Optimis, Ikhtiar Dan Tawakal Dalam Islam

Optimis, Ikhtiar dan tawakal dalam Islam merupakan satu mata rantai yang tak sanggup dipisahkan. Manusia hidup didunia ini pastilah memiliki harapan, tanpa adanya harapan insan tidak memiliki arti sebagai manusia.

Pendefinisian harapan sering disamakan dengan definisi dari cita-cita. Padahal keduanya memiliki arti yang berbeda dimana harapan ialah keinginan yang belum terwujud. Sedangakan impian memiliki definisi sebagai keinginan yang ada dalam hati seseorang. Cita-cita mungkin bisa tercapai atau tidak, semoga impian itu sanggup dikabulkan oleh Allah ada beberapa faktor yang harus dipenuhi yaitu berdoa dan berbakti kepada Allah serta bekerja keras.Dalam bekerja keras tentulah insan memerluka sikap optimisme sehingga termotivasi untuk mencapai harapan dan impian yang diinginkan.

Dilihat dari segi bahasa optimisme berasal dari bahasa latin yaitu “Optima” yang berarti terbaik Menjadi optimis, dalam arti khas kata, pada alhasil berarti satu harapkan untuk mendapatkan hasil terbaik dari situasi tertentu. Menurut Inggris Oxford Dictionary mendefinisikan optimisme sebagai memiliki "harapan dan keyakinan mengenai masa depan atau hasil yang sukses dari sesuatu; Kecenderungan untuk mengambil pandangan positif atau penuh harapan". Sedangkan berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia “optimis” ialah orang yg selalu berpengharapan  baik dl menghadapi segala hal.

Dari pengertian diatas sanggup disimpulkan tolong-menolong optimisme ialah suatu sikap penuh dengan keyakinan tinggi dalam mengahadapi permasalahan kehidupan didunia ini, dan dimasa depan akan meraih kesuksesan yang telah dicita-citakan sebelumnya. Optimisme ialah sebuah sikap yang akan mendorong seorang individu untuk terus berusaha pantang mengalah guna mencapai tujuan dan impian yang diinginkan, walaupun seberat apapun problematika yang dihadapi namun dengan adanya keteguhan dan sikap optimisme akan menyebabkan seseorang sanggup menghadapinya dan mencari problem solving.

Namun dalam bersikap optimis yang hiperbola akan membawa sesorang kedalam kesombongan dan akan membawanya dalam jurang kehancuran. Dengan demikian haruslah kita bersikap optimis dengan mengimbanginya dengan perjuangan keras serta berserah diri kepada Allah SWT. Apabila seorang hanya bersikap optimis tanpa diikuti oleh tindakan yang positif dan kerja keras tujuan yang diinginkan tak akan tercapai, setelah bersikap optimis dan bekerja keras haruslah kita tetap berserah diri kepada Allah SWT, lantaran hanya ditangan Allah lah yang akan menetukan hasil kerja keras kita.

Dengan bersikap optimis dalam mengahadapi problem kehidupan akan menyebabkan seorang muslim lebih bersikap bahagia, lantaran sanggup mencapai apa yang telah dicita-citakan baik impian dunia atau akherat. Selain hal itu berdasarkan pakar yang telah melaksanakan riset menyatakan tolong-menolong orang yang bersikap optimis akan memiliki tubuh yang sehat dan lebih panjang umur dari pada orang-orang yang bersikap pesimistis. Para peneliti juga memperhatikan bahwa orang yang optimistis lebih sanggup menghadapi stres dan lebih kecil kemungkinannya mengalami depresi.

Sebagai seorang muslim, kita harus optimis dalam menghadapi ujian atau cobaan, semua problem kita serahkan kepada ALLAH disertai perjuangan semaksimal mungkin, lantaran hanya ALLAH daerah meminta dan daerah berlindung.bagi makhlukNya.

Orang Islam tidak punya kata pesimis dalam kamus hidupnya, lantaran pedoman yang telah dipegang teguh ialah al-Quran dan al-Hadits. Pernahkah terpikir oleh kita bahwa segala rintangan, kesulitan yang dihadapi menyebabkan kita kian pakar dan bertambah pengalaman dalam segala hal? Sungguh indah ayat cintaNya wacana sikap optimis yang harus ditanamkan dalam diri kita, Alam Nasyrah, “… karena. sesungguhnya setelah kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya setelah kesulitan ada kemudahan.”

Sebagai contoh, dahulu lantaran Rasulullah dan para sahabat yakin bisa merubah peradaban dengan peradaban Islam, walaupun dengan aneka macam kekurangan pada awalnya baik harta, pengikut, atau sarana yang lain, tetapi dengan keyakinan yang berpengaruh dan perjuangan yang optimal, juga doa yang senantiasa dipanjatkan ke hadirat Allah Swt, Islam bisa memegang peradaban. Yakinlah, bahwa setiap keyakinan akan menghasilkan sesuatu, bisa 100%, bisa lebih, dan juga bisa kurang, tetapi selalu ada hasilnya.

1. Pengertian Ikhtiar

Kata ikhtiar berasal dari bahasa Arab  yang berarti memilih. Ikhtiar diartikan berusaha lantaran pada hakikatnya orang yang berusaha berarti memilih.
Adapun berdasarkan istilah, berusaha dengan mengerahkan segala kemampuan yang ada untuk meraih suatu harapan dan keingina yang dicita-citakan, ikhtiyar juga juga sanggup diartikan sebagai perjuangan sungguh-sungguh yang dilakukan untuk mendapatkan kebahagiaan hidup, baik di dunia atau di akhirat.

2. Perintah untuk Berikhtiar
Dalil-dalil yang mewajibkan kita berikhtiar, antara lain :
  1. Surat al-Jumu’ah ayat 10 yang artinya :”Apabila salat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kalian di bumi, carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak semoga kalian beruntung”.
  2. H.R. al-Bukhori nomor 1378 dari Zubair bin Awwam r.a yang artinya : “Sungguh, jikalau sekiranya salah seorang diantara kalian membawa talinya, kemudian ia kembali dengan membawa seikat kayu di atas punggungnya, kemudian ia jual sehingga Allah mencukupi kebutuhannya(dengan hasil itu) ialah lebih baik daripada meminta-minta kepada manusia, baik mereka(yang diminta) member atau menolaknya.

3. Bentuk-bentuk Ikhtiar
Sebagai muslim kita harus mengenali bentuk-bentuk sikap ikhtiar, semoga kelak sanggup mengamalkannya dalam kehidupan sehari-sehari, di antaranya sebagai berikut :
a. Mau bekerja keras dalam mencapai suatu harapan dan cita-cita.
b. Selalu bersemangat dalam menghadapi kehidupan.
c. Tidak gampang mengalah dan putus asa.
d. Disiplin dan penuh tanggung jawab.
e. Giat bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup.
f. Rajin berlatih dan berguru semoga bisa meraih apa yang diinginkannya.

4. Dampak Positif Ikhtiar
Banyak nilai positif yang terkandung dalam sikap ikhtiar, di antaranya sebagai berikut :
a. Terhindar dari sikap malas.
b. Dapat mengambil hikmah dari setiap perjuangan yang dilakukannya.
c. Memberikan referensi tauladan bagi orang lain.
d. Mendapat kasih sayang dan ampuna dari Allah SWT.
e. Merasa batinnya puas lantaran sanggup mencukupi kebutuhan hidupnya.
f. Terhormat dalam pandangan Allah dan sesame insan lantaran sikapnya.
g. Dapat berlaku irit dalam membelanjakan hartanya.

5. Membiasakan Diri Berikhtiar
Sikap sikap ikhtiar harus dimiliki oleh setiap muslim semoga bisa menghadapi semua godaan dan tantangan dengan kerja keras dan ikhtiar. Untuk itu hendaklah perhatikan terlebih dahulu beberapa hal berikut :
a. Kuatkan iman kepada Allah SWT.
b. Hindari sikap pemalas.
c. Jangan gampang mengalah dan putus asa.
d. Berdo’a kepada Allah semoga diberi kekuatan untuk selalu berikhtiar.
e. Giat dan bersemangat dalam melaksanakan suatu usaha.
f. Tekun dalam melaksanakan tugas, Pandai-pandai memanfaatkan waktu.
g. Tidak gampang putus asa, selalu berusaha memajukan usahanya.

Bertawakal kepada Allah merupakan perintah yang banyak terdapat dalam Al-Qur’an, di samping perintah-perintah lainnya menyerupai bertaqwa, bersabar, beristiqomah, nrimo dan beribadah, ridho dalam mendapatkan ketetapan Tuhan, berlaku adil, berjihad pada jalan-Nya, berkurban dan lain-lain.

Di antara perintah-perintah yang terpokok dan terutama sekali ialah perintah untuk ber-IBADAH kepada-Nya. Oleh lantaran itulah maka kiprah utama insan di dunia ini tidak lain beribadah kepada-Nya sebagai mana ditegaskan oleh-Nya : ” Wamaa kholaktul jinna wal insa illa liya’buduuni ”  A.Q.S. 51:56.

Arti dan Makna Tawakal

Tawakal artinya BERSERAH DIRI DAN BERPEGANG TEGUH KEPADA ALLAH. Di sini terdapat dua unsur pokok yaitu, pertama berserah diri dan kedua berpegang teguh. Kedua-duanya ialah kesatuan yang tidak sanggup dipisahkan. Tidak sanggup dikatakan tawakal kalau belum berserah diri secara ikhlas. Tidak sanggup pula dikatakan tawakal kalau belum berpegang kepada-Nya, belum kokoh atau belum bundar pada tingkat haqqul yakin kepada kekuasaan-Nya yang tidak terbatas, keadilan-Nya, kebijaksanaan-Nya, kasih sayang-Nya untuk mengatur segala sesuatu dengan sesempurna-sempurnanya.

Menjaring dan menjemput ’keran rezeki' yang telah ditetapkan Allah SWT, ialah kewajiban seorang muslim. Dalam menjemput rezeki, secara teknis kita akan berhadapan dengan zona rezeki baik dan rezeki yang tidak baik, yang halal dan rezeki yang tidak halal. Hal itu sebagaimana Alloh kemukakan dalam al-Quran surat al-Baqoroh ayat 57 yang artinya, "Makanlah masakan baik-baik yang Kami berikan kepadamu."

Ayat di atas, secara tersirat menjelaskan, sesungguhnya rezeki yang disebar terdiri atas rezeki baik dan rezeki yang tidak baik, dan kita diperintahkan untuk menjemput rezeki baik dan dengan cara baik pula.

Tergelincirnya seseorang menikmati rezeki yang tidak baik disebabkan lantaran faktor ketakutan, kegelisahan, dan tidak yakin pada jatah yang telah ditetapkan Allah. Mereka takut miskin, padahal perasaan itu hanyalah bisikan setan sebagaimana firman Allah, "Setan itu menakut-nakuti kalian dengan kemiskinan dan menyuruh melaksanakan perbuatan yang keji." . Sesungguhnya Allah dalam al-Quran telah bersumpah akan menjamin rezeki makhluknya, "Dan di langit terdapat rezekimu dan apa-apa yang dijanjikan kepadamu. Demi Tuhannya langit dan bumi, sesungguhnya apa yang dijanjikan itu ialah benar, seumpama perkataanmu." (QS. adz-Dzariyat: 22-23)­


Tawakal dalam Menjemput rezeki

Kunci utama dalam menjemput rezeki yang halal ialah ikhtiar dan tawakal. Sikap tawakal tidak identik dengan pasrah, apa adanya, kumaha engke, atau malas. Tawakal berdasarkan bahasa berasal dari kata 'wakala' artinya menyerahkan ”sesuatu.” Itulah sebabnya, Yusuf Qordhowi mengemukakan, tawakal ialah cabang iman kepada Allah SWT., yang menyerukan kepada penyerahan diri kepada Allah SWT., semata tanpa mengabaikan sebab.

Seiring dengan ungkapan itu, Abu Turab an-Nakhsyaby menjelaskan, tawakal ialah gerakan untuk ubudiyah, menggantungkan hati kepada penanganan Allah, ketenangan kepada qodho dan qodar Allah SWT., kedamaian mendapatkan kecukupan dari Allah, bersyukur jikalau diberi dan bersabar jikalau ditahan.

Tawakal ialah pancaran dari sikap optimis yang dibuktikan dengan kekuatan do’a dan kekuatan ikhtiar secara optimal. Dengan kata lain, tawakal ialah perjuangan yang dilakukan sepenuh hati dan dibuktikan dengan kesungguhan secara fisik.

Sikap tawakal seorang muslim bukan pada hasil tetapi pada proses. Ketika seekor kuda diikat atau ditambatkan pada sebatang pohon semoga tidak lepas ialah sebuah proses tawakal. Toh, nanti ternyata setelah kuda diikat dengan berpengaruh tetapi tetap bisa kabur itu ialah semata-mata kehendak Allah SWT. Demikian makna tawakal yang diajarkan panutan kita, Rasulullah Saw.

Konsep tawakal yang diajarkan Rasulullah memiliki keutamaan yang sangat dekat dengan pola hidup seorang muslim di antaranya, pertama sikap tawakal sangat disukai Allah. Hal itu sebagaimana tertulis dalam al-Quran surat al-Imron ayat 159, "Karena itu maafkanlah mereka, mohonkan ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kalian telah membulatkan tekad, maka tawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya."

Kedua, dengan sikap tawakal Allah akan mencukupkan keperluan kita. Hal itu sesuai dengan kesepakatan Allah SWT dalam surat At-Tolaq ayat 3. Ketiga, sikap tawakal ialah bukti iman yang benar. Firman Allah, "Dan hanya kepada Allah hendaknya kalian bertawakal, jikalau kalian benar-benar orang yang beriman." . Keempat, dengan tawakal Allah akan memudahkan urusan rezeki kita dengan mudah. Rasulullah bersabda, "Sekiranya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, pasti Ia akan memberi kalian rezeki, sebagaimana Ia memberi rezeki kepada burung yang pergi dalam keadaan kosong perutnya dan kembali lagi dalam keadaan kenyang."(HR. Tirmidzi).

Beranjak dari keutamaan tawakal, maka sanggup dipastikan dalam setiap gerak langkah ketika menjemput rezeki akan selalu lahir rasa optimis tinggi. Kondisi ini sejalan dengan hakikat kedatangan rezeki, yakni dari mana menerima rezeki dan bagaimana membelanjakan rezeki itu. Soal banyak sedikit rezeki yang diperoleh bukan masalah. Bukankah posisi kita dalam kaitan rezeki hanya sebagai pemegang amanah bukan pemilik.


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel