Kepemimpinan Khalifah Utsman Bin Affan R.A.


Utsman bin Affan r.a. (576-656 M), salah satu shahabat Nabi Muhammad dan dikenal sebagai khalifah Rasulullah yang ketiga (memerintah 644-656 M/23-35 H). Nama lengkap dia ialah Utsman bin Affan Al-Amawi Al-Quarisyi, berasal dari Bani Umayyah. Lahir pada tahun keenam tahun Gajah. Kira-kira lima tahun lebih muda dari Rasullulah Saw. Nama panggilannya Abu Abdullah dan gelarnya Dzunnurrain (Pemilik dua cahaya) karena ia menikah dengan dua orang putri Nabi Muhammad Saw. yang berjulukan Ruqayyah dan Ummu Kultsum.

Pada masa Rasulullah masih hidup, Utsman terpilih sebagi salah satu sekretaris Rasulullah sekaligus masuk dalam tim penulis wahyu yang turun dan pada masa kekhalifahannya al-Qur’an dibukukan secara tertib. Utsman juga ialah salah satu shahabat yang mendapatkan jaminan Nabi Muhammad sebagai ahlul jannah. Kekerabatan Utsman dengan Muhammad Rasulullah bertemu pada urutan silsilah ‘Abdu Manaf. Rasulullah berasal dari Bani Hasyim sedangkan Utsman dari kalangan Bani Ummayah. Antara Bani Hasyim dan Bani Ummayah semenjak jauh sebelum masa kenabian Muhammad, dikenal sebagai dua suku yang saling bermusuhan dan terlibat dalam persaingan sengit dalam setiap aspek kehidupan. Maka tidak heran kalau proses masuk Islamnya Utsman bin Affan r.a. dianggap ialah hal yang luar biasa, populis, dan sekaligus heroik. Hal ini mengingat kebanyakan kaum Bani Ummayah, pada masa masuk Islamnya Utsman, bersikap memusuhi Nabi dan agama Islam.

Utsman bin Affan r.a. terpilih menjadi khalifah ketiga berdasar bunyi secara umum dikuasai dalam musyawarah tim formatur yang anggotanya dipilih oleh Khalifah Umar bin Khaththab menjelang wafatnya. Saat menduduki amanah sebagai khalifah dia berusia sekitar 70 tahun. Pada masa pemerintahan beliau, bangsa Arab berada pada posisi permulaan zaman perubahan. Hal ini ditandai dengan perputaran dan percepatan pertumbuhan ekonomi disebabkan anutan kekayaan negeri-negeri Islam ke tanah Arab seiring dengan semakin meluasnya wilayah yang tersentuh syiar agama. Faktor-faktor ekonomi semakin gampang didapatkan. Sedangkan masyarakat telah mengalami proses transformasi dari kehidupan bersahaja menuju pola hidup masyarakat perkotaan.
Dalam manajemen pemerintahannya Utsman menempatkan beberapa anggota keluarga dekatnya menduduki jabatan publik strategis. Hal ini memicu evaluasi pakar sejarah untuk menekankan telah terjadinya proses dan motif nepotisme dalam tindakan Utsman itu. Adapun daftar keluarga Utsman dalam pemerintahan yang dimaksud sebagi alasan motif nepotisme itu ialah menyerupai berikut ini:


  1. Muawiyah bin Abu Sufyan yang menjabat sebagi gubernur Syam, dia termasuk shahabat Nabi, keluarga bersahabat dan satu suku dengan Utsman.
  2. Pimpinan Basyrah, Abu Musa Al Asy’ari, diganti oleh Utsman dengan Abdullah bin Amir, sepupu Utsman.
  3. Pimpinan Kuffah, Sa’ad bin Abi Waqqash, diganti dengan Walid Bin ‘Uqbah, saudara tiri Utsman. Lantas Walid ternyata kurang bisa menjalankan syariat Islam dengan baik tanggapan minum-minuman keras, maka diganti oleh Sa’id bin ‘Ash. Sa’id sendiri ialah saudara sepupu Utsman.
  4. Pemimpin Mesir, Amr bin ‘Ash, diganti dengan Abdullah bin Sa’ad bin Abu Sarah, yang masih ialah saudara seangkat (dalam sumber lain saudara sepersusuan, atau bahkan saudara sepupu) Utsman.
  5. Marwan bin Hakam, sepupu sekaligus ipar Utsman, diangkat menjadi sekretaris Negara.
  6. Khalifah dituduh sebagai koruptor dan nepotis dalam masalah pemberian dana khumus (seperlima harta dari rampasan perang) kepada Abdullah bin Sa’ad bin Abu Sarah, kepada Marwan bin Hakkam, dan juga kepada Harits bin Hakam.


Beberapa penulis Muslim mencoba melaksanakan rasionalisasi bahwa tindakan Utsman itu bukan tanpa alasan. Hal ini ialah sebuah upaya pembelaan pada tindakan Utsman tidak atau bahkan sama sekali jauh dari motif nepotisme. Sebagai referensi salah satu bentuk rasionalisasi menyebutkan bahwa Utsman mengangkat wali-wali negeri dari pihak keluarga untuk alasan memperkuat wilayah kekuasaannya melalui sisi personal yang telah jelas-jelas dikenal baik karakteristiknya. Hal ini mengingat wilayah kekhilafahan pada masa Utsman bin Affan r.a. ketika itu semakin meluas. Demikian juga tanggungjawab dakwah dimasing-masing wilayah itu.

Dalam Manajemen, mengangkat pekerja berdasar korelasi bukan hal yang salah. Kemungkinan pengenalan karakteristik anggota keluarga terang lebih baik dibandingkan melalui seleksi dari luar keluarga. Jika hal itu menyangkut kinerja dan keinginan ketercapaian tujuan dimasa mendatang terang pemilihan bawahan dari pihak keluarga tidak bertentangan dengan sebuah hukum apa pun. Artinya secara fundamental nepotisme sendiri bukan ialah sebuah dosa. Namun demikian kata “nepotisme’ cukup umur ini telah mengalami perubahan makna substansial menjadi sebuah istilah yang bermuatan negatif. Bukan hanya bagi Indonesia, namun bagi sejumlah negara “pendekatan kekeluargaan” itu telah menempati urutan teratas bagi kategorisasi “dosa-dosa politis” sebuah rezim kekuasaan cukup umur ini.

Oleh karena itu maka klarifikasi bahwa pemilihan anggota keluarga untuk menempati struktur kepemimpinan dalam masalah khalifah Utsman bin Affan r.a. dengan rasionalisasi atas pengenalan karakteristik, terang kurang relevan diterapkan pada masa ini, meskipun bukan berarti tidak benar. Maka salah satu jalan yang harus dilakukan guna membedah informasi seputar nepotisme ini ialah melalui cross check sejarah pada masing-masing anggota keluarga Utsman yang terlibat dalam kekuasaan sebagai alasan Khalifah Utsman mengangkat beberapa keluarga dekatnya dalam struktur jabatan-jabatan publik yang strategis.

Kronologi Pejabat Negara ‘Keluarga’ Khalifah Utsman

Mengetengahkan kembali kronologi seputar pemerintahan Utsman bin Affan r.a., bukanlah pekerjaan yang gampang dilakukan. Terutama apabila dikaitkan dengan ketersediaan data dengan kualitas dan kuantitas yang memadai. Upaya memojokkan pemerintahan Utsman sebagai rezim nepotis sendiri hanya berangkat dari satu sudut pandang dengan argumentasi mengungkap motif sosial-politik belaka. Lebih dari itu lebih banyak berkutat dalam dugaan dan produk kreatif imajinatif. Sumber data yang tersedia kebanyakan didominasi oleh naskah yang ditulis pada masa dinasti Abbasiyah, yang secara politis jelas-jelas telah menjadi rival bagi Muawiyah, keluarga, dan sukunya, tidak terkecuali khalifah Utsman bin Affan r.a.. Oleh karena itu kesulitan pertama yang harus dihadapi ialah upaya menyaring data-data valid diantara rasionalisasi kebencian dan permusuhan yang menyelusup di antara input data yang tersedia.

Dakwah Islam pada masa awal kekhilafahan Utsman bin Affan r.a. memperlihatkan kemajuan dan perkembangan signifikan melanjutkan estafeta dakwah pada masa khalifah sebelumnya. Wilayah dakwah Islam menjangkau perbatasan Aljazair (Barqah dan Tripoli hingga Tunisia), di sebelah utara mencakup Allepo dan sebagian Asia Kecil. Di timur bahari hingga Transoxiana dan seluruh Persia serta Balucistan (Pakistan sekarang), serta Kabul dan Ghazni. Utsman juga berhasil membentuk armada dan angkatan bahari yang kuat sehingga berhasil menghalau serangan tentara Byzantium di Laut Tengah. Peristiwa ini ialah kemenangan pertama tentara Islam dalam pertempuran di lautan.

Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa, Utsman mengangkat anggota keluarganya sebagi pejabat publik. Di antaranya ialah Muawiyah bin Abu Sufyan. Sosok Muawiyah dikenal sebagai politisi piawai dan tokoh kuat bagi bangsa Arab yang telah diangkat sebagai kepala kawasan (Gubernur) Syam semenjak masa khalifah Umar bin Khaththab. Muawiyyah tercatat memperlihatkan prestasi dan keberhasilan dalam membuatkan pertempuran menghadapi tentara Byzantium di front utara. Muawiyah ialah sosok negarawan ulung sekaligus pahlawan Islam pilih tanding pada masa khalifah Umar atau Utsman. Dengan demikian tuduhan nepotisme Utsman terang tidak bisa masuk melalui celah Muawiyah itu. Sebab dia telah diangkat sebagai gubernur semenjak masa Umar. Belum lagi prestasinya tidaklah bisa dianggap ringan.

Selanjutnya penggantian Gubernur Basyrah Abu Musa al Asyari dengan Abdullah bin Amir, sepupu Utsman juga sulit dibuktikan sebagi tindakan nepotisme. Proses pergantian pimpinan itu didasarkan atas aspirasi dan kehendak rakyat Basyrah yang menuntut Abu Musa al-Asyari meletakkan jabatan. Oleh rakyat Basyrah, Abu Musa dianggap terlalu irit dalam membelanjakan keuangan Negara bagi kepentingan rakyat dan bersikap mengedepankan orang Quraisy dibandingkan penduduk pribumi. Pasca menurunkan jabatan Abu Musa, khalifah Utsman menyerahkan sepenuhnya urusan pemilihan pimpinan gres kepada rakyat Basyrah. Rakyat Basyrah kemudian menentukan pimpinan dari golongan mereka sendiri. Namun pilihan rakyat itu justru dianggap gagal menjalankan roda pemerintahan dan dinilai tidak cakap oleh rakyat Basyrah yang memilihnya sendiri. Maka kemudian secara aklamasi rakyat menyerahkan urusan pemerintahan kepada khalifah dan meminta dia menunjuk pimpinan gres bagi wilayah Basyrah. Maka kemudian khalifah Utsman menunjuk Abdullah bin Amir sebagai pimpinan Basyrah dan rakyat setempat mendapatkan pimpinan dari khalifah itu. Abdullah bin Amir sendiri telah memperlihatkan reputasi cukup baik dalam penaklukan beberapa kawasan Persia. Dengan demikian nepotisme kembali belum terbukti melalui penunjukan Abdullah bin Amir itu.

Sementara itu di Kuffah, terjadi pemecatan atas Mughirah bin Syu’bah karena beberapa masalah yang dilakukannya. Pemecatan ini sebenarnya atas perintah khalifah Umar Bin Khaththab namun gres terlaksana pada masa khalifah Utsman. Penggantinya, Sa’ad bin Abu Waqqash, juga diberhentikan oleh khalifah Utsman tanggapan penyalahgunaan jabatan dan kurang transparan dalam urusan keuangan daerah. Salah satu kasusnya, Sa’ad meminjam uang dari kas propinsi tanpa melaporkannya kepada pemerintah pusat. Pada masa pemerintahan khulafaur Rasyidun, setiap kawasan menikmati otonomi penuh, kecuali dalam permasalah keuangan tetap terkait dan berada dibawah koordinasi Bendahara pemerintah Pusat. ‘Amil (pengepul zakat, semacam bendahara) Kuffah ketika itu, Abdullah bin Mas’ud, dipanggil sebagai saksi dalam pengadilan atas insiden itu. Abdullah bin Mas’ud sendiri akibatnya juga dipecat tanggapan insiden itu. Perlu diketahui, Abdullah bin mas’ud termasuk keluarga bersahabat dan sesuku dengan Khalifah Utsman. Pengganti Sa’ad bin Abu Waqqash ialah Walid bin Uqbah, saudara sepersusuan atau dalam sumber lain saudara tiri khalifah Utsman. Namun karena Walid memiliki watak jelek (suka minum khamr dan berkelakuan kasar), maka khalifah Utsman memecatnya dan menyerahkan pemilihan pimpinan gres kepada kehendak rakyat Kuffah. Sebagaimana masalah di Basyrah, gubernur pilihan rakyat Kuffah itu terbukti kurang cakap menjalankan pemerintahan dan hanya bertahan selama beberapa bulan. Atas seruan rakyat, pemilihan gubernur kembali diserahkan kepada khalifah. Utsman bin Affan r.a. kemudian mengangkat Sa’id bin ‘Ash, kemenakan Khalid bin Walid dan saudara sepupu Utsman, sebagai gubernur Kuffah, karena dianggap cakap dan berprestasi dalam penaklukan front utara, Azarbaijan. Namun terjadi konflik antara Sa’id dengan masyarakat setempat sehingga khalifah Utsman berfikir ulang pada penempatan sepupunya itu. Maka kemudian Sa’ad digantikan kedudukannya oleh Abu Musa Al Asy’ari, mantan gubernur Basyrah. Namun stabilitas Kuffah sukar dikembalikan menyerupai semula hingga insiden tewasnya sang khalifah. Meskipun demikian nepotisme dalam frame dan konotasi makna negatif kembali sukar dibuktikan.

Sedangkan di Mesir, Utsman meminta laporan keuangan kawasan kepada Amr bin Ash selaku gubernur dan Abdullah bin Sa’ah bin Abu Sarah selaku ‘Amil. Laporan Amil dinilai timpang sedangkan Amr bin Ash dianggap telah gagal dalam pemungutan Pajak. Padahal negara sedang membutuhkan pendanaan bagi pembangunan armada bahari guna menghadapi serangan Byzantium. Khalifah Utsman tetap menghendaki Amr bin Ash menjadi gubernur Mesir sekaligus diberi jabatan gres sebagai panglima perang. Namun Amr bin Ash menolak perintah khalifah itu dengan kata-kata yang kurang berkenan di hati sang khalifah (perkataan kasar). Maka kemudian Amr bin Ash dipecat dari jabatannya. Sedangkan Abdullah bin Sa’ah bin debu Sarah diangkat menggantikannya sebagai gubernur. Namun kebijakan gubernur gres itu dalam bidang agraria kurang disukai rakyat sehingga menuai protes pada khalifah Utsman. Dari insiden inilah akibatnya muncul informasi nepotisme dalam pemerintahan Utsman. Isu yang beredar dari Mesir ini pada akibatnya menyebabkan khalifah terbunuh di tangan pemberontak yang tiba dari Mesir (al-Gafiki).

Salah satu bukti penguat informasi nepotisme yang digulirkan ialah diangkatnya Marwan bin Hakam, sepupu sekaligus ipar Utsman, sebagai sekretaris Negara. Namun tuduhan ini intinya hanya sekedar luapan gejolak emosional dan alasan yang dicari-cari. Marwan Bin Hakam sendiri ialah tokoh yang memiliki integritas sebagai pejabat negara disamping ia sendiri ialah pakar tata negara yang cukup disegani, bijaksana, berpikiran tajam, fasih berbicara, dan pemberani. Dia jago dalam pembacaan al-Quran, banyak meriwayatkan hadits, dan diakui kepiawaiannya dalam banyak hal serta berjasa menetapkan dan memubuat alat-alat dosis dan timbangan. Di samping itu Utsman dan Marwan dikenal sebagai sosok yang hidup bersahaja dan jauh dari kemewahan serta tidak memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi. Dengan demikian pemilihan Marwan bin Hakam ialah keharusan dan kebutuhan negara yang memang harus terjadi serta bukan semata-mata berdasar atas motif nepotisme dalam kerangka makna negatif.

Selain itu tuduhan penggelapan uang negara dan nepotisme dalam pemberian dana al-khumus yang diperoleh dari kemenangan perang di Laut Tengah kepada Abdullah bin Sa’ad Bin Abu Sarah, saudara sepersusuan Utsman (sumber lain saudara angkat), sanggup dibuktikan telah sesuai dengan koridor yang seharusnya dan diindikasikan tidak ditemukan penyelewengan apa pun. Al-Khumus yang dimaksud berasal dari rampasan perang di Afrika Utara. Isu yang berkembang terkait al-khumus itu ialah Khalifah Utsman telah menjualnya kepada Marwan bin Al Hakkam dengan harga yang tidak layak.
Duduk duduk kasus sebenarnya ialah khalifah Utsman tidak pernah memperlihatkan al-khumus kepada Abdullah bin Sa’ad bin Abu Sarah. Sebagaimana telah diketahui ghanimah (rampasan perang) dalam Islam 4/5-nya akan menjadi kepingan dari tentara perang, sedangkan 1/5-nya atau yang dikenal sebagi al-khumus akan masuk ke Baitul Mal. Perlu diketahui jumlah ghanimah dari Afrika Utara yang terdiri dari banyak sekali benda yang terbuat dari emas, perak, serta mata uang senilai dengan 500.000 dinar. Abdullah bin sa’ad kemudian mengambil al-khumus dari harta itu yaitu senilai 100.000 dinar dan eksklusif dikirimkan kepada khalifah Utsman di ibukota . Namun masih ada benda ghanimah lain yang berupa peralatan, perkakas, dan satwa ternak yang cukup banyak. Al-khumus (20 % dari ghanimah) dari ghanimah yang terakhir itu itulah yang kemudian dijual kepada Marwan bin Hakkam dengan harga 100.000 dirham.

Penjualan ghanimah dengan wujud barang dan satwa ternak itu dengan mempertimbangkan efektifitas dan efisiensi. Al-Khumus berupa barang dan ternak itu sulit diangkut ke ibukota  yang cukup jauh jaraknya. Belum lagi kalau harus mempertimbangkan faktor keamanan dan kenyamanan proses pengangkutannya. Kemudian hasil penjualan al-khumus berupa barang dan ternak itu juga dikirimkan ke Baitul Mal di ibukota . Di sisi lain Abdullah bin Sa’ad bin Abu Sarah mendapatkan sebagian dari pembagian 4/5 hasil rampasan perang karena ia telah memimpin penaklukan Afrika Utara itu. Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa 4/5 (atau 80 %) dari ghanimah ialah hak bagi tentara yang mengikuti perang, termasuk diantaranya ialah Abdullah bin Sa’ad bin Abu Sarah. Dengan demikian sebenarnya tidak ada masalah karena telah sesuai dengan koridor aturan-aturan yang berlaku.
Kemudian khalifah Utsman juga diisukan telah menyerahkan masing-masing 100.000 dirham dari Baitul Mal kepada Harits bin Hakkam dan Marwan bin Al Hakkam. Desas-desus itu intinya ialah sebuah fitnah belaka. Duduk duduk kasus sebenarnya ialah khalifah Utsman mengawinkan seorang puteranya dengan puteri Harits bin Hakkam dengan menyerahkan 100.000 dirham yang berasal dari harta pribadinya sebagai bantuan. Demikian juga khalifah Utsman telah menikahkan puterinya yang berjulukan Ummu Ibban dengan putera Marwan bin Hakkam disertai pinjaman dari harta miliknya sejumlah 100.000 dirham.

Dengan demikian terbukti bahwa Khalifah Utsman bin Affan r.a. tidak melalukan nepotisme dan praktek korupsi selama masa kepemimpinannya. Hal ini sesuai dengan ratifikasi khalifah Utsman sendiri dalam salah satu khotbahnya yang menyatakan, “Mereka menuduhku terlalu mengasihi keluargaku. Tetapi kecintaanku tidak membuatku menjadi berbuat sewenang-wenang. Bahkan saya mengambil tindakan-tindakan (kepada keluargaku) jikalau perlu. Aku tidak mengambil sedikit pun dari harta yang ialah hak kaum muslimin. Bahkan pada masa Nabi Muhammad pun saya memperlihatkan sumbangan-sumbangan yang besar, begitu pula pada masa khalifah Abu Bakar dan pada masa khalifah Umar ….”.

Dalam khotbahnya itu khalifah Utsman juga menyatakan sebuah bukti kuat mengenai kekayaan yang masih dimilikinya guna membantah informasi korupsi sebagai berikut, “Sewaktu saya diangkat menjabat khalifah, saya terpandang seorang yang paling kaya di Arabia, memiliki ribuan domba dan ribuan onta. Tapi kini ini (setelah 12 tahun menjabat khilafah), manakah kekayaanku itu? Hanya tinggal ratusan domba dan dua ekor unta yang saya pergunakan untuk kendaraan pada setiap animo haji”.

Kebijakan-kebijakan Khalifah Utsman bin Affan r.a.

1. Administrasi Pemerintahan
Untuk pelaksanaan manajemen pemerintahan di daerah, khalifah Utsman bin Affan r.a. mempercayakannya kepada seorang gubernur untuk setiap wilayah atau propinsi. Pada masanya wilayah kekuasaan kekhalifahan Madinah dibagi menjadi 10 (sepuluh) propinsi dengan masing-masing gubernur/amirnya, yaitu:
1) Nafi’ bin al-Haris al-Khuza’i, Amir wilayah Makkah;
2) Sufyan bin Abdullah al-Tsaqafi, Amir wilayah Thaif;
3) Ya’la bin Munabbih Halif Bani Naufal bin Abd. Manaf, Amir wilayah Shana’a;
4) Abdullah bin Abi Rabiah, Amir wilayah al-Janad;
5) Utsman bin Abi al-Ash al-Tsaqafi, Amir wilayah Bahrain;
6) Al-Mughirah bin Syu’bah al-Tsaqafi, Amir wilayah Kuffah;
7) Abu Musa Abdullah bin Qais al-Asy’ari, Amir wilayah Basrah;
8) Muawiyah bin Abi Sufyan, Amir wilayah Damaskus;
9) Umair bin Sa’ad, Amir wilayah Himsh; dan
10) Amr bin Ash al-Sahami, Amir wilayah Mesir.

Setiap Amir atau Gubernur ialah wakil khalifah di kawasan untuk melaksanakan kiprah manajemen pemerintahan dan bertanggungjawab kepadanya. Seorang amir diangkat dan diberhentikan oleh Khalifah. Kedudukan gubernur disamping sebagai kepala pemerintahan di kawasan juga sebagai pemimpin agama, pemimpin ekspedisi militer, menetapkan undang-undang, dan menetapkan perkara, yang dibantu oleh katib (sekretaris), pejabat pajak, pejabat keuangan (Baitul Mal), dan pejabat kepolisian.

Sedangkan kekuasan legislatif dipegang oleh Dewan Penasehat atau Majlis Syura, tempat Khalifah mengadakan musyawarah atau konsultasi dengan para sahabat Nabi terkemuka. Majelis ini memperlihatkan saran, usul, dan pesan yang tersirat kepada Khalifah mengenai banyak sekali masalah penting yang dihadapi Negara. Akan tetapi pengambil keputusan terakhir tetap berada di tangan Khalifah. Artinya banyak sekali peraturan dan kebijaksanaan, di luar ketentuan al-Qur’an dan Sunnah Rasul, dibicarakan di dalam majelis itu dan diputuskan oleh Khalifah atas persetujuan anggota Majelis. Dengan demikian, Majelis Syura diketuai oleh Khalifah.

Jadi, kalau Majelis Syura ini disebut sebagai forum legislatif, maka dia tidak sama dengan forum legislatif yang dikenal kini yang memiliki ketua tersendiri. Namun bagaimanapun, dengan adanya Majelis Syura ini mencerminkan telah adanya pendelegasian kekuasaan dari Khalifah untuk melahirkan banyak sekali peraturan dan kebijaksanaan. Dari cerminan fungsi ini, Majelis Syura masa kekhalifahan Utsman bin Affan r.a. itu sanggup dikatakan sebagai forum legislatif untuk zamannya.

Dengan demikian, Khalifah Utsman sebagaimana pendahulunya tetap melaksanakan prinsip musyawarah dengan mengajak beberapa pihak untuk memecahkan masalah-masalah kenegaraan yang dihadapi. Dia tidak bertindak adikara dalam memerintah bahkan sangat lunak dalam bertindak yang justru dikemudian hari menjadi boomerang bagi dirinya.

2. Perluasan Wilayah Islam
Seperti yang telah dikemukakan di atas bekerjsama Utsman harus bekerja lebih keras lagi dalam mempertahankan dan melanjutkan usaha panji Islam karena banyak sekali bahaya dan rintangan semakin berat untuknya mengingat pada masa sebelumnya telah tersiar gejala adanya negeri yang pernah ditaklukkan oleh Islam hendak berbalik memberontak padanya. Namun demikian, walaupun di sana-sini banyak kesulitan dia sanggup meredakan dan menumpas segala pembangkangan mereka, bahkan pada masa ini Islam berhasil tersebar nyaris ke seluruh belahan dunia mulai dari Anatolia, dan Asia kecil, Armenia, Kaukus, Bulukhistan, Afganistan, Azarbaijan, Kurdistan, Heart, Tus, Naisabur, Samarkand, Tashkent, Turkmenistan, Khurasan dan Thabrani Timur hingga Timur Laut menyerupai Libya, Aljazair, Tunisia, Maroko dan Ethiopia. Maka Islam lebih luas daerahnya kalau dibandingkan dengan Imperium sebelumnya yakni Romawi dan Persia karena Islam telah menguasai nyaris sebagian besar daratan Asia dan Afrika.

3. Pembentukan Armada Laut Islam Pertama
Ide atau gagasan untuk menciptakan sebuah armada bahari Islam sebenarnya telah ada semenjak masa kekhalifahan Umar Ibn khattab namun dia menolaknya karena khawatir akan membebani kaum muslimin pada ketika itu. Setelah kekhalifahan berpindah tangan pada Utsman maka gagasan itu diangkat kembali kepermukaan dan berhasil menjadi janji bahwa kaum muslimin memang harus ada yang mengarungi lautan meskipn sang khalifah mengajukan syarat untuk tidak memaksa seorangpun kecuali dengan sukarela. Berkat armada bahari ini wilayah Islam bertambah luas sesudah berhasil menaklukkan tentara Romawi di Cyprus dipimpin Muawiyah bin Abi Sufyan pada tahun 27 Hijrah walaupun harus melewati peperangan yang melelahkan.

4. Pembangunan Sarana-sarana Kepentingan Umum
Kegiatan pembangunan banyak sekali sarana di wilayah-wilayah kekhalifahan Islam masa pemerintahan Utsman bin Affan r.a. yang luas itu tumbuh pesat. Pembangunan sarana-sarana kepentingan umum itu mencakup pembangunan daerah-daerah pemukiman, jembatan-jembatan, jalan-jalan, mesjid-mesjid, wisma-wisma tamu, serta pembangunankota -kota gres yang kemudian tumbuh dengan pesat sebagai pusat perekonomian masa itu.
Jalan-jalan yang menuju ke Madinah dilengkapi dengan banyak sekali kemudahan bagi para pendatang. Tempat-tempat persediaan air dibangun di Madinah, dikota -kota padang pasir, dan di lading-ladang peternakan unta dan kuda. Pembangunan banyak sekali sarana kepentingan umum ini memperlihatkan bahwa Utsman bin Affan r.a. sebagai Khalifah sangat memperhatikan kemaslahatan publik, disamping juga Masjid Nabi di Madinah yang diperluas dari bentuknya semula.

5. Kodifikasi Al-Qur’an
Prestasi tertinggi pada masa pemerintahan Utsman bin Affan r.a. ialah menyusun al-Qur’an standar, yaitu penyeragaman bacaan dan goresan pena al-Qur’an, menyerupai yang dikenal sekarang. Masa penyusunan Al-Qur’an memang telah ada pada masa Khalifah Abu Bakar atas usulan Umar bin Khaththab yang kemudian disimpan ditangan istri Nabi Hafsah binti Umar. Berdasar pada pertimbangan bahwa banyak dari para penghafal Al-Qur’an yang gugur usai peperangan Yamamah. Kini sesudah Utsman memegang tonggak kepemimpinan dan bertambah luas pula wilayah kekuasaan Islam maka banyak ditemukan perbedaan lahjah dan bacaan pada Al-Qur’an. Inilah yang mendorong dia untuk menyusun kembali Al-Qur’an yang ada pada Hafsah binti Umar dan menyeragamkannya kedalam bahasa Quraisy supaya tidak terjadi perselisihan antara umat dikemudian hari. Seperti halnya kitab suci umat lain yang selalu berbeda antar sekte yang satu dengan yang lainnya.

Khalifah Utsman kemudian membentuk suatu tubuh atau panitia pembukuan al-Qur’an yang terdiri dari Zaid bin Tsabit sebagai ketua panitia dan Abdullah bin Zubair serta Abdurrahman bin Harits sebagai anggota. Tugas yang harus dilaksanakan panitia itu ialah membukukan lembaran-lembaran lepas dengan cara menyalin ulang ayat-ayat al-Qur’an ke dalam sebuah buku yang disebut Mushaf yang harus berpedoman kepada bacaan mereka yang menghafalkan al-Qur’an (huffadz).

Khalifah Utsman mengutus beberapa orang kepercayaannya untuk menyebarkan mushaf Al-Qur’an hasil kodifikasinya yang telah diperbanyak sejumlah lima buah atas persetujuan para sahabat ke beberapa kawasan penting antara lain Makkah, Syiria, Kuffah, dan Bashrah, sementara sebuah Mushaf tetap berada di Madinah. Selanjutnya naskah salinan yang ditinggalkan di Madinah ini disebut Mushaf al-Iman. Adapun seluruh mushaf lain yang berbeda dengan naskah Mushaf Al-Iman dinyatakan tidak berlaku lagi oleh khalifah Utsman bin Affan r.a..

Akhir Masa Kepemimpinan Utsman bin Affan r.a.

Enam tahun pertama kepemimpinan Utsman ialah masa yang dipenuhi dengan prestasi penting dan kesejahteraan ekonomi yang tiada duanya, disamping manajemen pemerintahan yang berjalan efektif dan ekspansi wilayah yang semakin berkembang pesat mencapai wilayah-wilayah yang jauh dari pusat kekuasaan di Madinah ketika itu.

Tapi pada tahun-tahun selanjutnya, pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan r.a. mulai goyah dan terguncang, berbanding terbalik dengan sebelumnya kondisi serba sulit tanggapan merebaknya fitnah dan kedengkian musuh-musuh Islam yang diarahkan padanya. Rakyat di beberapa kawasan terutana Kuffah, Basrah, dan Mesir mulai melaksanakan protes pada budi dan tindakan Khalifah yang dinilai tidak adil. Isu sentral yang menjadi pemicu protes dari rakyat ialah adalah masalah pergantian beberapa gubernur dengan orang-orang yang berasal dari sanak kerabat atau keluarga terdekatnya dan masalah penggunaan keuangan negara yang kurang transparan.

Sesungguhnya Khalifah Utsman memiliki alasan kuat untuk mengganti para gubernur itu. Khalifah Utsman berpegang kepada wasiat khalifah sebelumnya yaitu Umar bin Khaththab yang berwasiat padanya supaya dia mempertahankan para pejabat yang diangkat Umar bin Khaththab selama satu tahun. Artinya sesudah para pejabat yang diangkat Umar telah bekerja selama satu tahun kepada Utsman, maka Utsman boleh menggantinya.
Klimaks dari krisis kepercayaan rakyat beberapa kawasan pada kepemimpinan Utsman bin Affan r.a. sebagai khalifah ditandai dengan timbulnya pemberontakan oleh ribuan orang dari Kuffah, Basrah, dan Mesir yang dating ke Madinah secara bersamaan. Mereka berhasil mengepungkota  Madinah dan rumah kediaman Khalifah Utsman sehingga dia syahid dengan amat tragis ketika sedang membaca al-Qur’an pada jum’at sore 18 Dzulhijjah 35 H.
Utsman bin Affan r.a. mengorbankan jiwanya sebagai “pengorbanan bagi solidaritas Muslimin”. Sebab sebelum dia syahid, dia sempat berkata kepada kaum pemberontak: “adapun kasus maut, saya tidak takut, dan soal mati bagikut hal yang mudah. Soal bertempur, kalau saya menginginkannya, ribuan orang akan dating mendampingiku berjuang. Tapi saya tidak mau menjadi penyebab tertumpahnya darah, meskipun setetespun darah kaum Muslimin”.

Penutup

Berdasarkan kajian di atas telah diketahui bahwa Khalifah Utsman sebagaimana pendahulunya tetap melaksanakan prinsip musyawarah dengan mengajak beberapa pihak untuk memecahkan masalah-masalah kenegaraan yang dihadapi. Dia tidak bertindak adikara dalam memerintah bahkan sangat lunak dalam bertindak.

Kebijakan-kebijakan pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan r.a. yang berkembang diantaranya dalam: 1) Bidang manajemen pemerintahan, dengan mengangkat para Amir atau gubernur untuk wilayah-wilayah di bawah kekhalifaannya disamping memperkuat kekuasan legislatif yang dipegang oleh Dewan Penasehat atau Majlis Syura, tempat Khalifah mengadakan musyawarah atau konsultasi. Majelis ini memperlihatkan saran, usul, dan pesan yang tersirat kepada Khalifah mengenai banyak sekali masalah penting yang dihadapi negara dengan tetap pengambil keputusan terakhir berada di tangan Khalifah sendiri. Artinya banyak sekali peraturan dan kebijaksanaan, di luar ketentuan al-Qur’an dan Sunnah Rasul, dibicarakan di dalam majelis itu dan diputuskan oleh Khalifah atas persetujuan anggota Majelis, 2) Perluasan wilayah kekuasaan kekhalifahan Islam hingga mencapai wilayah yang jauh dari pusat pemerintahan di Madinah, 3) Pembentukan armada bahari Islam pertama, 4) Memajukan pembangunan sarana-sarana kepentingan umum sebagai bentuk kepedulian khalifah pada kepentingan publik, serta 5) Usaha menghimpun lembaran-lembaran lepas al-Qur’an dalam upaya kodifikasi dan membukukan al-Qur’an hingga menjadi sebuah mushaf, yang kemudian dikenal sebagai Mushaf Iman.

Isu nepotisme dalam pemerintahan Utsman terbukti tidak benar. Sebab masing-masing tindakan Utsman telah memiliki rasionalisasi berdasar kebutuhan zaman yang terjadi serta mewakili kebijakan yang seharusnya diambil. Selain itu secara kuantitas jumlah pejabat negara keluarga Utsman dibandingkan dengan yang bukan familinya terang bukan mayoritas. Tuduhan nepotisme itu setidaknya hanya di dasarkan kepada 6 kasus di atas. Sementara jumlah pejabat publik diluar anggota keluarga itu ialah adalah mayoritas.

sumber : adentatho.blogspot.com

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel