secepatnya beranjak menuju rumah pemilik apel.
Perjalanan mendaki dan berbatu ia lalui, sungai pun ia seberangi biar ia sanggup berjumpa dengan pemilik apel. Begitu risaunya ia akan perayaan dari Rasulullah saw.
Setelah menempuh perjalanan berliku, tibalah ia di depan rumah pemilik apel. Ia mengetuk pintu rumah sambil mengucapkan salam. Seorang laki-laki bau tanah membukakan pintu untuknya.
"Wa'aiaikum salam warahmatullahi wabarakatuh, ada apa anak muda?" tanyanya. Rupanya dialah pemilik kebun itu.
"Wahai Tuan, kedatangan saya ke sini untuk meminta keikhlasanmu atas buah apel yang kadung saya makan. Semoga engkau memaafkanku," Tsabit menerangkan apa yang merisaukannya terhadap si pemilik kebun.
Pemilik kebun menyimak dengan saksama. Lalu ia berkata, "Aku tidak akan menghalalkannya kecuali dengan satu syarat!"
"Apakah itu, Tuan?"
"Kamu mesti menikahi putriku dan saya akan menghalalkan apel itu untukmu."
Tentu saja Tsabit terkejut dengan syarat itu. Haruskah ia menebus kesalahannya dengan pernikahan? Belum habis keterkejutan Tsabit, laki-laki bau tanah pemilik apel itu melanjutkan, "Putriku bisu, tuli, buta, dan lumpuh. Bagaimana? Apakah kau menyanggupinya?"
Tsabit makin terkejut. Ia mesti menikahi perempuan cacat yang mau mendampinginya seumur hidup. Namun, ia tak punya opsi lain. Jika jalan ini sanggup membuka pintu ampunan Allah SWT, ia mesti menjalaninya dengan ikhlas. Tsabit pun menyanggupinya.
Pernikahan pun diselenggarakan. Mempelai perempuan menunggu di dalam rumah ketika ijab kabul berlangsung. Selesai ditangani kontrak nikah, Tsabit dipersilakan oleh sang mertua untuk menemui putrinya yang sekarang sudah sah menjadi istri Tsabit.
Ia mengetuk kamar yang ditunjuk sambil mengucapkan salam. Ketika Tsabit hendak membuka pintu kamar, terdengar bunyi perempuan menjawab salamnya. Ia urung masuk ke dalam kamar itu alasannya yakni yang ia tahu istrinya bisu, tuli, dan buta, "Oh, maaf, saya salah kamar!" ujar Tsabit.
"Kau tidak salah. Aku istrimu yang sah!" kata perempuan di dalam kamar itu, "silakan masuk, wahai suamiku!"
Tsabit sungguh-sungguh dibentuk galau dengan semua musibah yang akhir-akhir ini ia hadapi. Rasanya tidak mungkin kalau sang pemilik kebun berdusta wacana putrinya. Apa untungnya bagi dia?
Ketika Tsabit masih bangun terpana di depan kamar, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Yang membuka yakni seorang perempuan bagus yang sehat wal afiat tanpa cacat menyerupai yang dibilang mertuanya. Ia makin percaya bahwa ini bukanlah istrinya.
Tsabit mengajukan pertanyaan terhadap perempuan yang bangun di hadapannya itu, "Jika kau benar istriku, ayahmu berkata bahwa kau buta. Tetapi, mengapa kau sanggup melihat?"
"Ayahku benar, mataku buta alasannya yakni tidak pernah menyaksikan apa-apa yang diharamkan Allah," jawab putri pemilik kebun buah itu.
"Lalu, mengapa ayahmu menyampaikan kau tuli? Padahal, kau sanggup mendengar salamku!" tanya Tsabit kembali.
"Itu juga benar, dia tahu bahwa saya tidak pernah mau mendengar isu atau dongeng yang tidak diridai Allah SWT," terang sang istri.
"Kau pun tidak bisu menyerupai yang dibilang ayahmu? Apa artinya?"
"Aku bisu alasannya yakni tidak pernah menyampaikan dusta dan segala sesuatu yang tercela. Aku banyak menggunakan lidahku untuk menyebut asma Allah."
"Terakhir, apa maksud ayahmu menyampaikan kau lumpuh?" tanya Tsabit lagi.
"Itu alasannya yakni saya tidak pernah pergi ke tempat-tempat yang dibenci Allah."
Betapa bahagianya Tsabit bahwa yang ia nikahi yakni sosok perempuan salehah yang cocok fisiknya dan bagus kolam purnama di kegelapan malam. Dari hasil pernikahan mereka lahirlah ulama yang menjadi imam paling besar bagi umat Islam, yakni Imam Abu Hanifah An-Nu'man bin Tsabit.
Dalam hal ini, Rasulullah saw pernah berpesan dalam sabdanya, "Berjanjilah kepadaku enam hal dan saya akan prospektif engkau surga. Bicaralah jujur (benar), tepati janjimu, penuhi kepercayaanmu, jaga kesucianmu, jangan menyaksikan yang haram, dan hindarilah apa yang dilarang." (HR Bukhari, Muslim, dan Abu Daud)