Hak Dan Kewajiban Istri Terhadap Suami Berdasarkan Islam
Tuesday, October 9, 2018
Edit
Apa jawaban anda selaku seorang muslim atas pertanyaan "Siapakah yang berkewajiban memasak, mencuci pakaian, menyapu dan tugas-tugas rumah tangga lainnya berdasarkan syariat Islam ? Istri atau Suami ?"
Jika anda menjawab "Istri", maka selayaknyalah anda meluangkan waktu untuk membaca dan mempelajari artikel ini, lantaran jawaban anda "salah".
Ketika seorang muslim telah mengucapkan kesepakatan dalam prosesi pernikahan, berarti nahkoda ijab kabul sudah mulai dijalankan. Suami dan istri harus merapat untuk bekerjasama, melaksanakan kewajibannya masing-masing dan memperoleh hak-hak mereka menyerupai yang sudah dijanjikan dan dijelaskan dalam agama Islam.
Baik UU ataupun KHI sudah merumuskan secara terperinci ihwal tujuan perkawinan yaitu untuk membina keluarga yang bahagia, kekal dan infinit berdasarkan tuntunan syari’at dari Tuhan Yang Maha Esa. Jika tujuan perkawinan tersebut ingin terwujud, sudah barang tentu tergantung pada kesungguhan dari kedua pihak, baik itu dari suami maupun istri. Oleh lantaran itu perkawinan tidak hanya dipandang sebagai media untuk merealisasikan syari’at Allah supaya mendapat kebaikan di dunia dan di akhirat.
Dari sisi hak dan kewajiban seorang istri terhadap suaminya berdasarkan syariat Islam, ternyata masih banyak muslimah yang telah menjadi seorang istri dari suaminya belum mengetahui secara benar apa saja kewajiban pokok bagi seorang istri. Dalam agama Islam, kewajiban seorang istri terhadap suaminya hanya ada dua, yaitu: (1) kewajiban melayani suami secara biologis dan (2) kewajiban taat pada suaminya dalam segala hal selain maksiat.
Dalam suatu hadits, diriwayatkan Abdurrahman bin Auf menjelaskan bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَلَمْ تَأْتِهِ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
Artinya : “Apabila seorang pria mengajak istrinya ke ranjangnya, kemudian sang istri tidak mendatanginya, hingga beliau (suaminya –ed) bermalam dalam keadaan murka kepadanya, maka malaikat melaknatnya hingga pagi tiba.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kewajiban istri untuk taat pada suami bermacam-macam bentuknya. Misalnya menjaga harta suaminya ketika ditinggal pergi, tidak memasukan pria lain kedalam rumah tanpa izin suaminya, tidak meninggalkan rumah kecuali dengan izin suaminya, menjaga kehormatannya, dan lain-lain.
Di Indonesia, sudah menjadi kebiasaan budbahasa bahwa para istri wajib untuk memasak, mencuci baju, membersihkan rumah dan yang lainnya? Apakah hal itu sesuai dengan syariat Islam?
Allah Ta’ala berfirman:
Kaum pria itu ialah pemimpin bagi kaum wanita, oleh lantaran Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan lantaran mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (QS. AnNisa’ : 34)
Makanan, pakaian dan daerah tinggal merupakan sesuatu yang secara umum dipandang terlebih dahulu dalam kasus nafkah suami. Masih banyak orang yang berfikir bahwa nafkah kuliner tersebut berupa materi mentah, akan tetapi sebenarnya nafkah yang berupa kuliner tersebut ialah kuliner yang sudah siap dikonsumsi. Adapun proses dalam menjadikannya siap untuk dikonsumsi ialah kiprah suami. Maka pekerjaan-pekerjaan menyerupai memasak, menyapu, dan membersihkan rumah ialah kewajiban seorang suami !
Jika melihat sirah para shahabiyah, pernah diceritakan bahwa Fatimah radhiyallohu anha, putri Rasulullah Saw. mengadu pada baginda Nabi, lantaran tangannya yang sakit dan lecet ketika menggiling gandum. Ia meminta pembantu pada Rasulullah Saw., namun Rasul tidak memberinya. Hal ini membuktikan bahwa Fatimah r.a. bersusah-payah membantu suaminya dalam hal nafkah makanan.
Dalam riwayat lain, Said bin Amir, seorang gubernur hims, sobat yang mulia selalu melaksanakan tugasnya dalam mengurus rumah, sehingga banyak penduduk yang komplain jawaban keterlambatannya dalam berkhidmat pada masyarakat.
Empat imam madzhab utama dan ulama lainnya, secara umum juga beropini bahwa kiprah memasak, mencuci dan membereskan rumah bukanlah kiprah istri, akan tetapi kiprah suami.
Di dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab karya Abu Ishaq Asy-Syirazi rahimahullah, disebutkan: Tidak wajib atas istri berkhidmat untuk menciptakan roti, memasak, mencuci dan bentuk khidmat lainnya, lantaran yang ditetapkan (dalam pernikahan) ialah kewajiban untuk memberi pelayanan seksual (istimta’), sedangkan pelayanan lainnya tidak termasuk kewajiban.
Jika melihat pada fikih kontemporer, Syekh Dr. Yusuf Qardhawi beropini bahwa kiprah suami membereskan rumah tersebut diserahkan pada istri, sebagai timbal balik atas nafkah yang diberikan suami. Tapi suami hendaknya memberi honor atau upah pada istrinya atas kelelahan istrinya diluar nafkah kebutuhan keluarga.
Lalu bagaimana seharusnya sikap perempuan Indonesia yang berbudaya timur yang mempunyai budbahasa mengurus rumah dalam masyarakat?
Adat merupakan kebudayaan yang mencerminkan kepribadian masyarakatnya. Jika budbahasa tersebut memberi manfaat dan tidak bertentangan dengan syariat islam, serta lazim dilakukan oleh seorang istri dalam masyarakat. maka tidak ada kasus bagi sang istri melakukannya apabila bisa dan tentunya tanpa dipaksa. Hal itu merupakan nilai embel-embel sebagai wujud dari kecintaannya kepada sang suami yang kelelahan mencari nafkah di siang hari dan insyaa Allah pahala yang melimpah akan mengalir kepadanya kalau keridhaan Allah ta’ala dan suami menjadi puncak niatnya.
Hak dan Kewajiban Bersama bagi Suami Istri
Telah dihalalkan pasangan suami istri untuk bergaul dan bersenang-senang di antara mereka. Kecuali ketika istri sedang haid, nifas, ihram, dan dzihar. Seorang suami yang mendzihar istrinya (menyamakan punggung istrinya menyerupai punggung ibunya hingga tidak ada cita-cita untuk menggaulinya) harus membayar kafarat (denda) dengan cara membebaskan 1 budak atau puasa selama 2 bulan berturut-turut, sesudah itu gres ia sanggup kembali pada istrinya.
Adapun hak bersama suami istri ialah : (1) hak untuk saling mendapat warisan, (2) hak untuk mendapat perwalian nasab anak. Sedangkan kewajiban yang harus dilakukan gotong royong bagi suami istri dalam rumah tangga ialah memelihara dan mendidik anak keturunan yang lahir dari ijab kabul mereka dan memelihara kehidupan ijab kabul yang sakinah, mawaddah, warohmah.
Adapun beberapa sikap durhaka istri pada suami merupakan sebagai berikut :
(Diambil dari sumber : https://www.facebook.com/permalink.php?id=515165891834721&story_fbid=515169725167671 dan sumber lain yang terkait)
1. Mengabaikan Wewenang Suami.
Di dalam rumah tangga, istri merupakan orang yang berada di bawah perintah suami. Istri bertugas melaksanakan perintah-perintah suami yang berlaku dalam rumah tangganya. Rasulullah menggambarkan seandainya seorang suami memerintahkan suatu pekerjaan berupa memindahkan bukit merah ke bukit putih atau sebaliknya, maka tiada pilihan bagi istrinya selain melaksanakan perintah suaminya.
2. Menentang Perintah Suami.
Di dalam rumah tangga, perintah yang harus dilaksanakan istri merupakan perintah suami. Begitu juga larangan yang harus dilaksanakan istri merupakan larangan suaminya.
Sabda Rasulullah : " Tidaklah seorang perempuan menunaikan hak Tuhannya sehingga beliau menunaikan hak suaminya".
Hadits itu tidak serta merta menempatkan kedudukan suami sederaja dengan Tuhan, tetapi hanya menerangkan bahwa kalau hak suami untuk ditaati istrinya yang sesuai dengan ketentuan Allah itu dilanggar oleh istrinya, ini berarti sama dengan istri melanggar perintah Allah SWT.
3. Enggan Memenuhi Kebutuhan Seksual Suami.
Perkawinan telah diatur oleh syari'at Islam untuk menunjukkan jalan yang halal bagi suami dan istri untuk melaksanakan hubungan seksual atau penyaluran dorongan biologis. Dengan cara itulah insan sanggup melaksanakan regenerasi keturunan dengan cara yang diridlai oleh Allah SWT. Karena itu, Islam menegaskan sebetulnya istri yang menolak seruan suaminya berarti membuka pintu laknat pada dirinya.
4. Tidak Mau menemani Suami Tidur.
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah Saw. bersabda : " ... Bila seorang istri semalaman tidur terpisah dari ranjang suaminya, maka malaikat melaknatnya hingga Shubuh."
Bila istri ingin tidur sendiri, sedang suaminya ketika itu berada di rumah pada malam harinya, maka beliau harus meminta ijin terlebih dahulu pada suaminya.
5. Memberatkan Beban Belanja Suami.
Allah SWT telah menegaskan bahwa setiap suami bertanggung jawab memberi nafkah istrinya sesuai dengan kemampuan. Istri yang menyadari bahwa suaminya kurang bisa tidak dibenarkan menuntut belanja dari suaminya hanya mempertimbangkan kebutuhannya sendiri sehingga memberatkan suaminya.
6. Tidak Mau Bersolek Untuk Suaminya.
Para istri diperintahkan untuk berkhidmat pada suaminya, termasuk mengurus dirinya sendiri dengan berhias dan berdandan dengan tujuan untuk sanggup menyenangkan hati suaminya dan mengakibatkan gairah dalam hidup bersama dirinya.
7. Merusak kehidupan Agama Suami.
Istri diperintahkan untuk membantu suaminya dalam menegakkan kehidupan beragama, sedangkan suami diperintahkan untuk membimbing istri menjalankan agamanya dengan baik. Karena itu, kalau istri tidak mau membatu suami menjalankan dan menegakkan agama, apalagi merusak iktikad dan moral agama suami, sudah tentu beliau menjerumuskan suaminya ke dalam neraka.
8. Mengenyampingkan Kepentingan Suami
Dari Aisyah ra, ungkapnya : saya bertanya kepada Rasulullah SAW . : " Siapakah orang yang mempunyai hak paling besar pada seorang wanita?" Sabdanya : " Suaminya". Saya bertanya : " Siapakah orang yang paling besar haknya pada seorang lelaki. " Jawabnya : "Ibunya".
Jelaslah Hadits di atas bahwa kepentingan suami harus lebih didahulukan oleh seorang istri daripada kepentingan ibu kandungnya sendiri.
9. Keluar Rumah Tanpa Izin Suami.
Istri ditetapkan oleh Islam menjadi wakil suami dalam mengurus rumah tangga. Karena itu bilamana beliau keluar meninggalkan rumah, maka dengan sendirinya beliau harus lebih dulu mendapat izin suaminya. Bila beliau tidak minta izin dan keluar rumah dengan kemauannya sendiri, maka beliau telah melanggar kewajibannya pada suami, sedangkan melanggar kewajiban berarti durhaka pada suaminya.
10. Melarikan Diri Dari Rumah Suami
Rasulullah saw bersabda : "Dua golongan yang sholatnya tidak mempunyai manfaat bagi dirinya yaitu hamba yang melarikan diri dari rumah tuannya hingga beliau pulang; dan istri yang melarikan diri dari rumah suaminya hingga beliau kembali."
11. Menerima Tamu Laki-laki Yang Tidak Disukai Suami.
Dalam sebuah Hadits, Rasulullah telah menegaskan bahwa seorang istri diwajibkan memenuhi hak-hak suaminya. Diantaranya yaitu :
a. Tidak mempersilakan siapapun yang tidak disenangi suaminya untuk menjamah daerah tidurnya.
b. Tidak mengizinkan tamu masuk bila yang bersangkutan tidak disukai oleh suaminya.
12. Tidak Menolak Jamahan Lelaki Lain.
".... maka wanita-wanita yang shalih itu ialah yang taat lagi memelihara dikala suaminya tidak ada sebagaimana Allah telah memeliharanya..." (QS. An-Nisaa' (4) ayat 34)
Rasulullah menjelaskan bahwa seorang istri yang membiarkan dirinya dijamah lelaki lain boleh diceraikan. Hal itu membuktikan bahwa perbuatan istri itu merupakan durhaka pada suaminya.
13. Tidak Mau merawat Ketika Suami Sakit.
Bila seorang istri menolak merawat suami yang sakit dengan alasan sibuk kerja atau tidak ada waktu lantaran merawat anak, maka beliau telah melaksanakan tindakan yang tidak benar.
14. Puasa Sunnah Tanpa Izin Saat Suami Di Rumah.
Dari Abu Harairah, bahwa Rasulullah saw. bersabda: " Seorang istri tidak halal berpuasa ketika suami ada di rumah tanpa izinnya."
15. Menceritakan Seluk Beluk Fisik Wanita Lain Kepada Suami.
Dari Ibnu Mas'ud, ungkapnya : Rasulullah saw. bersabda: "Seorang perempuan tidak boleh bergaul dengan perempuan lain, kemudian menceritakan kepada suaminya keadaan perempuan itu, sehingga suaminya seperti melihat keadaan perempuan itu."
16. Menolak Kedatangan Suami Bergilir Kepadanya.
Seorang istri yang dimadu, tetap mempunyai kewajiban untuk mentaati perintahnya, menyenangkan hatinya, berbhakti dan selalu berperilaku baik kepada suaminya ketika beliau tiba bergilir.
17. Mentaati Perintah Orang Lain Di Rumah Suaminya.
Diriwayatkan dalam sebuah Hadits :
Dari Mu'adz bin Jabal, dari Nabi saw., sabdanya: "Tidak halal seorang istri yang beriman kepada Allah mengizinkan seseorang berada di rumahnya, padahal suaminya tidak merelakannya. Juga ia tidak boleh keluar rumah bila suami tidak mengizinkannya; tidak boleh mentaati seseorang, (selain suaminya di rumah suaminya); tidak boleh meninggalkan daerah tidurnya; dan tidak boleh memukulnya...." (HR. Hakim)
Dalam sebuah rumah tangga, kekuasaan terletak pada suami, sekalipun di rumah itu ada ibu bapak suami atau anak kandungnya. Anak-anak tidak punya kekuasaan dalam rumah tangga ibu bapaknya, apalagi mertua suami. Contoh, contohnya di rumah Anda turut serta ibu dan ayah mertua Anda. Sebagai istri, Anda tak boleh mengerjakan perintah-perintah mereka tanpa seizin suami Anda, lantaran komando tunggal yang berhak memerintah Anda (sebagai istri) hanyalah suami. Karena orang lain tidak punya hak memerintah Anda, maka kalau Anda melayani perintahnya tanpa persetujuan suami, berarti istri tersebut telah berbuat salah dan berdosa.
Mengapa mematuhi perintah orang lain di rumah suami dikategorikan perbuatan dosa? Karena di rumah suami hanya ada satu orang saja yang boleh istri patuhi perintahnya, yaitu suaminya. Karena itu, kalau suatu ketika di rumah Anda tinggal ibu dan ayah Anda, kemudian mereka menyuruh Anda menyetrika baju mereka dan ketika itu suami Anda ada di rumah, maka sebagai seorang istri wajib minta izin kepada suaminya suami untuk mengerjakan-nya. Jika suami Anda tidak mengizinkan, maka Anda tidak boleh mengerjakan perintah ibu ayah Anda itu.
Lalu bagaimana kalau pada ketika yang sama anak minta dibuatkan roti dan suami minta dicucikan bajunya? Seorang istri wajib memenuhi permintaan suami nya, sedang permintaan anak tidak wajib untuk dipenuhi. Jika Anda ternyata mendahulukan kepentingan anak, yaitu membuatkan susu dan menomerduakan suami, maka Anda telah durhaka kepada suami Anda. Karena itu, kalau Anda hendak mendahulukan membuatkan susu anak, mintalah persetujuan suami Anda dulu. Kalau ia tidak mengizinkan, maka Anda berkewajiban mendahulukan kepentingan suami daripada kepentingan anak.
Mungkin sekali banyak orang akan berkata:"Bukankah melayani suami itu sudah rutin, apakah suami masih harus selalu dan terus diutamakan segalanya daripada orang lain, sekalipun itu anak dan orang tuanya sendiri?" Jawabannya: "Ya." Sebagai istri, kiblat ketaatan Anda hanya kepada suami tercinta, yaitu orang yang pertama dan utama Anda khidmati sesudah Anda tunaikan kewajiban-kewajiban Anda kepada Allah. Jadi, bagi seorang istri yang shalihah, suami ialah pimpinan pertamanya, daerah baktinya yang utama dan kiblat kepatuhan hidupnya hingga ketika yang ditetapkan oleh Allah. Karenanya, perlu sekali setiap istri menyadari bahwa di bawah atap rumah suaminya, hanya ada satu komandan, yaitu suaminya. Orang lain, siapa pun dia, tidak boleh dipatuhi perintahnya bila suaminya tidak mengizinkannya.
18. Menyuruh Suami Menceraikan Madunya
Rasulullah saw melarang seorang isteri yang menyuruh suaminya menceraikan madunya. Beliau saw bersabda: "Seorang isteri tidak boleh meminta (suami) menceraikan saudaranya (madunya) supaya ia sanggup menguasai piringnya, tetapi hendaklah ia membiarkan tetap dalam pernikahannya lantaran sesungguhnya bagi dirinya penggalan yang telah ditetapkan" (HR Ibn Hibban dari Abu Hurairah ra)
19. Minta Cerai Tanpa Alasan Yang Sah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seorang istri melaksanakan gugat cerai tanpa alasan yang dibenarkan. Artinya, kalau hal itu dilakukan lantaran alasan yang benar, syariat tidak melarangnya, bahkan dalam kondisi tertentu, seorang perempuan wajib berpisah dari suaminya.
Apa saja yang membolehkan para istri untuk melaksanakan gugat cerai? Imam Ibnu Qudamah telah menyebutkan kaidah dalam hal ini. Beliau mengatakan, “Kesimpulan kasus ini, bahwa seorang wanita, kalau membenci suaminya lantaran akhlaknya atau lantaran fisiknya atau lantaran agamanya, atau lantaran usianya yang sudah tua, atau lantaran beliau lemah, atau alasan yang semisalnya, sementara beliau khawatir tidak bisa menunaikan hak Allah dalam mentaati sang suami, maka boleh baginya untuk meminta khulu’ (gugat cerai) kepada suaminya dengan menunjukkan biaya/ganti untuk melepaskan dirinya.” (al-Mughni, 7:323).
20. Mengambil Harta Suami Tanpa Izinnya.
Dalam sebuah Riwayat disebutkan bahwa Hindun binti Utbah ra, isteri Abu Sofyan bertanya, "Wahai Rasulullah, Abu Sofyan orang yang bakhil. Dia tidak menunjukkan nafkah yang cukup untuk diriku dan anakku kecuali yang kuambil dari hartanya tanpa sepengetahuannya. Apakah tindakanku itu tergolong dosa?" Nabi saw menjawab, "Ambillah dari hartanya sekadar yang mencukupi nafkah untukmu dan untuk anakmu dengan cara baik."
Hadits di atas menjadi dalil bolehnya mengambil harta suami tanpa ijinnya ketika suami tidak menunjukkan nafkah wajib untuk isteri dan anak. Namun di luar nafkah wajib itu maka tidak diperkenankan untuk mengambil tanpa ijinnya.
Karena itu tidak dibenarkan mengambil uang suami tanpa ijinnya kalau bukan untuk kebutuhan primer dan bukan untuk kebutuhan orang-orang yang menjadi tanggungan suami. Nah terkait kasus Anda yang ingin membantu orang renta untuk biaya ujian adik Anda bagaimana jalan keluarnya? Kalau uang belanja yang diberikan suami kepada Anda diserahkan seluruh penggunaannya kepada Anda, artinya boleh untuk apa saja, maka tidak dihentikan Anda menunjukkan sisa belanja itu kepada ayah Anda. Namun kalau tidak, Anda bisa meminta uang kepada suami untuk kebutuhan Anda tanpa perlu menjelaskan secara rinci apa jenis kebutuhan yang dimaksud. Ketika suami sudah memberi, maka menjadi hak Anda memergunakan uang itu untuk apa saja selama di jalan yang dibenarkan.
Namun kalau bisa hendaknya suami diberi pemahaman dan motivasi supaya mempunyai cita-cita untuk membuatkan dan beramal tanpa wajib dipaksa disertai doa kepada Allah Swt.
Jika anda menjawab "Istri", maka selayaknyalah anda meluangkan waktu untuk membaca dan mempelajari artikel ini, lantaran jawaban anda "salah".
Ketika seorang muslim telah mengucapkan kesepakatan dalam prosesi pernikahan, berarti nahkoda ijab kabul sudah mulai dijalankan. Suami dan istri harus merapat untuk bekerjasama, melaksanakan kewajibannya masing-masing dan memperoleh hak-hak mereka menyerupai yang sudah dijanjikan dan dijelaskan dalam agama Islam.
Baik UU ataupun KHI sudah merumuskan secara terperinci ihwal tujuan perkawinan yaitu untuk membina keluarga yang bahagia, kekal dan infinit berdasarkan tuntunan syari’at dari Tuhan Yang Maha Esa. Jika tujuan perkawinan tersebut ingin terwujud, sudah barang tentu tergantung pada kesungguhan dari kedua pihak, baik itu dari suami maupun istri. Oleh lantaran itu perkawinan tidak hanya dipandang sebagai media untuk merealisasikan syari’at Allah supaya mendapat kebaikan di dunia dan di akhirat.
Dari sisi hak dan kewajiban seorang istri terhadap suaminya berdasarkan syariat Islam, ternyata masih banyak muslimah yang telah menjadi seorang istri dari suaminya belum mengetahui secara benar apa saja kewajiban pokok bagi seorang istri. Dalam agama Islam, kewajiban seorang istri terhadap suaminya hanya ada dua, yaitu: (1) kewajiban melayani suami secara biologis dan (2) kewajiban taat pada suaminya dalam segala hal selain maksiat.
Dalam suatu hadits, diriwayatkan Abdurrahman bin Auf menjelaskan bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَلَمْ تَأْتِهِ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
Artinya : “Apabila seorang pria mengajak istrinya ke ranjangnya, kemudian sang istri tidak mendatanginya, hingga beliau (suaminya –ed) bermalam dalam keadaan murka kepadanya, maka malaikat melaknatnya hingga pagi tiba.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kewajiban istri untuk taat pada suami bermacam-macam bentuknya. Misalnya menjaga harta suaminya ketika ditinggal pergi, tidak memasukan pria lain kedalam rumah tanpa izin suaminya, tidak meninggalkan rumah kecuali dengan izin suaminya, menjaga kehormatannya, dan lain-lain.
Di Indonesia, sudah menjadi kebiasaan budbahasa bahwa para istri wajib untuk memasak, mencuci baju, membersihkan rumah dan yang lainnya? Apakah hal itu sesuai dengan syariat Islam?
Allah Ta’ala berfirman:
Kaum pria itu ialah pemimpin bagi kaum wanita, oleh lantaran Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan lantaran mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (QS. AnNisa’ : 34)
Makanan, pakaian dan daerah tinggal merupakan sesuatu yang secara umum dipandang terlebih dahulu dalam kasus nafkah suami. Masih banyak orang yang berfikir bahwa nafkah kuliner tersebut berupa materi mentah, akan tetapi sebenarnya nafkah yang berupa kuliner tersebut ialah kuliner yang sudah siap dikonsumsi. Adapun proses dalam menjadikannya siap untuk dikonsumsi ialah kiprah suami. Maka pekerjaan-pekerjaan menyerupai memasak, menyapu, dan membersihkan rumah ialah kewajiban seorang suami !
Jika melihat sirah para shahabiyah, pernah diceritakan bahwa Fatimah radhiyallohu anha, putri Rasulullah Saw. mengadu pada baginda Nabi, lantaran tangannya yang sakit dan lecet ketika menggiling gandum. Ia meminta pembantu pada Rasulullah Saw., namun Rasul tidak memberinya. Hal ini membuktikan bahwa Fatimah r.a. bersusah-payah membantu suaminya dalam hal nafkah makanan.
Dalam riwayat lain, Said bin Amir, seorang gubernur hims, sobat yang mulia selalu melaksanakan tugasnya dalam mengurus rumah, sehingga banyak penduduk yang komplain jawaban keterlambatannya dalam berkhidmat pada masyarakat.
Empat imam madzhab utama dan ulama lainnya, secara umum juga beropini bahwa kiprah memasak, mencuci dan membereskan rumah bukanlah kiprah istri, akan tetapi kiprah suami.
Di dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab karya Abu Ishaq Asy-Syirazi rahimahullah, disebutkan: Tidak wajib atas istri berkhidmat untuk menciptakan roti, memasak, mencuci dan bentuk khidmat lainnya, lantaran yang ditetapkan (dalam pernikahan) ialah kewajiban untuk memberi pelayanan seksual (istimta’), sedangkan pelayanan lainnya tidak termasuk kewajiban.
Jika melihat pada fikih kontemporer, Syekh Dr. Yusuf Qardhawi beropini bahwa kiprah suami membereskan rumah tersebut diserahkan pada istri, sebagai timbal balik atas nafkah yang diberikan suami. Tapi suami hendaknya memberi honor atau upah pada istrinya atas kelelahan istrinya diluar nafkah kebutuhan keluarga.
Lalu bagaimana seharusnya sikap perempuan Indonesia yang berbudaya timur yang mempunyai budbahasa mengurus rumah dalam masyarakat?
Adat merupakan kebudayaan yang mencerminkan kepribadian masyarakatnya. Jika budbahasa tersebut memberi manfaat dan tidak bertentangan dengan syariat islam, serta lazim dilakukan oleh seorang istri dalam masyarakat. maka tidak ada kasus bagi sang istri melakukannya apabila bisa dan tentunya tanpa dipaksa. Hal itu merupakan nilai embel-embel sebagai wujud dari kecintaannya kepada sang suami yang kelelahan mencari nafkah di siang hari dan insyaa Allah pahala yang melimpah akan mengalir kepadanya kalau keridhaan Allah ta’ala dan suami menjadi puncak niatnya.
Hak dan Kewajiban Bersama bagi Suami Istri
Telah dihalalkan pasangan suami istri untuk bergaul dan bersenang-senang di antara mereka. Kecuali ketika istri sedang haid, nifas, ihram, dan dzihar. Seorang suami yang mendzihar istrinya (menyamakan punggung istrinya menyerupai punggung ibunya hingga tidak ada cita-cita untuk menggaulinya) harus membayar kafarat (denda) dengan cara membebaskan 1 budak atau puasa selama 2 bulan berturut-turut, sesudah itu gres ia sanggup kembali pada istrinya.
Adapun hak bersama suami istri ialah : (1) hak untuk saling mendapat warisan, (2) hak untuk mendapat perwalian nasab anak. Sedangkan kewajiban yang harus dilakukan gotong royong bagi suami istri dalam rumah tangga ialah memelihara dan mendidik anak keturunan yang lahir dari ijab kabul mereka dan memelihara kehidupan ijab kabul yang sakinah, mawaddah, warohmah.
Perilaku-perilaku Durhaka Istri Terhadap Suami
Meskipun tidak niscaya terjadi, ada beberapa faktor yang sanggup menimbulkan sikap durhaka istri terhadap suami, antara lain ialah :- Kedudukan sosial istri yang lebih lebih tinggi daripada kedudukan suami,
- Istri yang lebih kaya dari suami,
- Istri yang lebih pintar dari suami,
- Watak istri yang lebih keras dari suami,
- Istri yang berasal dari lingkungan budaya yang menempatkan perempuan lebiih berkuasa daripada suami,
- Istri yang tidak mengerti tuntunan agama yang menempatkan istri dan suami pada ketentuan yang sebenarnya.
Adapun beberapa sikap durhaka istri pada suami merupakan sebagai berikut :
(Diambil dari sumber : https://www.facebook.com/permalink.php?id=515165891834721&story_fbid=515169725167671 dan sumber lain yang terkait)
1. Mengabaikan Wewenang Suami.
Di dalam rumah tangga, istri merupakan orang yang berada di bawah perintah suami. Istri bertugas melaksanakan perintah-perintah suami yang berlaku dalam rumah tangganya. Rasulullah menggambarkan seandainya seorang suami memerintahkan suatu pekerjaan berupa memindahkan bukit merah ke bukit putih atau sebaliknya, maka tiada pilihan bagi istrinya selain melaksanakan perintah suaminya.
2. Menentang Perintah Suami.
Di dalam rumah tangga, perintah yang harus dilaksanakan istri merupakan perintah suami. Begitu juga larangan yang harus dilaksanakan istri merupakan larangan suaminya.
Sabda Rasulullah : " Tidaklah seorang perempuan menunaikan hak Tuhannya sehingga beliau menunaikan hak suaminya".
Hadits itu tidak serta merta menempatkan kedudukan suami sederaja dengan Tuhan, tetapi hanya menerangkan bahwa kalau hak suami untuk ditaati istrinya yang sesuai dengan ketentuan Allah itu dilanggar oleh istrinya, ini berarti sama dengan istri melanggar perintah Allah SWT.
3. Enggan Memenuhi Kebutuhan Seksual Suami.
Perkawinan telah diatur oleh syari'at Islam untuk menunjukkan jalan yang halal bagi suami dan istri untuk melaksanakan hubungan seksual atau penyaluran dorongan biologis. Dengan cara itulah insan sanggup melaksanakan regenerasi keturunan dengan cara yang diridlai oleh Allah SWT. Karena itu, Islam menegaskan sebetulnya istri yang menolak seruan suaminya berarti membuka pintu laknat pada dirinya.
4. Tidak Mau menemani Suami Tidur.
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah Saw. bersabda : " ... Bila seorang istri semalaman tidur terpisah dari ranjang suaminya, maka malaikat melaknatnya hingga Shubuh."
Bila istri ingin tidur sendiri, sedang suaminya ketika itu berada di rumah pada malam harinya, maka beliau harus meminta ijin terlebih dahulu pada suaminya.
5. Memberatkan Beban Belanja Suami.
Allah SWT telah menegaskan bahwa setiap suami bertanggung jawab memberi nafkah istrinya sesuai dengan kemampuan. Istri yang menyadari bahwa suaminya kurang bisa tidak dibenarkan menuntut belanja dari suaminya hanya mempertimbangkan kebutuhannya sendiri sehingga memberatkan suaminya.
6. Tidak Mau Bersolek Untuk Suaminya.
Para istri diperintahkan untuk berkhidmat pada suaminya, termasuk mengurus dirinya sendiri dengan berhias dan berdandan dengan tujuan untuk sanggup menyenangkan hati suaminya dan mengakibatkan gairah dalam hidup bersama dirinya.
7. Merusak kehidupan Agama Suami.
Istri diperintahkan untuk membantu suaminya dalam menegakkan kehidupan beragama, sedangkan suami diperintahkan untuk membimbing istri menjalankan agamanya dengan baik. Karena itu, kalau istri tidak mau membatu suami menjalankan dan menegakkan agama, apalagi merusak iktikad dan moral agama suami, sudah tentu beliau menjerumuskan suaminya ke dalam neraka.
8. Mengenyampingkan Kepentingan Suami
Dari Aisyah ra, ungkapnya : saya bertanya kepada Rasulullah SAW . : " Siapakah orang yang mempunyai hak paling besar pada seorang wanita?" Sabdanya : " Suaminya". Saya bertanya : " Siapakah orang yang paling besar haknya pada seorang lelaki. " Jawabnya : "Ibunya".
Jelaslah Hadits di atas bahwa kepentingan suami harus lebih didahulukan oleh seorang istri daripada kepentingan ibu kandungnya sendiri.
9. Keluar Rumah Tanpa Izin Suami.
Istri ditetapkan oleh Islam menjadi wakil suami dalam mengurus rumah tangga. Karena itu bilamana beliau keluar meninggalkan rumah, maka dengan sendirinya beliau harus lebih dulu mendapat izin suaminya. Bila beliau tidak minta izin dan keluar rumah dengan kemauannya sendiri, maka beliau telah melanggar kewajibannya pada suami, sedangkan melanggar kewajiban berarti durhaka pada suaminya.
10. Melarikan Diri Dari Rumah Suami
Rasulullah saw bersabda : "Dua golongan yang sholatnya tidak mempunyai manfaat bagi dirinya yaitu hamba yang melarikan diri dari rumah tuannya hingga beliau pulang; dan istri yang melarikan diri dari rumah suaminya hingga beliau kembali."
11. Menerima Tamu Laki-laki Yang Tidak Disukai Suami.
Dalam sebuah Hadits, Rasulullah telah menegaskan bahwa seorang istri diwajibkan memenuhi hak-hak suaminya. Diantaranya yaitu :
a. Tidak mempersilakan siapapun yang tidak disenangi suaminya untuk menjamah daerah tidurnya.
b. Tidak mengizinkan tamu masuk bila yang bersangkutan tidak disukai oleh suaminya.
12. Tidak Menolak Jamahan Lelaki Lain.
".... maka wanita-wanita yang shalih itu ialah yang taat lagi memelihara dikala suaminya tidak ada sebagaimana Allah telah memeliharanya..." (QS. An-Nisaa' (4) ayat 34)
Rasulullah menjelaskan bahwa seorang istri yang membiarkan dirinya dijamah lelaki lain boleh diceraikan. Hal itu membuktikan bahwa perbuatan istri itu merupakan durhaka pada suaminya.
13. Tidak Mau merawat Ketika Suami Sakit.
Bila seorang istri menolak merawat suami yang sakit dengan alasan sibuk kerja atau tidak ada waktu lantaran merawat anak, maka beliau telah melaksanakan tindakan yang tidak benar.
14. Puasa Sunnah Tanpa Izin Saat Suami Di Rumah.
Dari Abu Harairah, bahwa Rasulullah saw. bersabda: " Seorang istri tidak halal berpuasa ketika suami ada di rumah tanpa izinnya."
15. Menceritakan Seluk Beluk Fisik Wanita Lain Kepada Suami.
Dari Ibnu Mas'ud, ungkapnya : Rasulullah saw. bersabda: "Seorang perempuan tidak boleh bergaul dengan perempuan lain, kemudian menceritakan kepada suaminya keadaan perempuan itu, sehingga suaminya seperti melihat keadaan perempuan itu."
16. Menolak Kedatangan Suami Bergilir Kepadanya.
Seorang istri yang dimadu, tetap mempunyai kewajiban untuk mentaati perintahnya, menyenangkan hatinya, berbhakti dan selalu berperilaku baik kepada suaminya ketika beliau tiba bergilir.
17. Mentaati Perintah Orang Lain Di Rumah Suaminya.
Diriwayatkan dalam sebuah Hadits :
Dari Mu'adz bin Jabal, dari Nabi saw., sabdanya: "Tidak halal seorang istri yang beriman kepada Allah mengizinkan seseorang berada di rumahnya, padahal suaminya tidak merelakannya. Juga ia tidak boleh keluar rumah bila suami tidak mengizinkannya; tidak boleh mentaati seseorang, (selain suaminya di rumah suaminya); tidak boleh meninggalkan daerah tidurnya; dan tidak boleh memukulnya...." (HR. Hakim)
Dalam sebuah rumah tangga, kekuasaan terletak pada suami, sekalipun di rumah itu ada ibu bapak suami atau anak kandungnya. Anak-anak tidak punya kekuasaan dalam rumah tangga ibu bapaknya, apalagi mertua suami. Contoh, contohnya di rumah Anda turut serta ibu dan ayah mertua Anda. Sebagai istri, Anda tak boleh mengerjakan perintah-perintah mereka tanpa seizin suami Anda, lantaran komando tunggal yang berhak memerintah Anda (sebagai istri) hanyalah suami. Karena orang lain tidak punya hak memerintah Anda, maka kalau Anda melayani perintahnya tanpa persetujuan suami, berarti istri tersebut telah berbuat salah dan berdosa.
Mengapa mematuhi perintah orang lain di rumah suami dikategorikan perbuatan dosa? Karena di rumah suami hanya ada satu orang saja yang boleh istri patuhi perintahnya, yaitu suaminya. Karena itu, kalau suatu ketika di rumah Anda tinggal ibu dan ayah Anda, kemudian mereka menyuruh Anda menyetrika baju mereka dan ketika itu suami Anda ada di rumah, maka sebagai seorang istri wajib minta izin kepada suaminya suami untuk mengerjakan-nya. Jika suami Anda tidak mengizinkan, maka Anda tidak boleh mengerjakan perintah ibu ayah Anda itu.
Lalu bagaimana kalau pada ketika yang sama anak minta dibuatkan roti dan suami minta dicucikan bajunya? Seorang istri wajib memenuhi permintaan suami nya, sedang permintaan anak tidak wajib untuk dipenuhi. Jika Anda ternyata mendahulukan kepentingan anak, yaitu membuatkan susu dan menomerduakan suami, maka Anda telah durhaka kepada suami Anda. Karena itu, kalau Anda hendak mendahulukan membuatkan susu anak, mintalah persetujuan suami Anda dulu. Kalau ia tidak mengizinkan, maka Anda berkewajiban mendahulukan kepentingan suami daripada kepentingan anak.
Mungkin sekali banyak orang akan berkata:"Bukankah melayani suami itu sudah rutin, apakah suami masih harus selalu dan terus diutamakan segalanya daripada orang lain, sekalipun itu anak dan orang tuanya sendiri?" Jawabannya: "Ya." Sebagai istri, kiblat ketaatan Anda hanya kepada suami tercinta, yaitu orang yang pertama dan utama Anda khidmati sesudah Anda tunaikan kewajiban-kewajiban Anda kepada Allah. Jadi, bagi seorang istri yang shalihah, suami ialah pimpinan pertamanya, daerah baktinya yang utama dan kiblat kepatuhan hidupnya hingga ketika yang ditetapkan oleh Allah. Karenanya, perlu sekali setiap istri menyadari bahwa di bawah atap rumah suaminya, hanya ada satu komandan, yaitu suaminya. Orang lain, siapa pun dia, tidak boleh dipatuhi perintahnya bila suaminya tidak mengizinkannya.
18. Menyuruh Suami Menceraikan Madunya
Rasulullah saw melarang seorang isteri yang menyuruh suaminya menceraikan madunya. Beliau saw bersabda: "Seorang isteri tidak boleh meminta (suami) menceraikan saudaranya (madunya) supaya ia sanggup menguasai piringnya, tetapi hendaklah ia membiarkan tetap dalam pernikahannya lantaran sesungguhnya bagi dirinya penggalan yang telah ditetapkan" (HR Ibn Hibban dari Abu Hurairah ra)
19. Minta Cerai Tanpa Alasan Yang Sah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seorang istri melaksanakan gugat cerai tanpa alasan yang dibenarkan. Artinya, kalau hal itu dilakukan lantaran alasan yang benar, syariat tidak melarangnya, bahkan dalam kondisi tertentu, seorang perempuan wajib berpisah dari suaminya.
Apa saja yang membolehkan para istri untuk melaksanakan gugat cerai? Imam Ibnu Qudamah telah menyebutkan kaidah dalam hal ini. Beliau mengatakan, “Kesimpulan kasus ini, bahwa seorang wanita, kalau membenci suaminya lantaran akhlaknya atau lantaran fisiknya atau lantaran agamanya, atau lantaran usianya yang sudah tua, atau lantaran beliau lemah, atau alasan yang semisalnya, sementara beliau khawatir tidak bisa menunaikan hak Allah dalam mentaati sang suami, maka boleh baginya untuk meminta khulu’ (gugat cerai) kepada suaminya dengan menunjukkan biaya/ganti untuk melepaskan dirinya.” (al-Mughni, 7:323).
20. Mengambil Harta Suami Tanpa Izinnya.
Dalam sebuah Riwayat disebutkan bahwa Hindun binti Utbah ra, isteri Abu Sofyan bertanya, "Wahai Rasulullah, Abu Sofyan orang yang bakhil. Dia tidak menunjukkan nafkah yang cukup untuk diriku dan anakku kecuali yang kuambil dari hartanya tanpa sepengetahuannya. Apakah tindakanku itu tergolong dosa?" Nabi saw menjawab, "Ambillah dari hartanya sekadar yang mencukupi nafkah untukmu dan untuk anakmu dengan cara baik."
Hadits di atas menjadi dalil bolehnya mengambil harta suami tanpa ijinnya ketika suami tidak menunjukkan nafkah wajib untuk isteri dan anak. Namun di luar nafkah wajib itu maka tidak diperkenankan untuk mengambil tanpa ijinnya.
Karena itu tidak dibenarkan mengambil uang suami tanpa ijinnya kalau bukan untuk kebutuhan primer dan bukan untuk kebutuhan orang-orang yang menjadi tanggungan suami. Nah terkait kasus Anda yang ingin membantu orang renta untuk biaya ujian adik Anda bagaimana jalan keluarnya? Kalau uang belanja yang diberikan suami kepada Anda diserahkan seluruh penggunaannya kepada Anda, artinya boleh untuk apa saja, maka tidak dihentikan Anda menunjukkan sisa belanja itu kepada ayah Anda. Namun kalau tidak, Anda bisa meminta uang kepada suami untuk kebutuhan Anda tanpa perlu menjelaskan secara rinci apa jenis kebutuhan yang dimaksud. Ketika suami sudah memberi, maka menjadi hak Anda memergunakan uang itu untuk apa saja selama di jalan yang dibenarkan.
Namun kalau bisa hendaknya suami diberi pemahaman dan motivasi supaya mempunyai cita-cita untuk membuatkan dan beramal tanpa wajib dipaksa disertai doa kepada Allah Swt.