Kepemimpinan Khalifah Debu Bakar As-Shiddiq
Tuesday, October 2, 2018
Edit
Sepeninggal Rasulullah Saw, ada yang menjadi khalifah, pengganti Rasulullah Saw dalam kepemimpinan umat, dalam rangka menjalankan pemerintahan dengan al-Quran dan Sunnah Rasulullah Saw. Dari merekalah kita bisa memperoleh banyak pelajaran bagaimana meneladani Rasululah Saw dalam kasus kepemimpinan dan pemerintahan.
Tulisan ini menguraikan sosok kepemimpinan salah seorang sobat Rasulullah Saw yang paling utama, pengganti dia Saw mengimami sholat, dan pengganti dia Saw dalam kepemimpinan negara dan umat Islam sepeninggal dia Saw, yakni Khalifah Abu Bakar As Shiddiq r.a.
Cerdas, Supel, Jujur Dan Berani
Menurut Ibnu Hisyam dalam kitabnya Sirah Nabawiyah, Juz I/249-250, Abu Bakar r.a yakni putra Abu Quhafah. Nama aslinya Abdullah, panggilannya Atiq (sang Tampan) karena wajahnya yang tampan dan cakap orangnya. Tatkala masuk Islam, Abu Bakar r.a. menampilkan keislamannya, dan mengajak orang kepada Allah dan Rasul-Nya.
Dakwah Abu Bakar ini cukup efektif mengingat ia yakni seorang Quraisy yang yang supel dalam pergaulan, disukai dan diterima, seorang pebisnis, berbudi pekerti baik. Orang-orang biasa tiba padanya dan bergaul dengannya untuk banyak urusan karena ilmu yang dimilikinya, bisnisnya, dan baik pergaulannya. Sejumlah sobat yang masuk Islam di tangan Abu Bakar antara lain yakni Utsman bin Affan r.a., Zubair bin Awwam r.a., Abdurrahman bin Auf r.a., Saad bin Abi Waqash r.a., dan Thalhah bin Ubaidillah r.a.
Abu Bakar r.a. yakni orang yang cerdas, gampang mengerti dakwah yang disampaikan Rasulullah Saw sehingga ia pun cepat membenarkan dan meyakini apa yang dikatakan dia Saw dan masuk Islam. Ibnu Hisyam (idem, hal 252) menyampaikan bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda:
“Tidaklah saya mengajak seseorang kepada Islam melainkan ia tidak eksklusif menjawab, masih pikir-pikir, dan masih ragu-ragu, kecuali Abu Bakar bin Abi Quhafah. Tatkala saya berbicara dengannya, ia tidak menunda-nunda (pembenarannya) dan ia tidak ragu-ragu.”.
Tatkala Nabi Saw diperjalankan oleh Allah SWT dalam insiden Isra’ Mi’raj, tidak sedikit orang yang eksklusif menolak kabar dari dia mentah-mentah, bahkan ada sebagian kaum muslimin yang murtad, atau masih ragu-ragu, Abu Bakar secara cerdas membenarkannya dan mengatakan: “Jangankan kabar dari Muhammad Saw bahwa di berjalan di malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqshaa, sedangkan kabar yang diperolehnya dari langit dalam sekejap saja saya terima.”
Dengan keyakinan itu pula Abu Bakar siap dibina dengan Islam dan siap berjuang untuk Islam. Abu Bakar berani dan siap mengambil resiko berhadapan dengan Quraisy dalam mendakwahkan Islam.
Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya Al Bidayah wan Nihayah menuturkan: Tatkala Rasulullah Saw melakukan perintah Allah SWT untuk memperkenalkan kelompok dakwahnya secara terang-terangan (lihat QS. Al Hijr … ), dengan cara membentuk dua barisan yang dikepalai Hamzah r.a. dan Umar r.a. menuju Ka’bah, maka di situlah, di depan perwakilan para kabilah di Makkah, Abu Bakar r.a. berpidato. Dan orang-orang Quraisy pun memukulinya hingga mukanya babak belur dan pingsan. Namun setelah siuman, yang ditanyakan pertama kali adalah: Bagaimana keadaan Rasulullah? Pantaslah ia mendapatkan gelar As Shiddiiq, artinya yang lurus, yang benar, yang menerangkan kebenaran ucapannya dengan perbuatan.
Pidato Pertama Sebagai Khalifah Pertama
Setelah pembaiatan Abu Bakar r.a. sebagai Khalifah, dia r.a. berpidato: “Hai saudara-saudara! Kalian telah membaiat saya sebagai khalifah (kepala negara). Sesungguhnya saya tidaklah lebih baik dari kalian. Oleh karenanya, apabila saya berbuat baik, maka tolonglah dan bantulah saya dalam kebaikan itu; tetapi apabila saya berbuat kesalahan, maka tegurlah saya. Taatlah kalian kepada saya selama saya taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kalian mentaati saya, apabila saya berbuat maksiat pada Allah dan Rasul-Nya.” (lihat Abdul Aziz Al Badri, Al Islam bainal Ulama wal Hukkam).
Pidato khalifah Abu Bakar r.a. di atas memperlihatkan bahwa dia sebagai khalifah tidak pernah menganggap dirinya sebagai orang yang suci yang harus diagung-agungkan. Tak ada dalam kamus beliau: The chaliphate can do no wrong! Beliau justru mengedepankan supremasi aturan syariah, dan menjadikan loyalitas dan ketaatan warga negara padanya yakni satu paket dalam ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya. Beliau menjadikan syariah Allah sebagai standar untuk memilih benar dan salah yang harus diikuti tidak hanya oleh rakyat, tapi juga oleh penguasa. Apa yang dia nyatakan di atas terang yakni pengejawantahan dari pemahaman dia pada firman-Nya:
Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian kalau kalian berlainan pendapat mengenai sesuatu, maka kembalikanlah dia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), kalau kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. an-Nisaa' : 59).
Juga yakni refleksi dari pemahaman dia kepada hadits Rasulullah Saw:
“Tidak ada ketaatan kepada seseorang dalam bermaksiat kepada Allah, dan tidak ada ketaatan kepada orang yang maksiat kepada siapa saja yang berbuat maksiat.” [HR. Ahmad, Hakiem, dan Abu Dawud].
Lembut Tapi Tegas
Sejak sebelum Islam Abu Bakar r.a. populer sebagai orang baik, lembut hatinya, gemar menolong dan suka memberi maaf. Dan setelah Islam dan berkuasa sebagai khalifah pengganti Rasul dalam kepemimpinan negara dan umat, tentunya tidak diragukan lagi bahwa Abu Bakar r.a. yakni orang yang betul-betul memahami sabda Rasulullah Saw:
“Ya Allah, siapa saja yang diberi tanggung jawab memimpin urusan pemerintahan umatku dan menjadikan kesulitan bagi mereka, maka persulitlah dia. Dan siapa saja yang memerintah umatku dengan perilaku lembut (bersahabat) kepada mereka, maka lembutlah kepadanya.” [HR. Muslim].
Namun sebagai Khalifah, dia wajib memerintah dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul, dan wajib menjaga supaya supremasi aturan syariah tetap terjaga. Oleh karena itu, dalam rangka mempertahankan kedaulatan aturan syariah, tidak segan-segan dia mengambil tindakan tegas bagi siapa saja yang hendak merobohkannya.
Ini ibarat yang dia lakukan kepada sebagian kaum muslimin yang murtad dan tidak mau membayar zakat begitu mendengar isu wafatnya Rasulullah Saw. Sekalipun para sobat yang diminta pendapatnya masih mentolerir tindakan orang-orang yang tidak mau membayar zakat itu selama mereka masih sholat, namun Khalifah Abu Bakar tetap dalam pendiriannya. Di hadapan kaum muslimin dia berpidato: “Wahai kaum muslimin, ketahuilah ketika Allah mengutus Muhammad, kebenaran itu (Al Islam) selalu diremehkan orang dan Islam dimusuhi sehingga banyak orang yang enggan masuk Islam karena takut disiksa. Namun Allah kemudian menolongnya sehingga seluruh bangsa Arab sanggup disatukan di bawah naungannya. Demi Allah, saya akan tegakkan agama ini dan saya akan berjuang fi sabilillah hingga Allah menawarkan kemenangan atau Allah akan menawarkan nirwana bagi orang yang terbunuh di jalan Allah dan akan memberi kejayaan bagi orang yang mendapatkan kemenangan sehingga ia akan sanggup menjadi hamba yang berbakti dengan kondusif sentausa. Demi Allah, kalau mereka tidak mau membayar zakat, meskipun hanya seutas tali, pasti akan saya perangi meskipun jumlah mereka banyak hingga saya terbunuh, karena Allah tidak memisahkan kewajiban zakat dari kewajiban sholat.” (lihat Al Kandahlawy, Hayatus Shahabat, juga Kanzul Ummal).
Khulafaur Rasyidin yakni pemimpin umat Islam setelah Nabi Muhammad saw wafat, yaitu pada masa pemerintahan Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, dimana sistem pemerintahan yang diterapkan yakni pemerintahan yang demokratis.
Nabi Muhammad saw tidak meninggalkan wasiat mengenai siapa yang akan menggantikan dia sebagai pemimpin politik umat Islam setelah dia wafat. Beliau nampaknya menyerahkan problem itu kepada kaum muslimin sendiri untuk menentukannya. Karena itulah tidak usang setelah dia wafat, belum lagi jenazahnya dimakamkan, sejumlah tokoh Muhajirin dan Anshar berkumpul di balaikota Bani Sa’idah tepatnya di Madinah, mereka bermusyawarah memilih siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin. Musyawarah itu berjalan cukup alot karena masing-masing pihak baik Muhajirin atau Anshar sama-sama merasa berhak menjadi pemimpin umat Islam. Namun dengan semangat ukhuwah Islamiyah tinggi, akhirnya Abu Bakar yang terpilih.
Semangat keagamaan Abu Bakar memperoleh penghargaan tinggi dari umat Islam, sehingga masing-masing pihak mendapatkan dan membaiatnya. Sebagai pemimpin umat Islam setelah Rasul, maka Abu Bakar disebut Khalifah Rasulullah (Pengganti Rasul). Khalifah yakni pemimpin yang diangkat sehabis Nabi wafat untuk menggantikan dia melanjutkan tugas-tugas sebagai pemimpin agama dan kepala pemerintahan.
Setelah selesai orang membaiat, Abu Bakar pun berpidato sebagai sambutan atas kepercayaan orang banyak kepada dirinya, penting dan ringkas : “Wahai manusia, kini saya telah menjabat pekerjaan kami ini, tetapi bukanlah saya orang yang lebih baik dari pada kamu. Jika saya lelah berlaku baik dalam jabatanku, sokonglah aku, tetapi kalau saya berlaku salah, tegakkanlah saya kembali, kejujuran yakni suatu amanat, kedustaan yakni suatu khianat. Orang yang berpengaruh di antara kamu, pada sisiku hanyalah lemah, sehingga hak si lemah saya tarik dari padanya. Orang yang lemah di sisimu, pada sisiku kuat, karena akan ku ambilkan dari pada si berpengaruh akan haknya, Insyaallah. Janganlah kalian suka menghentikan jihad itu, yang tak akan ditimpa kehinaan. Taatlah kepadaku selama saya taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Tetapi kalau saya melanggar perintah-Nya, tidak usahlah kalian taat dan ikut saya lagi. Berdirilah sembahyang, semoga rahmat Allah mencakup kamu.”
Pemerintahan Abu Bakar yakni pemerintahan pertama yang mengobarkan peperangan dan memepersenjatai bala tentara untuk membela hak-hak kaum kafir yang lemah. Dalam hal ini Abu Bakar sangat di kenal dengan sebuah ungkapannya sekaligus yang menjadi komitmennya : “Demi Allah kalau mereka tidak mau membayar zakat dari harta yang bisa mereka bayar , padahal (dahulu) mereka membayarkannya kepada Rasulullah SAW. Maka pasti saya akan memerangi mereka.”
Abu Bakar yang memulai penakhlukan dan ekspansi Islam pada masanya, Islam bisa menakhlukan Persia dan Romawi, bahkan dia meninggal pada ketika perang yarmuk melawan imperium Romawi. Dalam setiap peperangan yang diperintahkan dia yakni selalu menanamkan nilai-nilai moral yang berdasar al Qur’an dan as sunnah. Beliau mewasiatkan pada kaum Muslimin : “Janganlah sekali-kali membunuh pendeta biarlah mereka melakukan peribadatan sesuai keyakinan mereka.
Abu Bakar menjadi khalifah hanya selama dua tahun, pada tahun 634 M dia meninggal dunia. Masa sesingkat itu habis untuk menuntaskan problem dalam negeri terutama tantangan yang ditimbulkan oleh suku-suku bangsa Arab yang tidak mau tunduk lagi kepada pemerintah Madinah, mereka menganggap bahwa perjanjian yang dibentuk dengan Nabi Muhammad saw dengan sendirinya batal setelah Nabi wafat. Karena itu mereka menentang Abu Bakar. Karena perilaku keras kepala dan penentangan mereka yang sanggup membahayakan agama dan pemerintahan, maka Abu Bakar menuntaskan problem ini dengan apa yang disebut Perang Riddah (perang melawan kemurtadan). Khalid bin Walid yakni jenderal yang banyak berjasa dalam Perang Riddah ini.
Kekuasaan yang dijalankan pada masa Khalifah Abu Bakar, sebagaimana pada masa Rasulullah saw, bersifat sentral : kekuasaan legislatif, administrator dan yudikatif terpusat di tangan khalifah. Selain menjalankan roda pemerintahan, khalifah juga melakukan hukum. Meskipun demikian, ibarat juga Nabi Muhammad saw, Abu Bakar selalu mengajak sahabat-sahabat besarnya bermusyawarah.
Setelah menuntaskan urusan perang dalam negeri, barulah Abu Bakar mengirim kekuatan ke luar Arabia. Khalid ibn Walid dikirim ke Iraq dan sanggup menguasai al Hirah pada tahun 634 M. Ke Syria dikirim ekspedisi di bawah pimpinan empat jenderal yaitu Abu Ubaidah, Amr ibnu ‘Ash, Yazid ibnu Abi Sufyan dan Syurahbil. Sebelumnya pasukan dipimpin oleh Usamah yang masih berusia 18 tahun. Untuk memperkuat tentara ini, Khalid ibnu Walid diperintahkan meninggalkan Irak, dan melalui gurun pasir yang jarang dijalani, dia hingga ke Syria.
Abu Bakar meninggal dunia, sementara barisan depan pasukan Islam sedang mengancam Palestina, Irak, dan kerajaan Hirah. dia diganti oleh “tangan kanan”nya, Umar bin Khattab. Ketika Abu Bakar sakit dan merasa ajalnya sudah dekat, dia bermusyawarah dengan para pemuka sahabat, kemudian mengangkat Umar sebagai penggantinya dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan umat Islam. Kebijaksanaan Abu Bakar itu ternyata diterima masyarakat yang segera secara beramai-ramai membaiat Umar. Umar menyebut dirinya Khalifah Rasulillah (pengganti dari Rasulullah). Dia juga memperkenalkan istilah Amir al-Mu’minin (Komandan orang-orang yang beriman).
Abu Bakar ash Sidiq juga berperan dalam pelestarian teks-teks tertulis al Quran. Dikatakan bahwa setelah kemenangan yang sangat sulit ketika melawan Musailamah dalam perang Ridda, banyak penghafal al Qur’an yang ikut tewas dalam pertempuran. Abu Bakar ash Sidiq lantas meminta Umar bin Khattab untuk mengumpulkan koleksi dari al Qur’an. Setelah lengkap koleksi ini, yang dikumpulkan dari para penghafal al Alquran dan tulisan-tulisan yang terdapat pada media tulis ibarat tulang, kulit dan lain sebagainya, oleh sebuah tim yang diketuai oleh sobat Zaid bin Tsabit, kemudian disimpan oleh Hafsah, anak dari Umar bin Khattab dan juga istri dari Nabi Muhammad saw. Kemudian pada masa pemerintahan Ustman bin Affan koleksi ini menjadi dasar penulisan teks al Qur’an hingga yang dikenal hingga ketika ini.
sumber :
www.blog.umy.ac.id
www.suara-islam.com
Tulisan ini menguraikan sosok kepemimpinan salah seorang sobat Rasulullah Saw yang paling utama, pengganti dia Saw mengimami sholat, dan pengganti dia Saw dalam kepemimpinan negara dan umat Islam sepeninggal dia Saw, yakni Khalifah Abu Bakar As Shiddiq r.a.
Cerdas, Supel, Jujur Dan Berani
Menurut Ibnu Hisyam dalam kitabnya Sirah Nabawiyah, Juz I/249-250, Abu Bakar r.a yakni putra Abu Quhafah. Nama aslinya Abdullah, panggilannya Atiq (sang Tampan) karena wajahnya yang tampan dan cakap orangnya. Tatkala masuk Islam, Abu Bakar r.a. menampilkan keislamannya, dan mengajak orang kepada Allah dan Rasul-Nya.
Dakwah Abu Bakar ini cukup efektif mengingat ia yakni seorang Quraisy yang yang supel dalam pergaulan, disukai dan diterima, seorang pebisnis, berbudi pekerti baik. Orang-orang biasa tiba padanya dan bergaul dengannya untuk banyak urusan karena ilmu yang dimilikinya, bisnisnya, dan baik pergaulannya. Sejumlah sobat yang masuk Islam di tangan Abu Bakar antara lain yakni Utsman bin Affan r.a., Zubair bin Awwam r.a., Abdurrahman bin Auf r.a., Saad bin Abi Waqash r.a., dan Thalhah bin Ubaidillah r.a.
Abu Bakar r.a. yakni orang yang cerdas, gampang mengerti dakwah yang disampaikan Rasulullah Saw sehingga ia pun cepat membenarkan dan meyakini apa yang dikatakan dia Saw dan masuk Islam. Ibnu Hisyam (idem, hal 252) menyampaikan bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda:
“Tidaklah saya mengajak seseorang kepada Islam melainkan ia tidak eksklusif menjawab, masih pikir-pikir, dan masih ragu-ragu, kecuali Abu Bakar bin Abi Quhafah. Tatkala saya berbicara dengannya, ia tidak menunda-nunda (pembenarannya) dan ia tidak ragu-ragu.”.
Tatkala Nabi Saw diperjalankan oleh Allah SWT dalam insiden Isra’ Mi’raj, tidak sedikit orang yang eksklusif menolak kabar dari dia mentah-mentah, bahkan ada sebagian kaum muslimin yang murtad, atau masih ragu-ragu, Abu Bakar secara cerdas membenarkannya dan mengatakan: “Jangankan kabar dari Muhammad Saw bahwa di berjalan di malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqshaa, sedangkan kabar yang diperolehnya dari langit dalam sekejap saja saya terima.”
Dengan keyakinan itu pula Abu Bakar siap dibina dengan Islam dan siap berjuang untuk Islam. Abu Bakar berani dan siap mengambil resiko berhadapan dengan Quraisy dalam mendakwahkan Islam.
Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya Al Bidayah wan Nihayah menuturkan: Tatkala Rasulullah Saw melakukan perintah Allah SWT untuk memperkenalkan kelompok dakwahnya secara terang-terangan (lihat QS. Al Hijr … ), dengan cara membentuk dua barisan yang dikepalai Hamzah r.a. dan Umar r.a. menuju Ka’bah, maka di situlah, di depan perwakilan para kabilah di Makkah, Abu Bakar r.a. berpidato. Dan orang-orang Quraisy pun memukulinya hingga mukanya babak belur dan pingsan. Namun setelah siuman, yang ditanyakan pertama kali adalah: Bagaimana keadaan Rasulullah? Pantaslah ia mendapatkan gelar As Shiddiiq, artinya yang lurus, yang benar, yang menerangkan kebenaran ucapannya dengan perbuatan.
Pidato Pertama Sebagai Khalifah Pertama
Setelah pembaiatan Abu Bakar r.a. sebagai Khalifah, dia r.a. berpidato: “Hai saudara-saudara! Kalian telah membaiat saya sebagai khalifah (kepala negara). Sesungguhnya saya tidaklah lebih baik dari kalian. Oleh karenanya, apabila saya berbuat baik, maka tolonglah dan bantulah saya dalam kebaikan itu; tetapi apabila saya berbuat kesalahan, maka tegurlah saya. Taatlah kalian kepada saya selama saya taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kalian mentaati saya, apabila saya berbuat maksiat pada Allah dan Rasul-Nya.” (lihat Abdul Aziz Al Badri, Al Islam bainal Ulama wal Hukkam).
Pidato khalifah Abu Bakar r.a. di atas memperlihatkan bahwa dia sebagai khalifah tidak pernah menganggap dirinya sebagai orang yang suci yang harus diagung-agungkan. Tak ada dalam kamus beliau: The chaliphate can do no wrong! Beliau justru mengedepankan supremasi aturan syariah, dan menjadikan loyalitas dan ketaatan warga negara padanya yakni satu paket dalam ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya. Beliau menjadikan syariah Allah sebagai standar untuk memilih benar dan salah yang harus diikuti tidak hanya oleh rakyat, tapi juga oleh penguasa. Apa yang dia nyatakan di atas terang yakni pengejawantahan dari pemahaman dia pada firman-Nya:
Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian kalau kalian berlainan pendapat mengenai sesuatu, maka kembalikanlah dia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), kalau kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. an-Nisaa' : 59).
Juga yakni refleksi dari pemahaman dia kepada hadits Rasulullah Saw:
“Tidak ada ketaatan kepada seseorang dalam bermaksiat kepada Allah, dan tidak ada ketaatan kepada orang yang maksiat kepada siapa saja yang berbuat maksiat.” [HR. Ahmad, Hakiem, dan Abu Dawud].
Lembut Tapi Tegas
Sejak sebelum Islam Abu Bakar r.a. populer sebagai orang baik, lembut hatinya, gemar menolong dan suka memberi maaf. Dan setelah Islam dan berkuasa sebagai khalifah pengganti Rasul dalam kepemimpinan negara dan umat, tentunya tidak diragukan lagi bahwa Abu Bakar r.a. yakni orang yang betul-betul memahami sabda Rasulullah Saw:
“Ya Allah, siapa saja yang diberi tanggung jawab memimpin urusan pemerintahan umatku dan menjadikan kesulitan bagi mereka, maka persulitlah dia. Dan siapa saja yang memerintah umatku dengan perilaku lembut (bersahabat) kepada mereka, maka lembutlah kepadanya.” [HR. Muslim].
Namun sebagai Khalifah, dia wajib memerintah dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul, dan wajib menjaga supaya supremasi aturan syariah tetap terjaga. Oleh karena itu, dalam rangka mempertahankan kedaulatan aturan syariah, tidak segan-segan dia mengambil tindakan tegas bagi siapa saja yang hendak merobohkannya.
Ini ibarat yang dia lakukan kepada sebagian kaum muslimin yang murtad dan tidak mau membayar zakat begitu mendengar isu wafatnya Rasulullah Saw. Sekalipun para sobat yang diminta pendapatnya masih mentolerir tindakan orang-orang yang tidak mau membayar zakat itu selama mereka masih sholat, namun Khalifah Abu Bakar tetap dalam pendiriannya. Di hadapan kaum muslimin dia berpidato: “Wahai kaum muslimin, ketahuilah ketika Allah mengutus Muhammad, kebenaran itu (Al Islam) selalu diremehkan orang dan Islam dimusuhi sehingga banyak orang yang enggan masuk Islam karena takut disiksa. Namun Allah kemudian menolongnya sehingga seluruh bangsa Arab sanggup disatukan di bawah naungannya. Demi Allah, saya akan tegakkan agama ini dan saya akan berjuang fi sabilillah hingga Allah menawarkan kemenangan atau Allah akan menawarkan nirwana bagi orang yang terbunuh di jalan Allah dan akan memberi kejayaan bagi orang yang mendapatkan kemenangan sehingga ia akan sanggup menjadi hamba yang berbakti dengan kondusif sentausa. Demi Allah, kalau mereka tidak mau membayar zakat, meskipun hanya seutas tali, pasti akan saya perangi meskipun jumlah mereka banyak hingga saya terbunuh, karena Allah tidak memisahkan kewajiban zakat dari kewajiban sholat.” (lihat Al Kandahlawy, Hayatus Shahabat, juga Kanzul Ummal).
Metode Kepemimpinan Abu Bakar ash Sidiq
Khulafaur Rasyidin yakni pemimpin umat Islam setelah Nabi Muhammad saw wafat, yaitu pada masa pemerintahan Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, dimana sistem pemerintahan yang diterapkan yakni pemerintahan yang demokratis.
Nabi Muhammad saw tidak meninggalkan wasiat mengenai siapa yang akan menggantikan dia sebagai pemimpin politik umat Islam setelah dia wafat. Beliau nampaknya menyerahkan problem itu kepada kaum muslimin sendiri untuk menentukannya. Karena itulah tidak usang setelah dia wafat, belum lagi jenazahnya dimakamkan, sejumlah tokoh Muhajirin dan Anshar berkumpul di balaikota Bani Sa’idah tepatnya di Madinah, mereka bermusyawarah memilih siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin. Musyawarah itu berjalan cukup alot karena masing-masing pihak baik Muhajirin atau Anshar sama-sama merasa berhak menjadi pemimpin umat Islam. Namun dengan semangat ukhuwah Islamiyah tinggi, akhirnya Abu Bakar yang terpilih.
Semangat keagamaan Abu Bakar memperoleh penghargaan tinggi dari umat Islam, sehingga masing-masing pihak mendapatkan dan membaiatnya. Sebagai pemimpin umat Islam setelah Rasul, maka Abu Bakar disebut Khalifah Rasulullah (Pengganti Rasul). Khalifah yakni pemimpin yang diangkat sehabis Nabi wafat untuk menggantikan dia melanjutkan tugas-tugas sebagai pemimpin agama dan kepala pemerintahan.
Setelah selesai orang membaiat, Abu Bakar pun berpidato sebagai sambutan atas kepercayaan orang banyak kepada dirinya, penting dan ringkas : “Wahai manusia, kini saya telah menjabat pekerjaan kami ini, tetapi bukanlah saya orang yang lebih baik dari pada kamu. Jika saya lelah berlaku baik dalam jabatanku, sokonglah aku, tetapi kalau saya berlaku salah, tegakkanlah saya kembali, kejujuran yakni suatu amanat, kedustaan yakni suatu khianat. Orang yang berpengaruh di antara kamu, pada sisiku hanyalah lemah, sehingga hak si lemah saya tarik dari padanya. Orang yang lemah di sisimu, pada sisiku kuat, karena akan ku ambilkan dari pada si berpengaruh akan haknya, Insyaallah. Janganlah kalian suka menghentikan jihad itu, yang tak akan ditimpa kehinaan. Taatlah kepadaku selama saya taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Tetapi kalau saya melanggar perintah-Nya, tidak usahlah kalian taat dan ikut saya lagi. Berdirilah sembahyang, semoga rahmat Allah mencakup kamu.”
Pemerintahan Abu Bakar yakni pemerintahan pertama yang mengobarkan peperangan dan memepersenjatai bala tentara untuk membela hak-hak kaum kafir yang lemah. Dalam hal ini Abu Bakar sangat di kenal dengan sebuah ungkapannya sekaligus yang menjadi komitmennya : “Demi Allah kalau mereka tidak mau membayar zakat dari harta yang bisa mereka bayar , padahal (dahulu) mereka membayarkannya kepada Rasulullah SAW. Maka pasti saya akan memerangi mereka.”
Abu Bakar yang memulai penakhlukan dan ekspansi Islam pada masanya, Islam bisa menakhlukan Persia dan Romawi, bahkan dia meninggal pada ketika perang yarmuk melawan imperium Romawi. Dalam setiap peperangan yang diperintahkan dia yakni selalu menanamkan nilai-nilai moral yang berdasar al Qur’an dan as sunnah. Beliau mewasiatkan pada kaum Muslimin : “Janganlah sekali-kali membunuh pendeta biarlah mereka melakukan peribadatan sesuai keyakinan mereka.
Abu Bakar menjadi khalifah hanya selama dua tahun, pada tahun 634 M dia meninggal dunia. Masa sesingkat itu habis untuk menuntaskan problem dalam negeri terutama tantangan yang ditimbulkan oleh suku-suku bangsa Arab yang tidak mau tunduk lagi kepada pemerintah Madinah, mereka menganggap bahwa perjanjian yang dibentuk dengan Nabi Muhammad saw dengan sendirinya batal setelah Nabi wafat. Karena itu mereka menentang Abu Bakar. Karena perilaku keras kepala dan penentangan mereka yang sanggup membahayakan agama dan pemerintahan, maka Abu Bakar menuntaskan problem ini dengan apa yang disebut Perang Riddah (perang melawan kemurtadan). Khalid bin Walid yakni jenderal yang banyak berjasa dalam Perang Riddah ini.
Kekuasaan yang dijalankan pada masa Khalifah Abu Bakar, sebagaimana pada masa Rasulullah saw, bersifat sentral : kekuasaan legislatif, administrator dan yudikatif terpusat di tangan khalifah. Selain menjalankan roda pemerintahan, khalifah juga melakukan hukum. Meskipun demikian, ibarat juga Nabi Muhammad saw, Abu Bakar selalu mengajak sahabat-sahabat besarnya bermusyawarah.
Setelah menuntaskan urusan perang dalam negeri, barulah Abu Bakar mengirim kekuatan ke luar Arabia. Khalid ibn Walid dikirim ke Iraq dan sanggup menguasai al Hirah pada tahun 634 M. Ke Syria dikirim ekspedisi di bawah pimpinan empat jenderal yaitu Abu Ubaidah, Amr ibnu ‘Ash, Yazid ibnu Abi Sufyan dan Syurahbil. Sebelumnya pasukan dipimpin oleh Usamah yang masih berusia 18 tahun. Untuk memperkuat tentara ini, Khalid ibnu Walid diperintahkan meninggalkan Irak, dan melalui gurun pasir yang jarang dijalani, dia hingga ke Syria.
Abu Bakar meninggal dunia, sementara barisan depan pasukan Islam sedang mengancam Palestina, Irak, dan kerajaan Hirah. dia diganti oleh “tangan kanan”nya, Umar bin Khattab. Ketika Abu Bakar sakit dan merasa ajalnya sudah dekat, dia bermusyawarah dengan para pemuka sahabat, kemudian mengangkat Umar sebagai penggantinya dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan umat Islam. Kebijaksanaan Abu Bakar itu ternyata diterima masyarakat yang segera secara beramai-ramai membaiat Umar. Umar menyebut dirinya Khalifah Rasulillah (pengganti dari Rasulullah). Dia juga memperkenalkan istilah Amir al-Mu’minin (Komandan orang-orang yang beriman).
Abu Bakar ash Sidiq juga berperan dalam pelestarian teks-teks tertulis al Quran. Dikatakan bahwa setelah kemenangan yang sangat sulit ketika melawan Musailamah dalam perang Ridda, banyak penghafal al Qur’an yang ikut tewas dalam pertempuran. Abu Bakar ash Sidiq lantas meminta Umar bin Khattab untuk mengumpulkan koleksi dari al Qur’an. Setelah lengkap koleksi ini, yang dikumpulkan dari para penghafal al Alquran dan tulisan-tulisan yang terdapat pada media tulis ibarat tulang, kulit dan lain sebagainya, oleh sebuah tim yang diketuai oleh sobat Zaid bin Tsabit, kemudian disimpan oleh Hafsah, anak dari Umar bin Khattab dan juga istri dari Nabi Muhammad saw. Kemudian pada masa pemerintahan Ustman bin Affan koleksi ini menjadi dasar penulisan teks al Qur’an hingga yang dikenal hingga ketika ini.
sumber :
www.blog.umy.ac.id
www.suara-islam.com